Setelah hari itu aku putuskan pulang ke rumah orang tuaku. Dengan begitu aku tidak akan sendiri dan selalu memiliki teman. Pikiran-pikiran gilaku akan kubuang jauh-jauh.
Kehidupanku memang telah berubah drastis, tapi akan kucoba mengikhlaskan Mas Dian dengan orang lain walau aku harus terus belajar bagaimana cara ikhlas sebenarnya. Walau aku tidak tahu bagaimana cara ikhlas yang benar.
"Mbak, ayo keluar! Yang lain sudah datang." Panggil adikku sepupuku yang paling kecil dari luar kamar.
Terkadang aku masih merasakan kehadiran sosok 'itu', berada di sekitarku, tidak pernah jauh dariku. Saat aku mulai merasakan perasaan aneh itu, aku akan langsung menyibukkan diri melakukan apa pun, atau keluar kamar dan mencari teman mengobrol. Aku tidak ingin menjadi gila.
Aku merapikan penampilanku dan ke luar kamar menyapa semua yang telah berkumpul di ruang tamu.
Aku adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Kakakku yang pertama perempuan, telah memiliki 2 orang anak. Kakakku yang kedua laki-laki, kemudian aku dan dua adik laki-lakiku.
Karena ini pertama kalinya aku pulang ke rumah, semua keluarga membuat acara berkumpul bersama. Inilah cara yang selalu digunakan orang tuaku agar semua keluarga dapat akrab. Kami berkumpul di waktu libur dan makan-makan.
Aku merasa jauh lebih baik dengan berada di antara banyak orang yang aku sayangi. Yang berkumpul di sekitarku. Aku mencintai mereka dan mereka selalu peduli padaku.
"Permisi." Terdengar suara seseorang dari depan pintu.
Aku pikir semua anggota keluarga telah berkumpul. Mungkin karena terlalu lama tidak pulang, aku jadi lupa jumlah paman, tante, sepupu, dan keponakanku. Siapa saja yang sudah datang dan siapa yang belum.
Tunggu, aku sangat mengenal suaranya!
Aku merasa keadaan mendadak berubah hening. Aku mengikuti tatapan semua orang ke arah pintu dan melihat siapa gerangan yang datang.
Benar, Mas Dian. Nafasku tertahan beberapa saat.
Aku benar-benar terkejut dan sama sekali tidak menyangka. Mas Dian berjalan masuk. Dia mendekat dan semakin dekat. Kakak laki-lakiku yang ada di belakang langsung menyambut kedatangan Mas Dian dengan bogeman panas di depan semua orang.
"Dasar, tak tahu malu! Berani sekali datang ke sini!" sergah kakak.
"Saya mau meminta maaf. Saya khilaf." Mas Dian tertunduk.
Kakak laki-lakiku terlihat semakin marah dan hendak menghajar Mas Dian lagi, namun dihalangi oleh adik dan kakak iparku. Ayah meminta agar kakak tenang dan mengendalikan emosinya. Ada banyak anak-anak di rumah dan mempertontonkan kekerasan sangat tidak pantas.
Mas Dian menatapku, entah mengharapkan pembelaan atau apa. Aku buang muka dan masuk ke dapur.
Sebenarnya aku merindukan Mas Dian. Sangat merindukannya. Mas Dian pergi meninggalkanku begitu lama. Tanpa kabar, tanpa jejak. Saat aku mulai belajar melupakannya, belajar ikhlas, dia justru datang.
Aku merasa marah. Ingin memakinya habis-habisan. Dia memberiku hari yang berat selama lebih dari sebulan ini. Aku ingin memukulnya.
Aku meneguk segelas air. Begitu satu gelas air habis, aku melihat Mas Dian berdiri di depanku. Dia, di depanku.
Kupikir Mas Dian tidak akan berani masuk karena kakakku pasti melarangnya. Kupikir keluargaku membencinya. Kupikir kami tidak akan bertemu lagi. Kupikir aku akan merindukannya selama sisa umurku. Kupikir…
Salah. Semuanya salah. Melihat Mas Dian berdiri dengan jelas di depanku membuat perasaanku bercampur aduk.
Mas Dian mengucapkan kata 'maaf' dengan suara rendah. Merasa bersalah, malu, dan kutahu tulus. Aku tetap berusaha menguatkan diriku, tidak ingin luluh begitu saja. Aku ingin memperlihatkan pada Mas Dian kalau aku sudah berubah. Aku berbeda dengan istri yang sebelumnya dia tinggalkan.
Mas Dian berkata 'maaf' lagi. Dia menatapku. Aku melihat kesedihan di sana, aku melihat luka yang tidak aku mengerti.
Aku ingin bertahan untuk waktu yang lama seperti waktu Mas Dian meninggalkanku.
Tidak bisa. Tahu-tahu aku telah hanyut dalam dekapannya. Dekapan yang begitu aku rindukan, yang meninggalkanku, dan telah kembali. Sedikit pun aku tidak mampu menolaknya.
"Jangan lakukan lagi," kataku diiringi derai air mata kebahagian.
Aku memang bodoh, aku tidak peduli. Suami dan rumah tangga adalah prioritasku. Aku tidak ingin kehilangan lagi. Tidak ingin ditinggal lagi.
Kami memperbaiki lagi pernikahan kami. Selama dua hari tinggal di rumah orang tuaku, tentu saja Mas Dian tidak didiamkan begitu saja. Apa yang telah dilakukannya juga mengecewakan banyak orang. Mas Dian disidang oleh Ayah, Ibu, dan kedua kakakku.
Aku tidak melarang atau membela Mas Dian mati-matian di depan keluargaku. Aku tahu yang terjadi adalah masalah rumah tanggaku, tapi aku tidak bisa meminta keluargaku untuk berhenti peduli padaku.
Seharusnya dari awal aku sadar aku tidak sendirian. Aku memiliki keluarga yang sangat menyayangiku, yang mempedulikanku. Ayah, Ibu, kakak, adik, dan semuanya. Aku bahagia dan bersyukur memiliki mereka. Merekalah malaikat tanpa sayap yang sebenarnya, yang mencintaiku tanpa syarat.
×××××
Di hari berikutnya aku dan Mas Dian menjenguk Satria yang masih belum sadar dari komanya.
Dalam ruangan tempat Satria dirawat, seorang wanita yang sama seperti saat pertama kali aku datang, menemaninya. Andin. Aku baru tahu kalau ternyata wanita itu adalah tunangan Satria. Mereka akan segera menikah tapi kemudian sebuah musibah terjadi.
Kami masih membicarakan perkembangan kesehatan Satria ketika dokter datang untuk memeriksa kondisi Satria. Selesai memeriksa, dokter meminta Andin ke ruangannya untuk membahas beberapa hal lebih detail. Aku dan Mas Dian menggantikan Andin menjaga Satria sampai dia kembali.
"Aku akan keluar sebentar menerima telepon," katas Mas Dian kemudian meninggalkanku.
Aku hanya diam. Merasa canggung meski Satria sendiri tidak sadarkan diri.
"…Cepatlah bangun. Semua orang menunggumu," kataku akhirnya. "Ibumu, Andin, juga teman-teman yang lain. Ini pertama kalinya aku berbicara denganmu dan rasanya… entahlah." Aku tertawa pelan. Merasa aneh dengan diriku sendiri.
Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Aku telah mengatakan apa yang harus aku katakan. Ada perasaan lega yang mengalir dengan deras. Tumpah dengan ruahnya. Perasaanku menjadi jauh lebih baik.
Aku benar-benar berharap Satria bisa segera sadar. Aku dengan tulus berdoa untuk kebahagiannya dengan Andin.
Ada banyak hal di dunia ini yang tidak ada penjelasannya. Semua menjadi misteri. Semua yang telah terjadi 'mungkin' untuk kebaikanku.
Aku tidak pernah bertanya atau memaksa Mas Dian memberi penjelasan kenapa dia pergi kemudian kembali lagi. Bagiku Mas Dian sudah kembali saja, sudah menjadi hal yang sangat membahagiakan. Jadi, aku tidak ingin terlalu serakah dengan menuntut lebih banyak lagi.
Bagiku Mas Dian-lah takdirku, karena sejauh apa pun dia pergi dan selama apa pun, dia tetap kembali. Mungkin ini cinta sejati atau hanya aku yang merasakannya, tapi kami telah melalui cobaan dengan kebahagian, berpisah, dan akhirnya bersama lagi.
Rina mengatai aku bodoh dan naif, kemudian tertawa terbahak-bahak.
×××××
"Kemarin wanita itu datang."
Andin mulai bercerita. Dia memeras handuk kecil yang telah dicelupkan ke dalam air hangat, kemudian menggunakannya untuk menyeka tubuh pria yang dicintainya. Yang masih belum juga bangun.
"Iya. Wanita yang katamu masih kamu cintai. Cinta yang katamu bukan seperti aku mencintaimu atau kamu mencintaiku."
Andin kembali teringat hari di mana Satria meninggalkannya karena mereka berdebat hebat. Setelah itu, sekitar satu jam kemudian kabar mengenai kecelakaan nahas yang menimpa kekasihnya pun sampai padanya.
Mereka adalah pasangan yang berbahagia dan semakin bahagia mendekati hari sakral yang sangat mereka nantikan. Hari di mana mereka akan menjadi pasangan yang dihalalkan langit dan bumi.
Belum lagi urusan pernikahan rampung dipersiapkan, Satria ditawari teman SMA-nya untuk ikut menjadi panitia reuni akbar yang akan diadakan dalam waktu dekat, langsung menerimanya tanpa berpikir panjang.
"Bukannya kita sendiri sudah sibuk dengan rencana pernikahan kita, tapi kenapa?" Andin mempermasalahkan alasan Satria menerima tawaran menjadi panita reuni. "Apa karena wanita itu? Karena akan bertemu dengan dia?"
Sifat cemburu Andin memang berada di atas rata-rata wanita lain. Dia sering merasa rendah diri. Nyaris tidak bisa mempercayai orang lain. Mereka sering bertengkar karena masalah yang sama.
"Andin, jangan mulai. Kamu tahu itu enggak benar."
"Jadi kenapa?!" sengit Andin menuntut penjelasan.
"Tentu saja karena teman baikku yang memintanya. Sudah 8 tahun sejak aku bertemu mereka. Siapa yang enggak senang..."
"Bohong…" Andin memutus "Mana ada cinta yang enggak berharap saling memiliki, mana ada cinta tanpa gejolak yang menggebu-gebu. Cinta platonik itu... bohong, 'kan?"
Satria menghela nafasnya panjang. Dia mengusap wajah dengan ke dua telapak tangannya. Frustrasi. Bagaimana melihat kekasihnya begitu cemburu. Pertengkaran yang sama, yang berulang. Apa pun yang dikatakannya dianggap omong kosong. Kepercayaan yang telah mereka rajut rasanya masih begitu rapuh.
Mungkin ini memang salahnya. Seharusnya sejak awal dia tidak perlu menceritakan tentang wanita lain yang dicintainya. Selamanya cinta itu egois. Mana ada wanita yang akan baik-baik saja jika mengetahui kekasihnya memiliki cinta yang lain.
"Maaf…" Andin berkata dengan suara bergetar. Tertunduk. Tulus.
Penyesalan dan kesedihan silih berganti mengisi kekosongan jiwanya. Seandainya saat itu dia tidak memancing pertengkaran, tidak cemburu buta, tidak membiarkan Satrianya pergi, semuanya pasti akan baik-baik saja.
"Aku akan memercayainya sekarang. Apa pun itu, semuanya. Jadi, cepatlah bangun!" Andin menangis lagi.
"Anak baik."
Suara yang terdengar berat menimpali. Satria, Satrianya. Satria mengelus kepala Andin lembut. Akhirnya Satrianya bangun. Akhirnya Andin tidak perlu menunggu lebih lama lagi. Akhirnya doanya terkabul. Akhirnya...
Andin menggengam erat tangan kekasihnya. Tidak akan dia lepas lagi. Tidak akan. Bahkan untuk membiarkan genggaman itu merenggang.
×××××