Namaku Heksaranu Atmadja, seorang designer grafis yang bekerja di kota Kembang. Aku tak serta merta langsung tinggal dan jadi anak Bandung. Dahulunya, aku tinggal di Jogja, yang katanya terkenal dengan seribu rahasia cinta juga kisah romantisme-nya. Bukan, aku bukan perempuan tulen asli Jogja, bahkan kalau boleh jujur, aku sama sekali tak punya darah Jawa.
Bapak dan Ibuku asli kelahiran tanah Sumatera. Keduanya adalah hasil dari perjodohan orang tua, yang kemudian pergi marantau dengan hanya bermodalkan nekat semata. Setelah keduanya mencoba untuk saling terbuka dan akhirnya.. ya, syukurlah, berhasil jatuh cinta, kemudian lahirlah aku, putri semata wayang di keluarga Kana Atmadja.
Kehidupan finansial keluargaku selama di Jogja biasa saja. Dari mulai rumah, jumlah uang jajan, dan transportasi, ketiaga hal tersebut serta semua etek bengeknya bukanlah harta yang bisa aku pamerkan. Tak heran juga, karena niat bapak dan ibuku memang bukan untuk menyusahkan orang tua, mereka harus mulai semuanya dari awal.
Padahal ibu bilang, kedua Kakek-ku itu adalah orang terkemuka di kota-nya. Keduanya punya banyak tanah dan juga harta benda; yang satu punya tambang batu bara, dan yang satu lagi punya cabang usaha dimana-mana.
Dahulu, sewaktu aku belum paham mengenai estetika, tinggal di Kota Jogja ini jadi mimpi buruk buatku.
"Ah, kalo aku tahu kakek itu tajir melintir, aku lebih baik tinggal sama kakek di Sumatera. Bisa-bisa, tiap hari aku mandi di kolam susu, kayak katanya si Bimbo." Gumamku dangan muka cemberut, suatu waktu.
Satu-satunya yang membuatku merasa senang selama tinggal di Jogja itu memang cuma Andra dan keluarganya.
Tepat di sebelah rumahku, ada rumah seorang pembuat wayang yang kerap disapa Mas Nif. Tapi, Karena usiaku ku seumuran dengan anaknya, jadi aku biasa memanggilnya dengan sebutan Ayah Nif, bahkan terkadang hanya Ayah saja.
Tiap pulang sekolah, selepas bersih badan dan berganti pakaian; dengan sandal swallow, celana pendek, dan kaos seadanya, aku pergi bertandang ke rumah Ayah Nif.
Aku suka, disana beranda rumahnya selalu ramai oleh teman-teman seperwayangannya. Harum bau hangatnya kopi hitam pekat dan kulit wayang yang berserakan dimana-mana selalu jadi hal kecil yang berhasil buat senyum-ku mekar lebar.
Bertandang kerumah Andra berhasil menduduki peringkat pertama mendahului kecintaanku pada menggambar.
Biasanya aku dan Andra ikut menggambar wajah Bima, Mungkin Gatot Kaca, dan malamnya ikut menonton mereka berlatih mendalang. Sayang, Andra selalu kesulitan dalam hal menggambar, berbanding terbalik denganku yang memang sudah jadi hobi.
"Dra, kayaknya anaknya Ayah itu ketuker deh," kataku yang sontak membuat keningnya mengkerut keheranan. "Harusnya, yang jadi anaknya Ayah Nif itu aku!"
"Walahhhh.. sembharangan kamu." Balas Andra kesal dengan logat medhok khas-nya, di suatu masa yang jauh sekali.
Kalau dipikir, aku dan Andra itu ibaratnya sudah berteman sedari masih berbentuk zigot. Aku sudah tahu begitu banyak cerita, rahasia, apa yang Ia sukai, dan apa yang tidak Ia sukai. Hal-hal seperti mengecup kening, pipi, dan lainnya bahkan sudah jadi hal biasa buatku dan Andra.
Meski sejatinya, Ia menganggap semua perlakuan manisnya itu hanya sekedar antar sahabat karib saja.
Coba tebak, apa bagian lucunya? Bagian lucunya ada di saat menginjak kelas sepuluh yang, ah.. mungkin sebagai teman, aku terlalu lupa diri, sampai-sampai dengan beraninya pertemanan kami yang selama 15 tahun--di masa itu--berjalan dengan baik, aku libatkan dengan perasaan.
Bisa-bisanya, aku jadi begitu konyol.
Di masa itu, perasaan-ku kepada Andra sempat jadi hal yang membuatku hampir kehilangan diriku sendiri. Aku jadi lebih sering melamun, dan berpikir logis pun jadi terasa begitu sulit. Pertanyaan dan pembantahan terus terjadi di kepala-ku seperti, "Kenapa aku bisa jatuh hati?" Atau, "Jatuh hati ya boleh saja, cuman ya jangan sama dia juga kali."
Aku terus lari dari perasaan itu, menyangkal, membantah, dan sebisa mungkin menguburnya dalam-dalam. Karena jika diungkapkan, aku sudah tau jawaban Andra akan seperti apa, reaksinya, semuanya. Aku sebegitu dalam-nya kenal akan sosok Andra.
Sudahlah, toh.. berhubungan dengan Andra dengan status yang melebihi julukan sahabat karib mungkin memang bukan keahlianku.
oOo
"Woi Ran!" Teriakan Andra sontak membuatku terbangun dari lamunanku.
"Mikirin apasih?" Tanya nya, menyambung perkataan yang belum sepenuhnya usai.
Aku melanjutkan kegiatan mempersiapkan keperluan MOS besok tanpa menjawab pertanyaan Andra. Biar saja, biar dia kesal. Aku memang sengaja, balasan karena tadi sudah hampir membuat jantungku lepas dari tempatnya.
Ngomong-ngomong, mengenai Masa Orientasi Sekolah, beberapa minggu yang lalu aku dan Andra resmi menjadi anak SMA, yang sekolahnya sudah kami idam-idamkan sejak SMP; SMA Harapan Bangsa.
Wahh.. senangnya bukan main, sampai-sampai Andra harus ganti kasur karena yang lama jebol akibat dipakai untuk kami loncati. Masa SMA ini kami sambut dengan lambaian semangat yang sangat mendebarkan.
Andra akan jadi anak IPA. Ya, dia memang cowok yang intelektual, aku 'nggak heran sih dengan pilihannya. Sementara aku lain lagi, yup! Apalagi kalau bukan jadi anak IPS?
"Cieeee ngambek nih yeeee.." Kata Andra, berpikir bahwa rayuannya itu manjur buatku. "Jangan ngambek-ngambek gitu dong Ran."
Andra sudah tengkurap sambil menatapku, aku paham betul dengan gaya cowok yang ada di hadapanku ini. Aku menatapnya tajam, namun hanya sejenak. Dalam hatiku; "Huss! Pergi sana! Dasar buaya."
Tapi satu hal juga yang perlu kamu ketahui dari sosok Jenandra. Kalau urusan gombal dan bujuk cewek, dia itu tipe cowok yang pantang nyerah sama keadaan.
"Yaudah yaudah, gue punya pantun nih buat lu, dapet dari twitter sih" Ia lalu kembali pada posisi duduk bersila-nya.
Aku menyimak dan menunggunya mulai bicara.
"Satu titik, dua koma."--Aku menoleh padanya--"Ranu cantik, mirip Obama, YHAAAAAA!!!"
Aku berdecak kesal sambil meninggikan suara, "Apanya yang lucu sih Dra?!"
Kemudian aku pergi menuju beranda setelah membanting pintu dengan penuh drama, meninggalkan Andra di kamar-ku, sendirian.
"Yah Ran! Jangan ngambek gitu dong.. lu cantik beneran kok!"
Di beranda, langit mulai memerah seiring meluapnya amarahku padanya. Duduk di beranda, menikmati semilir angin sore Jogja yang sejuk, sambil melerai pertikaian singkat antara aku dan Andra yang tak banyak kata.. jadi penutup di senja ini; harusnya aku tadi tak emosi begitu, harusnya aku tak begini.
Tiba-tiba saja, Andra menyodorkan kepalanya tepat di sebelah telingaku, seolah hendak memberi tahukan isi dari puisi cinta yang Ia ketik semalaman dengan jemarinya yang lembut.
"Lu 'nggak tahu sih Ran, yang bikin lucu itu, ekspresi wajah sebel lu yang rasanya kepingiiin banget gue gigit."
Setelah mengecup sembarang pipi kananku yang sudah terlanjur memerah tanpa diberi perona, Andra langsung berlari menuju pekarangan rumahnya, "Besok jangan malu-maluin gue ya 'ndut!"
"IHHHH JOROK ANDRA!" Balasku seraya membersihkan area pipi yang ia kecup.
Tapi, itu semua hanya kepura-puraanku dalam berskenario. Padahal yang sebenarnya, beberapa hari kedepan aku bisa sampai 'nggak cuci muka agar tetap berbekas.
Sial, Ndra, kalau begini terus, bisa-bisa aku jantungan. Dasar, bisanya cuma ngerepotin perasaan orang aja. Apa 'nggak kasihan sama temen sendiri? 'Kan susah jadinya.
AKHIR BAGIAN 1.