Chereads / Antologi / Chapter 3 - Dua Belas Juni 01 [Horor].

Chapter 3 - Dua Belas Juni 01 [Horor].

Semua dari hidupku baik-baik saja meski sudah dua tahun menikah dan belum dikaruniai keturunan. Suamiku tetap baik dan sayang padaku.

Kata keluarga, umur dua tahun pernikahan itu masih terlalu muda. Banyak orang-orang di luar sana yang sudah lima tahun bahkan tujuh tahun menikah baru dikaruniai keturunan.

Aku tahu mereka mengatakan hal itu hanya untuk menghiburku, agar aku bisa lebih bersabar.

Ya, semua memang baik-baik saja dan aku bahagia dengan hidupku. Sampai pada hari ini, tanggal 12 Juni.

Pagi ini, yang aku pikir adalah awal dari segalanya, walaupun tidak ada yang terasa berbeda sedikit pun. Aku masih bangun pagi dan kulihat suamiku tercinta masih terlelap di sampingku dengan wajahnya yang teduh.

Aku masih saja sering mengamati wajah tampannya saat ia tidur dan masih saja rasa kagum itu muncul. Alisnya yang tebal, hidungnya yang lurus dengan batang hidung tinggi. Bagiku semua itu adalah perpaduan yang tepat dengan wajahnya yang oval dan bibirnya yang indah.

Suamiku mulai bergerak-gerak, mengerjap-erjapkan matanya, dan perlahan, ia mengumpulkan kesadarannya.

Melihatku telah terbangun lebih dulu dan belum berhenti menatapnya, membuat Mas Dian tersenyum.

Ah, senyum yang masih saja mampu meluluhkanku meski sudah lima tahun aku mengenalnya.

"Sudah bangun?" katanya singkat kemudian mengecup keningku.

"Iya. Ayo, sholat subuh berjamaah!" ajakku.

Awal yang sempurna, bukan. Bahkan terlalu sempurna untuk menjadi awal dari mencuatnya masalah-masalahku.

Aku sudah selesai berwudu dan kembali ke kamar. Aku pikir Mas Dian kembali tertidur karena semalam pulang begitu larut. Namun dugaanku salah. Mas Dian tidak ada di kamar.

Beberapa menit berselang, Mas Dian kembali ke kamar. Tangan kananya memegang ponsel yang terlihat coba ia sembunyikan. Tampaknya ia terkejut melihatku telah lebih dulu kembali ke kamar.

"Kenapa, Mas?" tanyaku ingin tahu.

"Adikku minta dikirimi uang untuk modal usaha barunya."

Aku percaya dan tidak berpikir macam-macam walau sebenarnya hal itu mencurigakan. Aku percaya Mas Dian dan sampai detik ini aku bahkan masih tidak memiliki alasan untuk mencurigainya.

×××××

Aku baru saja selesai memeriksakan diriku ke dokter kandungan. Mas Dian sudah sangat mengharapkan kelahiran seorang anak dari tahun pertama pernikahan kami. Sebagai seorang istri yang belum bisa memenuhi keinginan suaminya, tentu saja aku merasa sangat sedih.

Aku melakukan pemeriksaan untuk mencari tahu apa ada yang salah denganku atau apa ada hal lain yang harus kulakukan. Ini adalah bentuk usaha yang kulakukan agar keinginanku dan Mas Dian cepat terwujud.

Alhamdulillah tidak ada hal yang salah denganku. Semua memang butuh proses dan aku hanya perlu lebih bersabar. Menunggu sedikit lebih lama lagi dibanding beberapa orang lain di luar sana.

Matahari begitu terik, sama seperti hari-hari sebelumnya. Aku memeriksakan diriku ke rumah sakit ditemani oleh Rina, teman akrabku sejak SMA. Mas Dian sedang sibuk dengan pekerjaannya jadi tidak sempat untuk mengantarku.

Aku telah berada di parkiran, bagian paling kiri dari bangunan rumah sakit. Tapi begitu aku berbalik, aku baru sadar sedang berdiri seorang diri. Entah ke mana Rina pergi.

Kupikir Rina masih berada di belakangku karena saat aku mengusulkan untuk makan siang bersama di luar, dia masih menyahut. Tapi sekarang, mendadak anak itu menghilang.

Mataku menyapu setiap sudut parkiran, barangkali aku bisa menemukannya. Mungkin saja Rina sedang bersembunyi atau melakukan hal konyol lainnya untuk mengejutkanku seperti kebiasaannya yang lalu-lalu.

Seteliti apa pun mataku menjelajahi seluruh parkiran, selama apa pun aku mencari, tetap tidak kutemukan Rina di mana pun. Aku putuskan untuk menunggunya, barangkali ia sedang sibuk dengan urusannya.

Selagi menunggu, aku mencari minuman segar di seberang jalan. Setelah satu mobil silver mewah melewatiku, aku menyeberang. Belum sampai di seberang, aku mendengar suara decit ban mobil disusul suara teriakan beberapa orang.

Aku berbalik dan melihat mobil silver yang tadi melewatiku ke luar lintasan, terbalik, dan menghantam satu warung kecil di pinggir jalan.

Aku terbelalak, menangkap, dan merekam kejadian itu dengan begitu jelas. Saking terkejutnya, seketika tubuhku membeku. Aku berdiri di tengah jalan seperti orang linglung.

Seseorang tiba-tiba menarikku.

Rina.

"Mina, kamu baik-baik saja?" tanya Rina terlihat khawatir.

Aku menjawab pertanyaan Rina hanya dengan anggukan kepala. Rasa penasaranku menarikku untuk lebih lanjut mengetahui bagaimana keadaan pengendara mobil itu.

Aku berjalan seperti tanpa sadar. Seperti bukan dari kendali otakku. Seperti ada sebuah perasaan lain yang menarikku, begitu kuat. Perlahan, perlahan, kakiku bergerak ke arah kerumunan orang yang mulai semakin ramai memadati tempat kecelakaan.

"Mina, kamu mau kemana?!" Rina menarikku lagi.

"Aku... aku mau tahu bagaimana keadaan korban kecelakaan mobil itu."

"Buat apa? Ada hal lain yang jauh lebih penting. Ayo, ikut!" Rina menegaskan suaranya dan lagi-lagi dia menarikku.

Kami menyeberang. Jalan mulai macet karena dipadati warga dan kendaraan-kendaraan lewat yang berhenti untuk melihat kecelakaan.

Rina membawaku menuju kantin rumah sakit. Aku tidak tahu kenapa atau apa yang sedang ada di pikirannya. Apa dia mendadak lapar dan ingin segera makan, atau apa. Aku juga sudah bertanya, namun Rina hanya diam dan mempercepat langkahnya.

Entah apa yang ingin Rina lakukan, aku mulai merasa khawatir. Ekspresinya terlihat tidak biasa. Wajahnya benar-benar serius, seperti benar-benar ada hal mengerikan yang terjadi melebihi kecelakaan barusan.

Kami berhenti di meja di mana ada pasangan sejoli sedang makan siang.

Apa sih, sebenarnya yang sedang dipikirkan Rina.

Tunggu! Pasangan?!

Tidak! Itu Mas Dian! Suamiku!

Sedang apa Mas Dian di sini dan... bersama seorang wanita yang sama sekali tidak aku kenal. Mereka bahkan tertawa-tawa dengan manisnya. Bukannya Mas Dian bilang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Bukannya seharusnya dia ada di kantor.

"Mas…" panggilku. Suaraku seakan tercekik, tertahan di tenggorokan.

Mas Dian terkejut bukan main melihatku dan Rina berdiri di depannya. Mas Dian tersentak, ia melepaskan tangannya dari genggaman wanita yang sedang bersamanya.

"Ini sama sekali enggak seperti yang terlihat," kata Mas Dian berusaha membela diri.

"Kalau begitu jelaskan!" kataku dingin.

Aku kecewa, tapi tetap berusaha mempercayai Mas Dian. Aku ingin percaya kalau semua yang aku lihat memang tidak seperti pikiran-pikiran buruk yang mulai bermunculan dan mengganggu dalam benakku.

Aku mempercayai suamiku, sangat mempercayainya sampai pada detik ini. Tidak ada hal buruk yang pernah terjadi. Semuanya baik-baik saja. Kami saling mecintai, masih sangat romantis. Jadi tidak ada celah untuk hal-hal seperti ini bisa terjadi. Bahkan meski Mas Dian menginginkan kehadiran seorang anak namun belum terwujud, kami masih sangat bahagia.

"Jelaskan!" kataku lagi. Lebih mendesak.

Bukannya menjelaskan, Mas Dian hanya diam sembari menatap gadis itu ragu.

Apa yang sebenarnya terjadi? Benarkah semua yang kulihat ini, benarkah Mas Dian menghancurkan semua kepercayaanku padanya, benarkan dia berselingkuh, benarkah dia mempermaikanku.

Melihat Mas Dian hanya terdiam sungguh membuat hatiku teriris perih. Tidakkah dia hanya perlu menjelaskan. Meskipun jika itu sebuah kebohongan, aku akan mendengarnya. Aku pasti akan mendengarkan dan memercayainya.

"Sudah! Enggak ada lagi hal yang perlu dijelaskan. Semua sudah terlihat jelas di depan mata kita. Suamimu menyeleweng!" tandas Rina.

Aku tidak percaya Rina mengatakan hal sejahat itu di depanku.Tega sekali dia..

Rina akan mengandengku meninggalkan kantin rumah sakit namun aku justru menepis tangannya.

Sakit.

Aku berlari meninggalkan mereka semua yang telah membuatku marah. Terdengar dari kejauhan Mas Dian dan Rina memanggilku bersamaan. Namun air mata yang sudah telanjur membanjir membuatku tidak mempedulikan apa pun. Yang aku inginkan hanya menjauh dari mereka. Menjauh sejauh-jauhnya kemudian menangis.

Aku naik taksi dan pulang ke rumah.

Sampai di rumah aku langsung masuk kamar dan menangis sejadi-jadinya. Ponselku berdering namun tidak aku pedulikan. Aku ingin mereka tahu banhwa saat ini aku marah. Aku kecewa.

Mereka, ya, tentu saja semuanya. Bahkan Rina yang kutahu sangat baik padaku tapi justru kata-katanya begitu jahat. Aku tahu kata-katanya benar, tapi karena benar aku jadi tidak memiliki kesempatan untuk membohongi diri sendiri. Tidak bisa berpura-pura tidak terjadi apa-apa.

Tidak bisakah Rina mengatakan hal yang baik tentang Mas Dian atau tidak bisakah dia ikut membujuk Mas Dian agar mau mengatakan alasannya padaku. Paling tidak dengan melakukan hal itu Rina bisa menjaga perasaanku.

Wanita itu, tentu saja dia yang paling membuatku marah. Aku yakin kalau sebenarnya dia yang lebih dulu menggoda Mas Dian. Kami baik-baik saja, jadi tidak mungkin Mas Dian melakukan hal sejahat ini kalau tidak digoda.

Mas Dian yang hanya diam saja justru yang paling menyakitiku. Tidakkah dia tahu aku sangat mengharapkan penjelasan darinya. Sangat berharap dia menyangkal, meskipun itu sebuah kebohongan.

Aku memejamkan mata namun masih terisak dalam tangisku. Andaikan semua ini hanya mimpi buruk dan aku hanya perlu terbangun untuk mengakhiri semuanya.

Tidak! Sebesar apa pun aku berharap ini hanya mimpi, semua tetaplah kenyataan pahit yang harus aku kecap. Rasanya begitu pahit sampai aku ingin memuntahkannya kembali.

Perlahan, perlahan, dan aku mulai terlelap. Air mataku mengalir lagi sebelum aku terlena oleh bunga yang ditebarkan dalam tidurku.

×××××

Rasanya baru sesaat aku mejamkan mataku, tahu-tahu saat terbangun suara azan magrib sudah mengalun merdu.

Aku beranjak dan hendak ke luar kamar, namun tiba-tiba saja lampu mati.

Beberapa saat kemudian aku merasa sekelilingku terasa aneh, tubuhku serasa kaku. Entah apa yang merasuki pikiranku hingga hal-hal yang sebelumnya tidak pernah aku pikirkan bernaung dalam otakku.

Perasaan takut mulai menjalar, mengerogoti keberanianku. Perasaan ketakutan yang bodoh karena aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku takutkan.

Aku menarik nafas dalam-dalam dan berusaha menghilangkan pikiran-pikiran buruk dalam otakku. Kembali bisa kukuasai tubuhku dan menyalakan lilin, listrik sudah kembali menyala.

Aku mulai melakukan aktifitas seperti biasanya.

Meski perasaanku buruk, meski kecewaku masih bertahta, aku berusaha membuat diriku terlihat baik-baik saja. Paling tidak saat Mas Dian pulang nanti, dia tidak melihatku dalam keadaan seberantakan ini.

Makan malam sudah aku siapkan seindah mungkin. Semua yang ada di meja adalah makanan kesukaan Mas Dian. Di tengah meja aku letakkan lilin bertingkat yang tidak terlalu besar. Aku juga meletakkan vas bunga yang dipenuhi bunga mawar segar. Aku bisa merasakan aroma bunga mawar yang menguasai seluruh ruangan. Aromanya segar dan hidup. Aku baru memetiknya dari halaman belakang.

Biarlah semua ini dianggap sogokan. Yang jelas aku mau rumah tanggaku tetap bisa dipertahankan. Aku tidak ingin menyerahkan suamiku begitu saja pada wanita penggoda itu.

Aku menunggu…

Semua makanan sudah hampir dingin dan Mas Dian belum juga memperlihatkan tanda-tanda kepulangannya. Aku berusaha sabar, masih menunggu.

5 menit berlalu…

10 menit…

15 menit…

20 menit…

Waktu terasa begitu cepat mengejarku, suara jam dinding seakan memenuhi pendengaranku. Dadaku mulai terasa sesak. Aku mencoba menghubungi ponsel Mas Dian.

Terhubung.

Meski terhubung, tetap tidak ada yang bisa aku dapatkan. Mas Dian tidak mengangkat panggilan dariku. Kucoba lagi, lagi, dan lagi hingga tiga kali tapi hasilnya tetap nihil.

Kukepalkan tanganku erat-erat kemudian kuhantamkan ke meja.

Ingin sekali aku meledak, berteriak-teriak, dan menghambur semua yang ada di depanku namun tidak bisa aku lakukan.

Aku merasa diriku sangat menyedihkan. Padahal sudah sesesak ini pun aku masih juga belum bisa meledak. Air mataku mengalir dengan sangat deras. Lagi.

Rasanya sakit sekali. Sangat menyesakkan sampai-sampai untuk bernafas saja rasanya begitu sulit.

Aku terisak dalam keheningan rumahku yang biasanya hangat dengan kasih sayang. Yang biasanya selalu terdengar suara tawa dan kalimat-kalimat manja. Yang biasanya selalu bisa kudengar suara Mas Dian.

Lilin tiba-tiba saja mati padahal suasana terlalu tenang. Aku merasa semakin kesal, berpikir kalau semua hal sedang menertawaiku, malam memperolokku.

Kulipat tangan di atas meja dan kubenamkan wajahku. Dalam ruang remang-remang yang hanya ada aku sendiri menguasai sekelilingku, serasa seseorang sedang mendekat ke arahku.

Perlahan, selangkah demi selangkah.

Tidak mungkin!

Aku menahan nafas dan fokus mendengarkan. Tidak ada suara apa pun. Aku angkat wajahku dan kuamati sekeliling.

Benar, tidak ada siapa pun.

Aku kembali merasakan takut seperti sebelumnya, seperti saat listrik tiba-tiba mati. Aku masuk kamar dan mengunci pintu.

Aku baringkan tubuhku. Aku tidur menyamping menatap ke arah di mana mas Dian biasanya berbaring. Di mana aku bisa merasakan hangat embusan nafasnya, mencium aroma tubuhnya, dan di mana aku selalu memperhatikan wajah tampannya.

Aku pejamkan kedua mataku, membayangkan sosoknya ada di hadapanku.

Beberapa menit mencoba membangkitkan imajinasiku tentangnya, aku merasa sosok itu tengah benar-benar berada di depanku, balik menatapku.

Aku tidak ingin membuka mataku dan membiarkan sosok itu tetap tercipta dalam pikiranku. Aku tidak ingin membuka mataku karena tidak ingin sosok itu hilang.

Sungguh aneh, karena aku merasakan kehadiran sosok itu begitu nyata. Benar-benar ada. Wajahnya ada di depan wajahku. Begitu dekat. Aku memang tidak bisa merasakan hangat nafasnya atau pun mencium aroma tubuhnya, tapi aku merasa nyaman, tenang.

×××××

Pukul 02.15 aku terbangun. Kosong. Terkejut tidak ada siapa pun, aku mencari ke setiap sudut kamar. Kulihat pintu kamar masih terkunci menandakan tidak ada siapa pun yang masuk sepanjang malam.

Masih belum percaya, aku bergegas ke luar kamar. Tidak kutemukan siapa pun di mana pun aku mencari. Makanan yang aku siapkan di atas meja juga masih tetap sama, tidak ada yang berubah sama sekali. Aku sangat hafal, bahkan di mana setiap sendok aku letakkan.

Mas Dian tidak pulang sama sekali. Aku berjalan lemas menuju dapur. Kuteguk segelas air untuk membuat diriku lebih baik.

Ternyata sosok yang semalam kuanggap nyata hanya imajinasiku semata. Aku merasa konyol dan bodoh. Aku berstighfar dan segera ke luar mengambil air wudu.

×××××