"Ran! Bantuin Bapak angkat kardus yang ini." Titah Bapak padaku.
Hari ini hari yang baik, aku yakin itu. Kami sampai di Jogja sekitar pukul sebelas tadi. Seperti biasa, siang di Jogja begitu terik dan pengguna motor semakin marak saja keberadaannya. Sesampainya kami di rumah, aku langsung menyalakan tape musik kesukaan Bapak, dan Ibu langsung berdendang mengikuti irama.
Dentuman musik tahun 80-an itu mengisi siang kami dengan penuh nostalgia, menemani aku dan Bapak yang tengah sibuk mengelompokkan oleh-oleh untuk tetangga dan sanak saudara.
"Nah ini di pisah-pisahin Ran, yang ini buat Mas Nif, sama Bu Wiwit sebelah."
Aku membalas perkataan Bapak dengan hati yang kesal, "Pokoknya nanti Ranu 'nggak mau nganterin oleh-oleh punya Ayah Nif ke rumahnya, nanti ketemu Andra, Ranu lagi males!"
Aku menolaknya seolah sudah tahu bahwa nantinya akan disuruh melakukan hal itu. Pesan dari Andra masih belum bisa aku ampuni sampai hari ini, sebab isinya begitu mengundang sakit hati.
Atmosfer di sekitarku masih terasa usang, dan kenangan indah ku bersama Andra kini justru sedang amarah.
"Kamu tuh kenapa toh sama Andra?" Tanya Bapak dengan nada keheranan.
"Andra tu loh Pak.." aku mengambil posisi nyaman bercerita. "Kemarin dia janji mau nganterin Ranu ke Stasiun, ehh.. tapi malah gak jadi! Untung aja ada kak Naru.. kalo 'nggak pasti udah gagal kejutannya."
Bapak terkekeh, "Kak Naru sopo toh? Pacarmu?"
"Ihhhh.. Bapak! Jangan keluar dari topik pembicaraan dong.."
"Yo wess Bapak minta maaf.. yaudah itu buruan di pisah."
Selain hari yang baik, jujur hari ini Jogja memang terasa panas sekali, menyebabkan Bapak beraktifitas hanya dengan mengenakan kaos dalam dan sarung seadanya saja. Tak jarang pula kulihat Bapak sesekali menyeka keringat di pelipisnya.
"Itu, sisa di dalam kardus ada berapaan lagi Ran?" Pandangannya tertuju pada kardus yang Ia maksud.
"Umm.. berapa ya?" Perlu waktu bagiku untuk mejawab pertanyaan Bapak, karena jawabannya bergantung pada hasil perhitungan yang akurat, dan seperti yang kau tahu, otakku benar-benar tak pandai di bidang itu.
Aku mengernyitkan dahi, "Gatau deh Pak, bingung.. panas banget nih Ranu 'nggak bisa mikir!"
Bapak memutar bola matanya malas, menatapku yang kemudian berjalan menuju kipas angin. Aku duduk tepat di depan baling-balingnya sambil sesekali mengibasi diriku sendiri, agar panas yang menyengat ini terasa lebih mendingan ketika menerpa kullit. "Ini kipas angin udah 'nggak dingin lagi Pak, Ranu saranin beli baru aja."
"Sini duitnya Ran!!!" Seru ibu dari belakang.
Ibu sedang berkecimpung dengan bahan masakannya di dapur, memasak lauk untuk makan siang yang tidak jauh-jauh dari tempe bacem, telur balado, dan sayur kangkung yang sudah jadi menu favorit di keluarga kami.
Bapak menaikkan kedua alisnya, "Tuh.. udah di jawab Ibu tuh."
"Ck! Apaan sih Bu!!!"
Tak lama setelah percakapan itu berakhir, ada seorang pria mengucapkan salam dari ambang pintu yang sontak kami jawab dengan saksama. Suaranya terdengar tidak asing tatkala Ia menembus indra pendengaranku. Suara ini, sudah pasti suara Andra. Amarahku makin berkobar, dan secara saksama pula, kali ini aku ingin lebih mudah dalam membenci Andra.
"Ini Andra, boleh masuk 'nggak om? Tante?"
Aku langsung beranjak dari posisi duduk ku. "Nggak usah! Aku aja yang samperin!"
Ya.. benar begitu Ranu, menjauh.
Bagaimanapun, aku ingin lekas kembali pulih. Baik pulih dari sakit karena terkena api cemburu pada Ayu, maupun pada perubahan sikap Andra yang kini sudah sangat total. Aku tak ingin terus-terusan ada pada perasaan kosong tak berujung, sementara disana ada laki-laki yang bisa membalas seluruh cintaku dengan cinta yang sepadan; ya, Kak Naru.
Bapak langsung menatapku dengan raut bertanya-tanya. "Kenapa 'nggak disuruh masuk?" Tanyanya, nyaris berbisik.
"So-soalnya rumah lagi berantakan Ndra, tunggu disana aja ya!" Kataku berdalih, masih menatap Bapak.
"Iya Ran! Santai aja!"
Aku berjalan ragu-ragu saat hendak menghampirinya, kemudian berhenti sejenak sebelum benar-benar yakin dengan kemampuan mengontrol emosi ku. Mari kita kenakan topeng, dan mulai bermain peran lagi.
Andra sedang duduk saat aku tiba di depan teras rumah. Ia disana, duduk di kursi besi yang tidak jauh dari ambang pintu. Tangannya tampak menggenggam gawai miliknya, dan matanya fokus tertuju pada layar benda itu.
Aku melipat kedua tanganku di dada, "Kayaknya seru banget tuh tukar pesannya?"
"Eh Ranu!" Seru Andra, sontak berdiri. Segera Ia memasukkan benda itu kedalam saku celananya.
Aku hanya menatapnya dari atas hingga bawah dengan wajah jutek. Iya juga, hari ini hari Rabu, hari ini bukan hari libur dan sistem belajar mengajar sudah pasti tetap berjalan. Jam segini belum saatnya untuk pulang, dan seragam sekolah jelas-jelas masih terpakai rapih menutupi tubuh proposional milik Andra. Tentu saja semua hal itu berhasil membuatku menciptakan asumsi-asumsi baru, bahwa saat ini Ia sedang membolos.
Seakan mengerti dengan tatapanku, Andra langsung buka mulut dan menjelaskan, "Guru-guru pada rapat, jadi anak murid di pulangin gitu.. jangan salah paham Ran."
Sekoyong-koyong, Ia kemudian melingkarkan tangannya hendak memelukku, namun dengan sigap aku mengelak dengan wajah yang masih menunjukkan raut amarah.
Andra menjatuhkan bahunya. "Masih marah ya?"
"Kalo 'nggak ada ketua eskul fotografi kemarin, mungkin gue gak jadi ke Semarang Ndra.." kataku. "Lu tahu kan, seberapa pentingnya ini buat gue?"
Andra mengacak-ngacak rambutnya. "Aduh.. sorry banget Ran.. gue udah suruh temen gue si Harsa, tapi mendadak dia 'nggak—,"
"Yang gue tanyain itu elu-nya Ndra, bukan temen lu si Harsa Harsa itu." Kataku menggeleng.
"Ya gimana lagi Ran, masa pas pacar minta di anterin.. malah gue tinggalin gitu aja?"
"Pacar?" Rensponsku bingung.
"Iya, gue pacaran sama Ayu.. masa lu gak tau sih?" Ia tersenyum simpul seraya menaikkan kedua alisnya. "Gimana? Hebat kan gue? Bisa berhasil dapetin cewek secantik Ayu, primadona sekolahan."
Aku membelalakkan mata, dan sedikit tersentak. Jawaban Andra berhasil membuat sebuah sirkulasi ombak gemuruh di relung hati ku. Zona angan-angan ini sudah tak bisa lagi untuk ku genggam, Andra sudah jadi kepunyaan perempuan lain. Sejak awal, semua perasaan ku ini memang tak pernah menemukan titik kejelasan. Harusnya saat aku tahu, aku langsung berhenti saja di titik itu.
Benar kata Bapak dulu, bahwa rumah yang terasa nyaman, bisa jadi yang paling membahayakan. Dahulunya, ungkapan itu terdengar seperti lelucon di telingaku. Aku tidak sepenuhnya paham arti dari ungkapan yang disampaikan Bapak. Kalimat itu terasa begitu aneh dan asing, namun sekarang malah jadi kalimat yang paling aku kenali, seolah Ia adalah teman baikku.
Segera aku mengenakan tameng penangkis huru-hara. "Lu pacaran aja gak ngasih tahu gue."
"Yaampun.. rumit lagi dah masalah." Jawab Andra, mulai menggigiti bibirnya. "Gue juga minta maaf yang itu Ran.. suwer dah gue lupa banget mau ngahsih tau lu."
"Lupa? Lupa lu bilang?! Ndra kita tuh sebenernya masih sahabatan 'nggak sih?"
Andra mengernyitkan dahinya, "Ya.. ya masih lah!"
Telak. Jawabannya barusan benar-benar membuatku semakin merasa rumit. Aku membalasnya dengan amarah di dada. "Terus kenapa lu berubah?! Kenapa bisa lu lupa sama gue?!"
Aku kesal padanya. Bisa-bisanya Ia datang dengan wajah polos, hampir memelukku dengan kata-kata manis dan senyum itu. Pertahananku runtuh. Air mataku jatuh sebanyak sakit yang sudah aku terima sejauh ini. Aku rapuh di hadapan cinta pertamaku, di hadapan pria yang sangat aku cintai keberadaannya kedua setelah Bapak. Saat ini, yang terlintas di benakku justru malah senyum Kak Naru. Aku bertemu dengan bahagia disana, dan aku sedang butuh dia.
"Salah gue apa sih Ran? Lu nangis di depan gue gini malah ngebuat gue jadi kelihatan kayak laki-laki brengsek tahu 'nggak?"
"Emang," ucapku sarkas. "Emang lu pantas di sebut cowok brengsek!"
Aku masuk ke dalam rumah dengan membanting pintu. "Sana!!"
Perintahku itu akan lebih tepat jika disebut dengan kalimat usiran. Aku sebenarnya setengah hati ingin bilang begitu, tapi kalau tidak, bisa-bisa Andra akan menungguku sampai keluar di teras sana.
Ibu berjalan menghampiriku. Aku berusaha meraih tubuhnya, kemudian mendekapnya dengan erat.
"Ranu 'nggak mau lagi ketemu sama Andra Bu, Andra itu tukang bohong.. Ranu 'nggak mau dia bohongin Ranu lagi.." ujarku lirih pada Ibu.
Ibu terus saja menenangkan ku lewat usapan-usapan hangatnya. "Ranu makan dulu aja ya? Itu udah di tungguin sama Bapak di meja makan."
Aku mengangguk pelan, kemudian berjalan menuju meja makan dengan di tuntun oleh Ibu.
Jujur saja, aku merasa sedikit malu karena pertengkaran ini harus ikut di dengar oleh Bapak dan Ibu. Pertengkaran barusan membuatku terlihat seperti bocah cengeng yang baru berusia lima tahun, aku masih belum kebal terhadap kenyataan-kenyataan pahit. Hari ini adalah salah satu dari sekian banyak patah yang akan datang di hari nanti, dan yang pasti akan jauh dari ekspektasi.
Tugasku, adalah menjadi manusia yang lebih kuat lagi. Aku harus bisa menjadikan peristiwa kehilangan seseorang sebagai penemuan diri sendiri. Aku kehilangan Andra, tapi lewat itu, aku mungkin bisa jadi lebih dekat dengan Kak Naru, dan berhasil menemukan aku.
Andra, kita itu aneh tahu.. banget malah. Atau mungkin cuma aku-nya aja kali ya, yang aneh? Kita 'nggak pernah jadian.. tapi aku ngerasain kayak baru udah putus aja.
oOo
Di meja makan, seperti kata Ibu, Bapak duduk sambil tangannya sibuk mengambilkan nasi untukku. "Biar Ranu aja Pak.."
"Kalo kamu ambil sendiri, pasti makannya sedikit." Ujar Bapak. "Hari ini putri Bapak satu-satunya lagi patah hati, berarti harus makan yang enak, dan makannya harus banyak."
Aku hanya tersenyum, sementara Ibu menarikkan kursi untukku. Hatiku sebenarnya masih terasa sakit, lukanya masih baru dan perlu waktu lama agar Ia dapat mengering. Tapi tidak mungkin 'kan? Jika aku harus menunjukkan semua luka itu pada Bapak dan Ibu. Bisa-bisa, mereka jadi ikut sedih. Jadi untuk saat ini, berlagak senang saja dulu.
"Makasih Pak, Bu." Kataku, sambil mulai mengambili lauk yang masih hangat.
Kami bertiga duduk di meja makan seperti biasanya. Sudah lama sekali semenjak keberangkatan Bapak kemarin, makan siang bisa jadi sehangat ini. Maksudku, hati-nya yang hangat, bukan suhu-nya.
Sayur kangkung, telur balado, dan tempe bacem bercampur menjadi satu kesatuan rasa di lidah ku. "Ueeennnnakkk tenan!"
"Lebay ah," kata ibu malu-malu.
Obrolah ringan seperti ini adalah bahan pembicaraan yang paling disukai di keluarga kami. Kadang bisa di selingi tawa, atau bahkan diskusi keluarga.
"Oh iya Ran!" Seru bapak. "Ibu sama Bapak ada rencana mau pindah rumah.. tapi kalo kamu 'nggak mau sih gapapa."
"Bapak ih! Anaknya lagi sedih bukannya di hibur malah di tanyain gitu." Kata ibu geram.
"Gapapa kok pak, itung-itung suasana baru, Jogja kan 'nggak cuma disini-sini aja." Jawabku spontan.
Ibu kemudian meraih tanganku. "Kalo karena Andra kamu ngomong iya, ibu saranin jangan Ran."
"Bukan kok Bu, bener deh.. bukan karena Andra." Aku melanjutkan aktifitas mengunyahku. "Udah ah! Andra mulu nih si Ibu."
Benar kata orang, bahwa naluri seorang Ibu tidak pernah salah. Aku memang bilang setuju karena ingin menjauh dari Andra.
Aku tumbuh besar di rumah ini, tentu tidak mudah bagiku untuk meninggalkannya. Akupun tahu, Ibu menanyakan hal itu sebagai bentuk pembelaan agar rumah ini tidak jadi di jual dan kami akan tetap tinggal.
Di saat-saat seperti ini, tentu suaraku berpengaruh besar terhadap keputusan yang akan di ambil.
Rumah ini Bapak dan Ibu bangun atas hasil kerja keras dan tabungannya selama bertahun-tahun. Waktu itu, sebelum mengandungku, Ibu adalah seorang wanita karir yang sangat mencintai pekerjaannya. Ketika Ia dan Bapak tahu bahwa dirinya hamil, Bapak menyuruh Ibu untuk segera berhenti dari pekerjaannya agar bisa memberikanku kasih sayang yang cukup.
Karena kondisi pekerjaan Bapak yang mengharuskannya untuk sering berpergian kemana-mana, Bapak takut jika aku harus tumbuh dengan kasih sayang yang tidak cukup.
Dan dari sanalah, satu-satunya yang bisa mengingatkan Ibu akan kesenangannya di masa-masa ketika Ia masih bekerja, tentu hanya pada rumah ini. Belum lagi Ibu yang setiap hari mengatakan bahwa coretan-coretan pertamaku di dinding masih terasa seperti nyata dari sudut pandangnya
Aku melirik kearah Ibu yang kini hanya tertunduk lesu dengan perasaan tak enak. Maaf ya bu.. maaf karena aku cuma anak yang kerjanya mementingkan diri sendiri.
AKHIR BAGIAN 12.