Chereads / Antologi / Chapter 4 - Dua Belas Juni 02.

Chapter 4 - Dua Belas Juni 02.

Keesokan harinya aku putuskan kembali ke rumah sakit tempat kemarin aku melihat kejadian tak diinginkan itu. Aku ingin bertemu dengan wanita yang merusak rumah tanggaku.

Aku adalah seorang istri dan aku tidak akan membiarkan rumah tanggaku hancur begitu saja. Aku akan mempertahankan suami yang aku cintai.

Karena itu, dibanding hanya diam di rumah dan menunggu, aku lebih ingin mendapati kepastian itu.

Aku mencari membabibuta. Aku tidak tahu siapa nama atau apa jabatan wanita itu di rumah sakit. Yang kemarin terlihat olehku hanya wanita itu mengenakan pakaian putih dan tampak seperti seorang perawat. Tapi aku yakin aku pasti bisa menemukannya bagaimana pun caranya.

Aku jelajahi setiap bagian rumah sakit, setiap sudutnya. Setiap aku melihat seseorang wanita berpakaian perawat, berpostur tubuh mirip wanita itu dengan rambut digerai aku akan lansung menarik tangannya atau menyentuh bahunya untuk melihat wajahnya lebih jelas. Tidak peduli apa yang sedang dilakukan perawat itu ataukah sedang terburu-buru.

Aku juga tidak lagi mempedulikan apa pun anggapan orang walau terlihat jelas aku sangat menggangu dan mereka tidak suka dengan caraku. Yang aku pedulikan saat ini adalah masalahku sendiri. Aku tengah dibuat gila oleh ketakutanku. Ketakutan akan hancurnya rumah tanggaku yang baru berumur 2 tahun.

Aku mulai lelah. Tidak ada petunjuk di mana pun aku mencari keberadaannya. Keningku berkeringat dan nafasku berat. Aku berdiam sebentar, mengatur nafas dan menenangkan diri.

Aku masih berusaha mengatur perasaanku ketika aku melihat seorang perawat keluar dari ruang rawat. Perawat itu adalah wanita yang tengah aku cari.

Wanita itu menatapku kemudian tersenyum. Dia melangkah mendekat, "Mencariku ?"

Aku hanya diam menahan amarah. Melihatnya tersenyum, mendengar dia berbicara, semua itu membuatku benar-benar marah. Kukira akan mudah, tapi ternyata menghadapi wanita seperti ini menguras banyak emosi.

Ingin sekali rasanya tanganku ini kulayangkan ke pipinya agar wajah yang dia buat tanpa dosa itu bisa sedikit merasakan rasa sakit yang aku rasakan. Menarik rambut panjangnya, juga mempermalukannya di depan semua teman-teman kerjanya.

Tanganku mulai terasa gatal.

"Jauh dari yang aku perkirakan, teranyata kamu bisa juga tenang di situasi seperti ini." Wanita tidak tahu malu itu menambahkan.

"Tenang!" batinku berteriak tidak terima.

"Kupikir kamu akan datang sambil mengamuk kemudian mencakar-cakar wajahku," tambahnya lagi enteng.

"Kau tahu, hal itulah yang paling kuinginkan saat ini," batinku berkata lagi.

Aku mendelik ke arahnya. Wanita itu juga balas melihatku tajam kemudian mengalihkan wajahnya sambil tersenyum.

"Membosankan sekali wanita sepertimu. Enggak adakah hal lain yang bisa kamu lakukan selain memelototiku seperti itu. Pantas saja…"

–Plak – tanganku melayang ke pipinya, memotong kalimatnya. Lega rasanya karena bisa memberikan satu pukulan ke wajahnya yang sok cantik itu.

Sebenarnya masih kurang, tapi akan kutambah lagi saat dia membalas. Saat itulah aku akan menghajarnya habis-habisan. Mencakar-cakar wajahnya dan menarik lidah tajamnya keluar.

"Hanya satu?" katanya. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan wanita itu. Kupikir dia akan membalas perbuatanku. "Jika kamu masih mau akan kuberikan sebelah pipiku lagi. Kenapa? Apa hanya sebatas itu saja rasa marahmu. Apa hanya seharga itu nilai Mas Dian?"

Mendengarnya menyebut nama Mas Dian membuat darahku semakin mendidih. Tanganku mengepal erat. Tahu aku marah, dia tersenyum lagi. Aku mengangkat tanganku untuk memukulnya sekali lagi, tapi tertahan di udara.

"Sudah selesai mengata-ngataiku?" Aku mulai membalas kata-katanya. Aku menyalakan kendaraan perangku dan siap bertarung lagi dengannya. "Aku jadi semakin yakin Mas Dian bersamamu hanya kekhilafan. Karena sejak aku mengamatimu kamu hanya unggul di sifat percaya diri dan mulut berbisamu saja!"

Aku amati wajahnya yang masih merah karena tamparanku. Dari ekspresinya kurasa aku telah berhasil membuatnya kesal. Aku mulai merasa percaya diri dan bisa menguasai amarahku.

"Aku enggak ingin terlalu banyak berbicara denganmu. Aku hanya ingin mengingatkanmu untuk berhenti mengganggu suamiku atau aku akan benar-benar mencakar wajahmu seperti yang kamu inginkan," tambahku tegas.

Aku berusaha memperlihatkan seberapa kuatnya aku dan akan semengerikan apa jika aku marah. Aku berbalik dan meninggalkannya. Namun baru berjalan beberapa langkah wanita itu berkata lagi dengan nada tinggi.

"Kamu masih belum sadar juga! Mas Dian memilihku sudah jelas karena aku lebih baik darimu. Kalau kamu tetap enggak juga sadar, kamu akan semakin terluka. Lihat saja, Mas Dian akan mendatangimu dalam waktu dekat dan akan dia katakan semuanya dengan jelas di depanmu!!" pekiknya.

Aku tidak mempedulikannya dan tetap melangkah meninggalkannya. Itu hanya kalimat terakhir yang bisa diucapkan seseorang yang telah kalah. Membawa nama orang lain untuk memperkuat posisinya.

Beberapa orang yang masih menonton menatap tidak puas. Mereka membuka jalan dan membiarkan kulewat. Mungkin mereka berharap lebih. Aku sendiri berharap lebih pada diriku, nyatanya yang bisa kulakukan hanya sebatas ini. Entahlah. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku bisa selemah dan sebodoh ini.

Menyedihkan!

Ponselku berdering ketika aku telah berada di luar rumah sakit. Nama Rina tertera di layar.

×××××

Aku hanya duduk termenung di sebuah kafe sederhana di pinggir jalan. Rina ingin sekali bertemu denganku untuk memastikan apakah keadaanku baik-baik saja.

Aku tahu Rina pasti sangat khawatir. Terlebih lagi, terakhir kali saat di rumah sakit aku meninggalkannya dengan sifatku yang keterlaluan. Aku marah tanpa alasan padanya. Aku juga tidak mengangkat telepon darinya untuk memberitahu bagaimana keadaanku. Aku akan meminta maaf padanya saat bertemu.

Aku masih duduk termenung menatap gelas kaca tinggi yang berisi air putih. Air dalam gelas itu begitu tenang. Masih aku amati, lambat laun air yang tadinya tenang mulai beriak. Semakin lama riaknya semakin terlihat jelas.

Aku amati sekelilingku, barangkali ada hal aneh yang membuat air dalam gelas beriak.

Tidak ada. Tidak terlihat keanehan apa pun di sekelilingku. Semua orang tengah sibuk bercengkrama dengan keluarga dan temannya. Minuman dalam gelas-gelas mereka tenang.

Aku amati lagi gelas dan tempat duduk kosong di depanku bergantian. Mendadak, sebuah perasaan aneh seperti sedang menggerogotiku.

Perasaan gila apa ini?

"Mina!"

Terdengar suara Rina memanggil namaku. Setengah berlari dia menghampiriku.

"Mina kamu baik-baik saja?" Rina bertanya, dia tampak begitu khawatir.

Aku hanya mengangguk tanpa bisa mengatakan apa pun. Kemudian berkata, maaf. Aku terharu dengan perhatian Rina juga persahabatan yang selalu dijaganya. Padahal aku menyebalkan, padahal aku sudah membentaknya.

Rina memelukku. Sepertinya Rina tahu betul kalau di saat seperti ini, hal inilah yang sangat aku butuhkan.

Air mataku tidak lagi mampu terbendung dalam dekapannya, mengalir deras membasahi ke dua pipiku. Membasahi punggungnya.

"Jadi kamu baru saja menemui wanita itu?" tanya Rina memotong ceritaku.

Dari nada bicaranya, Rina tampak terkejut. Aku menjawab pertanyaannya hanya dengan anggukan.

Pesanan kami datang. Saat minumanku diletakkan di depanku, aku melirik ke arah air putih yang sebelumnya beriak kini kembali tenang.

Aku kembali berpikir. Apa yang kulihat tadi hanya perasaanku atau aku hanya berimajinasi.

Tidak, harusnya tidak. Mataku tidak mungkin salah melihat. Kalau pun mataku salah, perasaanku tidak mungkin salah.

"Mina... Mina!" Panggilan Rina menyadarkanku bahwa dia masih menunggu bagaimana kelanjutan ceritaku.

"Aku menamparnya sekali. Aku pikir setelah itu dia akan membalas dan aku bisa berkelahi dengannya dan meluapkan semua amarahku. Tapi dia enggak membalas. Mungkin dia sudah enggak kaku lagi menghadapi situasi seperti ini. Jika dia kaku dan takut, enggak mungkin dari awal berani menggoda suami orang," jelasku.

×××××