"Andra, Ranu, bangun!" Sayup-sayup setengah sadar, ku dengar suara lembut Bunda-nya Andra memenuhi seantero langit-langit kamar.
Aku terbangun dan mendapati Andra dengan mata yang masih terpejam di sebelahku. Aku mengerjap-ngerjap, silaunya semburat cahaya mentari yang masuk melalui kaca jendela membuat penglihatanku buram sesaat.
Aku memandang sekeliling. Tidak salah lagi, bau ini, ruangan ini; kamarnya Andra.
Setelah selesai menonton film romansa itu, aku dan Andra memutuskan untuk marathon film Harry Potter, dan seperti yang bisa kau duga, setengah perjalanan, aku terlelap, kemudian disusul Andra.
"Loh? Bunda?" Tanyaku keheranan, sebab belum sepenuhnya memproses kejadian pagi ini.
Bunda menarik tanganku beranjak dari kasur. Ia menunjuk kearah jam dinding yang jarumnya sudah menunujukkan pukul tujuh lewat tiga puluh menit. "Hari ini sudah hari senin loh 'nduk.."
Mataku membelalak panik. Buru-buru aku lari kerumah tanpa mengucapkan salam ketika melewati ambang pintu, sementara Ibu sudah berbicara panjang lebar.
Buku pelajaran dan peralatan juga seragam sekolah sudah kusiapkan dari tempo hari, sehingga aku hanya perlu mengguyur tubuhku dengan air sekenanya saja, gosok gigi, dan tidak perlu keramas, yang penting bersih.
Aku mulai menyisir rambut-ku ke sembarang arah; sebenarnya aku juga merasa sedikit beruntung karena rambutku pendek, jadi kalau tidak di kuncir pun, aku 'nggak bakal merasa gerah. Lumayan, untuk menghemat waktu.
Aku kemudian mengikat tali sepatu vans-ku yang sudah lusuh, sesekali melirik kearah pekarangan rumah Andra.
Suara kenalpot motor vespa biru milik-nya sudah berbunyi nyaring sedari tadi. Kulihat baju Andra yang belum dimasukkan, dan dasi yang masih dalam genggaman. Bibirnya menjepit selembar roti tawar yang tidak diberi selai dan topping atau semacamnya.
"Nih!" Katanya, menyodorkan helm abu yang keberadaannya sudah seperti milikku saja.
Aku duduk di jok belakang, dan mengenakan helm tanpa talinya aku pasangkan. "Ayo Ndra, udah nih!" Kataku, masih dengan nada panik.
Ini hari pertama kami sebagai sepasang anak SMA. Rencananya hari ini kami ingin memberikan image yang baik kepada guru, tapi jiwa dakjal di dalam diri ini terus meronta minta di pamerkan. Memang pada hakikatnya, kami ini hanya sepasang murid laknat.
Lalu di tengah perjalanan yang terburu-buru itu, sempat-sempatnya Andra bercerita. "Eh Ran.. masa ya tadi,"
Aku melongokkan wajahku, agar suara Andra yang samar di sela-sela gemuruh angin itu bisa terdengar dengan cukup jelas.
"Bunda marah-marah 'nggak jelas," Sambungnya lagi, "Hampir aja gue mau ngerubah bunda pake mantra Riddikulus, kan lumayan bisa ngubah yang nyeremin jadi lucu."
Aku tak membalas cerita Andra yang bagiku cukup menggelikan itu, aku hanya tertawa di dalam helm yang kebesaran, kemudian mempererat pegangan-ku pada Andra.
Hari pertama kami memang cukup buruk, tapi menurutku balasannya cukup setimpal.
Kami melaju diatas vespa biru muda, membelah jalanan kota Jogja, dan hanya kami berdua.
oOo
Hukuman atas keterlambatan kami pagi ini sudah aku perkirakan akan jadi seperti apa. Pangeran dan Putri Kodok Of The Year kembali di jemur di hari pertama masuk sekolah, tentu hal tersebut jadi bahan perbincangan hingga olokan di berbagai tingkatan kelas. Tangan-ku pegal, dan matahari Jogja pagi ini juga berada di pihak hukuman; terik sekali.
Aku melirik kearah Andra dengan tangan kanan yang masih dalam posisi hormat. Keringat Andra lebih banyak dari biasanya, mengguyur area wajah hingga jatuh pada garis tegas pada rahang miliknya. "Bujubuset.. banyak banget keringat lu Ndra."
"Iya.. gerah banget, ni baju belum di cuci sama Bunda, gerahnya jadi dua kali lipat." Jelasnya, dengan wajah yang mengernyit kepanasan.
Aku memutar bola mataku malas, "Kalo sampe nyalahin Bunda awas loh ya.. udah gue ingetin dari kemaren loh Ndra."
Selama ini Andra memang sosok yang tak pernah mau mendengarkan, padahal beberapa diantaranya tak lain adalah untuk kebaikannya sendiri.
"Lu ngerasa panas 'nggak Ran? Santai banget muka lu.." Tanya Andra, mengalihkan pandangannya dari tiang bendera.
"Ini gue juga kepanasan, tapi dibawa santuy aja."
Andra hanya mengangguk pelan sebelum akhirnya mulai bicara lagi, "Ran, disana teduh tuh, geseran, biar gak kepanasan."
"Ntar dimarah sama si nenek lampir gemblong!" Bantahku, sambil menyindir kegarangan Guru BK di sekolah ini.
"Udahhh tenang aja, nggak bakalan, percaya sama gue."
Kuakui, pagi ini memang panas, dan bujukan Andra begitu meyakinkan hati, hingga tanpa sadar, aku mengikuti perkataannya untuk bergeser kearah yang lebih teduh. Andra memang pandai sekali dalam memanipulasi hati orang, dan memantapkan pilihan hati merupakan salah satunya; pilihanku, apa yang Ia pilih.
"Tempat teduhnya 'nggak cukup buat dua orang, lu gimana?"
"Udah gue mah gapapa," balas Andra, tersenyum simpul. "Yang penting itu, lu-nya."
Andra mengusap pucuk kepalaku, melepaskan tangannya dari posisi hormat. "Aman kok."
Sial, senyum itu lagi. Dasar pria ini, ingin sekali rasanya aku miliki.
Bagiku, Andra bukan hanya sekedar pria yang tampan karena senyuman mautnya, atau matanya. Gigi-nya yang berbaris rapih, barangkali badannya yang sangat proposional untuk seusia anak kelas sepuluh.
Andra adalah satu-satunya pria yang ku kenal; yang tahu caranya memahami, tahu bagaimana caranya agar orang-orang bisa hanyut dalam setiap tutur katanya, tahu caranya menghargai dan menjaga apa yang sepatutnya Ia jaga.
Aku 'nggak tahu, apa yang Ia rasakan ketika aku secara tiba-tiba memeluknya di atas motor.
Aku 'nggak tahu, sebenarnya apa yang ada di dalam pikirannya ketika aku sengaja berdandan hanya untuk memukau dirinya. Cantik kah? Atau biasa saja? Sebab Ia kurang suka gadis berambut pendek, dan aku risih jika harus punya rambut yang terjuntai panjang.
Aku 'nggak tahu, apa Andra juga punya rasa yang sama atau malah tidak sama sekali—barangkali sedikit, atau setitik pun.
Ya.. memangnya siapa yang bisa menerka-nerka isi hati seseorang? Kamu tidak, akupun juga tidak.
Tapi yang jelas, aku mencintai Andra sebanyak sapaan dan kalimat perpisahan yang Ia ucapkan di setiap hari-nya.
oOo
Aku sudah berada di dalam kelas sejak lima menit yang lalu. Hukuman-ku dan Andra sudah selesai, untungnya Wali Kelas ku 'nggak segalak Guru BK disini. Olehnya, aku diperbolehkan masuk tanpa ada konsekuensi apapun, tanpa harus melakukan ini, itu, atau bahkan menyimak dari luar pintu kelas.
Teman sebangku ku pun kelihatannya lumayan asik, Hanna namanya. Di depanku, ada Dikri dan Rendra yang sekarang jadi teman sebangku, lagi, 'nggak cuma waktu di Mekdoy aja.
Ya.. mereka berdua emang cocok sih. Sebagai sahabat maksudnya.
Sementara di belakangku, ada Ratu dan Sawa yang menempati meja terakhir di barisan ini. Jumlah meja di barisan ini memang lebih sedikit dari yang lainnya, mengingat barisan yang aku tempati ini adalah barisan paling terakhir di kelas.
"Lu kenapa bisa telat, Ran?" Tanya Hanna, memaling waktu diskusi untuk sekedar membicarakan lima kata tersebut.
Aku melirik sekilas kearah Bu Riska, Wali Kelas ku; kalau-kalau saja Ia sedang memperhatikan anak muridnya dan malah berujung menegur kami.
"Gara-gara telat bangun, malamnya keasikan nonton." Kataku, dengan tidak menatap Hanna.
Hanna hanya mengangguk sembari menahan tawa, gadis itu lalu kembali memfokuskan pandangannya kearah Bu Riska yang masih sibuk menjelaskan sistem peraturan sekolah.
"Aneh juga lu."
AKHIR BAGIAN 4.