Matahari telah kembali ke dermaganya kira-kira satu setengah jam yang lalu. Petang semakin gelap. Tidak terlihat gemerlap bintang. Rembulan juga tidak kunjung tampak untuk menyapa Bumi. Angin menggulung bersama ombak. Dingin. Begitu dingin meski siang tadi Bumi terpanggang panas. Pasir kekuningan tersebar di sepanjang bibir pantai.
Di sana, jarak 25 meter dari tempatku berdiri, seorang pria sedang menyendiri. Di atas kursi rodanya. Tepat selepas magrib usai. Usianya 26 tahun, berparas tampan, kulit sawo matang, sebelah lesung pipinya akan muncul saat tersenyum. Kiri. Manis. Tinggi 178 cm, berat 69 kg. Ilyas Zeroun. Salah satu dari banyak penyendang disabilitas yang menghuni planet biru ini.
Aku mendekat. Perlahan. Langkahku pendek-pendek namun beraturan. Pria itu selalu bisa membuatku meluluh kagum.
Meski sering berada di sekitar pria itu, aku sama sekali tidak mengerti bagaimana ia melihat dunia. Selalu tersenyum meski nestapanya berjejalan. Tetap tertawa lepas meski dunianya esok akan runtuh. Hangat meski tadir beku legam memeluknya erat, tidak membiarkannya bernafas panjang walau sesaat.
Sebulan lalu dokter memvonisnya menderita kanker, sadium 3. Penyandang disabilitas, penderita kanker. Apa yang lebih buruk dari itu?
Tidakkah takdir terlalu durjana memperlakukannya. Kenapa tidak melemparkan kutukan mengerikan itu pada manusia-manusia serakah nan laknat yang begitu banyak bertebaran di luar sana. Atau manusia tidak tahu diri penebar petaka. Ada begitu banyak pilihan, lantas, kenapa harus dijatuhkan pada Ilyas. Kehidupannya sudah dibangun dari begitu banyak kepayahan.
Aku telah berada satu langkah di belakang Ilyas. Keberadaanku yang sedekat ini, sepertinya belum juga dia sadari. Tatapannya masih terlepar sejauh pantai membentang. Datar. Tidak ada ekpresi yang mampu kubaca. Seperti hanya raga yang kudapati di tepi pantai ini. Ke mana mengelananya jiwa yang telah remuk redam itu, aku tidak mampu menjamahnya. Dia begitu jauh dan menderita seorang diri. Lukanya tanpa darah. Dalam. Ringkih.
"Kenapa... kenapa Tuhanmu begitu jahat?"
Ingatanku ikut mengelana. Aku bergegas menemuinya ketika kabar kanker yang menggerogoti Ilyas sudah sedemikian kronis. Aku menemuinya yang tengah berada di lobi rumah sakit seorang diri.
"Kenapa tidak marah? Setidaknya marah walau hanya sekali. Serapahi dunia. Bukankah manusia seharusnya melakukan hal seperti itu saat diperlakukan tidak adil!" Aku memakinya.
Ilyas tidak langsung menjawab. Selang beberapa detik, dia tertawa singkat. Mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu, tapi aku justru menyelanya.
"Jangan hanya memendamnya sendiri. Selalu berpura-pura menerima semuanya bukankah melelahkan? Harus terlihat kuat itu menyesakkan, iya, 'kan? Iya, 'kan?" Aku memaksakan pendapatku.
Ilyas menatapku dengan tatapan yang tidak kumengerti. "...Suatu saat... kamu akan mengerti?" katanya kemudian tersenyum.
"Kapan?!" desakku menuntut. Suaraku tercekat. Melihatnya tersenyum justru jauh lebih menyesakkan. Aku merasa sakit.
Menangis, marah, berteriak, atau berubah keras kepala. Seharusnya seperti itu. Setidaknya aku tahu bahwa Ilyas adalah manusia jika melakukannya. Apa hatinya sudah begitu bebal. Aku saja meradang. Langit Bumi kuserapahi, Tuhan kuumpati, takdir kulaknat, tapi dia…
"Entahlah," Ilyas mengangkat kedua bahunya "Karena aku sendiri masih menunggu. Aku tidak tahu jawabannya. Kenapa ada begitu banyak luka yang ditancapkan ke jantungku."
Itulah pertama kalinya aku mendengar Ilyas mempertanyakan keadaannya. Aku melihat bibirnya bergetar. Matanya diserang selusin duka. Nanar. Dadanya pasti dipenuhi gemuruh lara, sedih, sendu, sesak, terkulum. Bersenandung pilu. Meski aku berharap ada air yang jatuh, tetap nihil.
Aku menangis untuknya. Aku merasa sakit, marah, dan benci untuknya. Untuk hatinya yang begitu lapang menerima takdirnya yang begitu keji.
Merapah, lebih jauh lagi. Benakku menjelajah kembali ke masa lalu.
Kala itu pagi buta. Fajar bahkan belum merapat. Balita satu tahun di tinggalkan begitu saja oleh ibunya di depan pintu panti. Dengan kakinya telah mati fungsi.
Entah apa yang salah. Sang ibu mungkin memiliki lukanya sendiri. Atau sembilu tajam yang membuat kuasanya tanpa daya. Seribu kata bisa menyeruak sebagai kilah, tapi ibu tetaplah ibu. Seharusnya bisa menjadi malaikat tanpa sayap si buah hati. Bukankah kasih ibu sekuat batu karang, seluas sawang langit.
Entahlah. Mungkin karena cela pada si anak atau mungkin murni himpitan hidup.
Di usianya yang kesebelas tahun, Ilyas mendapati kenyataan bahwa dirinya memang sengaja di tinggalkan di depan panti karena keadaan. Karena krisis ekonomi melanda, menghimpit penopang hidup. Karena tiada pilihan yang bisa di seleksi.
Ketika itu musim hujan. Langit memang tidak sedang memuntahkan rahmatnya, namun angkasa gelap. Seolah badai besar sedang bersiap meluluh lantahkan peradaban.
Ilyas berusaha mengerti. Memahami bagaimana orang dewasa berpikir. Mencoba menunggu. Meyakini apa yang ia percayai. Meski seperti itu, tidak pernah ada yang berubah. Kehidupan sang ibu telah membaik 50 gradasi, tapi Ilyas tetap ditelantarkan. Kepercayaan dikhianati, harapan dipatahkan, hingga bundel-bundel luka yang tersisa. Jengah.
"Sakit adalah jika kamu merasa sakit. Tapi jika tidak, mereka akan berpikir kamu berbohong dan terlalu memaksakan diri sendiri." Suara Ilyas membuatku kembali pada titik di mana aku berada.
"Merasa atau tidak, nyatanya Kakak memang sedang sakit," aku menanggapi. "Sakit itu bukan tentang perasaan, tapi keadaan tubuh," tambahku mendikte.
Ilyas tergelak. "Tapi kapan lagi aku bisa menikmati masa-masa kebebasanku. Setiap hari terkurung di rumah sakit, minum obat, terapi, tidur. Dan itu semakin menyebalkan mendengar omelan-omelan dokter dan para perawat. Cepat atau lambat aku akan mati. Dengan atau tanpa operasi. Tidak mengizinkanku menikmati masa-masa terakhirku dengan menyenangkan, kupastikan kalian akan menyesal nanti," Ilyas bersungut-sungut, seperti anak kecil yang sedang membangkang.
"Kak!" Aku berdiri di depan Ilyas, mengacuhkan ceritanya. Aku berjongkok untuk menyejajarinya. "Ayo, kita menikah!" kataku bersungguh-sungguh.
Ada jeda selama beberapa saat sebelum Ilyas tergelak lagi. Aku menatap pria yang kupanggil kakak, dalam. Berusaha menembus sampai ke hatinya.
Aku sudah lama menganggapnya seorang pria dibanding sekadar kakak. Aku tidak tahu kapan perasaan itu menyelinap ke dalam jiwaku. Sejak kapan aku mulai berdebar. Romanku tersipu berseri. Bersemangat untuk esok agar cepat kembali. Menganggapnya lebih penting dari semua waktuku. Menjadikannya prioritas.
Yang jelas, aku sudah cukup lama menahan diri. Berdiam dan hanya mendukungnya dari tempat yang begitu dekat tapi ia tetap tidak tahu. Berharap rasaku memudar. Hatiku tidak lagi memanggil namanya. Semua berlalu jika bukan ia yang dipilih takdir untukku.
Tapi, semakin aku menggelak, semakin gemuruh itu berdebat sengit. Mungkin aku terlalu sesumbar, congkak dengan aroganku. Semakin aku sadari, semakin dalam aku dibuatnya tenggelam. Merobohkan sendiri benteng pertahanan yang susah payah kubangun.
"Apa aku terlihat begitu menyedihkan?" Ilyas akhirnya menanggapi.
"Kak!" Sungguh aku tidak bermaksud seperti itu.
"Aku tahu. Itu karena aku pantang menyerah, kuat, dan selama ini bisa melewati banyak keadaan. Itu membuatku terlihat keren dan kamu pun tersentuh. Tapi..."
"Tapi?" Aku menunggu.
"Tapi aku tidak bisa menikah dengan anak kecil."
"Anak kecil?!" Aku meradang tidak terima. "Aku sudah punya KTP!"
"KTP bukan syarat untuk tidak lagi disebut anak kecil."
"Lalu?"
"Harus menyelesaikan sekolah dan menjadi dewasa."
"Menyelesaikan sekolah bisa sembari berjalan. Dewasa itu relatif."
"Tetap saja tidak bisa."
"Kenapa?!" Suaraku lebih menuntut.
"Apa kata dunia nanti. Orang sekeren Ilyas Zeroun menikah dengan anak di bawah umur." Ilyas tertawa.
"Anak di bawah umur! Aku sudah punya KTP!!"
Seperti itulah. Ilyas menganggap lamaran yang sudah dengan ketegasan hati kuutarakan, sebagai angin lalu. Hanya ucapan dari seorang anak kecil yang masih labil.
Ilyas bahkan meninggalku dan berlalu seorang diri. Hah…
Tapi aku suka mendengar suara tawanya. Aku suka ketika kami berdebat karena masalah sepele. Aku suka dia menggodaku dengan mengataiku anak kecil. Aku bahkan suka dia menolakku, karena dengan begitu dia bisa tersenyum, dia tertawa.
Aku benar-benar menyukainya.
Aku pikir awalnya ia akan menyebutkan agama sebagai alasan penolakanku. Ia seorang muslim yang taat dan sudah menjadi banyak tragedi dalam kisah percintaan beda agama.
Aku Melisa, 17 tahun. Tinggi 156 cm, berat 47 kg. Pelajar di Sekolah Menengah Atas, dan non-muslim.
Aku menjalani hidupku dengan nyaman, berbanding terbalik dengan Ilyas. Keluarga hangat dengan Ayah, ibu, dan kakak laki-laki yang sangat menyayangiku. Perekonomian stabil, sekolah elit, dan 100 persen anggota dan kondisi tubuh yang masih berfungsi sebagaimana mestinya. Aku bersemangat, ceria, antusias, walau terkadang sedikit serampangan. Aku cantik, pintar, dengan pemikiran terbuka.
Aku hidup di era di mana anak perempuan bisa menjadi begitu rentan. Mudah jatuh dan terjerembap dalam arus yang menyesatkan. Tapi aku mampu memegang kendali seutuhnya dalam hidupku. Aku mampu mengembalikan kepercayaan yang diberikan padaku dengan segudang prestasi. Aku bisa membuktikan diriku.
Pertama kali mengenal Ilyas, ketika itu usiaku 13 tahun. Sekolah mengadakan bakti sosial ke panti tempat Ilyas tinggal. Ilyas dengan segala kekurangannya justru ikut membantu kami mempersiapkan berbagai keperluan. Menurunkan makanan dan lain-lain. Sifatnya yang supel membuatnya mudah dekat dan akrab dengan siapa saja.
Melihat Ilyas yang begitu bersemangat dan ceria, entah kenapa mataku selalu kembali tertuju ke arahnya. Ia sering menceritakan lelucon kepada adik-adik panti, membuat mereka tertawa, juga menemani mereka bermain. Kepribadiannya sungguh membuat kagum. Aku meluluh.
Setelah hari itu aku menjadi relawan tetap di panti. Aku mencari tahu semua hal tentangnya. Apa yang dia suka, apa yang dia benci. Apa yang membuatnya bersemangat, juga alasan keberadaannya.
Mencari tahu lebih tentang Ilyas membuatku selalu lebih ingin tahu. Aku beberapa kali bahkan pernah menjadi penguntit dan selalu ketahuan olehnya.
Berada dekat dengan Ilyas membuatku menyadari banyak hal, mensyukuri banyak hal, dan menghargai hidup.
*****
Tanggal satu di bulan keenam. Kabar duka menyiratkan kesedihan yang mendalam. Menyelimuti keluarga besar panti beserta rekan.
Derai air mata, ratapan pilu, semua memang menjadi bagian yang harus dilalui. Memekik berulang kali, terisak hingga oase jengah pun, takdir tidak akan meluluh. Waktu tidak akan kembali. Yang pergi telah pergi, yang tinggal hanya kenangan.
Isak tangis, gelak tawa, tutur bijak, polah bersahaja yang bersisa, sesekali di suatu hari yang panjang akan berasa nyata. Semua kebiasaan dan raganya seolah masih hidup. Ketika mata terbuka, hanya fatamorgana. Hanya relik-relik ketidakikhlasan yang masih beriak. Meninggalkan jejaknya jauh di lubuk terdalam.
Takdir telah mengalahkannya. Mematahkan ambisi dan cita-cita hidup yang tinggi. Setelah lelah, terlunta, peluh yang diperas untuk bumi pun menjadi sia. Ketegaran, kesabaran, malaikat yang disebut-sebut memiliki beribu kebajiksanaan tidak goyah, maut pun tidak karam. Inilah akhir bagi pejuang tanpa mengenal keluh.
Aku menghela nafas panjang. Titik-titik kesedihanku tumpah. Lagi. Akhir yang manis tidak selalu terlihat. Meski kau setulus malaikat, seberkilau mutiara, atau seputih salju.
Akhir mengharukan dari cerita-cerita menggugah penuh inspirasi pun hanya dimiliki segelintir orang yang beruntung. Tidak tahu kaidah yang bagaimana yang digunakan mereka bisa terpilih. Sebagian dari miliyaran manusia seantero. Tuhan yang mengundi, manusia apa daya.
Tanya menyeruak. Semakin padat berkelebat. Benakku merancau. Tentang keadilan yang kuperdebatkan. Bagaimana Tuhan memperlakukan hamba-Nya yang saleh. Aku sungguh ingin tahu jawabnya.
Dadaku sesak. Aku mempertanyakan, menuntut. Kenapa harus Ilyas-ku, pria dengan kelapangan hati seluas samudra yang direngut. Benarkah hanya sesuatu bernama surga yang akhirnya menjadi jawaban. Balasan dari perjalanan panjang tanpa asa yang Tuhan berikan padanya.
*****
Akhir-akhir ini stasiun televisi marak menyiarkan tontonan–tontonan inspiratif. Saling berlomba, berburu mahkluk paling menyedihkan, paling tegar, kuat, berkeras hati, bersikukuh untuk tidak dipecundangi oleh keadaan. Bergerak dinamis melampui kemampuannya. Yang masih bisa terpingkal, dan jemawa pada titik nadir kehidupan.
Tidak memiliki simpanan dana yang memadai membuat panti lambat melakukan penanganan terhadap Ilyas. Hal itu tidak lantas membuat semuanya terpuruk pasrah. Orang lain memiliki itu. Hanya perlu menggerakkan hati mereka. Membuat tersentuh agar mereka mau menengok ke bawah sesekali. Bukankah setiap manusia saling berkaitan satu lainnya. Bukankah kelebihan harta bendanya menjadi alasan untuk berbagi.
Ilyas sebenarnya benci deritanya mesti diumbar. Membuat orang lain menatap sedih penuh iba padanya. Tapi keadaan tidak berkompromi. Keputusan telah diambil sebelum ia bulat pada kemantapannya.
Toh yang ditampilkan tidak semata-mata memamerkan kesedihan. Orang lain juga perlu diingatkan tentang betapa beruntungnya mereka dibanding sepersekian dari penghuni bumi yang lain. Betapa mereka harus lebih bersyukur. Betapa mereka seharusnya malu mengakrabi malas, dan hanya menadahkan tangan.
Ketenaran Ilyas pun dimulai setelah ia menjadi tamu dalam sebuah talk show. Ilyas yang begitu lugas membawa diri, membuat banyak orang yang menyaksikan tersentuh.
Setelah dana terkumpul, operasi dilakukan. Peluang hidup memang kecil, tapi tidak pernah sekalipun peluang Ilyas tak acuhkan.
Sebelum masuk ruang operasi aku di sana. Wajahnya yang pucat terlihat penuh kelegaan. Senyumnya tersungging lebar untuk terakhir kalinya. Saat itu, aku merasa pertanda baik akhirnya datang.
Tapi itu tidak benar…
Hari ini stasiun televisi yang pertama kali menampilkan Ilyas, mengundang lagi orang-orang terdekatnya.
Memoar si Zeroun.
Kupikir ketenarannya sudah setingkat artis papan atas. Meski telah tiada, meski Negeri ini begitu singkat mengenalnya, ia dikenang.
"Kakak pikir aku enggak tahu isi pikiran Kakak!"
Suara sinis terdengar begitu jelas, tertangkap telingaku. Aku baru beranjak menuju ke belakang stage untuk mengambil ponsel di dalam tas, tanpa tahu, ibu pemilik panti dan adiknya juga berada di sana.
"Setiap malam Kakak tahu Ilyas memegangi kepalanya, kesakitan. Kakak tak acuh, berpura-pura baik dengan memberi pijatan. Setiap malam seperti itu. Kondisi Ilyas yang menurun, wajahnya yang pucat, enggak mungkin Kakak enggak curiga. Kakak hanya membiarkan Ilyas menangis kesakitan seorang diri. Dana darurat panti memang enggak seberapa. Tapi aku tahu Kakak punya simpanan. Memilih antara Ilyas yang sedang menderita atau anak sendiri yang akan masuk perguruan tinggi. Kakak akhirnya mengabaikannya. Tak acuh dengan nurani Kakak!"
"Semua yang kamu bicarakan, aku sama sekali enggak ngerti!" Ibu pemilik panti menyangkal.
"Ibu tunggal yang berjuang keras untuk panti. Semua orang pasti menaruh kagum yang luar biasa ke Kakak. Tapi aku, satu-satunya orang yang tahu kegelapan hati Kakak." Wanita itu tersenyum sinis. Ia merasa menang, seolah telah memegang kartu AS.
"Siap-siap, sisa lima menit lagi!" Seorang kru televisi berseru mengingatkan.
Aku bergegas kembali ke tempatku, tidak ingin keberadaanku yang menguping diketahui ibu panti atau pun adiknya. Aku duduk di podium penonton. Semenit kemudian, keduanya keluar dan bergabung di stage.
Setelah jeda pariwara berakhir, siaran kembali berlangsung. Sisa pertanyaan kembali diajukan. Kalimat menggugah dan masuk akal dilempar sebagai jawaban. Semua terlihat sinergis. Seperti yang semua orang inginkan dalam pikiran mereka.
Akhirnya aku mengerti. Keadilan yang tidak akan mampu tersentuh tangan manusia. Akal yang tak mampu menembus kuasa-Nya. Ilyas terlalu tulus untuk dunia serakah durjana dan penuh tipu muslihat ini. Tuhannya melindunginya secara langsung. Mengangkatnya dari dunia fana. Memberinya keabadian yang damai.
= Selesai =
«(20150609)»