∽ Enam Jam Setelah Penemuan... ∽
Azan magrib dari masjid satu-satunya di kampung menghentikan lamunan Ilmi. Ingatannya mengenai cerita kehidupan korban selama tinggal di kampung terekam jelas. Ia baru saja kembali ke rumah yang ditempatinya untuk memikirkan semuanya sekali lagi. Merangkai semua cerita yang seharian ini didengar dari Bu Patemi dan mencocokannya dengan keterangan warga lain. Memikirkan kemungkinan lain yang bisa terjadi di TKP.
Ia mengambil kertas untuk mulai mencoret-coret.
***
Rahma adalah seorang wanita dengan tinggi semampai, kulit kuning langsat. Tubuhnya tidak gemuk tapi juga tidak kurus. Rambutnya panjang lurus dan dipirang. Pancaran kecantikannya adalah hasil perawatan rutin yang selalu dilakukannya.
Usianya 28 tahun ketika ia pindah dan tinggal bersama suaminya yang bernama Amran, 32 tahun. Tepat setahun lalu. Pindah ke sebuah tempat yang membuat kebiasannya sebagai pesolek perlahan berubah. Yang akhirnya juga merubah segala hal dalam hidupnya.
Segalanya berjalan baik-baik saja pada awalnya. Ia memiliki suami yang bertanggungjawab dan selalu menjaganya. Suaminya masih memberi fasilitas pergi ke salon yang bebas ia pilih di kota sebulan sekali.
Tidak ada yang ia keluhkan dalam hidupnya. Bisa tinggal bersama orang yang dicintai, cukup untuk makan 3 kali sehari, apa lagi yang kurang. Kegagalan pada pernikahannya yang pertama membuatnya belajar untuk tidak menuntut kesempurnaan dalam segala hal.
Meski telah tinggal selama tiga bulan, Rahma masih belum memiliki teman. Ia memiliki cara beradaptasi yang lebih lambat dibanding siapa pun. Ia enggan untuk menyapa orang yang tidak dikenalnya lebih dulu. Pun terlibat pembicaraan atau ikut membaur. Setiap kali seorang penduduk kampung mengadakan acara, ia tidak akan datang tanpa suaminya. Bahkan beberapa kali suaminya harus datang seorang diri.
Jika sudah seperti itu giliran Amran yang akan pintar-pintar meminta pengertian pada para warga yang bertanya. 'Rahma masih belum cukup beradaptasi, masih malu,' atau 'Rahma lagi enggak enak badan.'
Orang-orang mulai menganggapnya sombong sementara Rahma sendiri hanya merasa terlalu sungkan. Malu. Masih merasa asing. Jika ke toko untuk membeli beberapa keperluan, ia hanya akan tersenyum dan mengangguk saat disapa. Ketika diajak mengobrol ini-itu sebagai cara berbaur agar lebih mudah akrab, Rahma tidak akan tinggal lebih lama untuk ikut bercakap. Ia akan pulang lebih dulu dengan berbagai alasan. Entah itu sedang memasak atau mengerjakan sesuatu yang lain.
"Itu karena mereka ceritain Bu Eko, Mas," jawab Rahma ketika suaminya suatu kali bertanya. "Aku 'kan enggak mau kalau nanti pas aku enggak ada, malah aku yang diceritain macam-macam."
Suatu kali ketika membeli mi instan, minyak, dan beberapa bumbu dapur di toko Pak Basir, seseorang pria menegur Rahma. Ia menyapa dan berbicara lebih dulu. Berusaha akrab. Tapi Rahma hanya menjawab seadanya dan berlalu. Tidak ingin tinggal lebih lama. Ia tidak suka cara pria itu memandang saat berbicara dengannya. Boy.
Hitungan waktu memasuki bulan ketujuh ketika ia mendapat kabar bahwa sebuah kecelakaan yang terjadi di kota telah merengut nyawa suaminya. Sebuah Jaz yang sedang melaju menabrak tubuhnya dihingga terpental jauh. Sang suami baru saja menjual hasil lautnya yang melimpah dan hendak pulang setelah berbelanja banyak sayur dan keperluan rumah. Sayangnya ia tidak akan bisa pulang dan menemui istri yang telah menunggu. Selamanya tidak akan pernah bisa pulang.
Dukanya dalam, kesedihannya tidak tertahankan. Kehilangan suami tercinta bagai kehilangan seluruh dunianya. Mahligai kebahagian ia pikir akan menetap selamanya, nyatanya kebahagian selalu berakhir dengan cepat. Terlalu cepat. Bahkan saat ia belum sadar bahwa telah memasuki masa paling bahagia dalam hidupnya, kebahagian terakhirnya.
Kehilang suami adalah kehilangan satu-satunya orang yang bisa dan selalu mengerti dirinya. Kehilangan orang yang selalu siap melindunginya. Tempat bersandarnya. Tiada hari ia habiskan tanpa meratap. Tanpa menyulap kesedihannya menjadi butir-butir air mata. Tanpa merasa dunia sedang berlaku tidak adil.
Suatu hari Bu Patemi mengadakan syukuran untuk anak lelakinya yang baru di wisuda. Seperti biasa, Rahma tidak terlihat menampakkan diri di antara kerumunan orang yang datang.
Rumah Bu Patemi berada di sisi yang berbeda dengan tempat Rahma tinggal. Berada di bagian terpanjang dari leter T. Jarak tujuh rumah dari masjid satu-satunya yang berada di kampung. Mengerti dengan ketidakhadiran wanita itu, Bu Patemi mengantar seporsi soto ayam dan jajanan yang masih bersisa di rumah.
Melihat penampilan Rahma, betapa Bu Patemi terperangah. Wanita itu terlihat lebih kurus dari terakhir kali ia lihat. Matanya sembab dan bengkak karena terus-menerus menumpahkan tangis, penampilannya juga berantakan. Bu Patemi berani bertaruh Rahma sudah berhari-hari tidak mandi. Rahma yang biasanya berpenampilan rapi, yang selalu merawat kecantikannya, dan yang biasanya terlihat berpendidikan, berubah menjadi sosok yang berbeda. Bu Patemi nyaris tidak mengenalinya.
"Ya ampun, Nak."
Rahma memaksakan senyumnya dan berkata bahwa ia baik-baik saja. Tidak lupa berterima kasih untuk makanan yang diantarkan padanya. Rahma memunguti pakaian, selimut, dan segala perkakas yang memenuhi ruang depan. Ia tidak berencana untuk benar-benar membersihkan rumah.
Tangan Rahma masih dipenuhi selimut dan pakaian ketika ia menarik kursi dan duduk. Bu Patemi melakukan hal yang sama meski tidak dipersilakan. 'Rahma sedang membutuhkan seseorang,' begitu pikirnya.
Hening. Tidak seorang pun mulai berbicara. Rahma hanya menunduk dengan ekpresi yang hanya ia sendiri yang tahu.
Keheningan pertama pecah ketika Bu Patemi menarik kursi yang didudukinya dan mendekat ke arah Rahma. Lebih dekat. Bu Patemi mengelus punggung Rahma lembut, penuh kasih sayang, dengan sifat keibuan yang penuh pengertian. Tubuh Rahma bergetar. Ia menggengam selimutnya erat, seolah ingin membuatnya remuk dan hancur seketika.
Keheningan yang menenggelamkan keduanya berakhir ketika airmata Rahma kembali tumpah dan isaknya meledak.
Tidak ada yang Bu Patemi lakukan selain tetap di sana, menunggu tangis Rahma hingga mereda. Ia mencoba berkata-kata, meminta Rahma beristighfar dan bersabar tapi kesedihan wanita itu sama sekali tidak mereda dan air matanya tetap tidak berhenti. Ia terus menangis hingga menit demi menit berlalu.
"Kenapa? Kenapa, Bu dia pergi lebih dulu? Dia sudah janji akan terus menjaga saya, karena itu saya mau ikut pindah ke sini. Dia bilang dia enggak akan ninggalin saya, dia janji untuk membuat saya bahagia. Dia bilang selamanya." Rahma berkata di sela-sela tangisnya. Ia memukul-mukul selimut yang ada di tangannya, setelah puas, ia kemudian memeluknya dan kembali terisak.
Masih tidak berkata-kata, Bu Patemi memeluk Rahma dan membiarkan wanita itu menuntaskan tangisnya untuk hari ini.
"Mau dengar apa yang pernah Mas Amran bilang ke Ibu?" Untuk pertama kalinya Bu Patemi berbicara lebih dari tiga kata. Isak Rahma berkurang perlahan-lahan. "Mungkin kamu lupa, tapi dulu suami dan anak saya yang bantu-bantu kepindahan kamu ke sini."
Rahma menarik kepalanya dan menatap Bu Patemi lekat. Ia sudah tidak lagi menangis meski sisa-sisa air mata masih berurai di wajahnya. Rahma mengingat-ingat dan sekelebat wajah seorang pria yang sudah cukup tua terlintas di benaknya. Di sebelahnya ada seorang pemuda berparas tampan dan ramah.
Rahma menunggu Bu Patemi melanjutkan kalimatnya.
"Mas Amran bilang, 'mungkin istri saya kelihatan sombong tapi sebenarnya dia sama sekali enggak sombong. Dia sudah mandiri sejak kecil. Saya sendiri bahkan belum terbiasa sama kemandiriannya. Saya nitip Rahma kalau saya mungkin lama di kota karena harus ngurus keperluan lain. Dia perempuan yang kuat tapi di keadaan tertentu dia masih butuh teman. Apalagi dia enggak pernah mau nangis di depan saya.'" Benak Bu Patemi dipenuhi oleh gambaran wajah bijaksana Amran yang tertawa pelan.
Mendadak Rahma merasa ada kesejukan yang ditiupkan lembut pada lukanya. Seperti suaminya sedang berada di dekatnya untuk mengawasi, untuk tetap menjaga, tersenyum padanya. Mengatakan kini ia ada di sampingnya dan akan selalu ada. Seperti hari-hari lalu, membisikkan kata-kata cinta yang membuatnya tertawa geli dan tersipu malu.
Untuk beberapa waktu, Rahma hanya bertahan dengan uang ganti rugi dari pelaku yang sudah menabrak suaminya dan sedikit tabungan. Sesekali orang tua dan adiknya yang telah sukses datang dan mengirimi uang. Orang tua Rahma telah berkali-kali membujuknya untuk pindah dan tinggal bersama mereka, tapi berkali-kali itu juga Rahma menolak. Satu-satunya tempat di mana ia bisa mengenang suaminya adalah rumahnya. Jejak-jejak yang masih tertinggal, barang-barangnya, bahkan aroma tubuhnya.
Jika harus pergi dan keluar dari rumah, artinya ia akan kehilangan suami yang sangat dicintai untuk kedua kalinya.
Pernikahan Rahma dan Amran memang baru seumur jagung, tapi kehilangan orang yang dicintai bukan lagi perkara seberapa banyak waktu yang telah dihabiskan bersama.
Selain Bu Patemi, Bu Nunik juga sering mengunjungi Rahma untuk memberinya kekuatan dan dukungan. Beberapa kali mereka datang sembari membawa makanan, hanya sekadar mampir untuk menengok, atau menemani mengobrol. Berkat keduanyalah, Rahma mulai belajar membaur dengan baik. Perlahan, tapi tetap tidak berjalan mudah karena julukan 'sombong' sudah telanjur dilekatkan padanya.
Saat bersama suami pertamanya, ia tinggal di fasilitas rumah perusahaan tempat suaminya bekerja. Antara rumah satu dengan yang lainnya dibatasi tembok dan pagar-pagar yang tinggi menjulang. Antar penghuni satu dan yang lainnya jarang terlibat pembicaraan remeh-temeh dan panjang lebar. Jika kebetulan berpapasan saat ke luar rumah atau ketika masuk-keluar market, mereka hanya perlu menebar senyum atau berbicara dua-tiga patah kata, kemudian berlalu. Jika salah satu rumah memiliki acara, mereka hanya perlu memanggil jasa catering yang mengurus segala kebutuhan dapur. Semua hal dikerjakan dengan bantuan profesional.
Kehidupan selama 5 tahun berubah total ketika ia menikah dengan Amran.
Begitu status sebagai janda disandang Rahma, beberapa pria yang selama ini meliriknya diam-diam mulai terang-terangan mendekatinya. Termasuk Boy dan anak Pak Sabar yang masih sangat muda.
Hingga suatu malam...
Kegelapan bahkan belum sepenuhnya pekat dan masih ada banyak waktu yang tersisa sebelum malam genap di titik puncak. Lampu-lampu di setiap rumah masih menyala terang dengan suara televisi yang saling bersahut-sahutan. Anak-anak mungkin telah masuk kamar dan dipaksa tidur oleh orang tua mereka dengan alasan besok sekolah, para orang dewasa masih seutuhnya terjaga. Mereka tidak ingin melewatkan tontonan malam mereka. Opera sabun dalam atau luar negeri yang ditayangkan di saluran nasional.
21.15 ketika seorang pria diam-diam menyelinap ke dalam rumah dan naik ke atas ranjang. Rahma tentu saja terperanjat. Ia terbiasa membiarkan kamarnya gulita saat tidur. Dengan tangan yang besar dan kasar, pria itu mencoba membekap mulut Rahma. Keduanya sempat bergelut sebelum akhirnya Rahma berhasil memukul mundur si penyusup.
Rahma berteriak-teriak histeris dan berlari ke luar rumah. Sayangnya si penyusup berhasil melarikan diri melalui pintu depan.
Mendengar ada yang berteriak-teriak, otomatis para tetangga terdekat dan beberapa rumah lain memburu ke luar rumah. Mereka berkumpul di teras dan saling melempar pandangan, bertanya-tanya mengenai apa yang terjadi.
"Seseorang masuk ke dalam rumah saya. Dia... dia mau berbuat macam-macam." Rahma berkata sembari terisak. Tubuhnya bergetar karena terkejut dan marah. "Tolong... tolong tangkap orang itu..."
Warga mulai memadati sekeliling tempat Rahma berdiri. Tatapan-tatapan simpati dan rasa ingin tahu tumpah ruah, membaur menjadi satu. Beberapa orang yang menempel terlalu dekat sedang mencoba membuatnya tenang. Beberapa orang lainnya mengajukan banyak pertanyaan. Ini kejadian yang pertama kalinya terjadi sehingga membuat heboh satu kampung.
Ketua RT datang tidak lama kemudian. Ia berusaha meredakan keributan yang masih terjadi. Bersama istri dan 2 warga yang lain, Rahma digiring kembali ke rumahnya, menghindari kerumunan. Agar keributan yang terjadi segera mereda. Hari sudah semakin malam dan anak-anak telah tertidur.
"Saya tidak butuh merasa tenang, saya hanya ingin orang itu ditangkap. Sekarang!" tukas Rahma tiba-tiba. Ia menepis dengan kasar tangan istri Ketua RT dan Bu Nunik yang mendampinginya.
"Iya, iya. Kita bicarakan ini di rumah Mbak, ya," kata Ketua RT tenang.
"Bagaimana kalau orang itu kabur? Menghilang? Kalian harus cepat menangkap dia!" tukas Rahma lagi.
"Mbak Rahma, kampung kita ada di atas laut. Enggak ada orang yang bisa ke mana-mana kecuali dengan naik kapal dari dermaga."
Cara bicara Ketua RT cukup menenangkan. Meski seperti itu, Rahma tetap tidak dapat menahan emosinya yang masih meledak-ledak. Ia merasa ketakutan, tidak lagi memiliki seseorang yang bisa melindunginya. Ia menganggap Ketua RT lamban, sama sekali tidak berniat membantunya.
Mengerti dengan apa yang Rahma pikirkan, Ketua RT berkata lagi, "Kalau begitu siapa penyusupnya? Apa Mbak Rahma kenal orangnya?"
"Kamar saya gelap. Bagaimana saya bisa tahu siapa yang masuk?!"
Warga yang masih memadati tempat Rahma tinggal berkasak-kusuk. Tatapan simpati yang semula ditujukan untuk Rahma mulai berkurang. Bukannya mereka tidak mengerti perasaan wanita itu, hanya emosinya yang meledak-ledak, cara bicaranya yang kasar, dan sifatnya yang keras kepala membuat banyak orang tidak suka, membuat rasa simpati mereka hilang.
Boy dan Elis yang baru datang ikut memadati keramaian malam itu. Elis adalah seorang gadis berusia 25 tahun. Kulitnya kecokelatan namun bersih. Tubuhnya tidak begitu tinggi, agak gemuk, dengan potongan rambut pendek. Secara keseluruhan ia terlihat manis dengan penampilan sederhananya.
Begitu melihat kaos belang-belang yang Boy kenakan, dengan penuh amarah Rahma menunjuknya sebagai pelaku yang menyelinap masuk ke kamarnya. Kamar memang dalam keadaan gulita, tapi ketika si penyusup keluar dari kamar untuk kabur, Rahma melihat dengan jelas bentuk badan dan warna pakaiannya. Ruang depan cukup terang sehingga Rahma yakin dengan apa yang dilihatnya.
"Dia orangnya! Pak RT cepat tangkap dia!" Rahma berujar. Semua mata kini mengikuti ke mana arah telunjuk Rahma tertuju. Pada pasangan yang baru datang.
"Bukannya tadi dia bilang kamarnya gelap," seseorang menyeletuk.
"Tapi ruang depan cukup terang untuk melihat warna pakaiannya dengan jelas!" sergah Rahma pada seorang bapak yang menyeletuk.
"Kenapa? Mas Boy kenapa ?!" Elis menatap ke arah semua orang tajam.
Seharusnya Boy yang berbicara untuk meluruskan jika benar yang terjadi adalah kesalahpahaman, tapi Boy justru diam saja dan membiarkan Elis yang berbicara dan marah-marah.
"Dia orang yang lancang masuk ke kamarku! Dia menyusup dan hendak melakukan hal yang tidak senonoh padaku!"
Kalimat Rahma menyulut emosi Elis. Ia menghampiri Rahma. "Mas Boy kamu bilang?! Apa buktinya? Mas Boy sejak tadi bersamaku. Atas dasar apa kamu menuduh dia?!"
"Bohong!" Rahma memekik sekeras yang ia bisa. "Dia pasti memintamu bilang begitu. Kalian pasti sudah bersekongkol."
"Bersekongkol kamu bilang..." Elis semakin berang. Ia nyaris saja mencakar wajah Rahma seandainya Bu Nunik dan Ketua RT tidak melerai. "Kamu pikir apa hebatnya kamu sampai Mas Boy harus menyelinap ke kamarmu diam-diam!"
Malam semakin larut. Pembahasan mengenai siapa yang bersalah terhenti. Sejak awal membuat Rahma tenang saja sulit, dan semakin tidak mungkin setelah apa yang terjadi. Elis sendiri tidak bisa didudukkan dalam satu meja dengan Rahma untuk membicarakan segalanya baik-baik. Elis sudah kepalang mengamuk. Dan menghadapi dua wanita dalam suasana hati yang begitu buruk bukanlah perkara mudah. Hal itu menjadi masalah lain yang lebih rumit.
Kejadian malam itu berakhir tanpa kejelasan.
Ketika berbelanja di toko Pak Basir pada pagi harinya, Rahma merasa setiap kali bertemu dengan warga lain, ada tatapan sinis yang diam-diam menusuk punggungnya. Ia merasa sedang digunjingkan. Semua orang menjaga jarak, membencinya tanpa sebab.
Siangnya Bu Nunik datang untuk melihat keadaan Rahma sekaligus membawa sop singkong yang masih hangat. Namun perasaan Rahma masih sama buruknya, jangankan menyambut baik niat Bu Nunik, tersenyum saja tidak. Secara tidak sengaja Rahma menepiskan tangannya dan sop singkong yang dibawa Bu Nunik tumpah. Mangkoknya jatuh dan pecah.
Mengetahui kejadian itu menimpa ibunya, kedua anak perempuan Bu Nunik tidak terima. Elis mendatangi rumah Rahma dan memarahinya habis-habisan.
"Dasar enggak tahu diuntung! Kalau bukan karena kebaikan ibuku sejak lama kamu mungkin sudah mati membusuk dalam rumahmu. Mulai sekarang aku enggak akan biarkan ibuku datang lagi. Enak sekali ngasih makan orang yang enggak tahu diri seperti ka..."
Rahma balas memekik sehingga omelan-omelan Elis yang belum selesai terputus. Rahma juga mendorong Elis menjauh, kemudian membanting pintu rumahnya.
Kejadian itu, tidak seorang pun yang tidak tahu. Itu adalah hari rabu dan anak-anak sedang berada di sekolah untuk menuntut ilmu. Teriak-teriakan, juga suara gedoran pintu yang Elis lakukan tidak mungkin tidak terdengar sampai ke sekolah. Anak-anak yang bersekolah dalam usia di mana lingkungan adalah pembelajaran yang paling mudah diterima. Hari itu, mereka belajar mengenai bagaimana sikap dan cara orang-orang dewasa saat bertengkar.
***
"Ilmi, Ilmi!"
"Ya?" Ilmi yang terkejut melompat dari kursi yang didudukinya.
Suara yang memanggil-manggil nama Ilmi membuyarkan penggalan cerita kehidupan seorang yang sama sekali tidak dikenalnya. Yang sejak berjam-jam lalu tubuhnya telah membeku dingin, ditinggalkan sendiri dalam rumahnya. Darahnya telah berhenti mengalir dan jantungnya sudah tidak lagi berdetak. Kehidupan sudah bukan lagi sesuatu yang dimilikinya.
"Saya sudah mengetuk pintu berkali-kali." Imam muncul dari ruang depan. Ilmi duduk di kursi makan dengan kertas yang masih kosong dan pulpen di tangan kanannya. "Saya pikir terjadi sesuatu, makanya saya langsung masuk."
Ilmi mengangguk, tidak mempermasalahkan. Toh, Imam sudah pernah masuk tanpa izin sebelumnya.
"Oh iya, Pak Nasir menagih janji kita untuk memberi warga beberapa informasi mengenai korban yang meninggal." Imam menyampaikan maksud kedatangannya. Ia berbicara dengan canggung. "Kita harus bicarakan apa-apa yang mau diberitahu dan apa yang hanya kita yang tahu." Imam hendak pergi, tapi seperti lupa sesuatu, ia berbalik lagi. "Saya akan mengambil catatan saya. Saya akan segera kembali," katanya pamit.
Kedatangan Imam adalah pertanda bahwa kemarahannya sudah mereda. Tidak lama lagi Imam akan kembali seperti Imam yang biasanya. Walau merasa lega, Ilmi tetap menahan senyumnya.
***