Aku memang sudah sering dapat berita dari kakak kelas-ku yang sudah lebih dulu jadi anak SMA, kalau Masa Orientasi Sekolah itu menyeramkan. Dari buku-buku, novel, dan ketika orang-orang mulai menyuarakan pendapat mereka.
Seringnya, MOS dianggap sebagai sebuah ruang pengadilan.
Tapi menurutku, Masa Orientasi Sekolah itu 'nggak menyeramkan, sama sekali enggak. Aku bahkan sama sekali 'nggak maslah meski harus dibentak oleh kakak kelas, ya walau aku merasa bahwa aku 'nggak sepenuhnya salah.
Yang bikin bete itu, adalah..
"Pangeran sama putri kodok-nya kok pada cemberut gitu sih! Senyum dong!" Kata seorang kakak kelas yang sumpah, ingin sekali ku tonjok batang hidungnya.
Semua siswa di lapangan ikut menertawakan aku dan Andra, sebagian dari mereka bahkan ada yang sampai memotret kami.
Mahkota yang terbuat dari daun, serta nametag karton yang bertuliskan 'putri kodok' ini membuatku terlihat seperti manusia yang keberadaannya patut untuk dipermainkan.
Sialnya lagi, hari ini lumayan panas, dan Jogja kalau sudah panas, wah.. ingin mati kepanasan sajalah rasanya. Lapangan tempat aku dan Andra dijemur seperti ikan asin ini, bawahnya saja sudah basah akibat keringat kami yang terus-terusan menetes.
Aku berdiri di sebelahnya. Sunyi antara kami di lapangan membuatku sedikit muak. Kami bersebelahan, tapi terasa jauh. Aku tak bisa menikmati diam seperti ini, sampai akhirnya Andra mulai dengan sebuah pembicaraan.
"Semangat dikit lah Ran," suara Andra, nyaris berbisik.
Aku mengernyitkan dahi, dan sekilas menatapnya dengan tatapan keheranan. "Heh gemblong! Semangat apanya! Lu 'nggak ngerasain apa? Hari ini tuh panas banget, mana di jadiin bahan bercandaan lagi,"
Terlepas dari Andra dengan niat baiknya untuk terus menyemangati, bagiku, disaat-saat seperti ini justru kata semangat terdengar seperti sembuah olokan di telingaku.
Semangat menjalani hal yang memalukan? Sungguh, itu bukan aku.
Kalau saja aku tak punya niatan untuk bersikap baik di hari ini, mungkin batang hidung kakak kelas yang tadi benar-benar patah karena ku tonjok.
Hatiku kesal.
Kesal karena tak bisa melakukan perlawanan barang sedikitpun.
"Yaudah sih, yang penting kan ada gue yang selalu nemenin lu." Andra menyunggingkan senyuman mautnya.
"Yeuuu... gausah kepedean lu Dra."
Senyuman Andra–entah cuma aku, atau yang lain pun juga merasa—sangat teduh kelihatannya. Ada riuh dalam senyumannya, ada kisah-kisah romatis terselip pada kedua ujung bibirnya.
Dan, seperti yang bisa kalian duga, hari ini Andra selalu mengekoriku. Aku sudah seperti induk ayam dibuatnya. Mau 'nggak mau, siapa yang jadi temanku, otomatis juga jadi temannya Andra.
Mungkin itu juga yang menjadi pemicu mengapa kakak kelas resek itu menjadikan kami Pangeran dan Putri Kodok of The Year.
Tapi ya tak apalah, toh dengan begitu murid yang lain jadi tahu mengenai hubungan persahabatan-ku dan Andra; bahwa ternyata cowok yang di gadang-gadang bakal jadi cowok famous itu sahabatnya adalah seorang Heksaranu Atmadja, cewek bar-bar dari kelas X IPS 2. Ambil hikmahnya saja, karena pasanganku itu Andra, dan bukan cowok lain.
oOo
Setelah masa jahiliyah yang terjadi beberapa menit lalu, aku benar-benar ingin balas dendam rasanya. Kami tidak langsung pulang ke rumah selepas itu. Aku, Andra, juga teman-teman IPS baru-ku menyempatkan diri untuk mampir ke Mekdoy yang letaknya tidak cukup jauh dari sekolah kami.
Dan sebagaimana mestinya McDoy. Sebuah gudang makanan siap saji serba merah dengan lambang M dan motto-nya yang sudah tertanam di kepalaku. Im lovin' it.
"Aku mau Mcflurroy-nya tiga ya, Mba."
"Bujubuset, lu kesurupan apa?" Tanya seorang teman-ku, Dikri namanya.
Dan Andra hanya memutar bola matanya malas, Ia faham betul dengan maksudku. "Udah, si Ranu emang gitu orangnya, dia mau balas dendam karena tadi udah kepanasan."
Seharian ini, kami membicarakan begitu banyak hal, bahkan bisa dibilang gibah juga. Ketawa ketiwi sampai mengganggu kenyamanan sekitar, padahal makanan dan minuman yang dipesan sudah lama habis.
Pegawai mekdoy bahkan sampai ada yang menegur kami! Apalagi Dikri yang kalau ketawa, kita yang dengar jadi pengen ikut ketawa. Terus karena ngetawain suara ketawanya Dikri, kami sampai nangis akibat 'nggak bisa berhenti ketawa. Haduh, perut-ku rasanya lebih sakit daripada saat maag-ku kambuh.
"Lu aslinya asal mana Ran?" Kali ini, Rendra yang bertanya.
"Nyokap Bokap asli Sumatera, tapi gue emang udah lahir di Jogja, jadi kalo di tanya begituan gue sendiri pun masih bingung kudu jawab apa."
Rendra mengunyah sebongkah es batu, sisa dari minuman yang Ia pesan. "Lu tahu 'nggak, orang-orang yang suka kebingungan kalo ditanyain soal pribadi itu bakal madesu?"
"Yang kalo kita liat matanya bisa jadi batu? Yang kembarannya si Ratu Sanca bukan?"
"Bukan, itumah Medusa," tukas Rendra. "Ini beda lagi, ma-de-su."
"Artinya?"
"MASA DEPAN SURAM!"
Meski tingkah laku kami 'nggak jelas, tapi rasanya seperti lepas. Tertawa kencang terbahak-bahak, sehabis itu menangis tersedu-sedu yang nangisnya pun 'nggak tanggung-tanggung. Nangisnya pakai perasaan, ingat hal-hal kemarin dan urusan yang barangkali belum sepenuhnya usai.
"Udah heh, nanti kita di usir!" Kata Rendra sambil masih terisak-isak.
Dasar, sok kuat.
oOo
"Yaudah, selamat karena kita semua udah berhasil jadi anak putih abu, sukses kedepannya yak!" Kata-kata Dikri barusan menjadi penutup hari kami.
Kalau saja Ibunya Rendra—si hidung mancung yang mukanya childis itu—'nggak telepon, mungkin kami bisa bablas sampai larut malam. Untung sekali, masih ada pengingat.
Memang benar ya, ibu itu alarm yang terbaik dari semua yang paling baik.
Entah apa saja hal yang kami bicarakan, tapi yang paling kuingat adalah ketika kami menyinggung Andra yang sama sekali belum berkenalan dengan teman IPA-nya.
Tentu saja hal tersebut membuat Dikri dan Rendra dengan mudah menyimpulkan bahwa Andra adalah anak yang susah bergaul. Padahal, Andra itu cuma punya masalah dalam memulai pembicaraan saja, selebihnya, dia orang yang asik asik saja sih menurutku.
"Dra, gue cabut kerumah langsung ya," pamitku, setelah melepas helm abu pinjaman Andra yang ukurannya selalu kebesaran di kepala-ku.
Andra mengusap pucuk kepalaku kasar, membuat rambutku kusut tak beraturan. Aku 'nggak marah, 'nggak bisa marah tepatnya, karena usapan andra yang kasar itu membuat harum tangannya menempel di rambutku, dan aku suka; Ia mengusap kepalaku.
Lagipula, perempuan mana yang tidak suka kalau kepalanya diusap oleh orang yang Ia puja? Dan siapa yang bisa menolak untuk tidak berlama-lama menemani Andra? Bahkan hanya dengan menatap mata dengan kombinasi alis-nya yang kelam itu saja sudah cukup untukku.
Perasaan cinta sialan.
"Yaudah, besok libur, istirahat. Kalo mau kerumah mampir aja yo!"
Aku mengacungkan jempol, "Siap bos!"
Setelahnya aku masuk kedalam rumah, mengucapkan salam, lalu melewati Ibu yang pertanyaannya sedang malas untuk ku gubris. Aku bukannya ingin jadi anak durhaka, meski tidak ada salahnya juga jika kau mau beranggapan seperti itu. Tapi, cukup kau tahu, aku hanya sedang tak ingin membahasnya saja, dan kurasa ibu pun mengerti akan hal itu.
AKHIR BAGIAN 2.