Chereads / Tak Terima / Chapter 4 - BAGIAN 3; IBU, DAN BAPAK

Chapter 4 - BAGIAN 3; IBU, DAN BAPAK

Begitulah akhir pekan-ku terlewati, tidur setengah hari, menggambar diatas lembaran-lembaran sketch book yang baru saja ku beli pekan lalu bersama Andra, dan keluar kamar seperlunya saja; makan dan minum pun masih dengan selimut yang menutupi bagian pungung dan kedua bahu-ku.

Aku sudah di serang oleh ocehan Ibu sedari Sabtu sore, tapi sifat Bapak yang terlampau cuek itu nampaknya terwariskan dengan baik padaku.

Dan bukannya melanjutkan tidur ku lagi, mataku mendadak malah melek sejadi-jadinya seperti kesurupan hantu yang tidak suka tidur.

'Huh.. udah 'nggak bisa tidur lagi..' Gumamku, entah pada siapa. 'Ngemil aja lah,'

Ting!

Tak lama setelah aku meneguk setengah gelas air madu juga bakwan hangat yang sudah terlanjur masuk kedalam perut, notifikasi dari seorang pengirim pesan terdengar seperti kicauan burung yang bersaut-sautan. Ia berbunyi nyaring, dan asalnya tak lain adalah dari speaker HP lipat yang sudah jadi kebanggaanku.

'Ah! Dari Andra.'

Ku buka pesan SMS dari-nya. Setengah layar ruang pesanku dan Andra dipenuhi dengan huruf 'P', memang Andra sekali kalau sudah begini. Ku balas saja puluhan huruf P itu dengan gurauan yang seringnya membuatku di cap sebagai 'teman laknat' oleh Andra.

'P = monyet |

'Monyet bilang monyet, YHAAAA miris' |

Ya, sebentar lagi aku dan Andra akan membuka cagar alam khusus monyet.

'Eh btw 'ndut, tumben 'nggak ke rumah gue? Nonton film yuk! Ayah baru beli kaset baru.. buruan, ga asik nih nggak ada temen:(' |

Aku menjawab pesan Andra sekenanya saja. Sedari pulang MOS kemarin, mood-ku memang sudah tak karuan. Langsung saja aku cuci muka secukupnya, kemudian bergegas keluar rumah. Saat aku hendak membuka pintu, Ibu menghentikan langkah ku dengan sebuah pertanyaan lumrah,

"Mau kemana, Ran?"

Aku membalikkan badan, "Mau ke rumah Andra, mau ngajak nonton katanya."

Ibu mengulum bibirnya dengan raut wajah kecewa, hatiku terenyuh. Tak biasanya Ibu menunjukkan ekspresi seperti itu. Selama ini, Ibu memang tak pernah protes kalau aku lebih sering pergi ke rumah Andra ketimbang memilih untuk menemaninya barang hanya mengobrol saja.

Ya.. kalau dipikir, terakhir aku bertukar cerita idengan Ibu itu saat kelas tujuh. Apa sikap ku sudah terlampau cuek pada Ibu ya?

"Kamu.. 'nggak nyaman ya, berada di rumah?" Tanya Ibu lagi.

Apa yang aku terka, ternyata memang benar adanya.

Aku sepenuhnya paham mengapa ibu menunjukkan raut wajah seperti itu. Rasa khawatir itu Ia tujukan padaku sebab Ia takut, takut kalau-kalau putri semata wayangnya merasa tidak nyamanan ketika berada di dekatnya, barangkali Ia menganggapku sedang marah padanya.

Padahal sebenarnya, bukan begitu.

Aku menarik napas panjang, sebelum mulai menjelaskan.

"Ibu kok bilang begitu? Ranu itu bukannya nggak nyaman bu.. Ranu cuma lagi 'nggak mood aja." Kataku, dengan nada meyakinkan. "Kalaupun Ranu nggak cerita apa-apa ke Ibu, itu tandanya Ranu lagi 'nggak ada masalah Bu, bagus toh 'nggak ada masalah? Ranu main ke rumah Andra itu, karena Ranu nganggap Andra sebagai teman yang satu frekuensi sama Ranu."

Aku mendekap Ibu dengan penuh hangat karena sepenuhnya; aku merasa bersalah. Lalu kurasakan hangatnya tangan ibu mengelus pelan punggungku yang sudah lama terasa letih. Tangan ibu bergerak bebas, hangat. Hangat.

"Kalo kamu pacaran sama Andra, Ibu juga 'nggak marah kok." Kata Ibu, Tiba-tiba.

Aku memisahkan badan dari dekapan Ibu, "Kok malah kesana sih Bu?!"

Ibu menahan tawa, Ia lalu membukakan pintu dan menepuk-nepuk pelan bahu kanan-ku. "Yo wess toh? Sudah ditungguin sama mas gebetan."

"IHH IBUU!!!"

Pipiku memerah karena di goda oleh ibu. Hei sadar! Ini terlalu sederhana untuk dibilang kencan di minggu sore. Istighfar Ranu!!!

oOo

"Waalaikumsalam," kata ayah Nif, setelah aku selesai mengucap salam. "Makin ayu saja Ranu ini.."

Aku menyelipkan helaian rambut di balik telinga sambil mengulum senyum. "Ah.. Ayah bisa aja."

Walau sudah sore begini, kalau akhir pekan, keramaian di beranda rumah Ayah bisa sampai larut malam.

Lantai penuh dengan kulit sapi kering yang permukaannya sudah diukir oleh wajah para tokoh wayang kulit, biasanya yang ini untuk dipasarkan.

Setiap orang mempunyai tugasnya tersendiri; ada Mas Ali dengan paku corekan dalam genggaman, digunakan untuk mengukir wayang.

Lalu ada Mas Putut, pemuda kelahiran tanah Bali yang jatuh cinta pada seni wayang kulit, tugasnya adalah untuk mengoleskan lilin pada permukaan wayang dan masih banyak yang lainnya.

"Oh iya, Bapakmu piye kabare?" Tanya Ayah yang masih sibuk dengan tatah-nya.

"Alhamdulillah terakhir di telefon, Bapak baik yah, bulan depan Bapak baru pulang."

Oh iya, aku sampai lupa bilang. Bapakku itu, kerja-nya di pelayaran. Bapak baru bisa pulang setelah berbulan-bulan, dan menghubungi-nya pun lumayan susah karena kesibukan diatas kapal yang lumayan padat.

"Baguslah," balasnya seraya mengangguk pelan. "Bilangin sama Ibumu, kalo 'ndak kuat di tinggal lama, wess cari yang baru."

Aku terkekeh mendengar candaan Ayah yang kalau di pikir sih.. ada benar-nya juga. Habis, menurutku—dan aku bisa saja salah—perempuan yang suaminya punya pekerjaan seperti bapak itu adalah perempuan kuat; kuat jauh-jauh dari yang dicinta. Karena kalau 'nggak kuat, yang mencinta ya keburu cinta-nya hilang dirampas orang lain.

Tapi ya.. Ibu ku itu memang pandai sekali dalam hal menyembunyikan rasa. Kalau pergi menjemput bapak di pelabuhan, biasanya Ibu hanya mendekap Bapak bungkam, itupun karena Bapak duluan yang memulai. Kalau Bapak tanya, "Ibu rindu 'nggak sama bapak?"

Kata penolakan seperti "Enggak." Adalah jawaban yang selalu Ibu lontarkan. Ibu mengatakannya seolah Ia benar-benar tidak merindukan Bapak; tanpa raut rindu, tanpa raut sendu. Padahal kan bisa saja, Ibu berkata seperti itu agar Ia bisa menyambung kalimat penolakannya dengan lelucon "Enggak salah lagi." Yang sempat populer di kalangan pasangan, baik muda maupun tua.

Tapi, Ibu tidak seperti itu. Atau memilih untuk tidak seperti itu.

Meski sebenarnya aku tahu, Ibu sangat merindukan Bapak. Ia hanya tak pandai mengatakannya. Kerinduannya hanya Ia simpan baik-baik dalam relung hatinya yang paling riuh, sembari menunggu kepulangan Bapak di setiap malam.

Aku rasa, Bapak juga paham, alasan mengapa Ia harus beruntung punya istri seperti Ibu, alasan mengapa Ia harus menjaga hati meski hatinya terombang-ambing oleh ganasnya laut, dan alasan mengapa hati Ibu tidak terbagi untuk lelaki lain.

Aku melongokkan wajah di sela-sela keramaian, mencari- keberadaan seseorang yang belum kudapati sedari satu setengah menit yang lalu. "Bunda mana yah? Biasanya Bunda ikut gabung."

"Bunda-mu lagi cari keperluan untuk bulan ini, baru ada uang-nya, jadi baru bisa belanja sekarang." Jawab ayah tersenyum simpul.

Aku kemudian beranjak dari posisi dudukku, lalu izin pada ayah untuk menemui Andra di kamarnya. Seperti yang sudah ku duga, air muka Andra bete.

Dua menit sudah berlalu begitu lama baginya, padahal telat-nya Andra yang terkadang bisa sampai hitungan jam itu selalu ku tunggu dengan ikhlas. Bahkan, sesekali kami gagal pergi, karena ada beberapa kegiatan dadakan dan Ia yang tak sempat mengabari-ku.

Ya.. demikianlah manusia, demikianlah aku, demikianlah kamu, kita; yang sudah jadi sebuah kebiasaan untuk selalu lapang dada, memaafkan kesalahan yang hanya itu-itu saja.

"Lama banget dah Ran.. Lu jangan-jangan naksir Ayah gue yak?"

"Ndasmu tak sodok karo tangkai sapu lho Ndra." Jawabku dengan nada mengancam. "Yaudah, mana film yang mau di tonton?"

Andra yang sedari tadi berposisi tengkurap diatas kasur kemudian mulai menggerakkan jemarinya yang bebas, menekan tombol play pada pemutar DVD.

Aku ikut mengambil posisi; tengkurap dengan bantal yang menjadi tumpuan dibawah dagu, di sebuah bagian kosong kasur yang sengaja Andra sisihkan untukku.

"Gue udah siapin film, lu gausah nanya ini film apaan yang jelas gue udah ngidem lama, baru sempat akhir pekan gini gue." Jelas Andra sambil sesekali menoleh kearah-ku.

Aku hanya mengangguk saja sebagai tanda bahwa aku mengiakan perkataannya.

Ketika film sudah dimulai, ada sebuah adegan romansa yang terselip disana, membuatku sepenuhnya sadar bahwa film yang ku tonton bersama Andra ini ber-genre romansa remaja.

Buatku, film seperti ini 'nggak pantas untuk di tonton sepasang sahabat lawan jenis, dikamar, hanya berdua. Aku 'nggak habis pikir sama apa yang ada di pikiran Andra, pasalnya Ia sangat menikmati alur film itu.

Pipiku merona, mataku tertutup setengah bantal yang berbau Andra.

"Lu kenapa Ran? Kayak anak di bawah umur aja lu."

"EMANG MASIH DI BAWAH UMUR BEGO!" Jawabku, meninggikan suara. "Itu mereka ciuman!!!"

Andra tertawa sekencang-kencangnya. Tawanya membuatku keheranan, 'Yang lucu itu apaaa?!!'

"ampun deh Ran Ran.. nih ya gue kasih tahu. Manfaat nonton film begini tuh, adalah biar lu juga tahu nanti caranya ciuman gimana, referensi nge-gombal gimana, siapa tau gue jodoh lu, ntar biar jadi referensi juga."

"ANDRA!!!"

"Apa mba jodoh?" Jawabnya, cengengesan.

Aku menjewer telinga kanan milik-nya, sebelum kembali meluapkan amarah yang salah tingkah, "JENANDRA MAHESWARAAAAAA!!!"

Andra meringis kesakitan sambil memohon padaku untuk melepas jeweran tersebut.

"Iya iya ampun, ampun.."

"Bilangnya, ampun Ranu cantik.." Balasku lagi, menolak permohonan ampunnya.

"Iya.. ampun Ranu cantik," Lalu Ia melanjutkan, "Mirip obama."

"Ohh minta di jewer lagiii!!!"

"Iya iya suwer damai ampun. Cinta damai, cinta damai."

AKHIR BAGIAN 3.