Chereads / Antologi / Chapter 6 - Dua Belas Juni 04.

Chapter 6 - Dua Belas Juni 04.

Dua minggu telah berlalu. Kesedihanku kehilangan Mas Dian masih saja membebaniku. Kekecewaan, rindu yang kurasakan, semua bercampur aduk. Semua hal masih terasa seperti mimpi, begitu tiba-tiba. Sampai-sampai akal sehatku sendiri belum percaya.

Aku masih berharap yang telah terjadi hanya mimpi. Jadi aku hanya perlu bangun dan semuanya akan baik-baik saja. Tapi, sebanyak apa pun aku bangun, yang telah terjadi tetap tidak berubah. Tidak ada yang baik-baik saja.

Aku seperti terjebak dalam kegelapan lorong yang tak berujung. Tidak tahu arah, tidak tahu harus ke mana. Semuanya tidak masuk akal. Bahkan penjelasan-penjelasan yang aku inginkan pun tak kunjung aku dapatkan.

Aku ingin segera mengakhiri ini, mengangkat beban yang terasa begitu berat kupikul. Menghilangkan semuanya. Kesedihan, kekecewaan, dan rasa sakit hatiku.

Aku menghela nafas dan lagi-lagi air mataku meleleh. Masih saja aku tidak mampu membendungnya.

Beberapa hari yang lalu keluargaku datang ke rumah. Kakak laki-lakiku benar-benar murka mengetahui kelakuan Mas Dian. Kakakku ingin agar secepatnya aku mengurus perceraian kami.

Sungguh aku belum siap. Aku masih berharap, masih menunggu. Aku tahu aku bodoh, tapi aku juga tidak bisa menghilangkan sifat bodohku.

Jika pun akhirnya harus berpisah, aku ingin menenangkan diri. Harus mempersiapkan hati dan perasaanku. Mematangkan pikiranku. Dan murni karena keputusanku. Bukan amarah atau perkataan orang lain. Aku tidak ingin menyesal dan kecewa lebih dari ini.

Kakak perempuanku dengan kata-kata bijaknya berusaha menguatkanku. Ayah dan ibuku tentu saja sangat sedih. Sebagai seorang anak, membuat mereka bersedih juga membuatku terluka. Sudah sebesar ini dan aku masih saja merepotkan, membuat mereka kepikiran.

Kepergian Mas Dian yang tanpa penjelasan, rasa bersalah pada keluarga, juga komentar-komentar tetangga, membuatku depresi. Dengan semua beban pikiran dan dukaku, aku masih juga menghadapi perasaan-perasaan tidak jelas tentang kehadiran sesuatu. Sesuatu yang aku tidak tahu apa atau siapa.

Aku merasa aku telah gila. Aku sering melakukan percobaan dengan meletakkan gelas kaca berisi air.

Benar saja, saat aku mulai gelisah dan tenggelam oleh permasalahanku, perasaan aneh itu muncul, air dalam gelas pun mulai beriak. Semakin lama semakin terlihat jelas. Anehnya riak dalam gelas seketika itu kembali tenang saat orang lain datang.

Awalnya aku ketakutan. Saat mulai jengkel aku akan berteriak siapa dan apa yang diinginkannya dariku. Tapi tetap tidak pernah ada jawaban yang bisa aku dapatkan.

Perlahan aku mulai menerima perasaan aneh itu. Aku bahkan mulai terbiasa dan menginginkan kehadirannya saat aku tidak merasakannya. Aku mulai terperangkap dalam pemikiran gila yang sebenarnya aku bergidik sendiri saat memikirkannya. Tapi harus bagaimana, aku sendiri tidak berdaya.

Aku bisa apa? Aku tidak bisa menghindar dan tidak tahu cara menghilangkan kegilaan ini. Aku harus bercerita pada siapa? Tidak akan ada yang percaya. Tidak akan ada yang bisa mengerti.

Aku tidak akan membiarkan mereka memberiku tatapan aneh setelah tahu apa yang kurasakan. Tidak ingin dicap gila, meski aku sendiri telah berpikir bahwa aku tidak waras. Bagiku, bagaimana orang lain menilai lebih menakutkan dibanding perasaan aneh ini.

Aku memejamkan mataku, meratapi kesedihanku. Sebenarnya aku tidak ingin begini, tapi rasa sakitnya tidak mau hilang. Sesaknya tidak mau pergi.

Air mata sudah banyak terkuras, tiap malam pun aku selalu berdoa, memohon agar rasa sakit ini segera diangkat. Agar secepatnya aku bisa merelakan Mas Dian.

Tapi rasa sakitnya belum juga berkurang. Harapanku masih setinggi Himalaya.

Setiap malam masih berharap Mas Dian pulang, meski dengan mengendap-endap. Setiap pagi berharap dia pemandangan pertama yang kulihat ketika membuka mata. Setiap jalan yang kulewati berharap bisa menemukan sosoknya walau sekejap mata. Selalu. Setiap hari.

Ibu sering berpesan agar semua hal yang terjadi dapat aku ikhlaskan. Dengan begitu aku akan lebih tenang. Lebih mampu memulai hidup baru.

Tapi bagaimana aku bisa mengikhlaskannya kalau Mas Dian meninggalkanku tanpa penjelasan, begitu tiba-tiba. Bahkan di saat semuanya terasa begitu indah. Aku tidak memiliki alasan untuk berhenti berharap. Bahkan untuk membenci setelah apa yang dilakukannya padaku.

Aku masih memejamkan mataku saat aku merasakan ada sesuatu yang ingin menyentuhku. Terasa begitu nyata, dekat, dan semakin–

Refleks aku menghindar. Membuka mata dan mengamati sekelilingku. Bersikap defensif. Lagi-lagi tidak ada siapa pun.

Hening.

Aku kembali merasakan kehadiran sesuatu yang tidak dapat terdeteksi penglihatanku. Mataku menyapu setiap sudut ruangan, waspada, barangkali aku bisa menemukan 'sesuatu' itu kali ini.

Tetap tidak ada.

Rina datang. Suara motornya yang sudah sangat aku hafal memasuki pekarangan rumahku.

"Kamu masih belum siap-siap?" Rina bertanya setelah memperhatikan penampilanku yang masih berantakan.

"Aku enggak berniat pergi ke mana-mana," kataku malas.

Kemarin Rina memberiku undangan reuni SMA. Dari awal aku sudah mengatakan tidak ingin pergi. Rina saja yang terus memaksa dan bilang akan menjemputku meski aku sudah berkata tidak akan pergi.

"Pergi berkumpul dan menghibur diri akan membuatmu merasa lebih baik. Ayo, sekarang ganti bajumu!" kata Rina masih berusaha meyakinkanku. Rina mendorongku masuk ke kamar.

Meski malas, aku mengganti pakaianku juga. Semoga Rina benar. Setelah berkumpul dengan teman-teman lama aku bisa merasa lebih baik. Aku memperhatikan wajahku di cermin, mataku begitu sembab. Aku perlu waktu untuk memolesnya.

Aku memilih mengenakan pakaian berwarna cerah agar terlihat lebih segar, sekaligus menutupi kelamnya hidupku.

Setelah menghabiskan waktu 30 menit, kami siap berangkat.

×××××

"Rina! Wah, kelihatan cantik seperti biasa, ya."

"Iya dong, 'kan perawatannya mahal," balas Rina sembari tertawa.

Di tengah keramaian dan meriahnya acara, aku justru merasa kesepian. Aku memilih menyendiri sementara Rina sibuk menyapa teman-teman yang baru datang.

Beberapa teman yang dulu dekat denganku di kelas menyapaku. Kami bernostalgia dan membicarakan banyak hal. Meski aku menyahut dan tersenyum, namun aku sama sekali tidak menikmati pembicaraan kami. Pikiranku ke mana-mana. Aku lebih sering menghilang dan bermain dengan imajinasiku sendiri.

Kecerian yang dulu menjadi kelebihanku lenyap entah ke mana. Aku tidak nyaman berada di keramaian meski aku mengenal mereka semua. Aku tidak suka jika mereka mulai banyak bertanya. Aku tidak suka ketika mereka menilai warna lipstik atau model pakaianku. Aku tidak suka cara mereka membanding-bandingkan diriku yang dulu dan sekarang. Aku tidak suka.

Mereka masih saling membahas kesibukan masing-masing, sampai ada yang menanyakan tentang suamiku. Aku terkejut mendengar pertanyaan itu. Aku belum siap memberitahu semua orang mengenai rumah tanggaku. Aku takut.

Air mataku hampir tumpah kalau saja Rina tidak datang dan membantu memberi penjelasan pada teman-teman. Rina yang paling mengerti. Dia menjawab pertanyaan mengenai suamiku dengan candaan. Membuat tidak satu pun dari mereka bertanya lagi.

Aku sangat terbantu dan berterima kasih karenanya.

"Mina! Rina!"

Seorang teman memanggil kami saat acara telah selesai dan kami bersiap pulang.

"Aku sama anak-anak lain mau ke rumah sakit. Kalian mau ikut?"

Rina tidak langsung menjawab. Dia menoleh ke arahku untuk meminta pendapat.

Aku menggeleng pelan.

"Siapa yang sakit?" tanya Rina ingin tahu.

"Satria Yoga. Kalau enggak salah, sih, dulu dia di kelas XII IPA 2."

"XII IPA 3," kata teman yang datang bersamanya membenarkan.

Mendengar nama Satria Yoga aku dan Rina saling bertukar pandangan. Rina menatapku lagi untuk memastikan benarkah aku tidak ingin pergi. Aku hanya terdiam, masih terkejut dengan berita yang baru saja aku dengar.

Karena aku tidak juga menentukan pilihan, Rina mengambil keputusan untuk berangkat.

×××××

Sampai di rumah sakit, kami, rombongan ke dua yang kira-kira berjumlah 10 orang –aku tidak terlalu memperhatikan– langsung menuju lantai 2, ruang Bogenvil.

Seorang ibu-ibu tinggi, kurus, dan memakai kacamata bersama seorang gadis muda yang kira-kira seusia kami, menemani Satria. Keduanya menyambut kedatangan kami dengan ramah. Ibu Satria menceritakan kecelakaan yang menimpa anaknya 2 minggu yang lalu dengan perasaan teriris.

Kecelakaan mobil itulah yang mengakibatkan Satria koma hingga saat ini.

Mendengar cerita ibu Satria membuatku tersadar akan satu hal. Kecelakan hari itu, di depan rumah sakit tempatku memeriksakan diri, aku melihatnya.

Dadaku tiba-tiba sesak.

Aku permisi ke luar. Aku perlu udara segar untuk membuatku merasa lebih baik.

Aku kembali mengurutkan kejadian-kejadian yang aku alami selama ini. Semuanya dimulai pada hari itu. Tepat pada tanggal 12 Juni.

"Mina, kamu baik-baik saja?" Rina yang khawatir menyusulku ke luar. "Wajahmu pucat sekali. Kamu mau pulang?"

Aku menggeleng dan tidak menatap balik Rina. Rina menjadi semakin khawatir.

"Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan," kataku ragu.

Rina diam, menunggu kalimatku selanjutnya. Aku memberanikan diri menatap mata Rina, sebelum melanjutkan kalimatku.

"Rina ingat kecelakan depan rumah sakit 2 minggu lalu? Sebelum Rina menarikku masuk dan bertemu…" aku menahan kalimatku "Itu Satria. Kecelakan mobil itu Satria."

"Iya, aku tahu. Tadi ibu Satria juga sudah cerita," Rina menaggapi.

"Tapi ada banyak hal yang terjadi setelah itu. Aku… aku seperti bisa merasakan keberadaan sesuatu. Sesuatu itu datang, sesuatu yang aku enggak pernah tahu apa maunya..."

"Mina, Mina! Kamu ini omong apa? Apa maksudnya?" Rina memotong kalimatku.

Aku merasa marah ketika Rina tidak mengerti dengan apa yang aku katakan. Aku merasa sebenarnya Rina mengerti, dia hanya berpura-pura karena tidak percaya dengan yang aku katakan.

"Satria! Dia selalu datang! Awalnya aku enggak tahu kalau itu dia. Dia memberiku beberapa petunjuk dan aku tetap enggak mengerti, sampai hari ini. Sampai ketika ibu Satria cerita tentang kecelakaan yang menimpa anaknya."

Aku berhenti bercerita karena melihat reaksi Rina. Rina menggeleng. Tatapan matanya dipenuhi rasa kasihan terhadapku.

"Itu benar-benar terjadi!!" aku memekik.

Kali ini aku benar-benar marah. Mina, satu-satunya orang yang bisa kuandalkan tidak lagi mempercayaiku.

"Awalnya aku juga enggak percaya. Aku tersiksa, merasa takut enggak tahu pada apa. Enggak tahu pada siapa harus bercerita. Aku tahu ini konyol, tapi aku alami sendiri. Aku nyaris gila…"

Aku menangis.

Teman-teman yang tadinya berada di ruang rawat keluar karena mendengar suaraku yang berteriak. Mereka semua melihat ke arahku dengan rasa penasaran dan tidak mengerti.

Air mataku semakin deras mengalir. Membayangkan bagaimana jika mereka semua berpikir bahwa aku gila. Aku takut. Aku tidak ingin.

"Maaf, kami harus pulang duluan," kata Rina pamit. Dia menarikku.

Aku menghapus air mataku dan melangkah pulang bersama Rina. Walau sudah berjalan cukup jauh, aku masih merasa semua orang memandangi kepergian kami. Masih bertanya-tanya.

Selama dalam perjalanan pulang, aku dan Rina hanya terlibat diam. Aku tidak ingin memulai lebih dulu karena masih marah. Lagi pula Rina tidak percaya padaku, jadi apa pun yang akan aku katakan dia tetap tidak akan percaya.

Motor Rina memasuki pekarangan rumahku. Rina mematikan mesin dan aku turun. Aku tidak mempedulikan Rina dan berjalan terus meninggalkannya.

"Mina!"

"Aku sangat menderita memendam ini sendiri. Merasakan apa yang enggak terlihat itu memang gila. Aku coba untuk enggak memikirkannya tapi enggak bisa. Aku benar-benar merasa sendirian karena aku tahu enggak akan ada orang yang percaya kalau aku menceritakan ini. Menerima kenyataan mereka akan menganggapku gila itu sangat menakutkan." Aku menjelaskan perasaanku meski Rina tidak meminta.

Aku tidak melihat bagaimana reaksi Rina mendengar kata-kataku. Aku menebak pasti sangat mengerikan baginya yang tidak berada di posisiku, mendengar cerita gilaku.

Aku melanjutkan, "Sama sepertimu saat ini. Akhirnya aku merasa kesepian dan kehadirannya mulai bisa kuterima. Aku kembali merasa memiliki seseorang yang bisa mengerti aku."

Aku tidak tahu kapan Rina mendekat, tahu-tahu dia sudah berada di belakangku dan mengelus punggungku. Padahal aku pikir Rina akan pergi dan memutuskan hubungan denganku. Aku pikir dia tidak bisa menerimaku. Aku pikir dia menggangapku jijik dan gila.

"Aku di sini dan aku sahabatmu," kata Rina membuatku tersentuh. "Maafkan aku karena kamu merasa kesepian. Aku enggak pernah berpikir seperti itu. Aku menyayangimu, sebagai teman dan… saudara. Aku tahu semua ini berat untukmu. Tapi menciptakan duniamu sendiri itu enggak benar."

Apa?!

Aku berhenti merasa tersentuh, berdiri menjaga jarak. Ternyata Rina masih tidak percaya. Masih menganggapku tidak waras. Anggapanku dari awal memang benar. Tidak akan ada yang bisa mengerti. Meski aku menangis darah sekali pun, berusaha sekeras apa pun, tetap tidak akan ada yang percaya.

"Mungkin aku yang salah atau kamu yang benar, tapi coba pikirkan ini dengan kepala dingin."

Rina berkata dengan lembut. Membuatku yang meski masih marah tetap tidak dapat menolak.

"Pikiranmu yang tidak tenang adalah sumber semuanya. Pikiran dan hatimu yang bimbang memungkinkan untukmu menciptakan ruang untuk membangkitkan sosok yang enggak satu pun orang bisa kenali, bahkan kamu sendiri. Kemudian kamu berpikir kamu bisa merasakannya, setiap hari. Kamu menipu dirimu sendiri, kamu memanipulasi otakmu dengan memaksakan hal yang enggak ada seolah-olah ada. Sampai semua terasa nyata. Karena telah tertanam bahwa semua itu nyata, jadi hal-hal kecil kamu hubung-hubungkan demi mendapat pembenaran. Agar semuanya saling terkait."

Aku terdiam, merenung meski tidak ingin. Ketika aku menatapnya, Rina mengangguk sembari tersenyum.

"Setan memiliki 1001 cara untuk menjerumuskan anak-cucu Adam," Rina berkata lagi, mengingatkanku.

Aku mereda. Amarahku, kesedihanku, dan semuanya. Kini aku bahkan tak mampu lagi berkata-kata.

×××××