Tak lama setelah Baron keluar, kembali terdengar suara pintu yang terbuka. "Kok cepet amat? Apa ada yang ketinggalan?"
Sunyi.
Tidak ada suara yang menjawab pertanyaan Adel. Mungkin Adel hanya salah mendengar atau itu dari ruangan musik sebelah. Adel yang merasa di acuhkan, kembali menekan tuts piano yang ada didepannya.
'Tak kusesali cintaku untukmu
Meskipun dirimu tak nyata untukku
Sejak pertama kau mengisi hari-hariku
Aku tlah meragu mengapa harus dirimu
Aku takkan bertahan bila tak teryakinkan
Sesungguhnya cintaku memang hanya untukmu
Sungguhku tak menahan bila jalan suratan
Menuliskan dirimu memang bukan untukku
Selamanya..'
Adel memejamkan matanya sambil mengingat segala kenangan yang pernah Adel dan Bagas lakukan bersama. Mulai dari bolos sekolah, makan di kantin, naik motor keliling kota, ke pasar malam, mabok bareng dan masih banyak lagi. Ingatan itu silih berganti terlintas dalam benak Adel yang membuat Adel hampir gagal move on dari Bagas. Namun jika ia mengingat luka yang telah Bagas berikan, Adel sangat muak melihat wajah ataupun nama Bagas.
"Mendalami banget sih. Curahan hati ya?" Tanya seseorang dengan suara yang lirih diiringi dengan suara tepukan tangan singkat.
"Bagas?" ucap Adel tanpa menatap lawan bicaranya. Tubuh Adel menegang seketika, ia bingung harus bersikap seperti apa. Adel tak percaya bisa mendengar suara itu disini.
"Iya, ini gue. Kenapa tanya gitu? Lo masih mau ngehindar lagi? Mau main sembunyi - sembunyi lagi? Lo nggak capek ngehindar dari gue terus? Sampe kapan lo mau kaya gini?" ucap Bagas sambil meremas rambutnya beberapa kali seolah - olah ia sedang sangat frustasi.
"Kenapa lo bisa kesini? Kok lo bisa tau gue ada disini? Siapa yang mengijinkan lo untuk kesini? Kok bisa masuk? Apa hak lo buat mempertanyakan hal itu? " Tanya Adel dengan melihat kearah daun pintu berharap bahwa Baron akan segera kembali
"Ngapain liatin pintu. Nungguin siapa? Baron?" ucap Bagas dengan nada suara yang terkesan meremehkan.
Adel hanya diam membisu.
"Lo lupa teknologi yang sekolah ini punya. Kalo disini ada gue, nggak mungkin Baron bisa masuk. Gue yakin ini ruangan udah di setting untuk dua orang. Iya-kan?"
Mulut Adel telah siap untuk mengumpat dan merutuki kebodohannya. Bisa-bisanya di situasi seperti ini, otaknya tidak mampu diajak kompromi dan berjalan sangat lambat untuk mencerna apapun yang sedang terjadi saat ini.
Bagas menggelengkan kepalanya beberapa kali, "kita harus bicara Adel. Gue nggak mau lo salah paham sama gue atau bahkan memperparah kesalahpahaman ini." ucap Bagas dengan nada suara yang sendu.
Adel menggelengkan kepalanya dengan sorot mata terluka, "Nggak ada yang perlu dijelaskan lagi. Bagi gue, semuanya udah jelas atau bahkan udah terlalu jelas. Please beri gue waktu untuk sendiri. Kalo gue udah siap buat ngadepin lo. Gue yang akan nyamperin dan dengerin semuanya dari lo. Gue mohon beri gue waktu buat sendiri," ucap Adel sambil menurunkan nada suaranya.
Bagas menggangguk, "baiklah. Kalo itu keputusan lo, gue hargai itu. Gue tidak akan memaksa lo buat balik lagi sama gue sampe lo sendiri yang dateng ke gue. Semoga aja umur gue cukup buat nunggu lo nyamperin gue dan ngasih gue kesempatan kedua. Selamat tinggal." Ucap Bagas sambil melangkah keluar dari ruang musik.
"Bagas!" Teriakku lirih sesaat setelah Bagas keluar dari ruang musik ini.
Silahkan hujat Adel jika kalian merasa Adel munafik, tolol, gengsi atau apapun itu. Tapi kalian semua pernah nggak berada di posisi Adel. Di satu sisi kalian masih mencintai dia namun di sisi lain ada rasa sakit yang tidak dapat memaafkan kesalahannya. Adel terjatuh dari tempat duduknya dan jatuh terduduk meratapi nasibnya.
Adel bingung harus bersikap seperti apa. Adel sangat frustasi dengan keadaannya saat ini.
'Apakah ini akhir dari hubunganku dengan Bagas? Apakah hubunganku dengannya sudah benar-benar berakhir disini? Bagaimana ini Tuhan? Kenapa sangat berat untuk melepasnya? Kenapa hubunganku dengannya mendapat ujian yang seperti ini?' Batin Adel didalam hati.
---------------------------------------------------------------------------------
Di sisi lain, Baron telah melihat semuanya. Baron sangat paham dengan kondisi hubungan antara Adel dan Bagas. Mereka berdua sedang berada dititik tersulit dalam hubungan percintaan. Sebenarnya, Baron tidak ingin ikut campur dengan hubungan mereka berdua. Baron sadar kalau dia tidak mempunyai hak dalam hubungan mereka berdua.
Tapi, Baron tidak tega melihat Adel terus-menerus murung dan merusak dirinya sendiri. Baron tahu saat ini Adel sedang rapuh dan hancur. Hal itu yang membuat Baron tertekad untuk menjaga dan berusaha untuk membahagiakan Adel. Walau dia hanya mengganggap Baron sebagai teman, Baron tak masalah dengan hal itu.
Baron hanya ingin Adel bahagia walau dirinya harus terluka.
Baron segera memasuki ruang musik itu sesaat setelah Bagas keluar. Ada seorang gadis yang sedang menundukkan kepalanya dalam-dalam. Terdengar suara isak tangis yang sangat pelan. Sepertinya dia sedang menahan semua beban dalam hidupnya. Baron tahu itu Adel. Ia dekati tubuhnya merengkuh tubuhnya dan dipeluk tubuh mungilnya.
"Jangan pura-pura tidak terluka, jangan pura-pura baik-baik saja. Kalau ingin menangis, menangislah. Kalau ingin tertawa, tertawalah. Tenang Del, disini masih ada gue." Ucap Baron sesaat setelah memeluk tubuh Adel.
Adel masih tenggelam dalam rasa sedihnya, "kenapa begitu berat Ron? Gue nggak sanggup lihat dia pergi dari sisi gue." ucap Adel sambil menangis.
Baron mengelus puncak kepala Adel karena tinggi Adel yang hanya sebatas dadanya, "kalo lo nggak sanggup. Kenapa lo nyuruh dia buat pergi?" Tanya Baron dengan suara yang lirih.
Sebenarnya hati Baron teriris mendengar pernyataan Adel mengenai Bagas. Namun ia harus bagaimana lagi. Inilah kesulitan terbesar jika kalian mencintai seseorang didalam diam terlebih jika dia adalah sahabatmu sendiri.
Sudah tidak terdengar lagi suara isak tangis sepertinya tangis Adel mulai mereda, "gue cuma ingin lihat dia bahagia." Adel mengeratkan pelukannya ke Baron.
"Dan lo yang tersiksa, gitu?" Tanya Baron yang telah frustasi dengan jalan pikiran wanita ini.
Bisa-bisanya dia rela tersakiti hanya untuk lelaki seperti Bagas. Lelaki yang sudah jelas - jelas menyakitinya. Namun, Adel masih ingin mempertahankan hubungan nya. Ini seperti lelucon yang sangat tidak lucu.
Jika di adu di acara TV Stand Up Comedy pasti finalisnya langsung gugur di hari pertamanya.
Adel mendongakkan kepalanya memandang kearah Baron, "terus gue harus gimana?" Terlihat dari sorot mata Adel telah mampu menggambarkan bahwa sekarang dia sangat hancur, baru kali ini Baron melihat sisi lain dari Adel selama 5 tahun berkawan dengan Adel.
Baron mengeratkan pelukannya lagi. "Kalo lo udah nggak sanggup buat ngejauh dari dia. Kejar dia. Menurut gue, lo masih ada waktu buat memperbaiki hubungan kalian berdua." ucap Baron pelan, ia harus menepikan perasaannya sendiri untuk bisa bersama sang pujaan hati.