"Percuma anggota banyak, tapi karyanya dikit."
Menurutku, Kak Naru adalah satu dari sedikit lelaki zaman sekarang yang kalau bicara suka terlalu tiba-tiba, tanpa memikirkan topik ataupun alur pembicaraan. Entah memang seperti itu, atau karena ingin menyelamatkan diri dari kata sunyi sebelum Ia terlanjur menikmatinya.
"Aku 'nggak ngerti, maksud Kak Naru apa?" Tanyaku, sambil menatapnya dengan kening berkerut.
"Orang se-teliti kamu 'nggak mungkin beranggapan kalo tes masuk eskul itu suatu cara yang salah." Katanya lagi, memberi jeda. "Sebenernya, kamu lebih setuju kan? Kalo anggota itu di pilih-pilih."
Aku memilih untuk diam saja, memikirkan perkataan kak Naru yang tidak sepenuhnya salah. Dan, kalau boleh jujur, sebenarnya aku pun kurang suka jika harus berada di sebuah kelompok yang terlalu ramai atau semacamnya. Aku lebih suka sesuatu yang cukup saja. Tidak kurang, tidak lebih. Tidak ramai, tidak sunyi. Namun cukup.
"Kamu bisa gambar?" Kak Naru kembali bicara, kali ini dalam bentuk pertanyaan.
Caranya bertanya, caranya bicara, dan caranya menjawab, seakan menunjukkan bahwa Ia sedang berusaha agar sunyi tidak sampai datang menghampiri kami.
Aku mengangguk, meski anggukanku itu tak dapat dilihat olehnya yang masih fokus pada jalanan. "Bisa kak,"
"Sekedar bisa, atau hobi?"
"Udah jadi hobi."
"Ohh.. nanti pas pensi, gambar di tembok sekolah mau 'nggak? Nanti selese acara di cat ulang lagi kok!"
"'Nggak ah.."
"Lohh? Kenapa? Lemah di ide ya?"
"Malah kebanyakan ide, jadi bingung milih yang mana, dan udah keburu takut sama ekspektasi sekitar."
Kak Naru terkekeh mendengar jawabanku. Bagi seorang Naru, jawaban seperti itu adalah sebuah bentuk ketidakbersyukuran seseorang atas bakat yang dimiliki. Ia paham, rasa takut sebelum mencoba itu suatu hal yang wajar. Ia pun paham, bahwa memantapkan hati itu sangatlah penting sebelum ingin mengambil sebuah keputusan. Tapi, mau sampai kapan?
Kak Naru itu termasuk orang dengan pemikiran yang dalam. Tidak sebanding dengan orang berpemikiran dangkal sepertiku.
Bagiku, jawaban yang baru saja aku lontarkan itu adalah jawaban yang sah sah saja apabila ingin disampaikan kepada yang bertanya. Bukannya malah bagus? Jika kita mengakui ketakutan-ketakutan yang dirasakan? Ini juga tidak jauh-jauh dari bicara soal kenyataan.
Aku kemudian memutar bola mataku malas, "Udah kali kak ketawanya.."
"Maaf maaf.. kebablasan." Ujar Kak Naru, setelah puas menertawaiku. "Eh Ran! Tahu 'nggak? Kalo kata Bundaku nih ya.. orang kayak kamu itu terlalu banyak berkehendak, sampai lupa caranya bertindak."
Perkataan Kak Naru membuatku tertegun. Kalau dipikir-pikir lagi, kapan ya.. terakhir kali aku bisa berpikir dengan tenang? Belakangan ini pikiranku memang sedang kacau-kacaunya, semua gara-gara Andra.
Gara-gara rasa cinta sialan.
Hatiku perih tak beralasan, mataku basah tak berpenjelasan. Kadang degup jantungku bertindak melampaui batasnya, kadang senang hanya bisa dirasa jika Andra sempat menanyakan kabar. Aku sendiri belum tahu alasannya. Alasan mengapa aku masih mau bertahan dengan hubungan persahabatan yang sudah kacau balau seperti ini. Aneh.
Kalau ternyata alasan yang seperti ini masih termasuk salah satu bentuk cinta, wah.. lama-lama aku bisa mati karena terlalu tunduk terhadap cinta itu sendiri.
Aku kemudian tersentak, semua pemikiran di dalam kepalaku hilang dalam sekejap.
"Pelan-pelan aja Ran, jangan semuanya mau kamu genggam sekaligus." Ujar Kak Naru memberi nasihat, sementara vespa miliknya masih tetap melaju dengan kecepatan stabil.
Ia tidak jauh berbeda dengan Andra, keduanya masih punya rasa takut terhadap hukum berkendara.
"KAK!! LAMPUNYA MASIH HIJAU TUH!!" Seruku panik.
Kalau yang satu ini bisa di tembus, kami bisa sekalian menghemat waktu. Lumayan untuk seukuran orang yang terburu-buru sepertiku.
Tanpa mengatakan apa-apa, langsung saja Kak Naru menancap gas dan menaikkan kecepatan vespanya. "Minggir!! Telor asin mau lewat!!"
Aku tertawa di dalam helm yang kebesaran. Membelah jalanan kota Jogja, sama seperti dulu aku dan Andra. Hanya berdua.
oOo
Stasiun Lempuyungan ramai oleh sebagian orang yang memiliki tujuan sama seperti aku dan Ibu. Terlepas dari itu, Stasiun yang bernuansa klasik khas kolonial belanda ini memang pada dasarnya sudah ramai, karena memilih kereta sebagai alat transportasi adalah pilihan yang paling sehari-hari.
"Aku temenin kamu masuk sampe kamu ketemu sama Ibu mu ya Ran?" Pinta Kak Naru.
Anehnya, aku mengiakan. Tapi.. apa kata orang tuanya Kak Naru kalau sampai dia pulang terlambat?
Langsung saja aku mencegatnya. "Nanti kalo Kakak dimarahin orang tua karena pulang telat gimana?"
Ia mengusap pucuk kepalaku. "Nggak bakal, aku anak kos soalnya, jauh dari orang tua."
Kak Naru menyunggingkan sebuah senyuman. Senyumannya manis, semanis teh madu hangat buatan Ibu ketika aku terbangun dalam keadaan sakit. Keduanya sama-sama menyembuhkan luka.
Luka yang ini, luka hati.
Sementara itu diujung sana, aku berhasil mendapati ibu yang sedang gelisah; entah itu ditujukan untuk kepulangan bapak, atau kehadiran ku yang hampir saja terlambat. Mungkin pula keduanya. Ia melongokkan kepalanya di sela-sela keramaian.
"Bu!" Seruku, berharap Ia menoleh.
Dan ya, harapanku terpenuhi. Ia menoleh, melihat kearahku, dengan tangan yang menggenggam dua tiket kereta tujuan Semarang. Ibu kemudian berlari kecil menghampiriku yang berdiri tidak jauh dari posisi awalnya. "Ibu cariin kamu dari tadi! Kenapa datangnya telat gini sih Ran?"
Baru saja aku ingin menjelaskan, tiba-tiba Kak Naru menyerobot masuk kedalam pembicaraan.
"Saya Naru, ketua eskul fotografi. Tadi ada pertemuan, sampurane buk, udah bikin Ranu telat."
Ibu tertegun melihat sosok Kak Naru yang menurutnya lebih ganteng ketimbang Andra. Sebelum melahirkanku, Ibu memang lebih menginginkan anak laki-laki, hanya saja Tuhan menolak untuk mengabulkan permintaannya. Jadi kalau Ibu sampai melihat cowok seusiaku yang tampangnya lumayan, sikap Ibu pasti langsung berubah 180 derajat.
Buru-buru ibu menjawab, "Oh gapapa kok, namanya juga eskul sekolah."
'Hahh.. Ibu ini..'
Kalau aku menjelaskan hal yang serupa seperti apa yang Kak Naru bilang, sekarang pun Ibu pasti masih akan tetap memarahiku. Jelas pemicunya adalah karena aku yang bicara, dan bukan cowok se-ganteng Kak Naru.
Aku dan Kak Naru berjalan menuju kursi tunggu, berbeda dengan Ibu yang sudah tidak sabar menunggu kedatangan kereta yang nantinya akan membawa kami pada kepulangan Bapak. Ia memilih untuk tetap berdiri gelisah disana, di tempat yang tidak begitu jauh dari pemberhentian kereta.
Kepulangan Bapak sudah diperhitungkan oleh ibu, dan menjalani proses menemuinya dalam keadaan duduk justru malah membuat Ibu semakin gelisah.
Tanpa disadari, aku tertawa melihat tingkah laku ibu. Sementara Kak Naru yang belum tahu mengenai kronologisnya mulai menatapku keheranan. "Kenapa sih?"
"Gapapa, lucu aja liatin Ibu."
"Alasannya?" Responsnya bingung.
"Liat tuh kak, Ibu ku tuh kelihatan gelisah banget setiap mau jemput Bapak. Tapi.. kalo Bapak nanya, 'Ibu kangen gak sama Bapak?' Ibu selalu jawab 'Enggak tuh!'" Aku menarik napas sejenak sebelum kembali melanjutkan, "Hah.. Ibu tuh gengsian banget orangnya."
Kak Naru ikut tertawa setelah aku selesai menjelaskan. Sudah kuduga Ia akan tertawa seperti Andra waktu itu. Lagipula, siapa yang tidak merasa geli dengan sikap kekanak-kanakan milik Ibu?
Sikap Ibu yang satu itu kemudian berhasil membuatku menggelengkan kepala, "Suka lucu emang sama Ibu."
"Loh? Aku justru ngetawain kamu Ran, bukan Ibu kamu." Tukas Kak Naru.
Kini, malah aku yang balik menatapnya dengan tatapan keheranan. Keningku kembali mengkerut, kehadirannya seolah memaksa Kak Naru untuk segera memberi penjelasan atas perkataannya.
"Buat Ibu mu, pertanyaan Bapak itu bukan sebuah hal yang patut ditanyakan." Jelas Kak Naru. "Ibu sayang sama Bapak mu, Bapak mu juga begitu, terus mereka harus pisah, dan ketemu lagi setelah berbulan-bulan. Kerinduan antar pasangan yang saling cinta itu 'nggak perlu ditanya ada atau enggaknya, kerinduan itu pasti ada tanpa diminta, Ran."
Perlu waktu untukku menjawab semua penjelasannya. Ah tidak, aku benar-benar tidak bisa menjawab sepatah katapun.
Aku sudah tinggal bersama Ibu dan Bapak sedari kecil, memang aku anaknya, tetapi pemikiranku tidak pernah sampai pada apa yang Kak Naru pikirkan. Yang kutahu, Ibu itu hanya seorang wanita paruh baya dengan sikap gengsi yang masih melekat dalam dirinya.
Hari ini sudah dua kali hatiku dibuat tertegun, besok entah berapa kali lagi aku harus merasa seperti ini?
Aku merasa malu padanya yang begitu tahu caranya memahami seseorang. Dan aku merasa malu karena telah beranggapan hanya Andra yang memiliki sikap seperti itu.
Justru tidak. Andra tak pernah paham soal perasaan orang, bahkan perasaanku saja tidak.
"Terus, menurut Kakak, maksud Bapak nanya gitu apa?" Tanyaku tak lama setelah kami saling diam.
"Bapakmu itu cuma main-main, karena bingung harus ngomong apa setelah akhirnya ketemu Ibu kamu lagi." Ia mencubit pipi kananku, membuat mukaku merah bagai udang yang baru diangkat dari rebusan air mendidih.
Duhh.. bisa gak sih kalo 'nggak usah pakai kontak fisik? Aku 'nggak biasa sama laki-laki lain kecuali kalo laki-laki itu adalah Andra.
Aku kemudian menaikkan sebelah alis, "Katanya tadi mau pulang sampai aku ketemu ibu? Sekarang aku udah ketemu Ibu loh.. pul—,"
Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, tiba-tiba saja Kak Naru sudah lebih dulu memotongnya.
"Gapapa, pengen aja." Tukasnya santai. Ia kemudian mengalihkan pandangannya kearahku.
Untuk pertama kalinya, netra kami bertemu dalam jarak sedekat ini. Tatapannya begitu lama, sama lamanya seperti aku harus menanggung rindu kepada bapak. Tatapannya mengandung romansa, ada begitu banyak kemesraan di dalam sana. Tak heran mengapa potret yang Ia hasilkan begitu terasa manis, semanis janji-janji Andra yang selalu kuingat di setiap paginya.
"Jangan terlalu bawel ya Ran," ujarnya dengan nada lembut, "Nanti aku terbiasa."
Aku melipat kedua tanganku di dada. "Emangnya kenapa kalau aku bawel?"
"Aku suka cewek bawel."
"Seenggaknya Kak Naru itu suka cewek bawel yang masih batas wajar." Kataku berdalih. "Aku bawelnya udah over loh.."
"Makin over malah makin bagus dong!" Jawabnya santai, seolah itu bukan masalah besar baginya.
"Kak Naru mah cuma mandang cinta dari indahnya aja, padahal aslinya mah.. bikin pusing tujuh lapangan sepak bola!"
"Yeee.. itu sih karena kamu ketemu orang yang belum tepat." Katanya, "Coba aja kalo hatimu itu buatku, pasti tepat."
Aku hampir terbahak, "Kak Naru tuh emang paling bisa ya.. kalo bercanda."
"Siapa bilang aku bercanda?"
Aku terdiam, dan senyumku pudar. Maksudku, 'Masa secepat ini?!'
Perkataan Kak Naru barusan seolah Ia menyuruhku untuk memilih hatinya dengan segera. Aku mengernyitkan alis dan setengah termenung. Berusaha mencari cara untuk menyanggahnya, tapi justru kesulitan karena hatiku terlanjur mengerti bahwa cinta tak bisa dipilih.
Aku tidak boleh ego, terlepas dari semua perasaanku pada Andra. Kali ini bukan cuma perasaanku saja yang masih dalam bentuk teka-teki. Sedari pertemuan kami di sore ini, perlu disadari bahwa Kak Naru sudah menjadi bagian dari wujud teka-teki itu sendiri.
"Memangnya siapa yang bisa menerka kalo pasangan yang kita dapat itu sudah tepat?" Aku membalas perkataannya seolah sedang membela perasaanku pada Andra.
Hanya karena aku tahu Ia punya rasa padaku yang hatinya sudah terlanjur jatuh pada orang lain, bukan berarti aku mengizinkannya untuk bicara soal ketepatan. Seperti kataku tadi, cinta tak bisa dipilih, dan aku tidak serta merta langsung meninggalkan cintaku pada Andra lalu memilih dia. Lagipula, ini baru satu setengah jam setelah pertemuan kami. Bagaimana bisa seseorang mencintai orang yang baru di kenal dalam tempo waktu sesingkat itu?
Ia menunjuk bagian kiri dadanya, dimana itu adalah tempat degup jantungnya bersemayam.
"Hati." Jawabnya singkat. "Dari awal aku lihat kamu, aku tahu kalo kamu sebenernya udah sadar. Hati kamu, ada di tempat yang salah, Ran."
Ia kemudian menunjukkan garis-garis ketegasan di setiap lekuk wajahnya. "Aku anak OSIS, aku lihat kamu di hari pertama, kamu periang.. terus, kemana perginya senyum si putri kodok sekolahan? Kepura-puraan macam apa itu? Sampai kapan kamu mau lari Ran?"
"Sampai aku sembuh, dan bisa pulih sepulih-pulihnya." Aku bicara soal hati.
Ia tahu itu.
Dan Ia ikut menjawab soal hati pula. "Bakalan aku tunggu Ran, dan aku bantu."
Stasiun Lempuyungan menjadi satu-satunya saksi bisu yang mendengarkan seluruh ucapan Kak Naru, ucapan yang lebih pantas disebut dengan janji.
Setelah kami berdua lama saling berdiaman, akhirnya pengumuman yang menyatakan bahwa kereta ku dan Ibu sudah siap untuk dinaiki berbunyi nyaring memenuhi seantero Stasiun Lempuyungan. Aku menitipkan surat izin sekolah kepada Kak Naru karena akan menginap semalam di Semarang. Harusnya, surat ini ku titipkan pada Andra.
"Hati-hati pas pulang nanti." Itu saja pesan dari biruku, yang saat ini belum bisa membalas cinta Kak Naru.
Aku berjalan menjauhinya, Ia masih berdiri disana, mengamatiku saja.
"Ran!" Serunya tiba-tiba.
Kak Naru berjalan menghampiriku, kemudian menarikku kedalam dekapannya. Dekapannya lama terasa hangat, menebus pembuluh arteriku, mengundang tangis di kedua mataku.
Aku melepaskan diri dari dekapannya. "Ranu pamit sebentar, maaf ya kak, udah ngerepotin."
AKHIR BAGIAN 10.