∽ Prolog ∽
Seorang anak perempuan yang kira-kira berusia dua setengah tahun berlari dengan lincahnya. Tidak beberapa lama kemudian ia terjatuh. Aku mendekatinya dan membantunya kembali berdiri. Anak itu tidak menangis meski jelas ia menahan sakit saat lututnya membentur papan.
"Enggak apa-apa. Enggak sakit, kok," kataku menghibur. Ekspresinya yang tidak ingin menangis terlihat menggemaskan.
Aku masih memperhatikan anak perempuan itu lekat sembari membersihkan gaunnya yang dipenuhi debu. Langkahnya yang belum seimbang, sandal kebesaran yang dikenakan, undakan yang tidak rata pada papan adalah penyebab anak perempuan itu terjatuh. Satu lagi, orang tua yang sibuk berbincang dengan para tetangga, yang tidak sadar anaknya pergi dari pegangannya juga ikut bertanggungjawab secara tidak langsung.
Sebenarnya, saat seseorang telah meninggal ia akan meninggalkan perasaan terakhirnya pada atmosfer di sekitarnya. Perasaan-perasaan negatif itu biasanya berupa penyesalan, kemurkaan, atau perasaan tidak terima terhadap orang-orang yang paling dipersalahkan secara pribadi atas apa yang menimpanya. Aku menyebutnya dengan istilah lain.
Selain makanan, kehidupan juga memiliki rantainya tersendiri. Rantai untuk setiap kejadian. Ada sebab-sebab yang terangkai sebelum menjadi akibat. Rantai secara keseluruhan disebut dengan kata sebab. Sebab adalah sebuah kesatuan, tapi jika diburai, akan ada benang-benang berujung yang dapat dirangkai.
Saat sesuatu telah terjadi, tidak pernah hanya satu penyebabnya. Perjalanan sebelum dan sampai akhirnya sesuatu terjadi itulah yang kusebut dengan rantai. Yang secara pribadi kunamai rantai penyebab. Itu pendapat pribadiku. Siapa pun bisa membantah atau menyelanya, aku tidak peduli.
Aku tidak bilang aku lebih tahu, karena sepenuhnya segala sesuatu yang terjadi adalah takdir yang berarti adalah rahasia. Dan aku tidak bilang semua rantai bisa diburai, karena manusia memiliki batas-batasan yang bisa dimengerti oleh akal sehatnya. Ada sesuatu yang bisa dimengerti, ada yang tidak sama sekali. Ada yang bisa dilihat dan ada yang kasatmata.
Aku beri contoh.
Ada beberapa orang yang sedang berdiri di pinggir jalan untuk menyeberang. Seorang pria tengah baya yang sedang menelepon dengan tangan kirinya membawa gulungan koran yang dipukul-pukulkan ke kakinya. Seorang gadis yang baru lulus bertas selempang, telinganya disumbat headset sementara tatapan matanya berkali-kali berpindah dari novel ke jalan yang masih lalu lalang dilalui kendaraan. Dan seorang ibu yang kepayahan membawa banyak belanjaan di tangan kanannya sementara ia juga menggandeng anak dengan tangan kirinya. Di baris belakang berdiri dua orang perempuan lagi. Satu anak sekolah dan satu lagi wanita umur dua puluh tahunan yang sibuk memikirkan masalah hidupnya.
Tidak lama kemudian datang seorang anak laki-laki berusia 3 tahun dengan mengenakan baju dan celana berwarna merah. Anak laki-laki itu berdiri di antara pria tengah baya yang sedang menelepon dan gadis yang mengenakan tas selempang.
Ketika jalanan sempat melegang sepi, pria tengah baya mulai menyeberang dengan setengah berlari, diikuti gadis bertas selempang. Melihat kedua orang di kanan-kirinya berlari menyeberang, anak laki-laki itu juga beranjak dari tempatnya, menyusul kedua orang yang sudah ada di depannya.
Nahas refleksnya masih lambat dan sebelum sadar, sebuah truk telah menghampaskan tubuh kecilnya. Jasadnya terpental cukup jauh. Darah segar mengalir tanpa henti dari luka terbuka di kepalanya, dan luka lecet di sekujur tubuhnya, bercampur menjadi satu dengan air hujan yang genangannya masih membasahi jalan. Aroma darah bergabung menjadi satu dengan udara lembap pagi itu.
Apa yang terjadi adalah takdir. Tapi jika ingin memburainya, maka si sopir truk adalah orang pertama yang disebutkan setelah kecerobohan anak itu sendiri. Semua orang bisa melihatnya sebagai penyebab utama kecelakaan terjadi. Pria tengah baya dan gadis bertas selempang tidak masuk dalam hitungan karena sejak awal mereka tidak tahu ada anak kecil yang berdiri di antara mereka dan ikut menyebrang. Orang yang tidak tahu, tidak dikenai hukum.
Di rantai kedua adalah gadis pelajar yang berdiri di baris kedua. Meski tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi dia tahu sangat berbahaya bagi seorang anak menyeberang sendiri. Apalagi jika dua orang di sisi anak itu tidak menyadari keberadaannya. Sebelumnya hatinya sudah memberi isyarat, tapi dia terlalu angkuh dengan sikap tak acuhnya.
Jika harus diburai lebih jauh lagi maka ibu si anak juga masuk sebagai rantai penyebabnya. Ibu yang hanya sibuk dengan pekerjaannya sendiri, yang tidak terlalu mengindahkan keinginan anaknya saat merengek meminta jajan.
Rangkaian sampai akhirnya peristiwa itu bisa terjadi kusebut sebagai rantai. Untuk kasus-kasus lain, tentu pilihan seseorang ada di tangan orang itu sendiri. Karena siapa yang menabur, maka dia yang menuai. Namun tetap akan selalu ada sumbu yang tertuju pada orang lain sebagai pemicu. Pupuk, air, dan cuaca juga menjadi faktor terpenting untuk mendapatkan hasil seperti apa yang akan dituai seseorang.
Ada contoh lain, seorang adik yang membenci kakaknya yang menyebalkan. Mereka terlibat percekcokan hebat. Si adik menumpahkan sumpah serapah yang kejam. Beberapa hari kemudian sang kakak meninggal dengan kondisi yang mengerikan.
Pertanyaannya, seperti apa peran si adik dalam rantai?
Jika hal seperti itu bisa disebut penyebab, entah sebanyak apa orang lain terlibat secara tidak langsung dalam kesialan seseorang atau petaka yang menimpa lainnya. Tapi sekali lagi, seseorang memegang pilihannya sendiri untuk hidupnya.
"Ilmi, kapalnya sudah siap!" seru Mio dengan suara cemprengnya yang khas.
***
Kamila Ilmi, aku mencintai wanita itu, masih mencintanya, dan akan selalu mencintainya. Aku yakin dengan perasaanku. Meski aku bukan sang penentu takdir. Bagiku, selama aku yakin itu sudah cukup.
Wanita itu istriku, setidaknya itu yang masih aku yakini meski ia selalu menolakku. Sungguh, dia istriku. Aku bukan seorang pengidap delusi karena terobsesi padanya. Jika masih tidak percaya akan kutunjukkan surat nikahku. Tapi nanti, karena aku tidak membawanya sekarang.
Pernikahan kami sebelumnya baik-baik saja. Setelah dikaruniai putra laki-laki yang sehat untuk keluarga kecil kami, kami seperti menjadi pasangan paling berbahagia di seluruh galaksi. Anak laki-laki lucu yang akan menjadi setampan aku dan sepandai ibunya. Mereka berdua adalah penyempurna hidupku. Sebagai seorang pria apa lagi yang kubutuhkan. Terlebih aku bukan pria macam-macam yang suka menuntut banyak hal. Aku bahagia dengan hidupku, dengan istri dan anakku.
Semuanya berjalan baik-baik saja, sampai anak kami berusia 3 tahun. Sampai sebuah kecelakaan memisahkan kami untuk selama-lamanya.
Kehilangan anak membuat kebahagian dalam pernikahan kami juga menghilang. Jarak di antara kami menjadi semakin terlihat jelas. Bukan aku yang berubah, tapi Ilmi-ku yang menjauh. Aku tidak pernah menyalahkannya sekalipun atas meninggalnya anak kami, dia yang menyalahkan dirinya sendiri. Tenggelam begitu jauh dalam kesedihannya.
Hanya karena dia bisa melihat apa yang tidak kulihat, tahu apa yang tidak aku mengerti, dia terus menyalahkan dirinya. Menyerapahi dirinya dengan kata-kata sial.
Jika dia begitu menderita kehilangan anak, bukankah sama denganku yang seorang ayah. Aku juga sedih, aku juga merasa kehilangan. Aku pernah mendebatnya dengan kalimat itu dan jawaban yang kudengar darinya adalah permintaan cerai.
Sebagai seorang pria yang sebelumnya sangat berbahagia, duniaku runtuh seketika. Bukan hanya kehilangan anak, aku pun akan segera kehilangan pernikahanku.
Mendapat serangan bertubi-tubi aku merasa mulai lelah. Wanitaku itu telah berubah. Ia menjadi terlalu jauh untuk bisa kembali kurengkuh. Haruskah ini berakhir dengan aku melepaskannya?
Tapi tidak! Sebagian dari diriku yang lain menolak keras ide gila itu. Aku tidak akan menemukan wanita lain lagi sehebat dia di luar sana. Tidak akan ada lagi wanita seperti dia untukku.
Akhirnya, ketika aku merenung sekali lagi, aku menyadari sesuatu. Mungkin bukan wanitaku itu yang berubah, bukan dia tidak bisa kembali kurengkuh. Sejak awal cintaku tidak pernah sedalam kesedihannya.
Aku tidak peduli kalau kesedihannya lebih besar dari cintanya padaku. Karena sebagai seorang pria sejati aku ingin selalu menjadi yang lebih banyak memberi. Tapi, begitu mengetahui bahwa cinta yang kuagung-agungkan selama ini ternyata tidak sedalam kesedihannya, aku merasakan tamparan tersendiri di wajahku.
Aku ingat pertama kali aku melihatnya. Ketika itu aku adalah petugas baru yang ditugaskan menjaga TKP –ah, aku lupa menyebutkan pekerjaanku bahwa aku adalah seorang polisi yang akan terlihat semakin gagah saat mengenakan seragam.
Kasus yang sedang terjadi ketika itu adalah terbunuhnya seorang anak 13 tahun karena kekerasan dalam rumah tangga. Penyebab kematian adalah tendangan berkali-kali pada perut korban yang menyebabkan limpanya pecah.
Ilmi berada di luar garis polisi bersama puluhan orang lainnya yang menggerubuti TKP. Tidak seperti orang-orang lainnya yang menonton, yang memperlihatkan wajah berduka dan turut bersedih mereka, Ilmi justru terlihat marah. Tangannya mengepal kuat, rahangnya mengeras.
"Bukan hanya si Ayah pelakunya..."
"Ya?" Aku yang berada di jarak cukup dekat dengannya, mendengarnya bergumam.
"Bukan hanya si Ayah pelakunya! Seharusnya seluruh tetangga juga ikut bertanggung jawab!" Ilmi menaikkan nada bicaranya sehingga bisa didengar oleh semua orang yang ada di sekitar kami. "Ini jelas kekerasan rumah tangga dan tidak mungkin orang-orang di sekitarnya tidak tahu. Jika mereka tahu seharusnya mereka hentikan. Jika mereka hentikan mungkin anak itu tidak perlu menjadi korban!" katanya marah.
Begitu kalimatnya selesai, Ilmi menatapku lekat, tajam. Seolah aku juga turut bertanggungjawab padahal aku sama sekali tidak tahu apa pun. Tidak juga merupakan tetangga korban.
Ilmi pergi dengan diikuti tatapan tidak suka dari para tetangga yang merasa dipersalahkan.
Hari itu adalah pertama kalinya aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia adalah wanita terkeren yang pernah aku temui sepanjang hidupku. Cara bicaranya yang tidak memiliki keraguan sedikit pun, tatapan matanya yang tajam, aku menyukai segala hal yang kulihat darinya sejak pertama kali bertemu.
Wanita itu, cinta pada pandangan pertamaku yang akhirnya dapat kupersunting.
Sebelumnya aku tidak tahu banyak mengenai Ilmi sebab kami melewati fase perkenalan dengan cepat sebelum akhirnya menikah. Tapi karena hidup bersama, aku menyadari ada yang berbeda dari wanitaku. Dia... bisa melihat apa yang orang lain tidak.
Dia menyebutnya rantai, sementara aku menyebutnya cabang karena saat Ilmi menjelaskan seperti apa bentuk yang dilihatnya, dia menyebut kata bercabang dan bukannya berantai. Dia bilang pertama kali memiliki kemampuan itu setelah melihat jasad kakaknya yang meninggal mengerikan akibat kecelakaan. Jasad itu menggeluarkan benang merah yang terdiri dari lima cabang. Tiga cabang tidak berujung, sementara satu cabang tertuju padanya, dan cabang lain tertuju pada seorang pria yang sedang berbicara pada petugas polisi.
Jika ada yang berpikir itu adalah imajinasi yang pikirannya ciptakan karena perasaan bersalahnya, aku pun berpikir seperti itu. Tapi kemudian jawaban yang diucapkannya terdengar lebih bijak di telingaku.
"Seberapa banyak seseorang menyimpan prasangka, seperti itu ia melihat dunia." Artinya dia tidak menyebut apa yang bisa dilihatnya sebagai sebuah kemampuan, melainkan prasangka terhadap orang lain.
Ketika seseorang mendapat bencana atau menjadi korban, hal yang paling sering dipertanyakannya adalah kenapa, kenapa aku. Dan prasangka yang Ilmi maksud adalah keinginan untuk melimpahkan kesalahan pada orang lain atau keinginan untuk mengatakan bahwa 'bukan aku yang salah,' atau 'ini bukan sepenuhnya salahku.'
Ilmi bilang, awalnya cabang dari tiap benang merah yang ia lihat tidak berujung. Ia harus menelisik cerita per cerita atau bahasa lainnya melakukan penyelidikan lebih dulu untuk bisa menentukan ujung mana yang merupakan pelaku sebenarnya. Karena itulah Ilmi yakin apa yang dilihatnya adalah sebuah prasangka dari lubuk terdalam hatinya yang pendengki.
Aku tidak peduli yang Ilmi miliki adalah sebuah kemampuan atau prasangka. Aku mencintainya bukan karena apa yang dia lihat melainkan seperti apa dirinya. Jika itu kemampuan aku tidak perlu takut dia mengetahui sisi terburukku. Jika dia tahu dan masih memilihku itu berarti dia mencintaiku apa adanya. Jika itu prasangka dan dia adalah manusia yang dipenuhi pemikiran buruk terhadap orang lain, apa aku harus memandangnya rendah? Tidak, kan. Toh setiap orang menyimpan prasangka. Toh Ilmi tidak bermaksud menjelek-jelekkan orang lain dengan prasangka yang dia punya.
Dengan semua hal yang ada padanya, aku mencintanya. Sungguh. Jadi aku bertekad tidak akan melepaskannya.
***