Chereads / Antologi / Chapter 5 - Dua Belas Juni 03.

Chapter 5 - Dua Belas Juni 03.

Hari berikutnya aku masih menunggu kepulangan Mas Dian. Penantian penuh harap. Tidur larut saat malam hari dan bangun lebih cepat. Semua dengan harap.

Berharap saat aku membuka mata aku bisa melihat Mas Dian terlelap di sampingku. Berharap bisa mendengar suara langkah kakinya saat pulang.

Sayangnya penantianku yang penuh harap berujung menyakitkan. Mas Dian tidak kunjung pulang. Tidak memberi kabar. Nomor ponselnya bahkan tidak aktif lagi. Mencarinya ke semua tempat yang aku tahu sudah kulakukan, dan kini hanya sakit yang tersisa.

Apa seperti ini sifat suami yang aku bangga-banggakan selama ini. Menghilang tanpa penjelasan saat menghadapi sebuah masalah.

Apa sebenarnya yang Mas Dian pikirkan, kenapa tidak langsung muncul dan menjelaskan semuanya. Kenapa hanya menghilang tanpa kabar berita. Membuatku tidak berhenti berharap, tidak rela melapaskannya.

Kakakku yang tinggal di kota seberang mulai curiga. Setiap kali mereka menelepon nada suaraku selalu terdengar serak. Mereka sering bertanya, beberapa kali merencanakan berkunjung, tapi aku selalu menolak. Selalu mengatakan baik-baik saja.

Aku belum berani menceritakan masalahku pada keluargaku. Aku takut mereka khawatir. Takut mereka memaksaku mengambil keputusan. Jadi, sembari mencari jalan ke luar, aku terus berharap semoga saja semuanya lekas membaik. Secepatnya, sebelum keluargaku datang.

Hari selanjutnya Mas Dian pulang. Awalnya aku merasa sangat senang, namun lagi-lagi aku terlalu berharap banyak.

Mas Dian tidak pulang untuk memperbaiki hubungan pernikahan kami. Dia pulang untuk mengemasi semua barang-barangnya. Untuk meninggalkanku, untuk pergi selamanya.

Aku masih tidak percaya Mas Dian benar-benar mengambil keputusan tidak masuk akal ini. Keputusan gila yang tidak dapat aku terima.

Jahat sekali yang Mas Dian lakukan padaku setelah semuanya berjalan dengan begitu manis. Berjalan begitu sempurna dan tampak baik-baik saja.

Aku menyusul Mas Dian ke kamar. Aku harus menghalanginya. Paling tidak Mas Dian masih berhutang penjelasan padaku. Jika pun ingin berpisah, tidak dengan cara seperti ini.

"Apa? Apa yang membuat Mas Dian enggak puas?" Aku bertanya, lebih tepatnya menuntut penjelasan.

Mas Dian mengabaikanku. Dia menepis tanganku dengan kasar.

"Jangan pikir aku akan membiarkan Mas Dian pergi tanpa penjelasan apa pun!" kataku sembari merampas koper dari tangannya.

Aku menatap Mas Dian dengan mata berkaca-kaca, memohon, penuh harap. Mas Dian mengalihkan pandangannya. Dia tidak lagi mau menatapku. Sakit. Rasanta bagai dihantam godam dari segala arah.

Aku berhutang apa padanya. Bukankah Mas Dian yang menghianatiku, bukankah aku yang seharusnya marah.

Air mataku kembali mengalir. Aku mulai terisak. Kakiku seolah tak mampu lagi berpijak. Terlalu berat memikul kenyataan yang tidak sanggup aku terima.

"Apa masih butuh penjelasan?" tanyanya masih tidak mau menatapku.

"Jelaskan!" kataku menuntut.

"Sungguh, sebenarnya Mina adalah istri yang sempurna. Bahkan terlalu sempurna untuk orang sepertiku…"

"Itu bukan penjelasan!" pekikku memutus.

Aku tidak ingin mendengar penjelasan yang seperti itu. Aku menghapus air mataku yang mengalir semakin deras dengan punggung tanganku. Aku bisa merasakan Mas Dian juga sedih. Sedih karena melihatku seperti ini. Sedih karena harus berada di posisi seperti ini.

Aku tidak habis pikir, kenapa Mas Dian lakukan jika membuatnya juga bersedih. Cukup selesaikan dengan satu kata maaf, maka aku akan menerimanya kembali tanpa syarat.

Aku memang bodoh, aku tidak peduli. Suami dan rumah tangga adalah prioritasku. Aku tidak ingin kehilangan apa pun.

"Katakan hal-hal yang buruk tentangku. Hal-hal yang Mas Dian enggak sukai. Hal-hal yang harus kuubah agar Mas Dian bisa tetap tinggal bersamaku…"

Nada bicaraku yang awalnya memekik keras berubah rendah, lemah. Belum siap rasanya jika harus kehilangan Mas Dian. Entah akan seperti apa terpuruknya aku. Kakiku benar-benar lemas hingga tak kuat lagi berdiri tegak.

Tubuhku merosot ke lantai. Aku menangis terisak seperti seorang anak yang akan ditinggal pergi jauh oleh ibunya.

Mas Dian membantuku berdiri, memapahku duduk di ranjang. Sentuhannya masih terasa hangat. Sifatnya masih penuh perhatian. Tapi kenapa rasanya tidak lagi sama…

Aku tidak ingin menatap Mas Dian. Entah ini perasaan marah, kecewa, atau entah apa. Sentuhannya masih terasa hangat dan lembut seperti biasanya, tapi apa yang ada dipikirannya aku tidak lagi mampu menebaknya.

"Terkadang," mas Dian mulai berkata namun masih tetap tidak menatapku "Hal yang begitu sempurna juga bisa menjadi celah yang menyebabkan terjadinya hal-hal yang enggak kita inginkan. Masa-masa kita selama ini memang indah. Tapi mungkin karena terlalu indah aku jadi merasa bosan. Ini memang terdengar enggak adil, tapi inilah yang terjadi. Akar dari semua masalah ini adalah aku, aku yang bersalah. Setelah ini pun aku enggak akan minta maaf. Jadi bencilah aku sesukamu untuk mendapatkan keadilanmu."

Aku kembali terisak. Mas Dian pergi dan aku hanya bisa melihat punggunya yang terus bergerak menjauh.

Tidak adakah harapan lagi, tidak adakah keajaiban. Tidak bisakah rumah tanggaku baik-baik saja seperti sebelumnya. Benarkah hanya sesingkat ini kisah cintaku, perjalanan pernikahanku. Jika hal yang indah saja bisa memberi akhir yang buruk, lantas bagaimana aku harus bersikap?

Aku harus apa…

Sekarang aku sendiri, benar-benar sendiri di rumahku yang awalnya kupikir akan menetap selamanya mahligai kebahagiaan. Ternyata semu. Teramat singkat.

–Brak – Aku tersentak. Sebuah buku yang aku letakkan di atas lemari terjatuh. Buku tahunanku saat SMA.

Buku tahunan itu terbuka tepat di tengah halaman. Bab kelas XII IPA. Foto gadis manis mengenakan kerudung abu-abu menghiasi halaman sebelah kanan. Tertera nama, tempat tanggal lahir, alamat, nomor telepon dan seterusnya. Aku mengenal gadis yang bernama Nur Rohma itu namun tidak begitu akrab dengannya. Kemudian di lembar sebelah kiri, Satria Yoga. Senyum kecil yang terlihat manis menghiasi fotonya, membuat jantungku berdebar aneh saat melihatnya.

Sebelum ini aku memang pernah menyukai Satria. Hanya saja perasaan itu sudah lama menghilang. Apa lagi setelah aku bersuami. Aku tidak pernah memikirkan Satria lagi. Nyaris lupa pernah menyukainya.

Tidak, tidak. Ini bukan perasaan seperti itu. Aku hanya terlampau kacau karena masalahku. Terlalu sedih. Perasaanku adalah perasaan sepihak pada Satria. Tidak pernah kuungkapkan, perasaan terpendam. Tidak ada yang tahu, kecuali Rina.

Mendadak perasaan aneh ini mulai muncul lagi. Perasaan yang akhir-akhir ini sering muncul saat aku tengah seorang diri. Saat aku merasa sedih dan terpuruk. Perasaan di mana aku seperti bisa merasakan kehadiran seseorang atau sesuatu.

Ini gila, tapi aku benar-benar merasakannya. Berusaha mengelak dan tidak percaya selalu kulakukan, dan kehadiran itu malah datang semakin dekat, semakin sering.

Sebenarnya aku merasa takut. Anehnya sebagian dari diriku merasa nyaman dan tidak mampu menolak kehadirannya.

Aku menutup mataku, berusaha merasakan kehadiran 'sesuatu' itu lebih dekat. Mungkin dengan melakukan hal ini aku bisa mendapat jawabannya. Benarkah ada atau aku hanya berhalusinasi.

Aku menarik nafas dan memfokuskan pikiranku.

Ini gila!

Begitu sadar aku memaki diriku sendiri. Apa sebenarnya yang sedang aku lakukan.

Aku mendengar suara motor memasuki pekarangan rumahku. Aku bergegas ke luar, tidak ingin pikiran-pikiran gila itu membuatku melakukan hal yang lebih gila lagi.

Rina datang. Dia menghampiri dan memelukku. Sepertinya hanya dia yang mengerti betapa sakit dan hancur hatiku. Betapa kacau perasaanku.

Aku tidak ingin bertanya kenapa Rina datang atau dari mana dia tahu aku sedang membutuhkan seseorang saat ini. Aku takut. Takut memikirkan jika dugaanku ternyata benar, aku akan semakin hancur. Semakin tidak mampu melepaskan Mas Dian.

Rina juga tidak mengatakan apa pun. Ia memberiku waktu untuk menangis, meluapkan semua kesedihan dan kekesalanku.

×××××