∽ Sehari Sebelum Penemuan... ∽
Setelah menempuh perjalanan laut selama kira-kira 30 menit, merapatlah sebuah kapal kecil pada dermaga di sebuah perkampungan di atas laut. Sebuah papan sederhana dengan cat berwarna putih bertuliskan 'SELAMAT DATANG DI PULAU K' berdiri kokoh.
Pulau K adalah pulau tanpa daratan. Sekelilingnya hanya ada air karena murni berada di atas laut. Rumah yang dibangun berkumpul di atas papan-papan ulin membentuk perkampungan. Pulau K masih bagian dari kota Bontang, salah satu kota kecil di Kalimantan Timur. Perjalanan 3 jam dari Samarinda, ibu kota provinsi.
Ada sekitar tiga puluhan lebih keluarga yang menghuni Pulau K dengan mata pencarian yang mengambil sumber utama dari laut. Entah itu nelayan atau budidaya rumput laut. Karena berada di atas laut, satu-satunya kendaraan adalah kapal dan perahu. Dari satu rumah ke rumah lain jaraknya dekat sehingga semua tempat bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Tidak langsung membuang limbah ke laut, membuat kebersihan air di sekitanya terjaga. Airnya jernih.
Sumber listrik yang dialirkan ke setiap rumah berasal dari tenaga surya pada pagi hari, dan menggunakan genset malamnya. Dengan menggunakan dua sumber itu, kebutuhan listrik warganya berusaha dipenuhi.
Ilmi masih sibuk memindahkan tasnya ketika kapal lain datang dan bersandar. Seperti kapal yang mengantarnya, penumpang di kapal itu juga hanya satu orang. Seorang pria yang menyanggah ransel dan mengenakan kacamata. Pria itu mandangi langit sesaat sebelum melepas kacamata dan menyelipkannya di kerah kemeja merah batanya. Pria itu melemparkan senyum tanpa arti ke arah Ilmi sebelum naik ke dermaga dan melompat ke samping wanita itu.
"Hahhh... udara yang segar," katanya sembari mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan menghirup banyak oksigen dari lubang hidungnya yang besar.
"Imam Adzriel, kenapa kamu bisa ada di sini?!" Ilmi menuntut penjelasan.
Imam Adzriel. Ilmi tidak mungkin tidak mengenal pria itu. Ia mengenalnya. Sangat mengenalnya luar dan dalam. Pria itu pula-lah alasannya memilih pergi menyepi dan menyendiri ke tempat ini. Ia ingin bisa berpikir dengan tenang, mempertimbangkan semuanya baik-baik. Tapi lagi, pria itu tidak memberikannya tempat bernapas di udara yang berbeda dengannya.
"Liburan. Kebetulan saya dapat cuti lebih awal." Bohong! Yang benar Imam yang memohon-mohon agar cutinya bisa dipercepat begitu mendengar kabar dari Mio kalau Ilmi akan berada di Pulau K selama dua minggu penuh. "Di sini saya bisa melihat laut dari segala sisi, tempatnya juga tenang. Kenapa? Saya tidak boleh di sini? Ini tempat sudah jadi hak paten milik Kamila Ilmi?"
Ilmi menghela napas frustrasi. Ia tidak akan meladeni Imam berdebat. Tidak akan menyelesaikan masalah. Tidak akan ada gunanya.
Ilmi berjalan lebih dulu meninggalkan Imam yang masih menyelesaikan urusannya dengan pemilik kapal. Ia berjalan kurang lebih 5 menit untuk sampai di rumah yang akan ditempatinya. Seperti rumah-rumah lain di sekitarnya, rumah itu juga terbuat dari kayu yang disusun secara horizontal. Ruang depannya luas, ada 2 kamar tidur, kamar mandi, dan dapur sekaligus ruang makan.
Ruang depan juga digunakan sebagai ruang tamu. Tidak ada kursi atau sofa yang dijajar. Hanya meja kecil satu set dengan televisi. Ada jendela yang menghadap ke rumah tetangga di sisi kanan. Lantainya dilapisi ambal plastik dengan corak anyaman berwarna kecoklatan. Senada dengan dengan warna kayu pada dinding.
Di dapur ada kulkas satu pintu dan satu set kompor bersama tabung dan pengamannya. Tiga kursi kayu mengelilingi satu meja panjang yang dirapatkan di dinding. Selain kipas angin kecil dalam kamar, televisi, dan kulkas, tidak ada lagi benda berharga dalam rumah.
Rumah yang ditempati Ilmi adalah rumah paman Mio. Mereka sekeluarga sedang berada di Bontang, menemani anak mereka yang baru masuk SMP. Karena Mio yang memberi saran untuk mengungsi ke tempat lain hingga hati dan kepalanya bisa sepenuhnya tenang, pasti Mio jugalah yang memberitahu Imam keberadaannya. Kali ini Imam berhasil lagi dengan sukses menyogok Mio.
Mio adalah teman dekat Ilmi sejak SMP. Mereka sangat akrab layaknya saudara. Saling bercerita kesusahan satu sama lain, berbagi duka, dan tertawa bersama. Mio adalah tipe yang sangat berisik dan bersemangat. Meski telah memiliki dua orang anak, ia masih sama berisik dan lincahnya seperti saat sekolah.
Setelah meletakkan barang-barangnya di tempat yang strategis, Ilmi membuka jendela di ruang depan yang menghadap ke rumah lain sebelah kanan.
Begitu jendela terbuka, sepoi angin laut menerpa wajah Ilmi. Ini menenangkan. Ia bisa melihat bintang laut dan ikan-ikan kecil yang berenang bebas di bawah jendelanya. Suasananya tidak berisik dan yang juga penting udaranya tidak terpolusi oleh asap-asap kendaraan bermesin.
Ilmi masih tidak menyadari apa pun. Ketika ia mengangkat wajahnya, baru kemudian melihat orang yang berada di rumah seberang sudah sejak tadi menatapnya lekat. Orang itu melambaikan tangannya ke arah Ilmi, tersenyum. Imam.
"Tempatnya bagus, kan ?" Kalimat lmam terdengar seperti dia adalah orang yang memberi alternatif untuk datang ke tempat ini.
Ilmi tidak menjawab, ia balik kanan menuju dapur. Mengabaikan. Perutnya lapar, ia akan memasak sesuatu untuk dimakan.
Bersama tas pakaian, Ilmi juga membawa beberapa sayur dan buah segar sebagai keperluan tambahannya untuk tinggal. Sangat sulit menemukan sayur jika sudah berada di atas laut. Tidak ada yang menjualnya. Jika pun memiliki stok, itu hanya cukup untuk makan sehari-hari.
Selanjutnya, Ilmi menghabiskan waktunya dengan berada di dalam rumah.
Ilmi adalah seorang penulis yang sudah menerbitkan belasan novel. Namanya memang tidak begitu populer dibanding beberapa penulis lainnya, tapi fansbase yang dipunya cukup untuk menjadikan karya-karyanya sebagai satu dari banyak novel yang layak ditunggu. Selain misteri, rata-rata genre yang dipilihnya adalah slice of life. Cukup berat, tapi toh ia tetap bisa mempunyai banyak pembaca setia.
Begitu perutnya sudah terisi, Ilmi mengambil laptop, duduk di pintu belakang, dan mulai berimajinasi.
Di bagian belakang rumah, ada tempat terbuka di mana ia bisa duduk sembari menatapa laut hingga kejauhan matanya mampu menatap. Cahaya matahari yang masih terik membuatnya memilih hanya bertahan duduk di tepi pintu. Ia akan keluar dan turun ke tangga dan membiarkan kakinya dibasahi oleh air laut sore nanti. Nanti, saat terik sinar mentari sudah lebih jinak.
Sejauh mata memandang tidak hanya laut yang terlihat. Birunya langit dan awan-awan yang berarak, hutan bakau di sisi lain, juga pulau yang terlihat kecil dari kejauhan. Untuk beberapa saat fokus Ilmi hanya tertuju pada laut lepas dikejauhan sana. Ia masih mengagumi, menyesapi ketenangannya. Ini memang bukan pertama kalinya Ilmi melihat laut, tapi merupakan pemandangan yang selalu dan tidak pernah bisa habis ia kagumi.
Sekelompok burung baru saja lewat, terbang ke arah barat. Mereka dalam kelompok kecil tapi terlihat begitu kompak. Seulas senyum menghias di sudut bibir Ilmi. Ini mengingatkannya pada tempat yang pernah didatanginya beberapa tahun silam.
Untuk datang dan tinggal selama beberapa hari, Ilmi merasa telah membuat pilihan yang tepat. Seharusnya semua berjalan sempurna jika saja Imam tidak membuntutinya. Jika saja Mio tidak mengatakan apa pun meski lelaki itu memohon padanya.
Tangan Ilmi meraba-raba, mencari gelas yang berada tidak jauh dari jangkauannya. Ketika gelas plastik telah berada digengamannya, teh manis yang 30 menit lalu masih penuh ternyata telah raib. Habis diteguk sedikit demi sedikit sebelum sempat ia sadar. Sebenarnya masih tersisa setidaknya dua gelas dalam ketel, tapi ia terlalu malas untuk bangkit. Tatapannya masih tidak ingin lepas dari laut. Tidak ingin beranjak sesenti pun.
Sebuah suara kemudian mengalihkan perhatiannya. Suara air yang ditumpahkan. Ketika menoleh, hal pertama yang Ilmi sadari adalah gelas yang sebelumnya kosong telah kembali terisi. Hal kedua, seorang pria yang berjongkok menatap ke arahnya dengan ketel yang ada di tangan kanan, Imam.
Selain menatap kelompok burung yang terbang diketinggian langit biru di atas sana, situasi ini juga sama seperti kejadian yang diingatnya beberapa tahun silam. Dengan orang yang juga sama. Hari di mana sebuah kebiasaan baru terbentuk.
"Jadi teringat bulan madu kita."
Imam benar. Kenangan yang diingat Ilmi beberapa tahun silam mengenai bulan madu mereka. Hari itu, waktu-waktu yang seharusnya bisa dihabiskan dengan berjalan-jalan, mereka habiskan hanya di dalam hotel saja. Ilmi harus segera mengirimkan naskahya hari itu juga. Ia telah berjanji sejak jauh-jauh hari. Beruntung mereka mendapat hotel dengan pemandangan yang bagus. Jadi, meski hanya berada di dalam hotel, mereka masih bisa menikmati pemandangan yang indah. Meski hanya pemandaangan, meski seharusnya mereka bisa mendatangi, melihatnya langsung, dan bermain air sepuasnya.
Hari yang sama cerahnya seperti hari ini. Ilmi menjangkau gelasnya yang ternyata telah kosong. Saat pangandangannya teralihkan ke luar jendela karena melihat burung-burung terbang dengan kelompoknya, pandangannya kemudian kembali teralihkan oleh suara air yang ditumpahkan. Ketika pandangannya ia alihkan lagi, Imam telah duduk di depannya dengan melemparkan senyum termanisnya.
Lelaki itu memang sudah banyak mendukungnya selama ini. Mengerti sangat banyak tanpa mengatakan apa pun. Entah sudah berapa puluh kali ia meluluh dan jatuh cinta lagi dan lagi pada lelaki itu.
"Pak polisi, Anda tahu masuk rumah orang lain tanpa izin itu melanggar hukum?" Ilmi bicara setelah meneguk teh di gelas plastiknya.
"Saya hanya memeriksa," kilah Imam. "Pintu depan terbuka lebar tapi kamu berada di belakang. Bagaimana kalau ada orang berbahaya yang masuk?"
"Imam Adzriel, satu-satunya orang berbahaya untukku di sini hanya kamu, tahu?"
Imam menggeleng. "Saya tidak berbisa, saya juga tidak menggigit. Di mana bahayanya?"
"Dalam hitungan ketiga aku akan berteriak agar kamu tahu bagaimana berbahayanya situasi kita. Mau dicoba?"
Imam menggeleng lagi. Ia mengangkat kedua tangannya menyerah, "Saya pergi."
Sisa hari kemudian Ilmi habiskan hanya dengan berada di dalam rumah. Kali ini tidak lupa untuk menutup pintu depan. Tidak ingin ada lagi penyusup yang bisa keluar-masuk seenaknya.
Ilmi bertahan di pintu belakang sampai pendar jingga sang senja menghilang. Dan sekali lagi, ia terkagum-kagum menatap pemandangan yang sungguh memanjakan matanya. Banyak hal indah dan menyenangkan yang selama ini luput dari perhatiannya karena terlalu mengurung dirinya dalam duka. Saran Mio tepat, referensi tempat yang dipilihnya juga bagus. Harusnya semuanya berjalan sempurna...
Jam telah menujukkan pukul 21.31 ketika Imam menyadari jendela rumah tempat Ilmi menginap masih terbuka. Di situasi seperti ini Imam yakin wanitanya itu pasti telah terlelap di depan laptop.
Benar saja. Setelah bersusah payah mencari posisi Ilmi dengan melompat ke sana-kemari dengan mengintip dari jendela, ia menemukan wanita itu terlelap di ruang depan samping laptopnya yang masih terbuka.
Ilmi sangat suka angin malam. Karenanya ia selalu betah berlama-lama di depan jendela meski keesokan harinya ia akan mengeluh masuk angin. Kebiasaannya masih sama sejak pertama kali Imam mengenalnya. Seseorang tidak akan mudah berubah atau menghilangkan kebiasaan yang telah berjalan sekian tahun.
Sama halnya dengan perasaan. Imam percaya itu. Meski Ilmi selalu menghindar dan mengusirnya, wanitanya itu tidak akan begitu saja bisa mengubah perasaannya.
Imam kembali menyusup. Tahu pintu depan telah di kunci dan tidak mungkin melalui pintu belakang, jalan satu-satunya hanya melalui jendela yang masih terbuka.
Dari rumah tempat Imam menetap ke rumah tempat Ilmi tinggal, terpisah hanya dengan kayu-kayu penghubung yang berjarak sekitar 50 senti satu sama lain, tanpa papan. Seperti tantangan tersendiri bagi Imam, ia berjalan hati-hati dengan merentangkan kedua tangannya. Menyeimbangkan badan. Begitu jarak dengan jendela sudah tidak terlalu jauh, ia memercepat langkah, setengah berlari.
Sebagai seorang polisi Imam tahu betul apa yang akan menjeratnya jika ketahuan masuk rumah orang lain tanpa izin. Apa lagi di malam hari dengan si penghuni rumah yang tengah terlelap. Ia tahu betul akan bagaimana hebohnya kampung kecil di atas laut ini jika sampai ada yang menangkap basah perbuatannya. Karena sangat tahu seperti apa konsekuensinya, ia kemudian bertindak dengan sangat hati-hati dan bertekad agar tidak sampai ketahuan oleh siapa pun.
Begitu berhasil menggapai jendela dan masuk tanpa kendala, Imam melangkah perlahan. Pelan-pelan, agar lantai kayu tidak berderit.
Ilmi tidur menyamping dengan melipat kedua kakinya dan tangan memeluk dirinya sendiri. Ada titik-titik air yang telah mengering di sudut matanya yang terpejam. Ilmi terlihat seperti gadis kecil yang sedang meringkuk sedih. Imam menyingkap rambut yang menutupi sebagian wajah pulas Ilmi.
Melihat wanitanya masih saja berduka membuatnya juga terluka. Ia selalu bertanya pada dirinya sendiri mengenai apa yang bisa dilakukan, dan jawaban yang selalu didapatinya adalah agar selalu ada.
Dan, di sinilah Imam kini. Agar selalu ada.
Setelah menyelimuti Ilmi dan mengalihkan laptop yang masih aktif ke mode hibernate, Imam beranjak. Dari jalan mana ia masuk, dari jalan itu juga ia keluar. Tidak lupa menutup rapat jendela. Begitu jendela yang seharusnya terkunci dari dalam bisa tertutup rapat dengan menekan kedua sisinya bersamaan, Imam tidak lagi memerhatikan langkahnya dan... byurr!!!
***