Chereads / Tak Terima / Chapter 7 - BAGIAN 6; PATAH RASA

Chapter 7 - BAGIAN 6; PATAH RASA

Bel istirahat berbunyi nyaring mengisi setiap ruang-ruang kelas hingga koridor sekolah.

Murid-murid menunjukkan berbagai macam reaksi setelah mengucapkan salam penanda berakhirnya sebuah pelajaran; ada yang mencari teman gandengan, yang di jemput pacar, ada yang mempersolek diri terlebih dahulu, ada juga yang membawa bekal dari rumah sehingga tidak perlu lagi bersusah payah pergi ke kantin.

Tapi, aku salut sama anak-anak baru yang malas pergi ke kantin, padahal cogan alias cowok ganteng, bahkan cecan pun ada banyak disini. Masa iya 'nggak mau menyegarkan mata? Ya walaupun ada baiknya juga sih tetap di kelas.

"AKHIRNYAA ISTIRAHAT JUGA!!!" Teriakku kegirangan.

Rendra menatapku dengan rasa curiga, "Gue yakin, karena telat, lu pasti 'nggak sempat sarapan kan?"

"Gue doain lu cepet dapet pacar dah, orang baek, pekaan lu soalnya." Jawabku, menepuk-nepuk bahu kanan-nya.

"Aamiin.." kata Sawa seraya menengadahkan tangannya. "Gue takut banget nih kalo tau-taunya si Rendra gay."

"Lu tuh lesbi!!! SMP bukannya girang di tembak leader basket eh dia nya malah nolak.. sarap lu?" Kilah Rendra tak mau kalah.

Berdasarkan cerita Hanna, Ia, Sawa, juga Dikri dan Rendra merupakan teman satu SMP, hanya saja waktu itu keempatnya belum terlalu dekat satu sama lain.

Ratu menyerobot masuk kedalam pembicaraan, "Eh udah.. gue yakin kok, Sawa punya alasan,"

"Nah bener banget apa kata si Ratu. Nih ya gue kasih tau, gue tu masih suka iri gitu sama orang-orang, sementara yang mau sama leader basket di SMP kemaren itu 'nggak sedikit." Jelas Sawa tersulut emosi. "Bukannya gue lesbi, gue juga punya pertimbangan gemblong!"

Sawa kemudian menyibir pada Rendra dengan maksud hati ingin merendahkannya.

"Lu mah sirik ama orang, bukan iri!" Balas Rendra, lagi.

"Dah dah, terserah kalian, gue mau jemput temen gue dulu." Tukasku melengos pergi.

Baru beberapa langkah menjauhi mereka, tiba-tiba saja perkataan Dikri menghentikanku. "Temen apa temen?"

"Jangan nantangin gue Dik, bahaya." Aku menoleh sejenak, menyuguhkan ekspresi menantang sebagai gurauan, sebelum akhirnya kembali melanjutkan langkah ku yang sempat terhenti.

oOo

Saat tiba di sebuah ruangan dengan papan penanda yang bertuliskan X IPA 1, aku melihat dua sejoli tengah bercengkrama tak jauh dari depan pintu kelas.

'Manisnya..' gumamku, sebelum aku menyadari bahwa itu adalah Andra dengan seorang gadis yang agaknya baru saja Ia kenali.

Aku memang sudah curiga bahwa pundak kokoh itu adalah milik Andra, hanya saja aku tidak menyangka bahwa Ia bisa mendapatkan teman tanpa mengekoriku, terlebih lagi jika teman baru-nya itu adalah seorang perempuan. Tapi ya bagus juga sih, berarti dia sudah lebih mahir dalam memulai pembicaraan dengan orang baru. Harusnya aku merasa senang.. 'kan?

Andra masih asik mengobrol dengan gadis itu, sehingga aku melangkahkan kaki dengan ragu-ragu kearahnya. Aku takut jika nantinya kehadiranku malah menbuatnya merasa terganggu. Saking takutnya, aku sampai ingin mengurungkan niat ku saja, ketimbang harus berada di situasi seperti ini.

Baru saja aku ingin berbalik badan dan pergi menjauh, gadis cantik tadi malah menyadari keberadaanku. "Putri kodok kan?"

Otomatis, Andra pun ikutan menoleh. Bangsat.. situasi sialan macam apa ini.

"Eh Ranu, ngapain lu udah mau balik lagi?" Tanya Andra, sesaat setelah tersadar akan keberadaanku.

Aku cengengesan seperti orang bodoh, "Gue kira lu mau istirahat sama dia."

"Ya enggak lah bego, kan gue yang minta di temenin sama lu."

Gadis tadi tersenyum menyapaku. Wah ini sih.. primadona di kelas ku pun sudah pasti kalah.

Dengan sigap, kami saling diperkenalkan oleh Andra.

"Eh iya kenalin, Ran ini Ayu, teman sebangku gue," kata Andra, sementara telunjuknya mengarah kearah Ayu. "Nah Yu, ini Ranu, sahabatku dari zigot."

Tiba-tiba saja, Andra menarikku kedalam rangkulannya, bermaksud ingin menunjukkan seberapa dekatnya kami sampai-sampai bisa memenuhi kriteria sebagai sepasang 'sahabat karib'. Dengan harapan, semoga aku dan Ayu bisa bersahabat juga nantinya.

Tapi.. tunggu dulu. 'Sahabatku?' Sejak kapan Andra pakai aku-kamu? Bahkan dengan orang yang berbicara menggunakan aku-kamu saja, Andra tidak terpengaruh untuk ikut-ikutan berdialog seperti itu.

Jangankan pada orang lain. Padaku saja, hal tersebut belum pernah terjadi sekalipun.

"Salam kenal Ranu.. tadi di kelas waktu saling kenalan, nama kamu selalu di bawa-bawa sama Andra." Ucap Ayu, memperkenalkan ulang dirinya.

"Iya, dia emang gitu sampai lu bilang bosen ke dia. Bisa-bisa bentar lagi gue jadi famous di sekolah."

Kan..mulai lagi deh. Barusan aku mikirin apa sih? Lagi-lagi aku terus membanding-bandingkan begini. Seketika aku merasa sudah berpikiran jahat; anak sebaik Ayu, pasti lebih mengerti perasaan wanita. Dia 'nggak mungkin berniat untuk menjadi penengah antara hubunganku dan Andra, aku yakin dia paham bahwa persahabatan yang sudah di jalin lama itu pasti punya banyak rasa; suka, duka, cinta.

Aku juga heran, kenapa aku selalu mengambil sudut pandang paling negatif di setiap permasalahan yang aku alami; toh justru itu 'kan yang membuat ku malah jadi semakin tertekan?

"Yaudah Yu, nanti lagi ya bahas kelas-nya, Ranu kalo kelamaan nunggu nanti dia keburu jadi Godzilla." Pamit Andra.

Ayu mengangguk pelan, memamerkan deretan gigi yang membuat parasnya terkesan manis. "Iya, monggo."

Paras yang dimiliki Ayu memang sangat mencerminkan nama-nya. Ia memiliki gerak tubuh yang lembut, sama seperti garis wajahnya yang terkadang juga memberikan kesan tegas. Rambutnya panjang terurai, tidak seperti rambutku yang seringnya malah mendapat komplain dari Andra.

Aku tahu maksud dari raut wajah Andra yang begitu sumringah, bahkan tutur katanya padaku menjadi lebih lembut dua kali lipat dari biasanya. Suasana hatinya sedang baik, entah itu karena Ia berhasil mendapatkan teman secantik Ayu, atau karena Ia sedang menaruh hati pada gadis itu.

Aku dan Andra memang Pangeran dan Putri Kodok Of The Year. Tapi Andra dan Ayu adalah Pangeran dan Cinderella di negeri dongeng yang sesungguhnya.

Mereka adalah sesuatu, sementara aku lain lagi.

"Ran,"

"Apa?" Responku.

"Kok melamun?" Tanya Andra.

Aku tertawa, tawa palsu. "Mau tau banget, atau mau tau aja?"

"Mau tauuuuuuuu banget."

Selama perjalanan kami menuju kantin, hampir seluruh kakak tingkat melirik kearah Andra. Di belakang kami yang cukup jauh jaraknya; ada Ayu bersama dengan seorang temannya hendak pergi ke suatu tempat yang berbeda arah dengan kantin.

Perasaanku sedari tadi sudah tidak enak, kupingku terus-terusan berdenging. Positif, ada beberapa dari mereka yang sedang membicarakanku.

Aku tak biasa di pandangi oleh banyak mata, walau sewaktu SMP aku sudah sering berada di posisi ini, apalagi kalau sedang berjalan-jalan dengan Andra di akhir pekan. Tapi di masa itu, aku masih tak peduli apa kata orang. Dan SMA ini, jelas sudah lain cerita.

Aku ini cuma putri kodok ditengah pangeran dan putri sungguhan.

"Gue tuh cuma lagi heran aja Ndra, kok ada ya.. cewek secantik ayu?" Kataku bertanya-tanya.

"Yang secantik Ayu mah banyak Ran," tukas Andra. "Yang sedikit itu cewek kayak lu.."

Andra tertawa, membuat kedua matanya menyipit. Betapa menggemaskannya.

"Cewek kayak gue?"—Andra mengangguk—"Emang gue cewek kayak gimana?"

"Tipe cewek rese!" Andra lanjut tertawa. "Tapi resek resek gini, tetep sayang kok gue.."

Bohong. Ini pertama kalinya Andra berbohong. Aku tahu, Ia mengerti akan rasa cemburu yang sedang aku alam; walau Ia tetap menganggapnya sebatas kecemburuan antar sahabat. Tapi, aku ini bukan lagi gadis berumur tujuh tahun yang mudah termakan bujuk rayu manis rendahan seperti itu. Sayang muatamu.

"Iya, sayang sebagai sahabat." Tukasku dingin, ingin mengetahui apa reaksi Andra saat ku serang Ia dengan perkataan seperti itu.

Andra kemudian menjentikkan jarinya, "Nah! Itu lu tau,"

Jawaban Andra membuatku tertegun.

Ya, aku tahu pada akhirnya hanya sebatas ini besar hatinya untukku. Ia tak punya waktu untuk menempatkan hatinya disini, barang hanya sebentar saja.

Aku tidak menuntut Andra yang harus bertanggung jawab atas perasaan ini seperti apa yang sering orang-orang bilang. Lagipula menurutku, tak ada perasaan cinta yang harus di pertanggung jawabkan. Kalaupun ada, yang bertanggung jawab itu harusnya ya kita sendiri, kenapa sampai gagal menjaga hati. Semua itu hanya definisi basi.

Aku selalu menolak kenyataan akan jawaban Andra. Aku sendiri masih belum bisa bertanggung jawab, dan seringnya malah lari dari perasaan itu sendiri.

Jelas. Memangnya siapa yang ingin patah hati? Aku tidak.

Coba pikirkan dalam-dalam, padamu, pasti juga hal seperti itu berlaku 'kan?

"Hari ini, gue yang traktir." Kata Andra, memecah lamunanku. "Gue lagi seneng, jadi gue traktir biar lu-nya juga ikutan seneng.

Bicara soal makanan, sayang sekali.. cacing di dalam perutku sudah lama bungkam, mereka tak lagi merengek minta di kasihani. Mereka justru patah hati, karena yang mereka makan hanyalah sebuah kemalangan dari seorang penyimpan rasa.

Terjawab sudah pertanyaan ku selama ini.

Aku sudah tak ingin lagi berada di kantin, rasanya aku ingin cepat- cepat ke kelas saja dan segera menutup diri dari Andra. Ada ombak riuh jauh di dalam relung hatiku, dan bersama riuhnya ombak itu pula; Ia melebur bebatuan karang, membentuk kerikil, hingga harapan-harpan yang aku gantungkan itu jadi tak punya wujud lagi—mungkin masih ada, barang sedikit, Ia hanya tak pasti saja.

Harapanku, debu.

AKHIR BAGIAN 6.