Diantara gelap yang kubunuh oleh cahaya remang-remang, diantara rintik yang setia menggenang, suaramu masih jadi sesuatu yang amat kurindukan. Yang hilang oleh takdir, yang menjadi korban semesta dalam menjalankan tugasnya perihal kehilangan.
Dalam sesak, dalam tangis tanpa suara. Kau ada sebagai bayang, terkenang hingga membuatku tenggelam dalam pejaman mata. Sesulit itu melupa, sedalam itu sebuah rasa, sekejam itu kau pergi, dan setega itu semesta merestui.
Adalah aku yang seperti mati setelah kepergianmu. Yang kembali bertahan disetiap pagi, menghirup udara tanpa membuka mata. Berharap mimpiku hidup bersamamu tak akan hilang dimakan mentari pagi yang malu-malu menengok dari ujung jendela. Meski pada akhinya, lagi-lagi hanya kecewa yang kuterima. Karena ternyata kepergianmu memang nyata.
Byur.
Tidak ada rasa lain selain dingin yang hampir membekukan. Pakaian tidurku bukan lagi hal penting untuk kupertimbangkan. Aku perlu air untuk menyamarkan tangisku, juga melunturkan rasa perih yang semakin hari semakin menyakiti. Mataku terpejam, dadaku mulai kehilangan oksigan sebab terlalu lama tenggelam. Kemudian, samar kudengar suara Ibuku menggema. Air yang hampir tenang kini kembali berombak, seseorang meraih tubuhku yang kehilangan sadar. Satu-satunya yang kuingin setelah membuka mata hanyalah dia. Dia kembali bersama senyum sehangat senja, yang kurindungan dengan sangat. Yang kutangisi secara berulang.
Al,
Sesak kutulis ini. Bagiku, kepergianmu terlalu mendadak. Tapi kumohon, ajari aku rela. Atau beri aku kesiapan untuk menerima arti kehilangan. Lalu jika kini kau telah benar-benar hilang , apa yang bisa kulakukan selain menyatukan kepingan kenangan perihal kamu sebagai obat rindu yang semakin hari semakin tidak lagi manjur. Sesak tetap kurasa, dan kau juga tetap berarti luka.
***
Tanganku memutar gelas kaca berisi air hangat, tatapanku terpusat pada pantulan wajah di ambang air bening itu. Rambut basah, mata memerah, bibir pucat mengerut. Kekacauan yang hampir satu tahun aku nikmati.
"Alvaro kalau lihat kamu seperti ini akan lebih terluka, Nay."
Kali ini, di pantulan air itu tidak hanya wajah yang kacau, melainkan air mata yang satu persatu luruh. Masih dalam diam, dalam bayang tentangnya. Bukan hal aneh dalam rumah ini jika aku ditemukan terdiam atau melakukan hal gila dibeberapa waktu. Ibu semakin muak melihat sikapku, Kakakku juga. Hanya Ayah yang masih mencoba mengembalikan tawaku yang sekian ratus hari lenyap. Dia bahkan sesekali mengajakku keluar, mencari hal-hal yang aku suka. Kejamnya semesta ketika aku menemukan hal yang kusuka, yang kuingat lagi-lagi dia.
"Nay, ini Davino. Adiknya Devina. Dia bertamu katanya mau antar barang titipan dari Devina. Oh iya, dia juga yang nyelamatin kamu tadi."
Aku tetap diam menunduk tak peduli. Duniaku seperti tidak ingin menerima siapapun lagi, lebih tepatnya aku tidak siap untuk merasa kehilangan, lagi. Jika ditinggalkan akan sepedih ini, mungkin sejak awal aku memilih untuk tak mengenal siapa pun di dunia ini. Sungguh.
"Ayah turun dulu," pamitnya setelah mengusap pelan rambutku yang basah.
Sebuah kantung berbahan kertas terjulur ke hadapanku. Aku mendongak, lelaki yang Ayah katakan bernama Davino itu tersenyum kecil dengan rambut yang juga basah. "Dari Kakak gue," ucapnya seolah mengerti tatapanku.
Aku menerimanya, melihat sejenak isi kantung tersebut. Kenudian tatapanku kembali pada Davino. "Makasih."
"Gue Davino," ujarnya seraya mengulurkan tangan.
Tidak ada yang aku lakukan selain menatap uluran tangan itu. Apa jika aku menyambut ulurannya berarti aku mengizinkan dia masuk sebagai orang baru? Tidak. Tidak boleh ada orang baru lagi, tidak boleh ada kehilangan lagi, jikalau memang Tuhan dan semesta punya rencana, aku tidak ingin melibatkan perasaanku terlebih perasaan kehilangan.
"Oke, kalau gitu gue balik dulu," pamitnya seraya memasukan kembali uluran tangan itu pada saku jeans hitamnya.
Sampai tubuh tinggi lelaki itu menghilang tertutup pintu kayu kamarku, aku masih diam. Bagaimana mungkin duniaku seakan hilang, kemana Alvaro membawa hatiku pergi? Kapan ia pulang lalu mengembalikannya secara baik-baik? Aku juga ingin menjadi biasa. Menerima, berharap, mendekap, secara tulus. Tanpa ketakutan akan kehilangan, tanpa kekalutan menerima kepergian. Agar aku bisa kembali masuk pada obrolan teman-teman, atau setidaknya berani berkenalan. Sungguh, sesederhana itu inginku.
***