Chereads / Tak Terima / Chapter 12 - BAGIAN 11; TERIMA (3)

Chapter 12 - BAGIAN 11; TERIMA (3)

"Bu, Ibu bawa HP yang aku titip 'kan?"

"Bawak kok Ran, nih." Kata Ibu, seraya menyerahkan ponsel lipatku.

Aku menyalakannya, dan mendapati sebuah notifikasi pesan dari Andra. Ditengah-tengah perjalanan yang terburu-buru, aku memberanikan diri untuk membuka isi pesan itu, jaga-jaga kalau seandainya pesan ini mengandung emosi dan meminta timbul rasa bersalah.

Kubaca kata demi kata, semakin kubaca, semakin tersayat pula hatiku rasanya. Pesan yang di ketik olehnya hanya berjumlah dua bait, sangat jelas dan tidak begitu panjang. Pesan itu berisi kata permohonan maaf yang seharusnya di ucapkan olehku, katanya;

Ran, gue mau ngantar Ayu, urgent nih! |

Nanti ada temen gue yang ngantar lu kok, maaf yak! |

Sialan. Kalau begini sih, aku 'nggak ikut pertemuan tadi juga pasti Ayu yang lebih penting. Akhirnya, aku tiba di fase yang paling aku takutkan, fase dimana Andra mampu mendeklarasikan bahwa dirinya bahagia tanpa aku. Dimana hari-harinya bisa jadi lebih menyenangkan tanpa aku. Aku terus larut dalam pikiran yang berisi tentang semua cacian ku untuk Andra, sungguh naif semua rasa pelik ini.

Sementara itu, Ibu didepanku masih fokus dengan novel yang belum Ia selesaikan. "Kalo 'nggak salah Ibu, kamu bilangnya bakal pergi sama Andra?"

Aku terkesiap menatap Ibu.

"Tadinya, tapi Ranu nolak, soalnya Kak Naru jauh lebih ganteng." Kataku berdalih.

Ibu menahan tawanya saat Ia mendengar perkataanku. "Ya.. ada benarnya juga sih kamu."

"Ibu tuh kalo lihat yang ganteng aja, mulai deh.."

"Kalo 'nggak gitu gak mungkin mau Ibu sama Bapakmu." Ujar Ibu menatapku. "Lagian Ibu genitnya cuma kalo lagi sama Bapak doang."

Aku membalas dengan hati yang kesal. "Ibu kalo mau ngegombal tuh sama Bapak nanti, jangan sama Ranu."

"Yeeeee.. emang kenapa? Suka-suka Ibu dong!"

oOo

Ibu langsung mencari jasa antar jemput sesampainya kami di Stasiun Poncol. Stasiun ini sama ramainya dengan Stasiun Lempuyungan, hanya saja, aku merasa sedikit terhormat saat kedatanganku disambut oleh lagu Caping Gunung yang diputar setiap kali terjadi kedatangan kereta api. Lagu yang bercerita tentang kerinduan orang desa terhadap belaian jasa orang kota.

Selama di perjalanan menuju ke pelabuhan, aku sibuk mendengarkan lagu-lagu Aerosmith lewat mp3 Player-ku, sembari melihat hiruk-pikuk jalanan di Kota Semarang. Begitu banyak bangunan-bangunan tua yang masih asri mengisi tiap sudut rumpang di kota ini, membuat hatiku teduh sejenak setelah tadi berusaha untuk menelan amarahku pada Andra.

Semarang, hari ini aku patah hati lagi, sedihku sudah ribuan kali. Tapi, tolong buat hari ini jadi bahagia lagi, sebab Bapak akan pulang untuk menghampiri rindu, dan Ibu sudah sampai untuk menjemput rindu.

Tak perlu memakan waktu lama agar bisa sampai di Indonesia Port Corporation III Central Java Region, pasalnya Stasiun Poncol masih berada di satu kawasan yang sama, yaitu kawasan Semarang bagian Utara. Aku dan Ibu turun dari mobil dengan membawa sebuah koper kecil.

Ini adalah pertama kalinya kami memberi kejutan kepada Bapak di hari ulang tahunnya. Untuk pertama kalinya juga kami menjemput Bapak langsung di pelabuhan. Dan untuk pertama kalinya, Bapak pulang dalam jangka waktu yang lebih lama dari biasanya.

"Puaaaanas yo," keluh ibu seraya menyeka bulir keringat di pelipisnya.

Aku terkekeh, "Panasnya karena kita yang deg-degan duluan bu."

"Iya juga ya Ran, Ibu deg-degan banget ini kalo boleh jujur."

"Mau poop gak bu? Kalo mau nanti Ranu anterin."

Ibu menepis lengan kananku, "Kamu belakangan ini suka sekali ngawur Ran."

"Ya gimana gak ngawur buk, wong baru ketemu cowok kayak Kak Naru."

Ibu menatapku jengkel, sementara aku menatapnya bingung. "Kepriye toh bu?"

*Kenapa sih bu?

"Ran, Kalo kamu 'ndak bener-bener naruh hati ke dia, jangan berlagak seolah-olah kamu itu suka dia!"

Aku hanya menghela napasku setelah puas mengisi paru-paru dengan udara di pelabuhan. Hari ini begitu banyak orang-orang yang berjenaka; Andra, Kak Naru, bahkan Ibu.

Dan disinilah kami, pelabuhan. Hanya tempat biasa bagi orang-orang kebanyakan. Apalagi? Kau hanya akan melihat kapal-kapal dengan berbagai jenis dan ukuran melintas disana, menghirup aroma laut yang sesekali menguak terbawa angin. Tapi bagi keluarga kami, tatapan dan dekap hangat yang paling rindu hanya bisa dijumpai di tempat itu. Dimana kapal Bapak berlabuh, disana pula rindu Ibu bermuara. Rinduku. Rindu kami. Yang selalu menyertai bapak disetiap kilauan keping semburat mentari pada riak-riak gelombang laut.

Di Kulon Progo sendiri, ada Pelabuhan Adikarto namanya, yang merupakan pelabuhan terbesar di Jogja. Sayang, pelabuhan itu belum beroperasi karena adanya sebuah kesalahan. Disana kau akan menjumpai deretan batu pemecah tsunami pada tepiannya. Bentuknya panjang menjorok kedepan seperti kepala candi, seolah keberadaannya memang sudah di tempa untuk siap bertempur dengan kerasnya dentuman air laut.

Sementara Indonesia Port Corporation III Central Java Region menurutku lebih identik dengan kotak warna-warni, keberadaannya memang dibentuk oleh ambisi dunia kerja. Orang yang ingin bekerja disini benar-benar harus mempersiapkan diri sebelum berkecimpung oleh asinnya air laut. Di sebelah kanan dan kirimu sudah pasti akan dijumpai begitu banyak tumpukan kotak berbentuk persegi panjang. Semakin besar ambisimu disini, semakin tinggi pula kotak-kotak itu menggapai langit. Semakin tinggi, menemu awan. Tak lupa pula dengan beberapa alat berat lainnya.

"Kapal Bapak itu Ran!"

Aku dan Ibu tepat. Kami berjalan dengan terburu-buru karena kapal yang ditumpangi Bapak sudah berada dalam jangkauan penglihatan. Saat ini seluruh pekerja terlihat padat berhamburan keluar. Aku melongokkan kepalaku di sela-sela keramaian, berharap dengan segera dapat menemukan keberadaan Bapak. Tapi nihil. Diantara penumpang yang keluar dari kapal, tak kutemukan Bapak ikut ada di dalamnya. Aku menunduk saja.

"Ibu tunggu disini sebentar ya, Ranu mau cari Bapak." Pamitku meninggalkan Ibu dan koper.

Setelahnya aku langsung pergi, menerobos masuk ke dalam sekerumunan orang-orang yang berbau badan seperti karet terbakar. Sayup-sayup dari jauh, kudengar suara Bapak yang terus saja menyerukan namaku. Awalnya kukira, itu hanyalah perasaanku saja karena sudah tidak sabaran ingin bertemu dengannya, sampai akhirnya suara itu terasa kian mendekat.

Suara Bapak, nyata.

Segera aku balik menyerukan Bapak, sembari mencari-cari darimana asal suara itu. Menengok ke segala arah, berpindah-pindah tempat, bahkan tak jarang aku menabrak orang. Aku benar-benar tidak memperdulikan apapun saat ini. Yang ada dipikiranku sekarang hanya satu, yaitu Bapak.

"Ranu!" Suara Bapak benar-benar jelas terdengar, persis seperti saat Ia berpamitan denganku dan Ibu, seperti biasanya Ia melantunkan lagu-lagu Koes Plus kesukaannya padaku.

Aku langsung mengalihkan pandanganku kearah kiri, mengikuati insting dari indra pendengaranku dengan berharap semoga itu benar-benar Bapak, dan bukan hanya sekedar perasaanku saja. Batinku terus menyerukan apa yang tak lagi bibirku ucapkan. 'Bapak, Bapak.'

Sampai akhirnya, dibawah timpa cahaya matahari sore menjalang Maghrib, dengan deru napas yang terengah-engah kulihat Bapak menatap langit-langit berwarna jingga, sedang mengulum senyum, kemudian melihat kearahku yang wajahnya sudah menunjukkan raut keputus asaan. Hiruk pikuk di pelabuhan terdengar semakin samar, seluruh kemampuan indraku kian memudar saat kudapati Bapak dalam penglihatan.

Muka Bapak seolah tak percaya bahwa ada aku di hadapannya. Ia menahan tangis, seolah Ia tengah berkencan dengan air matanya sendiri. Aku kemudian berjalan menghampirinya, sementara Bapak hanya diam saja dengan bahu rapuh masih tak percaya. Laki-kaki itu kini disini, Bapak, yang tak pernah menyakitiku sekalipun. Laki-laki itu kini disini, Bapak, yang sekarang tubuhnya sedang ku dekap erat. Dan aku, yang jatuh kedalam pelukan Bapak dengan kondisi hati yang patah melebur rasa.

Ku katakan nyaris berbisik, "Selamat ulang tahun Pak, Ranu sayang Bapak."

Ia hanya diam saja, dan aku juga tak banyak bicara. Bapak bersikap layaknya seorang Bapak pada umumnya, yang enggan mengungkapkan kata sayang. Namun aku sudah memahaminya lebih dulu melalui semua kebisuan itu.

Di suasana haru antar anak dan Bapak itu pula, Ibu menyimak dengan tameng penangkis huru-hara. Ia berjalan melewati keramaian yang kini mulai melonggar, kemudian ikut mendekap kami.

"Pak.." Suaranya luruh, di pipinya tersisa jejak bekas bulir air mata yang mengering diterpa angin laut.

Tangan Bapak kembali terbuka, kali ini lebih lebar hingga mencakup badan mungil milik Ibu. Bapak pulang, Bapak pulang.

'Selamat ualang tahun, Pak'

oOo

Ibu sedang pergi membeli oleh-oleh bersama teman satu SMA-nya yang merantau ke Semarang, menikmati sisa waktu semalamnya setelah kami puas merayakan ulang tahun Bapak. Sementara itu, aku dan Bapak memutuskan untuk tetap tinggal di hotel saja, sehingga berakhir lah kami di balkon ini, duduk berdua sambil menikmati semilir angin malam di Kota Semarang.

Bapak sedang membaca koran di sebelah kananku, sementara aku masih sibuk memandangi ruang pesanku dengan Andra. Entah bagaimana, pesan yang Andra kirimkan dalam sekejap bisa membuatku kehilangan selera makan.

"Pak," panggilku, "Ranu mau nanya."

"Monggo.." Balas Bapak dengan mata yang masih fokus pada koran yang di genggamnya.

Aku mulai memainkan jari jemariku seperti manusia penggugup pada umumnya.

"Umm.. Bapak marah 'nggak, kalau Ranu suka sama seseorang?"

"Enggak."

Aku mengerutkan dahi. "Lohh? Kenapa?"

Bapak meletakkan korannya. Melihat raut wajahku yang bingung, Ia terkekeh, "Selagi yang kamu sukai itu laki-laki dan bukan perempuan, ya normal saja."

"Ihh.. Bapak!" Seruku, setelah Bapak berupaya melucu.

"Emangnya kamu suka sama siapa sih? Sama Andra? Iya?"

Aku tersentak sedikit, tapi berusaha tenang.

"Bapak marah cuma kalo kamu sampai 'nggak berani bilang perasaanmu kamu ke cowok yang kamu suka." Ujar Bapak. "Kamu kan orangnya kelewat diem toh? Sakit tau ran, diem-diem gitu."

Bapak menyeruput kopinya yang mulai mendingin. "Jangan berpikiran bahwa orang itu bakal tahu perasaan kamu tanpa di kasih tahu Ran. Cinta itu, butuh disuarakan, apapun bentuknya."

"Tapi kalo cowok itu udah punya pacar gimana pak?"

"Ya cari yang lain, asal perasaanmu itu tetap kamu ungkapin."

"Emang bisa?"

Bapak kemudaian tersenyum sabar, seolah pertanyaanku itu adalah pertanyaan basi yang tak patut untuk ditanyakan.

"Ya bisa lah! Kenopo toh? Kamu takut kalo kamu kehilangan orang itu?"

Aku hanya mengangguk saja tanpa menginterupsi perkataan Bapak.

"Ingat ya Ran, 'nggak semua kehilangan itu buruk.. Tuhan ambil satu hal dari kamu, karena itu yang terbaik menurut-Nya. Yang hilang, pasti gantinya yang lebih baik." Bapak diam sesaat, lalu ujarnya, "Sesuatu hilang, agar kita bisa menemukan. Jadi, kalau suatu waktu kamu kehilangan dia, berarti tugas kamu adalah terus mencari, sampai kamu berhasil menemukan dia yang tepat."

Bapak menghela napasnya, Ia melayangkan pandangannya kearah garis-garis fana yang mencuat dari lampu gantung tua diatas sana. Raga Bapak sepenuhnya ada disini, tapi setengah hatinya ada pada Ibu.

"Terkadang rumah yang kita kira paling aman itu, justru jadi yang paling membahayakan, Ran."

Sejenak, aku termenung. Terlintas serpihan kenangan bersama Andra yang bergulir bagai wahana di taman bermain, sementara aku hanyalah gadis yang sedang menunggu nomor antrian yang sesungguhnya tak pernah ada. Seiring kenangan manis terlewat, ada senyum terukir di wajahku. Namun justru di balik senyum itu, ada pilu yang tak lekas berlalu.

Aneh. Dalam waktu yang bersamaan, aku bisa membenci seseorang.

Sekaligus mencintai orang yang sama.

Tiba-tiba, sebuah pesan masuk dari ponselku. Suara notifikasinya berhasil membuyarkan lamunanku, dan segera saja kubuka pesan itu, 'Dari nomor tak dikenal.'

Awas saja kalau pesannya berupa sebuah penipuan seperti Ibu kos yang nyasar hendak menagih hutangnya, atau meminta uang agar adikku yang baru saja mengalami kecelakaan itu bisa segera di operasi. Padahal aku bukan anak kos, dan bukan pula kakak dari seorang adik. Semudah itu aku dipermainkan.

Halo Ranu, ini Naru. |

Formal banget! Jadi aneh tauk! haha |

Ternyata, dari Kak Naru. Aku kemudian beranjak dari kursi dan segera masuk kedalam kamar. Agak sukar rasanya jika momen remaja ini ikut disaksikan pula oleh Bapak.

Hahaha |

Gimana Semarang? |

Bagus, banget malah |

Ngomong-ngomong, kakak dapet

nomorku darimana? |

Dari formulir pendaftaran eskul |

Ohh.. |

Pernah kepikiran 'nggak Ran?

Kenapa nama kita serupa? |

Eh eh.. iya juga ya.. |

Emang menurut kakak, kenapa? |

Sama, aku juga gak tahu |

Bingung 'kan? Kalo gitu, anggap

aja karena jodoh |

Gombal! |

Yaudah, tidur gih, |

Besok katanya mau pulang |

Aku kangen banyak nih |

Aku mengulum senyum, mengerti arti dari sebuah hal sederhana yang berusaha Kak Naru kenalkan padaku lewat pesan-pesannya. Hal sederhana dan singkat, yang membuat bahagia bisa kembali; adalah pernyataan rindu. Malam ini purnama sedang cantik-cantiknya, tapi isi pesan dari Hanna menyatakan bahwa Jogja sedang sendu di rengkuh hujan.

Kubalas pesan Kak Naru dengan hati yang lumayan membaik,

Oke siap! |

Malam kak |

Juga, Ranu |

AKHIR BAGIAN 12.