Langit berwarna gelap. Merah, seolah sepekat darah. Senja tidak lagi menampakkan siluet jingganya, cahaya temaram, atau pun pendar keemasan saat menerpa pasir pantai yang membentang.
Hujan baru saja berhenti dan titik-titik air masih berjatuhan sesekali. Sebuah ledakan besar di kejauhan menjadi akhir dari peperangan terbesar abad ini. Peperangan yang sebenarnya. Peperangan terakhir umat manusia.
Aku berdiri dengan kaki gemetar. Aku tidak tahu seburuk atau seberantakan apa penampilanku, yang pasti, setiap persendianku telah melemas lunglai. Aku telah berada pada titik paling dasar dari rasa lelahku. Tatapanku menyapu pemandangan terkacau dan paling porak poranda sepanjang 17 tahun hidupku.
Ledakan terakhir berasal dari auditorium utama di Distrik Selatan. Asap tebal menggulung, menari-nari sampai ke langit. Di mana pun mataku menatap, hanya bongkahan mesin yang terlihat berdampingan dengan reruntuhan bangunan dan jenazah para penghuni bumi. Gedung-gedung pencakar langit, bangunan, rumah-rumah, jembatan layang, tak satu pun yang terlihat seperti bentuk awalnya.
Inilah akhir dari peradaban manusia, kehancuran yang sebenarnya.
*****
Di abad ke-21 masehi, banyak negara-negara miskin di dunia mulai menggeliat. Mereka bergulat dengan kepayahan yang luar biasa untuk bisa setara dengan negara-negara maju. Saat itu mereka hanya berjuang agar tidak tertinggal derasnya arus globalisasi yang semakin menghanyutkan. Mereka sudah cukup terpuruk oleh berbagai perkara yang disebabkan bangsa mereka sendiri. Sudah saatnya mereka bergerak dan maju.
Ketika itu mereka belum mengetahui bahwa bukan kemiskinan yang menghancurkan peradaban, tapi justru kejayaan yang melahirkan keserakahan.
Setelah abad masehi berakhir, lahirlah abad baru di mana manusia dan robot hidup dalam satu atap yang sama. Di mana koneksi internet sama berartinya seperti makan dan minum. Di mana mesin-mesin menguasai setiap segi kehidupan sama pentingnya seperti air dan udara. Robot-robot pekerja diciptakan, mesin-mesin ringkas nan praktis dilahirkan.
Tidak merasa cukup, para ilmuan berlomba-lomba mengembangkan Android. (catat: Mesin pekerja disebut Robot, sedangkan mesin yang memiliki perasaan disebut Android) Semua komponen emosi yang dimiliki manusia distimulasi dalam hormon-hormon buatan. Kecerdasan buatan ditambahkan. Berusaha sesempurna dan semirip mungkin dengan manusia.
Waktu yang panjang dihabiskan, dana yang tidak terhitung dianggarkan. Tahap demi tahap kemajuan pun diperlihatkan.
Berbagai pujian berdatangan. Mungkin memabukkan, karena congkak dan angkuh menjadi bertahta terlalu tinggi. Merasa diri sebagai Tuhan, pencipta yang maha Jenius lagi Agung.
Seandainya saat itu mereka mau menunduk sekali saja dengan kerendahan hati yang tulus, mungkin mereka akan menyadari bahwa kehancuran yang terjadi di masa depan justru terlahir dari perasaan para Android yang tidak memiliki kontrol yang baik. Arogan, jemawa, cemburu, berbagai klakar perusak menjadi tabiat yang paling tinggi mengudara, menyisihkan simpati dan cinta.
Bumi tampak semakin menderita saat keserakahan merajai. Warna laut berubah gelap, diiringi perubahan langit yang tidak lagi cerah. Cuaca menyengat, mendidih pada siang hari dan dingin beku pada malamnya.
Dengan perkembangan teknologi yang semakin tanpa batas, sebuah kubah serupa dengan jaring-jaring hologram diproduksi. Fungsinya adalah untuk menangkap panas berlebih dan menyimpannya sebagai energi yang digunakan dalam pembangkit tenaga surya.
Saat negara-negara Adidaya semakin berjaya, saat itulah masa kehancuran sebenarnya dimulai.
Rencana pemusnahan umat manusia sama sekali tidak terendus. Kudeta dan konfrontasi dilakukan dengan rapi oleh para Android.
Kehidupan terus berlanjut bersama dengan rencana jahat yang semakin hingar memberi tekanan. Berbagai Negara konsumtif dengan tingkat impor tertinggi menjadi sasaran awal. Tujuannya jelas, melemahkan negara-negara yang menjadikan ekspor sebagai tumpuan ekonominya.
Pada suatu hari yang tenang, tiba-tiba saja Zeid (catat: Android lovotic cacat pertama) mengamuk. Informasi rahasia mengensi proyek antar negara tertangkap radar pendeteksinya.
Proyek rahasia yang bocor berisi data mengenai planet yang diberi nama Toraya, yang ditemukan di luar galaksi Bimasakti. Planet baru ini dikenal sebagai Earth generasi ke-2, yang disebut-sebut memiliki kemiripan dengan Bumi hingga 85%.
Awalnya planet Toraya akan digunakan sebagai tempat mengungsi warga sipil. Perang dengan para Android dan Robot tidak dapat dihindarkan, dan semua kepala negara menyadari itu. Karenanya, proyek perlindungan skala besar dirancang.
Sayangnya, belum proyek rampung dibahas, perang terlanjur berkobar. Untung tak dapat diraih, nahas tak dapat dielak. Perseteruan bergejolak ke seantero negeri. Perjuangan untuk hidup atau musnah menjadi nawacita akhir yang disenandungkan.
*****
"Jika keindahan Bumi akan segera terengut, tempat mana yang paling ingin Mina datangi?" Ibu bertanya padaku sebelum tidur di suatu malam yang teramat dingin. "Manusia... kenapa tidak pernah mampu menjaga hal indah yang diberikan kepada mereka," tambah ibu bergumam.
Aku terenyak dari tidurku oleh pertanyaan ibu 10 tahun lalu. Kini, kalimat itu bukan sekadar retorika. Nyatanya, Bumiku benar-benar telah direngut.
Aku terbangun saat langit telah gelap. Malam menggelorakan kepekatan yang kelam, lekat. Meski bulan tampak untuk menyapa Bumi, namun sinarnya seolah tak tersampaikan. Bertepuk sebelah tangan.
Bintang sudah sangat lama tidak lagi pernah terlihat.
Kata ibu, Bumi memang telah lama kehilangan keceriaannya. Meski seperti itu manusia mampu menciptakan bintangnya sendiri. Di setiap kota berupa kerlip lampu yang bergemerlapan. Warna-warni penerangan berpendar di sana-sini. Menghidupkan keindahan malam yang syarat dengan kesibukannya sendiri. Spanduk dan baliho hologram tersebar di berbagai tempat. Runing teks di toko yang berjajar di sepanjang jalan tidak ketinggalan ikut andil meramaikan. Meninggalkan langit malam yang kesepian.
Kini, setelah sumber energi dihancurkan, Negara yang penuh gemerlap kemewahan, lampu-lampu hias, hilir mudik manusia, seketika berubah suram, gelap, mencekam. Aku seolah berada di tengah-tengah kota yang telah mati puluhan tahun. Peradaban yang telah punah. Hanya ada gelap. Bau gosong dan anyir berkolaborasi membentuk kengerian yang nanar.
Ini benar-benar nyata. Abad kehancuran telah meluluh lantahkan dinding-dinding kemegahan, kejeniusan, dan kecanggihan segala teknologi.
"Ayah aku takut, Ibu aku lapar, Kakak... kalian di mana?"
Aku menggigit bibirku yang bergetar. Air mataku tumpah tapi kesedihanku tetap tidak berkurang. Aku berusaha bangkit dengan sisa-sisa tenaga yang masih berdentam meski dengan denyut yang lemah. Aku tidak menggeliat dengan gelora yang menggebu. Semangatku lumpuh, sebagian jiwaku telah hilang entah ke mana.
Baru berjalan dua langkah, pijakanku tidak mendarat di tempat yang tepat. Aku terjerembab. Wajahku membentur bongkahan mesin, lututku memar.
Aku kembali menangis.
*****
"Mina selamat ulang tahun!"
Ayah dan Ibu bergantian mengecup keningku. Sebuah Robot rumah tangga meluncur ke arah kami dengan rodanya. Robot itu membawa baki yang berisi kue tar dan 3 susun kado.
Robot rumah tangga memiliki tinggi 100 senti, memakai celemek hitam dengan renda-renda merah muda. Rambutnya yang sebahu diikat tinggi. Karakternya dibentuk layaknya wanita berusia 40 tahunan.
"Ini hadiah dari kakak. Cepatlah dewasa, jangan cengeng dan selalu merepotkan Ayah, Ibu!" Kakakku menyerahkan kado yang berada di tumpukan paling atas kemudian mengacak-acak rambutku yang belum sepenuhnya kering karena baru selesai mandi.
"Apa, ya isinya?" Aku menebak-nebak.
Kakakku memberi anggukan sebagai isyarat agar aku segera membukanya.
Aku sangat mengenal bagaimana watak kakak satu-satunya. Pelit, perhitungan, dan sejenianya. Meski pekerjaannya sudah stabil, sifat buruknya tetap tidak berubah.
"Wah... Brille Pass!" (catat: Kacamata yang memiliki sensor untuk mendeteksi makhluk hidup. Kelebihan lainnya bisa melihat titik sumber energi yang terletak dalam tubuh Robot maupun Android)
Aku ingat dulu aku sering kali merengek agar kakakku meminjamkan Brille Pass miliknya. Aku menganggap pekerjaan kakakku sangat keren dan aku ingin seperti dia saat dewasa nanti.
Brille pass adalah salah satu perlengkapan kerja kakakku yang seorang tim penyelamat khusus. Bentuknya sangat modis. Bisa digunakan untuk kondisi apa pun.
Karena aku menyukai Brille Pass, aku jadi tahu kalau pemberian kakak bukan barang baru. Aku yakin di tempat kerjanya sudah mengeluarkan edisi terbaru yang tidak kalah keren. Karena sudah mendapat penggantinya, maka Brille Pass T02 diberikan padaku.
Selain Brill pass, ada Slot Card juga. (catatan: Sebuah potongan kaca transparan dengan dimensi 100 x 65.8 x 4,5 mm. Tempat penyimpanan kartu identitas. Sama sekali tidak memiliki slot seperti namanya. Memiliki sensor sentuh layaknya smartphone)
Saat aku memeriksa isinya dengan menggerakkan-gerakan telunjukku, KTP dan SIM sementaraku sudah dipindahkan ke sana. Bahkan kartu perpustakaan dan kartu keanggotaan Robitic sekolah juga sudah ada.
Oke, memang sudah waktunya aku mengganti Slot Card lama milikku. Tapi ini hari ulang tahunku. Kenapa kakakku harus memberikan barang-barang lamanya menunggu hari ulang tahunku. Tidak bisakah dia memberiku barang-barang baru. Tidak bisakah dia memberiku barang-barang ini sebulan atau seminggu yang lalu.
"Kenapa? Tidak suka?" Kakakku menangkap ekspresi tidak puas dari tatapanku. "Sini kembalikan kalau tidak suka!"
Kakakku berniat menyambar kotak yang ada di tanganku, tapi dengan sigap aku menjauhkan dari jangkauannya.
"Barang sudah dikasih juga mau diambil lagi," gerutuku "Dasar, pelit!"
"Bilang apa?" Kakakku yang tidak terima menarik telingaku. Aku membalas dengan memukul-mukul tangannya sampai telingaku aman dari tangan jahilnya, kemudian bersembunyi di belakang ibu.
Sekarang giliran Ibu.
Ibu adalah kebalikan dari kakak yang pelit. Ibu selalu berkata ibu bekerja keras demi keluarga, karena itu tidak masalah mengeluarkan uang lebih untuk keluarga.
Ibu bekerja di pemerintahan. Akhir-akhir ini ibu sering sibuk dan lebih sering pergi dinas. Ibu menangani proyek penting yang tidak pernah ia sebutkan.
Ukuran kotak hadiah dari ibu tidak berbeda dari milik kakak. Di dalam kotak, ada kotak lagi yang lebih kecil. Kotak dipenuhi dengan tulisan dalam bahasa asing. Aku sama sekali tidak mengerti tapi aku tahu apa isi dan kegunaannya hanya dengan melihat gambar dan kode barcodenya.
"Waaaaah ini..." Aku menahan nafas tidak percaya ketika membuka hadiah dari ibu.
"Cesar?!" Kakakku menimpali. (catat: Tunggangan udara pribadi. Berbentuk seperti speedboat namun dengan ukuran lebih ramping. Bisa ditumpangi oleh maksimal 2 orang) "Ibu, tidakkah ini terlalu cepat untuk Mina? Usianya baru 15 tahun?" tambahnya protes.
Aku mengerutkan kening karena tampaknya kakak tidak setuju dengan hadiah yang ibu berikan padaku.
"Bukankah saat kamu mendapatkan kendaraan pertamamu juga di usia yang sama?" Ayah menyahut.
Ayah membelaku. Aku menjulurkan lidah pada kakak.
"Itu berbeda Ayah, aku anak laki-laki."
"Tidak apa-apa. Ibu punya pemantaunya. Mina tidak akan mengendarainya secara tidak bertanggung jawab," ibu meyakinkan.
Ibu mengeluarkan chip yang ada di dalam kotak dan memasangnya ke smartphoneku untuk diinstal. Setelah selesai, ibu mengeluarkan lagi chip yang sudah diinstal dan memintaku untuk menyimpannya baik-baik.
Begitu aplikasinya terpasang, ibu mengajariku beberapa hal sederhana untuk memeriksa kondisi mesin dan sisa cadangan energi. Ibu memintaku untuk melakukan panggilan pertama.
Aku mengangguk dan setengah berlari menuju teras.
"Kereeeeeeen!!" seruku setelah melihat kendaraan pribadi pertamaku mendarat dengan mulus di depanku. Berwarna putih dengan garis-garis ungu. Benar-benar keren!
Hadiah dari ibu telah membayar rasa tidak puasku atas hadiah kakak. Aku memeluk ibu dan mengucapkan terima kasih.
Terakhir giliran Ayah.
Kotak kado milik ayah adalah yang terbesar dari dua kado lainnya. Sembari membuka pembungkus pelan-pelan, aku menebak-nebak apa kira-kira isinya. Aku merasa terlalu senang hingga tidak banyak berpikir.
"Cemong?" (catat: Animal Robotic berbentuk mirip kucing. Matanya besar, tidak memiliki kumis, ekornya bulat, telinganya seperti rata-rata kucing. Tinggi 75 senti) Ayah merakitnya sendiri dengan kain beludru lembut dan tebal sebagai bajunya.
"Mulai hari ini Cemong akan menemani Mina saat Ayah sibuk di toko, Ibu dinas, atau Kakak terlambat pulang," kata Ayah membuatku terharu.
Awalnya ayah hanya seorang ayah rumah tangga yang selalu berada di rumah. Namun karena sering diminta tetangga melakukan servis atau modifikasi robot, ibu membantu ayah membuka toko.
Sifat-sifat ayah adalah kebalikan dari sifat ibu. Ayah lebih lembut, ibu tegas. Ayah lebih sensitif, ibu kadang kala tidak peka. Meski saling bertolak belakang, mereka penuh kasih sayang dan saling mencintai.
Di masa depan nanti, saat aku dewasa, aku juga ingin memiliki pasangan yang mau melengkapiku. Sama seperti ayah yang senantiasa melengkapi ibu.
Ayah mengirimkan aplikasi Cemong ke smartphoneku. Kini, akulah tuannya, bertugas memantau perkembangan sekaligus merawatnya.
Ayah benar tentang sesuatu. Setelah memiliki Cemong ayah, ibu, kakak, semua menjadi sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ibu lebih sering dinas, kakak terlalu sering pelatihan, dan toko semakin ramai. Akhirnya hari itu menjadi perayaan ulang tahun terakhir dengan anggota keluarga lengkap. Semua menjadi sangat sibuk sampai aku masuk Sekolah Menengah Atas.
Hari ini, aku tidak bisa lagi menemukan kesibukan mereka. Aku tidak bisa mengapai cita-citaku untuk menjadi tim penyelamat khusus seperti kakak. Bahkan, aku mungkin tidak akan pernah bisa menemukan pasangan yang melengkapiku.
"Aku merindukan kalian..." Rengekku setelah mengakhiri nostalgia penuh haru.
Petang hampir berada di titik puncak peraduannya. Dingin yang ditiupkan malam menampar tubuhku semakin kuat. Gigiku bergemeletuk dan aku seolah tidak lagi merasakan tangan dan kakiku. Aku bangun, menepuk-nepuk pipiku. Aku harus menemukan seseorang. Siapa pun itu!
Aku memaksakan diriku berdiri, berjalan, meski perlahan. Langkah demi langkah. Kakiku terus mencari pijakan yang benar. Aku tidak ingin cengeng. Tidak boleh!
Bulan tiba-tiba muncul dari balik awan. Cahayanya bias, terasa lebih terang dibanding malam-malam sebelumnya. Kakiku berhenti melangkah. Aku terenyuh. Ke mana pun aku berpindah, di mana pun kakiku berpijak, pemandangan yang kudapati selalu sama.
Melihat lagi bagaimana keadaan kotaku yang amat poranda, dikoyak di sana-sini, betapa dukaku semakin membumi.
Musnah adalah hasil terburuk dari sebuah kehancuran. Segala hal yang sudah dibangun dengan begitu banyak kepayahan, peluh yang bergemericik siang-malam, keluh yang tak pernah jengah, semuanya terburai. Hanya meninggalkan puing-puing asa sebagai memoar. Tidak ada lagi yang tersisa. Geram. Tidak tahu ke mana serapah harus kutujukan.
Tidakkah ini teramat kejam. Aku ingin memaki, meski aku tahu itu hanya akan memuai ke udara.
"Aku... apa yang harus kulakukan?" tanyaku entah pada siapa, entah mengharapkan jawaban seperti apa.
Aku menjatuhkan lututku, membenamkan wajah dalam kedua telapakku. Mulai terisak.
Sedih, kalut, takut, putus asa. Di situasi di mana dadaku terasa sesak, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, aku... sendirian.«(20150821)»
=Selesai=