Hari ini adalah hari pertama ku di semester kedua. Aku dan teman-teman sekelasku melepas rindu karena tak sempat bertemu di luar sekolah, ya.. tentu semua punya kesibukan dengan agendanya masing-masing.
Ngomong-ngomong soal hari pertama, sepertinya kami termasuk kelas paling beruntung se-SMA Harapan Bangsa. Pasalnya di hari pertama kami, ada dua mata pelajaran yang gurunya berhalangan untuk mengajar; yang satu cuti melahirkan, dan yang satu lagi sedang sakit-sakitan.
Hari ini, waktu rasanya berjalan begitu cepat, hingga pada akhirnya bel yang menandakan jam pulang berbunyi nyaring mengisi sudut-sudut sekolahan. SMA ini memiliki sebuah kebijakan yang paling aku sukai diantara kebijakan-kebijakan basi lainnya, yaitu pengurangan jam pulang pada hari pertama setiap hendak memasuki semester baru.
Semantara itu, hatiku diam-diam menantikan Andra dengan janjinya. Aku masih belum sepenuhnya yakin bahwa Ia akan menepeati janji kali ini. Ah.. dan juga, ada sedikit perubahan rencana di janji itu. Andra hanya akan mengantarku sampai ke stasiun kereta. Karena hari ini, Bapak pulang.
Kapal yang ditumpangi Bapak selalu berlabuh di Semarang. Biasanya kami hanya akan menjemputnya sebatas di stasiun saja, namun hari ini adalah hari ulang tahun Bapak. Aku dan ibu sudah merencanakan semuanya dari jauh-jauh hari. Sudah diputuskan, kami akan menjemput Bapak di langsung pelabuhan. Tentu saja dengan tidak memberitahukannya, agar bisa disebut sebagai kejutan seperti kata orang-orang kebanyakan.
"Mampir ke caffe dulu yuk!" Ajak Dikri tiba-tiba. "Gue yang traktir."
Sontak saja; Rendra, Sawa, Hanna, dan juga Ratu berteriak kegirangan.
Aku merapihkan buku dan alat tulis yang ada diatas meja, memasukkannya kedalam tas. "Sorry banget.. gue kayaknya 'nggak bisa deh, Bapak gue hari ini pulang."
"Yahh.." balas mereka yang lagi-lagi ajaibnya—, kompak.
"Sorry.."
Dikri menghela napasnya, "Yaelah santai aja kali Ran, masa iya lu 'nggak pergi jemput bapak lu cuma untuk pergi ke caffe bareng kita-kita?"
"Durhaka tu namanya!" Seru Rendra.
Dan yang lainnya mengangguk.
"Bener gapapa nih?" Tanyaku, menyatukan alis. "Gue ga enak sama kalian.."
Hanna menggetok keningku cukup keras, "Gapapa bego, jadi manusia jangan suka ga enakan gitu dong.. susuah tau! Gini nih contohnya."
"Buset, yang barusan sakit bener Han, suwer deh.."
Sawa berdecih, "Udah, udah.. sana buru, keburu telat lu 'ntar."
"Yaudah, gue pulang duluan yak!" Pamitku seraya melambaikan tangan.
Dan mereka menjawab sekenanya saja.
Baru aku ingin melangkahkan kaki ke ambang pintu, tiba-tiba ada sebuah pengumuman, asalnya dari speaker yang dipasang di setiap koridor sekolah. "Diberitahukan kepada seluruh anggota eskul fotografi untuk segera berkumpul di ruangan sekarang! Diharapkan untuk tidak ada yang absen di pertemuan pertama, terimakasih."
Aku menggaruk tengkukku yang sama sekali tidak terasa gatal, memancarkan raut kebingungan dari wajahku. Ikut tidak ya..
'Ah sudahlah, begitu sampai langsung saja minta izin.' Begitu pikirku.
Buru-buru aku lari ke ruangan eskul fotografi sambil sesekali melirik kearah arlojiku. Masih ada waktu lima jam lagi, semoga semuanya berjalan seperti apa yang aku perkirakan. Di dalam hatiku, pesan ibu yang aku tanamkan mulai terasa begitu nyata bergema. 'Jangan sampai telat, jangan sampai telat.'
oOo
Aku akhirnya sampai dengan deru napas yang terengah-engah. Ada sekitar lima belas meja yang sudah terisi penuh, hanya tinggal tersisa satu saja; untukku. Para senior yang menjabat sebagai perangkat penting di eskul fotografi berdiri di hadapan kami semua, menatap seluruh anggota junior-nya dengan ekspresi yang tidak bisa aku mengerti.
Kami yang baru saja dipersilahkan untuk masuk kedalam ruangan tentunya hanya bisa menyimak sekeliling dengan terpukau-pukau; ruangan ini dipenuhi oleh karya-karya yang berhasil mereka tangkap lewat kamera yang mereka punya. Semua punya makna dan auranya masing-masing.
Di pojok kanan ada Kak Faiz. Semua gambar yang di potret Kak Faiz tidak jauh-jauh dari alam, dan kabarnya Kak Faiz ini juga menjabat sebagai ketua di eskul pecinta alam.
Di sebelah Kak Faiz, ada Kak Caca yang semua potretannya mengandung unsur kesedihan. Jujur, aku salut dengan orang yang bisa melihat segala sesuatu lewat sudut pandang air mata. Hatinya pandai mengontrol emosi, dan hal tersebut berhasil membuatku merasa iri.
Yang terakhir, ada Kak Naru, pria yang menjabat sebagai ketua eskul fotografi. Sekarang, Ia sedang berdiri membelakangi papan tulis. Semua potretan yang Ia hasilkan merupakan perwakilan dari puisi dan sejarah cinta di tanah tempat Ia kini berpijak. Semuanya, terasa begitu romantis.
Di sisi lain, ruangan ini masih saja hening. Para senior itu juga masih menatap kami dengan tatapan aneh yang sama. Aku sedari tadi hanya melirik kearah arlojiku sambil sesekali meneguk air liur, suasana mencekam seperti ini sungguh tidak memungkinkanku untuk pergi meminta izin.
Jujur, aku sedikit kesal, lima menit sudah berlalu, dan semuanya masih saja membisu. Mereka maunya apa sih?!
Aku mengamati sekeliling, berusaha mencari kemungkinan-kemungkinan yang dapat mengakhiri sesi pembisuan ini. Pasalnya, gelagat para senior lebih seperti orang yang sedang berusaha menyembunyikan sesuatu, atau tatapan yang seolah mengatakan; "Ayo cari yang sedang kami sembunyikan!"
Hingga, aku menyadari bahwa ada satu kejanggalan disini. Dari awal masuk ruangan, para anggota sudah di sambut oleh sebuah ukiran tulisan, Ia termaktub di tembok belakang ruangan. Mungkin bisa disebut motto agar lebih tepat; satu ikut, ikut semua.
Lantas apa semua ini?
Para junior di persilahkan duduk, sementara senior malah berdiri karena tidak ada cukup kursi untuk mereka. Bukankah itu menunjukkan identitas kami sebagai anggota baru yang tidak mencerminkan motto? Tidak hanya itu, semua ini juga adalah bentuk sebuah ketidak sopanan seorang junior terhadap seniornya.
Ini bukan hanya pertemuan biasa, ini sebuah tes masuk! Salah satu alasan mengapa eskul fotografi merupakan eskul dengan anggota paling sedikit jika dibandingkan dengan eskul-eskul yang lainnya.
Buru-buru aku berdiri, membuat kursi yang aku duduki berderit nyaring. Sontak saja, seluruh atensi tertuju padaku; begitu pula dengan para senior, juga paras tampannya Kak Naru.
Aku memegangi ujung baju ku ragu-ragu sebelum aku mulai berbicara, "Bukannya di eskul ini semuanya di sama ratakan? Satu ikut, ikut semua. Berarti kalau duduk, semua harus duduk. Kalau ada yang berdiri karena 'nggak dapat kursi, berarti semuanya harus berdiri."
Kak Naru dan kedua perangkat eskul lainnya bertepuk tangan untukku, sementara aku malah jadi semakin panik; aku takut kalau-kalau saja nanti aku terlambat menemani ibu menjemput Bapak.
Rinduku pada bapak begitu riuh rasanya, seriuh dan sebesar ombak yang Ia lalui ketika badai datang menerpa.
Rinduku pada bapak bukan rindu yang dapat dihitung dengan rumus keliling jajar genjang apa lagi luas layang-layang.
Rinduku pada bapak tak punya nilai untuk di hitung kebenarannya; sebab rinduku pada bapak punya nilai yang takkan pernah habis jika kau tanya, dan kebenarannya adalah aku yang sudah tidak bisa lagi membendung rindu.
"Jadi, kesimpulannya, semua ini salah siapa?" Tanya Kak Naru, terlalu tiba-tiba.
Jujur saja, saat ini jumlah degup jantungku benar-benar tidak pada perhitungan stabil sebagaimana mestinya Ia bekerja. Duhh.. sialan.
'Kok malah jadi nanya ke gue sih?! Emangnya gue yang anggota baru ini tahu apa hey?!' Gumanku geram.
Kak Caca maju selangkah dari posisi awalnya, "Ranu kan?"
"I-iya kak.." jawabku gugup.
"'Nggak bisa jawab?" Saut Kak Faiz "Kak Naru nanyain tuh, semuanya salah siapa?"
"Sa-salah ikan kak!" Aku menutup mulutku, kemudian mengetok kepalaku sambil mengernyitkan wajah.
Mataku membelalak, aku terlalu panik. Bodoh Ranu, bodoh.
Aku menundukkan kepala, sementara yang lain mulai berusaha menahan tawa; begitupula dengan kak Naru.
"Jadi, semua ini salah ikan?"
"Bu-bukan kak."
"Terus? Salah siapa?"
Aku mengangkat kepalaku ragu, "Salah yang punya ide kak! Ke-kenapa harus ada sesi tes tes segala.."
Aku hanya menjawab sekenanya saja, tanpa memikirkan bahwa jawaban ku itu tak sepenuhnya benar. Mereka pasti punya alasan penting mengapa harus sampai melakukan tes di eskul fotografi.
"Yang bikin ide itu saya lho.." kata Kak Naru, seraya menunjuk dirinya. "Kamu berani nentang cowok seganteng saya?"
'Dih, kepedean banget lu sempak ikan paus! Wah ga bener nih.. narsisnya sudah tingkat muhadarah, wajib di selamatkan.'
"Enggak." Jawabku singkat, namun spontan.
Kak Naru melonggarkan dasi yang melingkar di sela kera baju miliknya, membuat Kak Caca serta kaum hawa yang lainnya jadi salah tingkah.
"Baru pertama kali lho ada yang bilang ide saya salah, harusnya kamu bersyukur, tahun lalu tuh tes masuknya pakek MOS sampai disuruh makan pasir."
"Ya.. kalo saya ada di zaman itu, mungkin saya juga bakal nentang ide ketua sebelumnya."
"Ketua sebelumnya?" Tanya Kak Naru, dengan nada meremehkan. "Pffttt.. ketua segalak itu mau kamu lawan?"
"Memangnya kenapa kalau di lawan? Motto eskul kita 'kan tentang kesamarataan. Lah, ngapain susah-susah ngajarin anak baru tentang arti motto eskul yang sebenernya? Kalau senior aja belum bisa mengerti dengan baik."
"Kalo di lawan, kamu gagal jadi anggota dong?"
Aku mengalihkan pandanganku kearah Kak Caca yang baru saja menyerobot masuk kedalam pembicaraan, kemudian menghela napasku kasar. "Sesuatu yang gagal 'nggak selalu berdampak buruk kok kak."
Aku menyudahi perkataanku, dan dari sini, tahulah kita tentang satu-dua hal. Pertama, alasan mengapa eskul ini banyak peminat namun sepi anggota, dan yang kedua, kebenaran bahwa para senior kami ini pernah dengan sukarela memakan pasir agar bisa berdiri di posisi mereka sekarang.
Sungguh eskul dengan tradisi yang aneh. Juga motto yang aneh.
"Pertemuan hari ini cukup sampai disini." Tukas Kak Naru. "Yang lain bisa pergi dan 'nggak usah dateng kesini lagi, satu-satunya anggota baru di ruangan ini cuma Ranu."
Aku yang tadinya sudah pasrah dengan hanya menunduk saja sontak kaget mendengar perkataan Kak Naru yang lebih mirip seperti pengumuman itu. Aku yang lancang ini masih di terima?
"Semua yang kami ucapkan tadi 'nggak bener-bener terjadi, semuanya cuma bagian dari tes." Jelas Kak Faiz.
Yahhh.. 'nggak asik banget, kukira mereka bertiga makan pasir sungguhan.
Aku tersentak, kemudian melirik kearah arlojiku, lagi dan lagi.
Gawat!! Sisa waktu ku hanya tinggal lima jam kurang lima belas menit. Jarak antara Jogja dan Semarang itu sekitar tiga jam empat puluh menit, setidaknya aku perlu tambahan waktu cukup banyak agar bisa sampai di stasiun dengan tepat waktu. Aku hanya bisa bergantung pada kecepatan Andra dalam membawa vespa birunya.
Bicara soal Andra, kira-kira.. dia masih menungguku tidak ya? Hari ini aku 'nggak bawa HP ke sekolah, jadi aku tidak bisa mengabarinya lewat SMS.
"Sa-saya boleh pamit sekarang kan kak?" Tanya ku, masih dengan nada gugup. "Saya lagi buru-buru soalnya."
Kak Naru hanya menganggukkan kepala, sebagai tanda bahwa Ia mengizinkan.
Akhirnya.
Aku langsung berlari ke parkiran sekolah. Dan benar saja, sesampainya aku disana tak ada satupun kendaraan yang tersisa. Aku juga tidak bisa menemukan keberadaan vespa biru milik Andra di tempat-tempat sekitar sekolah yang biasa Ia datangi.
Di depan gerbang, bahkan para pedagang yang menjual aneka ragam jajanan pun sudah tidak seramai ketika aku pulang dengan tepat waktu.
Habislah kalau begini.
Kalau ingin naik angkot pun, aku tidak punya uangnya.. uangku sudah habis semua. Aku cuma bawa uang pas-pasan, seadanya saja sekedar untuk mengganjal perut ketika kelaparan.
Pulang ini Andra pasti misuh-misuh, ibu marah, dan bapak ngambek. Aku pasrah saja lah.
Aku sudah seperti orang gila, hanya duduk di halte sekolah dan tidak tahu sedang menunggu apa.
Kalau dipikir, apa yang sedang aku tunggu?
Tidak akan ada Andra, dan tidak akan ada angkot yang ingin mengantarku secara sukarela.
Tak lama berselang lima menit, terdengar suara klakson vespa yang asal suaranya terdengar jelas dari arah depanku. Buru-buru aku mengangkat kepala.
Awalnya, kukira itu Andra, tapi sejak kapan vespa Andra berwarna telor asin begini? Vespa Andra berwarna biru tua, dan Andra tidak pernah memakai converse ke sekolahan, Ia selalu memakai sepatu vans yang kami beli seragam diwaktu dulu.
"Ayok, naik!"
Aku belum sepenuhnya memproses kejadian itu. Suara pria ini begitu familiar dan terasa lembut sekali ketika di dengar, apa mungkin dikasih molto?
Aku menyipitkan mataku, pandanganku buram sejenak karena tadi hampir menangis. "Loh?! Kak Naru?"
"Bukan, gue hantu," cerca Kak Naru. "Ck! Udah sini buruan! Ntar keburu berubah pikiran nih."
"Oke oke kak!" Aku langsung mengusap seluruh wajahku dan berlari kearahnya.
Kak Naru kemudian menyodorkan helm cadangannya padaku. "Nih dipakek, ntar kena tilang, motor ku juga yang ditahan."
Helm itu, abu-abu.
Kak Naru memperhatikanku yang sedang tertegun di jok belakang melalui kaca spionnya. "Heh! Buruan ayok! Malah melamun.."
"Eh! Iya kak!" Seruku seraya mengenakan helm itu.
Sejenak, aku teringat Andra. Helm ini juga kebesaran di kepalaku, sama dengan helm yang itu. Helm yang kini sudah lebih sering Ia pinjamkan kepada Ayu ketimbang aku.
"Kemana neng?" Tanya Kak Naru.
"Antar ke Stasiun Lempuyungan bisa 'nggak kak?"
"Ebuset! Serius ke stasiun? Bisa aja sih, cuma mau ngapain?"
Aku tersenyum, dan Kak Naru masih menyimak kelakuanku lewat kaca spion.
"Bapak hari ini pulang."
"Okedeh tuan putri kodok! Kita cuss sekarang."
Aku menepis kuduknya, melupakan kenyataan bahwa Ia adalah kakak tingkatku.
"Sakit banget Ran.." Kak Naru memegangi kuduknya seraya meringis kesakitan.
"Sesakit itu ya kak? Maaf kak maaf, respons soalnya."
"Biasa aja sih, tapi karena udah 'nggak sopan, ntar traktir aku ya! Bebas, kapan aja aku senggang kok."
Aku mengangguk saja, dan kembali menarik kedua garis bibirku.
Saat itu, aku belum sadar, bahwa senyumku yang pas-pasan ini sudah berhasil mencuri hati si bintang dari kelas sebelas.
Bintang kelas sebelas, yang cintanya bertepuk sebelah tangan.
Cintanya bisu.
Sama seperti aku.
Karena sejatinya, cinta adalah hal yang paling menyakitkan di dunia; sebab bersamanya kita ikut jatuh, lalu hilang, dan kemudian patah, menimbul sakit, berdampak rapuh. Sebanyak apapun baik pernah ikut hadir di dalamnya.
AKHIR BAGIAN 9.