Chereads / Tak Terima / Chapter 14 - BAGIAN 13; FOTOGRAFI

Chapter 14 - BAGIAN 13; FOTOGRAFI

"Eskul fotografi di SMA Harapan Bangsa itu ku akui memang ribet, dan aneh.. tapi, aku senang pernah jadi bagiannya."

—Ranu, Jogja 2010

Pelajaran olahraga berakhir pukul sepuluh pagi dini hari, habisnya jam pelajaran ini juga ditandai oleh bel istirahat pertama. Para siswi di kelas ku bergegas pergi ke ruang ganti, sebagai syarat agar bisa pergi jajan ke kantin. Di sebuah gudang yang lokasinya tidak jauh dari perpustakaan sekolah, aku disini, bersama Sawa, Hanna, dan juga Ratu.

Ruang ganti baju terlalu padat dan pengap oleh siswi lainnya, juga bau keringat yang bercampur bisa-bisa membuat kepala kami pusing dalam sekejap. Itulah sebabnya mengapa kami lebih memilih untuk berganti pakaian di gudang sekolah. Memang pencahayaan disini minim, kerana jendela tempat cahaya masuk banyak di tutupi oleh tumpukan meja dan bangku yang sudah tak layak pakai. Tapi di sisi lain, gudang ini juga merupakan tempat yang strategis, agar kami bisa melakukan perintah dari guru olahraga killer itu dengan lekas.

"Bentar-bentar, tungguin gue!" Seru Sawa panik, saat Ia melihat kami yang sudah lebih dulu berpakaian seragam.

Hanna masih dengan aktifitas melipat bajunya. "Iya tenang aja! Kalo lu gak kita tungguin, pasti udah kita tinggalin lu daritadi!"

"Eh ngomong-ngomong nih ya.." ujar Ratu, sambil mengalihkan pandangannya kearahku. "Lu udah tahu belum Ran? Kalo ternyata si Andra itu udah pacaran sama Ayu? Beritanya booming banget! Satu sekolahan tahu, bahkan.. banyak juga yang ngedukung."

Aku menunduk sejenak, sebelum melayangkan sebuah senyuman jengkel kepada Ratu. "Tahu, tapi gue bukan orang pertama yang di kasih tahu sama Andra, dan gue agak marah sih karena itu."

"Lu yakin lu marah cuma karena dia telat ngasih tahu ke lu Ran? Lu 'nggak ada perasaan suka gitu ke Andra?" Tanya Hanna penasaran.

"Ya gak mungkin lah!" Bantah Ratu.

"Mungkin aja dong!" Balas Sawa tak mau kalah.

Aku hanya terkekeh kecil sebagai respons dari dialog mereka. Jujur, pertanyaan Hanna barusan terkesan begitu ganas, untukku, yang ingin menjawab "Iya," tapi dengan terpaksa aku harus berdusta. Untukku, yang awalnya menganggap bahwa hubunganku dan Andra itu akan menjadi sepasang kemungkinan, yang kini malah ingin segara aku lupakan.

Meskipun aku tahu, jauh di dalam lubuk hatiku yang paling rahasia, aku tak rela jika Andra terlihat baik-baik saja tanpaku.

"Kalo gue jadi lu nih ya Ran, udah pasti gue marah sama Andra karena cemburu." Sambung Sawa tiba-tiba, Ia kini sudah selesai dengan seragamnya.

"Nah iya tuh bener!" Hanna menjentikkan jarinya. Sontak saja, Hanna dan Sawa melakukan tos berdua. Sementara itu, Ratu hanya menyimak dan menghela napasnya kasar, "Itumah kalian! Bukan Ranu.. beda tahu! Kalian mah imannya gak kuat, lihat cogan dikit aja pasti udah langsung tuh badan panas dingin."

"Ihh Ratu!" Balasku sambil tertawa.

"Gue kenapa?"

"Suka bener kalo ngomong!" Aku lanjut tertawa. "Dah yuk! Ke kantin, laper nihh.."

oOo

Besok pulang sekolah anak fotografi |

pada ngumpul, mau ambil potret |

di Alun-Alun Kidul. |

Begitulah kira-kira isi pesan dari Kak Naru untukku. Pesan itu Ia kirimkan sekitar pukul enam kemarin, dan aku langsung sumringah ketika mengetahui tentang kabar itu. Alun-alun kidul, romantis, begitu pikirku. Ya.. setidaknya berburu potret bersama yang lain bisa mengurangi beban di kepala yang sudah terlalu keras memikirkan Andra. Salahku, karena terlalu mencintai lelaki itu. Berat, namun dengan pasti kukatakan, "Aku lelah hati."

"Kalian ada rencana apa pulang ini?" Tanya Hanna pada Ratu dan Sawa, memutar badan dari posisi duduknya. "Nonton yuk! Ada film bagus nih!"

Mendengar perkataan Hanna, Dikri segera beranjak dari kursinya. Ia kemudian menoyor kepala gadis yang Ia sukai itu, pelan. "Pulang heh! Keluyuran mulu!"

"Yeee... apaan sih tudung saji!" Seru Hanna seraya mengelus-ngelus bagian kepalanya. Ia kemudian ikut beranjak dari kursinya, menunjukkan tinggi badan yang hampir menyamai Dikri. "Lagian kalo mau nyuruh orang pulang tuh, ya di anterin dong!!! Jangan bacot aja di gedein!"

"Yaudah! Ayok! Kemana? Jangankan nganterin lu pulang, lu mau ke London juga gue anterin Han!" Balas Dikri telak.

"Lebay lu!" Hanna bergegas keluar kelas dengan wajah jutek, menatap lawan bicaranya itu dengan begitu sinis. Derap langkah Hanna terdengar begitu tegas dan cepat, seakan Ia adalah gadis yang ditempa oleh pasukan militer berpangkat tiga. Peristiwa ini biasa dinamakan 'salah tingkah' oleh para pakar cinta, dan aku adalah salah satu dari pakarnya.

Di sisi lain, Dikri masih berdiri di posisi awal. Ia malah diam saja, menatapi pundak gadis itu dengan senyum yang penuh dengan isyarat romansa. Aku, Sawa, Rendra, dan juga Ratu sudah sibuk menahan tawa sedari tadi, menyimak kelakuan mereka dengan menopang dagu dan senyum malu-malu. Mereka yang manis, aku yang gemas.

Ketika Hanna menyadari bahwa Dikri tidak sedang mengikutinya, Ia segara berbalik arah dan kembali menghampiri lelaki ber-gigi kelinci itu, "Ayok buruan!!!"

"Lu beneran mau nih pulang sama gue?"

"Lah? Katanya tadi ayok??" Balas Hanna memanyunkan bibirnya.

Dikri menunduk sejenak sambil menahan tawa, "Kita gerak, kalo lu udah gak emosian lagi kayak gini Han.. ga jelas banget tahu, tingkah laku lu sekarang." Ujarnya lembut, selembut permen kapas yang pernah kubeli bersama Andra di pasar malam waktu itu.

"Kalo lu jalannya secepat tadi, gue gabisa nangkep lu Han. Gue tahu, lu tadi cuma minta dikejar, ya kan?" Sambung Dikri, masih dengan senyum dan nada yang sama.

Hanna masih dengan pertahanannya. Ia masih saja tahan untuk melayangkan tatapan tajam kepada Dikri, yang mungkin tajamnya tatapan itu mampu mengalahkan pisau sembelih qurban.

"Yuk!" Ajak Dikri seraya menyodorkan tangan kanannya. "Ke London?"

Langsung saja, kami sekelas bersorak-sorai dengan satu kata sederhana. "Cieeeeeeee.."

Hanna berdecih. Ia kembali dengan wajah jutek dan derap langkahnhya yang begitu khas, meninggalkan kami yang kali ini disusul oleh Dikri. Siswa lainnya ikut berhamburan keluar, karena dialog roman picisan tadi sudah tiba untuk habis masa-nya.

Segera Sawa berteriak sambil melongokkan wajahnya, "Lahh Han?! Temen naik angkot gue siapa dongg??!!"

Sawa dan Hanna tinggal di daerah yang sama. Rumah keduanya hanya dipisahkan oleh satu blok saja, sehingga kalau mencari angkot, sudah jadi terdisi bagi mereka berdua untuk mencarinya secara bersama-sama. Aku biasanya pulang bersama Andra, walau belakangan ini lebih sering naik angkot ketimbang bersamanya. Jalur rumahku yang berbeda dengan mereka menyebabkan aku tidak bisa ikut. Intinya, aku sendiri saja.

"Udah, nebeng gue aja, ntar tinggal gue bilangin ke supir gue." Balas Ratu, menghilangkan raut khawatir di wajah Sawa.

Sementara Ratu? Seperti yang bisa kau lihat, dia punya supir keluarga yang selalu stand by dalam menjemputnya. Maklum, cucu kepala sekolah. Kehadirnnya bagaikan sebuah aset yang sangat berharga di mata semua guru, meski Ia tidak mau dinggap ataupun beranggapan demikian.

"Eh eh ga usah!" Seru Rendra, "Gue aja yang anterin, mau 'nggak? Hari ini gue bawa sepeda ke sekolah."

Sawa menoleh pada Rendra yang berdiri di sebelah kirinya. "Gak berat boncengin gue?"

"Gak," Rendra menggeleng. "Lu selalu ringan, Sa. Gak ada bedanya kayak dulu, waktu SMP."

Aku menyilangkan kedua tanganku di depan dada, dan kembali jadi 'penyimak'. Namun, kali ini aku tidak ingin hanya diam saja kepada mereka yang suka sekali pamer keromantisan. "Hmm.. ada lagi nih 'pasangan roman picisan' sepuluh IPS 2."

Rendra menggaruk tengkuknya sebagai respons dari perkataanku, dan atmosfer di kelas seketika berubah menjadi canggung.

"Ahhh udan-udah.. kalo mau pulang buruan sana!" Kata Ratu, setelah lama kami saling berdiaman. "Lu mau nebeng sama gue gak Ran?"

"Gausah, gue ada agenda sama.." aku mengerutkan dahi sejenak, mencoba mengingat-ingat obrolan lewat SMS dengan Kak Naru kamarin malam. "Oh iyaaaa!! Gue udah telat buat kumpul ke ruang fotografi.. duluan yak!"

Aku melambaikan tangan pada Ratu, kemudian menepuk pelan bahu Rendra dan Sawa secara bergantian. "Sukses ya lu bedua, kisah lama kalian semoga keulang dengan mulusss."

"Amiin Ya Allah.." ucap Ratu, menadahkan tangannya.

Segera aku keluar kelas dengan masih melambaikan tangan kepada mereka. Semakin jauh langkahku membawaku pergi, semakin pudar pula lambaian itu ku tunjukkan. Saat aku berada di jarak yang cukup jauh dari kelas, buru-buru aku berlari menuju ruang fotografi.

oOo

Aku akhirnya sampai di tempat yang dituju, mendapati mereka yang sudah siap di teras depan ruangan. Disana ada Kak Naru yang sedang sibuk mengutak-ngatik film untuk kamera analognya, Kak Caca yang menyimak cerita-carita lucu dari Kak Faiz, juga dua anggota lainnya yang terlihat familiar ketika netraku menangkap keberadaannya.

"Aku telat 'nggak Kak?" Tanyaku dengan napas yang terengah-engah.

"'Nggak kok," Kak Faiz melirik kearah arlojinya. "Pas."

Sementara itu, Kak Caca beranjak dari posisi bersandarnya. Ia memperkenalkan ku dengan dua anak tadi, "Ini Harsa sama Nandy, dari sepuluh IPA 1."

"Bukannya kelas sepuluh yang lolos cuma aku ya Kak?" Tanyaku memastikan.

Dalam benakku terlintas asumsi baru. Dua orang ini satu kelas dengan Andra, dan Harsa? Harsa yang waktu itu Andra sebut-sebut namanya.

Kak Naru kini mulai ikut bicara. "Yang bener-bener niat, juga pasti bakal di terima."

Pandangannya masih fokus pada pernak pernik seputar kamera analognya. Lekuk wajahnya tampak begitu lembut, dengan dominasi kerutan dahi yang membuatnya terlihat buas ketika tengah mengulik kamera itu. Ia tampak hikmad dengan jemarinya yang bergerak bebas, seolah sedang berdansa dengan serba-serbi yang ada di tangannya.

Seakan terhipnotis, aku malah berusaha untuk melihat pahatan Tuhan yang hampir sempurna itu dengan lebih jelas. Bukannya apa, hanya saja kepalanya yang sedikit tertunduk itu membuatku sedikit kesulitan untuk melihatnya.

Kak Naru kemudian mengambil fotoku sekali jepret untuk memastikan apakah kameranya bekerja dengan baik, atau malah tidak.

Aku menutupi wajahku malu sebagai respon, meski sudah terlambat dan tak ada guna. Sementara di sisi kanan ku, Kak Caca mulai menatapku dengan tatapan sinis dan.. jijik? Mungkin.

Simpel saja, Ia sedang di rengkuh rasa cemburu.

Kak Naru kembali melanjutkan perkataannya yang sempat terhenti, kali ini dengan telunjuknya yang tertuju kearah Kak Faiz dan Kak Caca. "Faiz, satu-satunya calon anggota yang bisa jawab clue di angkatan mereka, kelas 11. Sementara Caca, dia angkatan ku yang cara masuknya sama kayak Harsa dan Nandy; datang ke depan muka ketua, bikin pernyataan kalo emang niat."

Aku hanya mengangguk saja, sebagai tanda bahwa aku paham mengenai peluang masuk selain harus memecahkan clue. Satu-satunya yang tidak aku pahami adalah; mengapa harus di persulit? Setahuku, image sebuah eskul di ukur berdasarkan jumlah anggotanya, banyak atau tidak peminatnya. Tapi eskul ini malah berlaku sebaliknya, apa iya ini eskul fotografi? Dari sudut pandangku, ini lebih seperti tes masuk polisi.

"Pokoknya ingat aja satu hal, percuma anggota banyak, tapi karyanya sedikit. Disini, yang penting itu nawaitu." Lanjut Kak Naru, sambil menarik garis bibirnya padaku.

Aku balas tersenyum. Kata-katanya barusan adalah kata familiar yang sempat aku lupakan. Senyuman Kak Naru sangat lama, seolah hendak memberi tahukan jawaban dari hadirnya kerut keheranan di keningku; "Lain kali, jangan sampai lupa lagi alasannya apa."

"Dengan kata lain, eskul ini ribet." Kak Caca mengatakan itu secara tiba-tiba, dengan jemari yang sibuk memainkan rambutnya. Di saat yang bersamaan pula, Ia kembali menatapku dengan tatapan 'ketidaksukaan', sebagaimana manusia cemburu pada umumnya.

"Lu kenapa sih Ca? Lagi sensi lu?"

"Apa sih Na? Sensa sensi sensa sensi.. emang bener kan? Ribet! Lu tanya aja nihh, sama ketiga junior baru yang ada disini." Gadis bertubuh jangkung itu kemudian memutar bola matanya malas. "Ketimbang masuk eskul doang belagu."

Perkataan Kak Caca barusan agaknya berhasil membangunkan amarah di hati Kak Naru. Ia kemudian berjalan menghampiri Kak Caca yang berjarak sekitar empat langkah dari posisi awalnya. "Bener-bener heran ya gue sama lu, lu tau kan ini tradisi anak eskul fotografi SMA Harapan Bangsa?"

"Heh udah gemblong.. ini kenapa jadi pada ribut gini sih?" Lerai Kak Faiz, "Jadi ke alun-alun gak nih? Atau mau lanjut debat? Kalo lu bedua 'nggak jadi biar gue sama mereka bertiga aja yang pergi."

Gila.. Kak Faiz itu jatuhnya masih adik kelas, tapi dengan berani Ia mengatai kedua kakak kelasnya itu dengan sebutan 'gemblong'. Aku salut.

oOo

Alun-Alun Kidul ramai oleh penduduk Jogja maupun wisatawan asing yang berkunjung. Tak jarang pula kulihat bule berkelana di sekitar sini. Pohon beringin kembar yang menjadi pusat perhatian terlihat ramai di kelilingi oleh banyak orang; dari yang melewati jalan diantara keduanya dengan mata tertutup, sampai yang hanya berfoto ria. Kehadiran juga rahasia dibaliknya bisa disebut sukses sebagai daya tarik pengunjung, menjadikan Alun-Alun Kidul sebagai tempat wisata yang keramaiannya tidak pernah lekang dimakan waktu.

Sebelum kami mulai berburu foto, kami singgah dulu membeli bakso tusuk untuk mengganjal perut. Kak Naru sudah menjelaskan tentang agenda hari ini selama kami di angkot tadi. Hari ini, kami hanya akan berburu sedapatnya saja, sekedar untuk menambah koleksi foto pertama para anggota baru. Setelah berburu, kami akan berkeliling hingga malam datang menjemput petang. Katanya, Alun-Alun Kidul akan lebih hidup ketika malam.

Berburu foto kali ini lebih seperti pengenalan dan bersenang-senang saja, karena eskul fotografi yang sebenarnya adalah tentang pengenalan teknik, dan pemberian materi lainnya yang akan disampaikan oleh pembina eskul. Aku penasaran, siapa kira-kira si pembina kami ini? Yang memperbolehkan ketua dan anggota-nya untuk mengadakan tes masuk segala. Pembina tentu butuh bayaran, dan bayaran pembina tergantung dari jumlah anggota. Eskul ini bukan eskul gratis, kami harus membayar kisaran seratus ribu rupiah per semesternya. Jumlah kami saat ini hanya ber-enam. Memangnya, Ia merasa cukup? Dengan jumlah kami yang tidak seberapa ini?

"Ran?" Panggil Harsa, seraya menepuk-nepuk pelan lengan kiri ku. "Lu gapapa kan? Gue perhatiin, lu diem aja daritadi."

Aku menggeleng, dan mulai mengangkat kamera analog-ku. "Gapapa Har, cuma agak bingung aja."

"Hati-Hati Ran! Ntar lu di gombalin sama Harsa!" Melihat kami ngobrol berdua, gadis bernama Nandy itu mulai berteriak diujung sana; dengan kamera dalam genggaman, layaknya seorang fotografer handal yang sudah berpengalaman.

Teriakan Nandy sontak membuat aku dan Harsa menoleh kearahnya, "Apaan sih Nan? Yang gue gombalin itu cuma lu doang tahu!"

Nandy hanya menjulurkan lidahnya sebagai respons, sementara Harsa kembali fokus pada apa yang tadinya ingin Ia sampaikan. "Lu tahu gue kan? Andra pasti udah bilang ke lu. Gue cuma mau bilang sorry banget waktu itu mendadak gak bisa anterin lu, gue udah sampe kos-an pas Andra nyuruh gue buat anterin lu, pas mau berangkat eh.. motor jadul gue malah mogok."

Raut wajah Harsa menunjukkan bahwa Ia sedang sangat bersungguh-sungguh atas permohonan maafnya, bersungguh-sungguh atas pengampunanku padanya. Padahal, sejak awal aku tak pernah berniat untuk timbul murka.

"Santai aja," balasku sambil menepuk bahunya. "Gue gak ambil hati kok.. lagian, waktu itu udah ada orang lain yang nganter gue, dan gue gak pernah mau marah sama lu."

Harsa menyunggingkan sebuah sanyuman. Lama kami saling berdiaman, senyuman Harsa berubah menjadi tawa penuh canggung, sampai Nandy datang mencairkan suasana yang sempat membeku. "Hayoloooo pada ngapain?! Kalo berduaan aja ntar ada jin yang jadi orang ketiga looohh.."

"Iyaa, lu tuh jin ketiganya!" Cerca Harsa sedikit galak.

"Ihh amit amit Ya Alllah, amit amit.."

Aku tertawa ringan, mereka cukup dekat rupanya. Saking dekatnya, sampai-sampai ada sedikit serbuk romansa ikut hadir disini.

"Ngomong-ngomong, lu asal mana Ran?"

"Gue?" Tanyaku pada Nandy, gadis itu sontak mengangguk. "Gue lahir di Jogja, tapi nyokap bokap asal Sumatera."

"Sumatera apa? Sumatera Barat yah?"

"Bu..kan deh Nan, bokap dari Lampung, nyokap Palembang."

"Yahh.. kirain dari Padang," kata Nandy, dengan kedua garis bibirnya yang merosot kebawah. "Hah.. coba aja lu dari Padang."

"Emang kenapa kalo seandainya gue dari Padang?" Tanyaku penasaran.

"Ya.. kalo seandainya lu dari Padang, berarti kita itu masih sanak saudaraan Ran!"

Jawaban Nandy barusan berhasil membuatku keheranan dan berpikir panjang. Maksudnya bagaimana? Apa di Padang ada budaya yang begini? Atau bukan hanya di Padang saja? Jujur, baru kali ini aku bertemu dengan istilah yang seperti itu.

"Iya he'eh terus aja Nan.." tukas Harsa dengan nada malas, seolah Ia sudah hafal dengan sekali gaya gadis itu. "Semua orang di Padang tu kayaknya saudara lu semuanya dahh."

Aku terkekeh.

"Iyaaa Ran, setiap ada orang dari Padang nih yaa, ketemu dimanaaa aja asal dari Padang.. beuhhh! Udah di pastiin! Pasti si Nandy ngaku-ngaku jadi saudaranya."

Nandy menatap pria itu dengan tatapan jengkel. "Apaan sih Har? Ini tuh namanya cinto kampuang.. gak kayak lu tuh! Orang Padang tapi gak mau ngaku orang Padang, cuma karena 'nggak suka makan pedas. Cih! Apa banget!"

"Yeee.. namanya juga manusia kali, wajar ada suka ada ga suka!"

"Sate Padang tapi enak banget, Har! Lu harus banggain itu."

"Gak ah! Pedes! Enakan juga Sate Madura."

Perdebatan sengit pun di mulai. Perlahan, kulangkahkan kaki ku mundur, bermaksud untuk menjauh dari kedua pasang sejoli yang cukup kocak ini. Namun saat aku hendak membalikkan badan, aku terkejut tatkala aku melihat Kak Naru yang sudah berdiri tepat di hadapanku. Kurang ajar sekali.. kami semua sudah dekil begini, sementara dia masih saja tampan begitu.

"Mau ikut aku?" Ajaknya menyodorkan tangan.

Nampaknya, Alun-Alun Kidul akan menjadi tempat kami bermain rasa kedua setelah Stasiun Lempuyungan.

AKHIR BAGIAN 13.