"Sikap gue tergantung dengan sikap lo ke gue. Kalo lo nyakitin dan ngecewain gue. Maka jangan harap lo bisa masuk atau bahkan balik lagi dalam hidup gue. Udah gue pergi dulu, muak gue kalo lama - lama ada disini. Ron, ayo kita pergi dari sini. Gue udah nggak ada selera buat makan dan ngerjain tugas lagi. Jangan mau diajak ngobrol sama tuh bajingan, ntar lo ngikut jadi bajingan kaya dia. Teruntuk Bagas, mantanku tercinta. Terimakasih untuk hadiah di awal tahun ini. Hadiah penghianatan dan rasa sakit yang sungguh memesona," Ucap Adel sambil menatap Bagas dengan sengit.
Baron bersandiwara ingin ke toilet. " Iya Del. Lo tunggu di luar bentar. Gue mau ke kamar mandi, kebelet nih. Udah di pucuk nggak bisa ditahan." ucap Baron sambil memegangi perutnya untuk memperdalam aktingnya. Baron bersumpah bahwa dia telah mirip dengan aktor yang sering muncul di ftv pagi.
Mendengar hal itu, Adel hanya membuang muka kearah lain. "Iya, dasar kebiasaan buruk." cibir Adel.
Sebenarnya itu hanya alibi Baron agar bisa mengobrol dengan Bagas tanpa diketahui dan didengar oleh Adel. Namun Adel sudah hafal dengan tabiat Baron yang satu itu. Jadi Adel memilih tidak banyak bicara dan menunggu Baron diluar cafe. Adel tahu Baron hanya ingin menyatakan segala unek-uneknya kepada Bagas. Karena dia sudah berani menyakiti dan mengecewakan Adel.
Adel sangat memahami sahabatnya yang satu ini. Baron sangat menyayanginya sama seperti ia menyayangi ibundanya. Bagi Bagas, Adel adalah wanita yang sangat Baron jaga dan sayangi setelah ibunya.
Baron berjalan mendekati Bagas dan menepuk pundak Bagas beberapa kali. "Gas, lo dulu pernah gue kasih tahu kan. Sekali lo nyakitin atau ngelakuin hal buruk sama Adel. Lo akan langsung berhadapan dengan gue. Gue yakin lo belum lupa dengan itu kan?" Bagas menggangguk seakan paham dengan arah pembicaraan mereka.
"Iya, gue nggak lupa. Gue masih inget setiap kata yang keluar dari mulut lo dan mulut gue." Baron tersenyum senang mendengarnya dan memastikan kembali.
"Lo masih inget semuanya dengan jelas kan?" Bagas berdecih meremehkan ucapan Baron yang terkesan menghinanya.
"Iya lah. Emangnya gue amnesia mendadak. Gue inget semuanya." ucap Bagas dengan sok santai. Baron mulai kehabisan kesabarannya, tangannya mengepal dengan sempurna.
"Lo masih inget semuanya. Tapi dengan bodohnya lo berani nyakitin Adel gue. Lo bangsat tau nggak!" Nada bicara Baron mulai meninggi dan tangannya telah berada dikerah baju Bagas, tangannya telah siap untuk memukul Bagas.
"Baron! Ayo pulang!" Adel berteriak dari luar cafe, Adel hanya tidak mau Baron melewati batas dan terjadi pertengkaran yang tidak logis.
Namun sebelum pergi, Baron mengancam Bagas dengan perkataannya. "Kalo sampe terjadi sesuatu pada Adel. Gue nggak akan bisa maafin lo. Meskipun lo bersimpuh ataupun sujud dikaki gue. Gue nggak akan maafin lo sampe kapanpun, kecuali lo udah ngelangkahi jasad gue. Gue kecewa sama lo Gas, denger yaa bukan hanya hubungan lo sama Adel aja yang rusak. Tapi, hubungan lo sama gue juga ikut rusak. Hubungan kita bertiga cukup sampe sini aja. Jangan pernah ganggu kita terutama Adel, camkan itu! Gue pergi."
Bagas menatap kepergian Adel dengan tatapan nanar. "Maafin gue Del. Gue nggak bermaksud untuk nyakitin hati lo. Gue terpaksa buat ngelakuin ini semua. Maafin gue dan gue harap lo ngerti posisi gue. Gue harap lo bisa ngerti semuanya. Tapi gue nggak sanggup buat nyatain yang sebenarnya. Gue pasti ngejelasin semua disaat waktunya yang tepat. Maaf." ucap Bagas dengan tatapan yang nanar.
" Gas lo yakin dengan keputusan lo kali ini. Ini belum terlambat Gas, kejar dia kalo emang lo sayang sama dia. Gue nggak tega liat Adel seterpuruk ini." ucap Kayla menatap Bagas dengan tatapan sendu.
" Nggak gue nggak bisa lagi jaga dia. Btw, thanks yaa udah mau bantuin gue buat putus sama Adel." ucap Bagas dengan nada lirih. "Gue doain biar lo bisa cepet pulih dan nggak perlu jauhin banyak orang" hanya itu yang dapat diucapkan oleh Kayla kepada Bagas untuk menyemangati kawannya.
---------------------------------------------------------------------------------
Di dalam mobil, mereka membisu dan tidak melakukan aktivitas apapun. "Del, gue mau tanya. Boleh?" pertanyaan Baron seakan memecahkan keheningan yang telah menyelimuti mereka beberapa menit yang lalu.
Adel yang malas bicara menjawab dengan seadanya, "Apaan?"
Baron berdiam tanpa berniat melajukan mobilnya. Tangannya hanya mengetuk dashboard mobil dengan jari-jemarinya. "Lo masih sayang dan cinta kan sama Bagas?"
Adel menggeram marah. "Apaan sih lo! Kenapa lo nanya hal yang jelas udah lo tau jawabannya."
Yah, bukannya Baron ingin mengingatkan Adel pada luka yang masih basah baginya. Tapi, dia hanya ingin mendengar semuanya dari Adel sendiri.
"Gue hanya pengen denger langsung dari mulut lo sendiri."
Tangis Adel meluruh lagi diiringi isakan yang memilukan hati. "Iya, gue masih sayang bahkan cinta sama dia. Tapi, logika gue nggak terima dengan tindakan Bagas kali ini. Hati gue sakit Ron. Lo ngerti kan?" ucap Adel sambil menangis.
Baron menatap kedua bola mata Adel. "Apa menurut logika dan hati lo yang lo lakuin tadi bener? Sesuai dengan keinginan lo?" Baron melajukan kemudinya dengan perlahan.
Baron memutar kemudi menjauhi cafe itu. Mobil itu melaju lurus menuju rumah Adel. Adel berteriak frustasi, "Enggak! Gue nggak rela jauh dari Bagas." Baron menghentikan laju kemudinya sesaat setelah mendengar penuturan Adel kali ini. Hatinya terluka saat mendengar hal itu.
Baron menghembuskan napas dengan kasar.
"Kalo gitu, kita balik ke café." Adel meremas rambut pendeknya.
"Mau ngapain lagi?" dengan heran Adel melontarkan pertanyaan itu.
Adel menatap Baron seolah meminta penjelasan. Baron menjawabnya dengan santai dan tanpa beban. "Temuin dia. Dengerin penjelasan dari dia. Jangan sampe lo nyesel karena nggak dengerin penjelasan dia dan ngebikin lo hidup didalam kebohongan."
Adel mendesah lirih. "Gue nggak bisa." Baron menepikan mobil dan menatap Adel dengan tatapan yang sulit diartikan. Baron sangat tidak paham dengan pemikiran wanita yang sangat ia sayangi dalam diam ini.
"Sampe kapan lo mau nyakitin diri lo sendiri dengan cara kayak gini." Ucap Baron sambil mematikan mesin mobilnya. Iya, Adel sadar dia sudah disakiti oleh perilaku Bagas. Dia nggak mungkin kembali dengan sebegitu mudahnya.
"Gue nggak mau. Gue terlanjur sakit."
Baron menghela napas dengan kasar dan mengelus puncak kepala Adel. "Yaudah. Gue tahu lo butuh waktu buat mikirin ini semua. Kalo lo butuh apa-apa lo bisa bilang gue." Adel tersenyum tipis. Bulir-bulir air matanya telah mongering.
"Makasih ya Ron. Cuman lo yang bisa ngertiin gue." Baron tersenyum tipis. Mobil Baron kembali melaju siap memecah segala hiruk pikuk jalanan yang kian padat merayap.
Flashback off