Chereads / Another Popularity / Chapter 15 - 15-Penuturan Tentang Rencana Pernikahan

Chapter 15 - 15-Penuturan Tentang Rencana Pernikahan

"Iya, saya ibunya Shouki," jawab wanita itu. Beliau lalu membenarkan rambut Leony dan menyelipkannya di belakang telinga Leony. "Kau terluka dan mendapat malu karena anak saya. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya kepada kamu."

Leony tersenyum tipis. "Tidak apa-apa Oba-san." Leony terdiam sejenak. Dia berpikir kalau sekarang bisa digunakannya sebagai waktu yang tepat untuk mengatakan bahwa dia dan Shouki bukan orang yang ada di video itu.

"Oba-san, sebenarnya---"

"Saya dan orang tua kamu sudah membicarakan ini. Dan kami sepakat untuk menikahkan kalian berdua secepatnya."

DEG

Wajah Leony mendadak pucat pasi. Mendengar pernyataan itu membuat dada Leony mencelos. Rasa takut tiba-tiba menyelimuti hatinya. Entah kenapa, bayangan wajah Abare langsung menghiasi ingatannya. Hatinya langsung berteriak untuk mengatakan tidak.

"Tidak...." Leony berkata lirih. "Tidak....Kami tidak melakukan itu Oba-san. Saya dan Shouki tidak melakukan---"

"Leony, aku tahu ini berat. Tapi aku akan mempertanggungjawabkan perbuatan ku. Maaf aku membuat masa muda mu harus terganggu dengan pernikahan kita. Tapi aku berjanji untuk membahagiakanmu," ujar Shouki memotong perkataan Leony. Ia sudah berdiri di ambang pintu dengan senyuman dan tatapan senang di wajahnya.

Shouki sangat senang bisa merebut Leony dari Abare.

"Iya Nak Leony, Shouki akan bertanggungjawab atas perbuatannya. Oba-san tahu kamu tidak bersalah, maka dari itu Oba-san tidak ingin kamu menanggung semuanya sendiri. Oba-san senang kalau kamu bisa jadi menantu Oba-san," ucap ibunya Shouki dengan penuh kelembutan khas seorang ibu.

Bibir Leony bergetar, wajahnya nampak sangat cemas. Nafasnya tersengal dan keringat mulai membasahi pelipisnya.

"Oba-san. Sebenarnya saya dan Shouki itu----"

"Sudah menjalin hubungan sejak lama," ujar Shouki. "Kami sudah menjadi kekasih sejak beberapa bulan yang lalu."

Shouki tidak akan membiarkan Leony menjelaskan kejadian sebenarnya pada ibunya Shouki. Dia akan terus membiarkan kesalahpahaman ini berlanjut hingga mereka secara resmi menjadi sepasang suami istri.

"Tidak Oba-san, kami tidak----"

"Yokatta¹. Oba-san senang kalau kalian rupanya memang saling mencintai. Jadi tak ada perasaan terpaksa di sini. Oba-san yakin kamu dan Shouki akan menjalani kehidupan yang bahagia setelah menikah nanti. Oba-san sudah tidak sabar melihat cucu pertama Oba-san," ucap ibunya Shouki dengan perasaan bahagia. Beliau tersenyum sumringah, lalu langsung memeluk Leony.

"Tidak...aku dan Shouki bukan sepasang kekasih!" elak Leony. Ia harus menjelaskan ini secepat mungkin pada ibunya Shouki agar rencana pernikahan ini dibatalkan.

"Leony!" seru ayahnya Leony yang sudah berdiri di ambang pintu kamar tersebut.

Leony tersentak, wajah ayahnya terlihat marah kembali. Perasaan takut membuat mulut Leony tercekat. Ia tak berani mengelak atau mengatakan apapun ketika melihat ekspresi ayahnya tersebut.

"Akira-san, Leony hanya ingin mengatakan sesuatu. Kasihan dia, lagipula ini semua bukan salah dia. Ini adalah salah Shouki," ujar ibunya Shouki membela Leony.

"Tapi Tenuka-san, ini juga karena anak saya. Jangan menyalahkan anak anda secara berlebihan. Dan juga anak saya ini sangat sulit untuk diperingati. Anda tahu kan maksud saya? hal itu sudah kita bahas tadi," ujar ayahnya Leony.

'hal apa? apa ada hal lain yang dibicarakan mereka selain ini?' tanya Leony membatin.

"Setelah Shouki menikahinya nanti, tentunya Leony akan pergi bersama Shouki ke London. Saya sudah menyiapkan semuanya untuk mereka berdua. Dan tidak ada lagi lelaki pengganggu yang akan mempengaruhi Leony. Shouki akan menjaganya selalu," ucap ibunya Leony sembari mengelus pelan rambut Leony.

Mata Leony membulat sempurna. Dari apa yang dikatakan oleh mereka tadi memberitahu Leony satu hal bahwa mereka berniat untuk membawa Leony pergi jauh dari sini. Dan menjauhkannya dari Abare.

Leony tidak mau itu terjadi. Perasaannya hanya tertuju pada Abare. Dia tidak ingin berpisah dengan Abare. Apapun yang terjadi ia harus pergi dari sini, kalau tidak ia akan menikah dengan Shouki dan dibawa pergi jauh dari sini.

"Oba-san pulang dulu ke rumah ya Nak Leony. Jaga dirimu baik-baik, jangan menangis lagi. Kau harus menjaga kondisimu, karena pesta pernikahan kalian akan diselenggarakan sebentar lagi," ucap ibunya Shouki sembari mengusap kedua pipi Leony dengan ibu jari beliau. Rupanya Leony tak sadar sedang meneteskan air mata tadi.

Shouki beserta ibunya meninggalkan kamar Leony. Sebelum pintu benar-benar ditutup, ayahnya Leony sempat menatap tajam putrinya. "Jangan berpikir untuk kabur. Apa kau sudah bodoh untuk menghindar dari laki-laki yang ingin mempertanggungjawabkan perbuatannya padamu?"

Ayahnya Leony seakan tahu apa yang dipikirkan Leony, namun beliau tidak tahu kebenaran tentang kejadian ini. Sungguh ironi.

Beliau tak lagi menelusuri kebenaran, tak lagi mencari fakta dari semua ini terlebih dahulu. Wajar, karena beliau pasti berpikir pernikahan inilah jalan terbaik. Tapi nyatanya bagi Leony itu bukan jalan yang seharusnya ditempuh di hidupnya.

BLAM

Cklek

Pintu itu dikunci. Menyisakan Leony sendirian di kamar itu dengan berbagai macam dilema yang memenuhi pikiran dan hatinya.

Leony tak menyangka semua ini akan terjadi. Ia harus bagaimana? ia harus mengadu pada siapa? tidak mungkin ia meminta tolong pada keluarga jauhnya, pasti mereka akan menganggap permintaan tolong Leony sebagai hal yang konyol. Dan juga dengan apa Leony harus menghubungi mereka? sedangkan ponsel Leony sendiri masih di tangan mamanya Leony.

Ia meringkuk sedih, memeluk lututnya sembari menangis kembali. Ia sudah tak peduli dengan matanya yang membengkak akibat terlalu banyak menangis.

Ia tahu ibunya Shouki menyayangi dan menerima dirinya sebagai calon menantu beliau.

Ia juga melihat raut wajah bahagia Shouki. Berarti itu menunjukkan kalau Shouki tidak menolak dengan adanya pernikahan itu.

Tapi Leony sendirilah yang menolak ini semua. Sebab ia tidak mencintai Shouki sama sekali. Ia tidak mau menikah dengan lelaki yang tidak ia cintai.

Biasanya ia selalu berkeluh kesah pada Abare. Mencurahkan isi hati dan kesedihannya pada Abare ketika ia dilanda masalah. Dan sosok Abare akan memeluknya, dan setelah itu ia akan merasa lebih baik. Abare selalu ada di sisinya selama ini.

Namun sekarang ia sendiri. Tak ada sosok yang ia cintai di sisinya.

"Apa Abare terpengaruh dengan video itu? apa dia melihatnya dan membenci ku?" ujar Leony bermonolog. "Sampai sekarang dia tidak menghubungi aku.... Bahkan dia tidak mengetuk jendela itu. Dia tidak berusaha masuk ke sini untuk menemui ku."

Leony beranjak pelan dari kasurnya. Kakinya melangkah dengan tertatih-tatih, perlahan meraih gorden jendela kamarnya yang tertutup. Mengintip dari balik jendela kamarnya. Menatap jendela kamar yang ada di seberang sana.

Kamar itu terlihat gelap, biasanya Abare selalu menyalakan lampu kamarnya. Duduk dan menatap bintang yang bertaburan di langit, atau tidak duduk di meja belajarnya, fokus pada laptopnya yang selalu sibuk. Leony hapal semua aktivitas pemuda itu.

"Kamu kemana Abare?"

Wajah Leony terlihat sendu, seharian ini ia sudah menangis. Namun tak ada rasa lega di hatinya. Dan sekarang kesedihan itu bertambah tatkala sosok yang diharapkan Leony untuk ada di sisinya tak menampakkan batang hidungnya sedikitpun.

"Apa aku sudah terlihat menjijikan di matamu?"

Leony berharap kamar di seberang itu kembali terang, menampakkan siluet seorang pemuda. Lalu jendela itu terbuka, menampakkan pemuda itu. Yang selalu menatap Leony dengan manik mata yang membius hatinya itu.

"Aku tidak berharap ada lelaki lain di samping ku selain dirimu. Ku mohon....aku merindukanmu, aku...aku sakit. Aku terluka. Aku butuh kamu di sini."

Leony berpaling sebentar, menatap lamat-lamat kamarnya tersebut. Ruangan yang selalu menjadi tempatnya menghabiskan waktu di kala suntuk, bosan, ataupun sedih. Ia jarang jalan-jalan kalau tidak diajak Abare, atau mungkin sudah ada janji lama dengan teman.

"Apa aku harus pergi sekarang?" tanya Leony bermonolog.

Leony beranjak dari sana. Membuka lemari merah muda miliknya, wajahnya nampak serius. Tangan mungilnya yang masih terbalut plester luka meraih pakaian yang tersusun rapi di sana satu persatu.