Chereads / Tak Terima / Chapter 8 - BAGIAN 7; TEMAN SAJA, KATANYA

Chapter 8 - BAGIAN 7; TEMAN SAJA, KATANYA

2010. Tahun patah hati-ku yang pertama.

Dan semoga yang terakhir juga.

oOo

Siang hari-ku di penuhi dengan rasa tak karuan juga gaduhnya keramaian. Aku tak banyak bicara, hanya duduk saja sambil memandangi sekeliling.

Andra sedang mengantri untuk memesan sepiring nasi goreng, katanya sekolah ini punya nasi goreng terenak se-SMA di kota. Padahal kan kalau dipikir, siapa coba, orang kurang kerjaan yang mau melakukan tester nasi goreng ke setiap sekolah-sekolah menengah akhir di Jogja?

Ada-ada saja.

Mungkin memang benar kata Bapak, bahwa sejatinya masa-masa SMA adalah masa dimana hiperbola merajalela.

Lalu di tengah ramainya obrolan seputar remaja dan gaduh-nya suara oseng-oseng kuali, hatiku malah sebalkinya. Ia sepi tak berpenghuni, karena perasaanku tak sepenunya bahagia. Sepi justru hadir disaat suasana sekitar sedang ramai-ramainya, layaknya halaman belakang rumah yang lama sudah tak diurus, semua mawar-nya layu, dan penuh ditumbuhi benalu.

Aku adalah orang yang paling Andra cari di lingkup pertemanannya, tapi sepertinya semua kehadiran ku itu tidak cukup membuatnya tertarik untuk menaruh hati. Malah sekarang berakibatkan aku yang patah rasa.

Istirahat pertamaku di SMA berjalan dengan buruk. Ah tidak, memangnya sejak kapan hal baik pernah terjadi di hari ini? Yang berjalan dengan buruk bukan hanya di waktu istirahat saja. Semuanya merupakan kesalahan; mungkin memilih untuk bersahabat dengan Andra juga jadi salah satunya.

Jujur, aku sedikit menyesal karena tadi sudah memancing Andra untuk mengatakannya secara langsung. Kali ini jawaban itu benar-benar nyata terucap dari mulut Ia yang kupuja, bukan hanya sekedar perkiraan yang selalu ingin aku percaya.

Andai saja, aku bisa mengontrol perasaan-ku dengan baik. Ya paling tidak, walaupun hanya makan sepiring berdua, aku bisa menghabiskan kuning telur yang tidak disukai Andra dengan suasana hati yang senang. Lalu aku makan tomatnya, Andra mentimun dua. Atau memperebutkan banyaknya wilayah kekuasaan nasi, kemudian di akhiri dengan makan renyahnya kerupuk.

Kalau saja, aku bisa untuk tidak membiarkan perasaan yang salah itu mempermainkan alam perasaanku.

Tak lama, Andra datang membawa apa yang Ia pesan; sepiring nasi goreng level super pedas.

"Es teh nya nanti di anter yak!" Serunya, memberitahuku.

"Iya santai aja, gue 'nggak minum juga gapapa kok."

Andra yang tadinya sudah menggenggam garpu dan sendok , tiba-tiba saja menjatuhkan kedua bahu sebagaimana raut wajah manusia kecewa pada umumnya. Ingin sekali rasanya ku sampaikan pada Andra; 'Ndra, gue itu manyun bukan karena takut kehilangan lu semisal nanti lu temenan sama orang secantik Ayu, gue lagi patah hati Ndra, patah hati karena secara 'nggak langsung lu udah menepis perasaan suka gue ke lu!'

Tapi setengah hatiku melarang keras untuk mengatakannya, dan nyali yang ku punya pun 'nggak sebesar itu.

Andra mengehela napasnya kasar, kemudian kembali meletakkan sendok dan garpu itu di posisi awal; di sebelah piring yang jaraknya dekat dengan ambang meja.

Ia menatap kearah ku yang bahkan tidak menatapnya sama sekali.

"Ran, tahu 'nggak? Katanya, Bunda gue dulu tuh primadona di kampus." Pancing Andra, tiba-tiba saja mulai bercerita. "Gue sih 'nggak heran karena sering lihat foto-fotonya dulu di masa itu, termasuk yang di pajang di ruang tamu, dan gue rasa lu pun setuju sama pendapat gue dan orang-orang yang bilang Bunda primadona."

Andra tersenyum cukup lama untuk sekedar mengisi jeda pada perkataannya. Senyum Andra terasa gemuruh sekali, mengalahkan ramainya kantin saat ini.

"Bahkan sampai sekarang, garis-garis usia di wajah bunda masih menyisakan banyak kecantikannya waktu masih muda dulu."

Aku seakan terhipnotis untuk menyerap semua energi yang Ia gunakan untuk bercerita se-sumringah itu, bahkan aku tak mampu menahan senyum. Juga, posisi duduk seperti ini sangatlah mendukungku untuk bisa melihat wajahnya yang manis itu dengan lebih jelas, membuat degupku semakin nyaring terdengar.

Yaampun Tuhan.. tolong hilangkan perasaan ini sekarang juga, plis.

Andra menyerahkan garpu dan sendok padaku, dan Ia kembali menggenggam garpu dan sendok miliknya. Ia mulai membelah nasi di piring dengan tidak mengatakan apapun, dimana bagian punyaku lebih banyak daripada punyanya sendiri. Lalu, Ia meletakkan tomat di sela garis bagi yang membelah kedua kelompok nasi tersebut.

"Dulu, Bunda kuliahnya di Farmasi. Bunda itu, ibarat tomat ini, merah, mencolok, cantik. Sementara nasi-nasi yang ada di sekelilingnya adalah para pria bujangan usia produktif menikah." Ia menggigit salah satu timun, dan satunya lagi Ia letakkan disebelah tomat.

'Itu pasti untuk mewakili Ayah.' Pikirku.

"Nah, kalo lu berpikir bahwa timun ini Ayah, lu nggak salah lagi. Ayah dulu punya luar yang sama kayak lelaki kebanyakannya, ya, lelaki kebanyakan. Tapi isinya.. edisi terbatas, beda, kayak ada manis-manisnya." Aku tertawa ringan, mendengar ocehan Andra yang mengandung unsur lawak itu.

"Diantara maraknya pria yang ngejar-ngejar Bunda, Ayah malah menanggapinya dengan biasa. Ayah bilang, dulu Ayah belum punya keberanian untuk mengutarakan rasa, dan Ayah pun tahu kalau Bunda udah terlalu capek nerima pernyataan yang lebih seperti penawaran cinta itu, dari yang ngajak pacaran sampai langsung ke pelaminan."

Diam-diam, aku mendengarkan dan mulai tertarik. Aku sudah lelah mencari cara untuk menyudahi Ia bercerita, hampir setengah diriku terlanjur hanyut dalam tutur katanya. Aku bahkan sudah memasuki suapan kedua nasi goreng yang tadinya sama sekali tak berniat untuk ku sentuh.

Cih, aku mikir apa sih? Aku harus segera mengelak. Kenapa pula aku harus termakan bujuk rayu-nya yang terlalu melebih-lebihkan itu? Dan kenapa juga aku malah menyimaknya dengan kagum dan degup begini? Seharusnya sekarang ini aku sedang marah-marah dan menutup diri, bukannya malah malu-malu ingin tahu pasal kisah ini.

"Ayah itu merasa paling nyaman waktu dia mendalang, jadi dia pakai cara itu sebagai peluangnya buat dapetin hati Bunda yang udah capek. Buat Bunda, semua lelaki yang dia temuin itu belum tepat di hatinya. Nah suatu waktu, ayah ngajak Bunda jalan-jalan di Malioboro, kebetulan waktu itu bunda ada balas budi ke ayah karena ayah nemuin dompetnya yang ketinggalan di kantin." Lanjutnya lagi.

"Sebelum nganterin Bunda pulang, mereka berdua mampir ke tempat Ayah biasanya mendalang. Ayah mendalang untuk bunda, pertama kalinya mendalang untuk seorang wanita, dan cuma satu orang itu saja yang menyaksikan." Ia kembali memberi jeda, dengan maksud ingin menimbulkan rasa keingintahuan di wajahku. "Kamu tahu, apa yang Ayah bilang habis itu?"

Aku menggeleng, menatap wajahnya yang penuh semangat bercerita itu dengan pipi yang merona. Aku sebenarnya 'nggak mau terbuai, tapi malah terlanjur sudah aku salah tingkah.

"Kata Ayah, 'Dek Yu, pernikahan itu sakral, hanya sekali seumur hidup, walau bisa saja lebih kalo punya hati yang banyak untuk istri kedua.'"–Aku tertawa ringan, Ayah memang selalu begitu–"Tapi, orang seperti saya cuma punya satu hati, dan hati saya sudah saya persiapkan untuk Dek Yu. Ini pertama kalinya saya mendalang kisah romantis yang hanya di tonton oleh satu wanita, karena pada dasarnya saya terlalu bingung mengungkapkan rasa. Entah Dek Yu suka atau tidak punya suami yang pandai mendalang, itu tergantung hati Dek Rahayu sendiri yang menjawab. Akan saya tunggu.'"

Andra mengisi paru-parunya dengan udara segar, lalu menghembuskannya dengan begitu lembut; deru napasnya.

"Ayah bilang muka Bunda langsung merah tanpa di kasih perona waktu itu, mungkin sama persis kayak ekspresi lu sekarang." Sambungnya.

Aku tersentak mendengar perkataan Andra yang baru saja menyudahi ceritanya itu, kemudian memegangi pipiku yang katanya sudah memerah.

Sudahlah, aku menyerah saja. 'Kan sudah kubilang, Andra itu memang paling bisa dalam hal membolak-balikkan hati seseorang. Apalagi hati perempuan.

"Terus, lu bakal ngelakuin hal yang sama kayak ayah kalo ntar lu mau ngajakin orang nikah?"

Andra menggeleng, "Kalo mendalangnya sih enggak, tapi kalo kata-kata romantis nya itu sih so pasti."

Diam-diam dan tanpa sadar, aku berharap agar aku punya nasib yang sama dengan bunda. Di lamar dengan romantis oleh Andra, meskipun untuk saat ini Andra masih belum menaruh hati padaku. Dan coba bayangkan, betapa indahnya kalau sampai itu terjadi.

Tapi, kalau aku berusaha barang sedikit lagi, sedikit saja. Mungkin.. mungkin aku masih punya kesempatan.

Andra kemudian tersentak seperti ada hal lain yang masih ingin dibicarakan.

"Eh gue kemaren dipinjemin buku sama Bunda, isinya puisi-puisi gitu, ntar lu coba baca deh," katanya menyarankan. "Indah banget isinya."

'Iya, indah banget.' kataku dalam hati. 'kamunya.'

AKHIR BAGIAN 7.