Tick, tock, tick, tock.
Suara jarum jam begitu jelas.
Sekarang pukul dua lewat lima belas menit.
Tinggal beberapa detik hingga turnamen dimulai, suasana di ruangan turnamen sudah kembali sunyi dan tegang.
Mbak Dinda dan Pak Bum sudah pergi.
Aku tidak tahu ke mana mereka pergi, tapi intuisiku mengatakan kalau mereka pergi ke ruangan khusus dimana mereka bisa mengawasi jalannya turnamen dan memastikan turnamen berjalan dengan lancar.
Setelah pengenalan tadi selesai, semua peserta dipersilahkan untuk duduk di kursi yang telah disiapkan.
Selain untuk memanjakan peserta sebelum turnamen dimulai, tempat duduk ini juga untuk memisahkan tiap peserta.
Kurasa ini cukup jelas.
Mereka menutup pandangan satu peserta ke peserta lainnya dengan memasang papan pembatas antara satu kursi dengan kursi lainnya.
Mungkin alasan lainnya adalah untuk mencegah peserta untuk mengetahui kapan peserta lainnya melakukan log in.
Karena turnamen akan dimulai disaat semua peserta telah melakukan log in. Selagi peserta belum melakukan log in, mereka bisa mengatur strategi atau memutuskan kelas apa yang akan mereka pilih.
Ditambah lagi di turnamen ini tiap peserta akan mendapatkan kelas yang berbeda-beda.
Dengan kata lain, siapa cepat dia dapat.
"Server sudah stabil, kita bisa memulai turnamen ini kapan saja."
Kata salah seorang pegawai Bum Corp. kepada Kak Indra.
Meskipun samar, sunyinya ruangan ini membuatku—tidak, aku yakin para peserta juga bisa mendengarkan percakapan mereka. Padahal jarak antara kami dan Kak Indra cukup jauh.
Kak Indra mengangguk lalu menghadap ke arah kami semua.
"Turnamen Start Point, dimulai pukul dua sore lewat tujuh belas menit waktu indonesia barat, hingga pukul setengah lima sore,
Dengan total sembilan peserta yang memiliki sembilan kelas berbeda, yang diadakan di gedung pusat Bum Corporation...."
Kak Indra menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan penuh semangat,
"...DIMULAI!!!"
Kata-kata tadi memulai turnamen Start Point.
Sebuah turnamen yang memperebutkan total hadiah puluhan juta rupiah.
Sebuah turnamen tak biasa dimana semua peserta adalah amatir. Tak ada yang pernah mencoba ataupun memainkan permainan Start Point.
Baiklah, sebelum aku melakukan log in, sebaiknya kelas apa yang sebaiknya kugunakan.
Kelas yang kubutuhkan saat ini adalah kelas yang seimbang penyerangan maupun pertahanannya, sebuah kelas yang bisa membantu Zaki meraih kemenangan.
Kurasa Knight akan cocok untukku.
Knight adalah kelas petarung dengan pertahanan alami yaitu armor dan perisainya.
Tapi aku juga harus memikirkan kelas ekstra. Kelas itu mungkin cukup merepotkan.
Kalau bisa, aku ingin mendapatkan kelas dimana gabungan dari kelas knight dan kelas lainnya.
Tapi bagaimana cara untuk mendapatkan kelas ekstra?
"Ck, kurasa aku kehabisan waktu. Selagi aku berpikir seperti ini, peserta lainnya mungkin sudah mengambil kelas Knight."
Ya, sekarang atau tidak sama sekali.
Aku bisa memikirkan rencana nanti saja.
Ini sama seperti permainan dimana pemain harus memperebutkan kursi.
Aku lupa apa nama permainan itu.
Tapi yang kutahu, pemain yang gagal mendapatkan tempat duduk harus keluar dari permainan.
Perbedaannya di sini adalah, kelas apa yang akan kudapatkan?
Tanpa menahan diri, aku langsung mengelurkan Proto Device dari kantungku lalu memindai jariku.
Akh....
Apa itu? Kenapa lagi-lagi aku tersetrum?
"Oh iya, aku lupa memperingatkan kalian, kalian juga akan sedikit tersetrum saat log in untuk yang pertama kalinya." Ujar Kak Indra.
Telat!
Seharusnya kau bilang dari tadi...—
Tidak, tunggu sebentar. Ada hal lebih penting daripada itu.
Aku mengangkat tanganku.
Tidak salah lagi.
Mulai dari jempol dimana aku melakukan pemindaian, area di sekujur tanganku mulai berubah menjadi potongan-potongan cahaya piksel.
Anehnya, aku tak merasakan apa-apa.
Tidak ada rasa sakit, maupun dasa geli. Aku merasa sangat "biasa." Disitulah bagian anehnya.
Seperti ikan yang berenang di aliran sungai yang mengalir dengan damainya.
Rasanya seakan perubahan itu merupakan bagian dari tubuhku.
Atau, setidaknya begitulah aku melihatnya. Mungkin berdasarkan pandangan orang luar, tidak terjadi perubahan apapun pada tubuh dan penampilanku.
Dengan cepatnya, cahaya-cahaya piksel itu menjalar ke leherku hingga akhirnya mataku.
Putih.
Itulah warna yang kulihat saat sekujur tubuhku berubah menjadi piksel.
Sungguh menyilaukan...
Dan terasa damai.
△▼△▼△▼△
Hng....
"Di mana aku?"
Aku terbangun di sebuah ruangan berwarna putih.
Sebuah ruangan kosong.
Tidak, aku salah saat kusebut ini adalah ruangan. Karena saat aku melihat ke arah manapun, tidak ada batas untuk "ruangan" putih ini.
Semuanya berwarna putih, bahkan tubuh hingga leherku. Dari ujung kuku jari kakiku hingga leherku, semuanya berwarna putih.
Aku merasa aneh, karena saat ini aku merasa seperti memakai pakaian ketat.
"Selamat datang di Start Point."
Hm? Tiba-tiba muncul suara di pikiranku.
Suara ini, rasanya aku pernah mendengarnya....
Tapi di mana?
"Nama Anda adalah Dimo Ramadhan, berusia lima belas tahun, dan berkelamin laki-laki.
Anda telah terdaftar sebagai pemain Start Point. Silahkan kustomisasi karakter anda."
"Ah aku ingat, kau seperti suara ibu-ibu Google Translate!"
Selagi aku mengeluarkan leluconku, dihadapanku muncul sebuah cermin. Di samping cermin itu, terdapat menu dimana aku bisa mengubah penampilanku sementara di atas cermin terdapat kotak entri yang bertuliskan namaku.
Kurasa itu tempat dimana aku akan menetapkan nama panggilan atau nickname-ku
Oke, cukup bercandanya.
Pertama-tama, nama.
Tentu saja aku takkan menggunakkan nama asliku. Itu adalah tindakan sembrono, tapi sebaiknya nama apa yang kugunakan?
Ra—
Tidak, aku tidak bisa menggunakan nama itu lagi.
Terakhir kali aku mengikuti turnamen di sini, aku menggunakan nama itu.
Aku menekan kotak entri itu untuk memunculkan keyboard.
"Baiklah, kuhapus ini dan ini."
Ramdhan.
Sebenarnya aku hanya harus menghapus bagian "Dimo" dan "A" dari namaku.
"Selanjutnya penampilan...."
Aku ingin membantu Zaki dengan menyamar, tapi aku juga tak mau penampilanku terlalu jauh dari penampilan asliku. Aku biasa merasa tak nyaman saat berpenampilan sebagai seseorang yang bukanlah diriku sendiri.
Karena itulah aku takkan mengubah banyak penampilanku.
"Baiklah, sudah selesai."
Kurasa penampilan ini cukup bagus. Rambut hitam, wajah asia dan tinggi seratus tujuh puluh sentimeter.
Setelah kutekan tombol konfirmasi,
"Silahkan pilih kelas anda."
Muncul daftar di hadapanku, daftar kelas yang ada, mulai dari Sword Master hingga Alchemist. Namun entah mengapa mereka tak memasukan kelas khusus di sini.
"Sudah kuduga..."
Aku sudah terlambat, semua kelas sudah diambil.
Ini berita buruk, tapi juga berita baik.
Karena dengan ini, aku mungkin saja bisa mendapatkan kelas ekstra. Tidak, aku pasti akan mendapatkan kelas ekstra.
Total peserta yang ada yaitu sembilan orang. Sesuai dengan total kelas yang ada, yaitu sembilan.
Jika kelas utama sudah diambil, maka kelas ekstralah yang tersisa. Dengan kata lain, tiga orang yang tersisa—termasuk aku—akan mendapatkan kelas ekstra.
Tapi kelas apa itu?
Bagaimana jika kelas ekstra tidak sebagus yang kupikirkan?
Aku mencoba membaca satu persatu penjelasan mengenai tiap kelas yang ada. Hampir seluruh informasi yang tertulis di sini sama seperti apa yang tertulis di website.
"Penjelasan yang sama seperti di website. Kurasa aku tak punya banyak pilihan...."
Satu-satunya pilihan yang tersedia saat ini adalah "Random" ya, sebuah pilihan yang dimana aku sendiri takkan tahu hasilnya.
"Selamat anda telah terdaftar sebagai Ramdhan, jenis kelamin laki-laki, kelas: Sword and Gun Master."
"Sword and—apa?"
Cahaya putih menyilaukan mataku.
Silaunya membutakan mata, begitu murni dan bersih.
Membuatku lupa atas pertanyaanku.
Chirp, chirp, chirp.
Suara kicauan burung menyadarkanku. Cahaya putih tadi lenyap, sekarang yang kulihat hanyalah hutan yang penuh dengan rumput dan pepohonan.
Udara segar yang begitu sejuk menyegarkan hidungku. Suara kicauan burung yang merdu entah mengapa mendamaikan jiwaku. Rumput hijau dan pohon yang basah, serta hembusan angin yang begitu dingin dan sejuk.
Tetesan air yang menetes dari dedaunan pohon ke atas pundakku terasa begitu dingin. Bahkan lebih dingin daripada air di kamar mandi saat pagi hari.
Aku menengok ke atas langit biru yang cerah. Aku bisa melihat sebuah pulau langit kecil yang terbang menembus awan putih. Ketika aku sedang menatapnya, mataku tak sengaja terjatuh pada seeokor naga yang terbang menuju pulau langit itu.
Itu mungkin monster terkuat di turnamen ini.
Pikiranku yang kosong melayang-layang.
Meskipun sekarang seharusnya pukul setengah tiga sore, namun langit dan suasana di hutan terasa seperti pagi hari.
Pakaianku juga sudah berubah memakai pakaian berwarna cokelat muda dan celana pendek dengan warna yang tidak jauh berbeda. Aku mendapat kesan seperti permainan-permainan petualangan dimana pemain menggunakkan equipment tingkat rendah di awal permainan yang bentuknya seperti pakaian di pedesaan.
Aku juga bisa melihat Health point bar milikku di pojok kiri atas penglihatanku. Tepat di bawah Hp bar yang berwarna merah, terdapat mana. Sama seperti permainan pada umumnya, warna dari mana direpresentasikan dengan warna biru.
Baiklah, hal pertama yang harus kulakukan adalah...
"Menu."
Mari kita lihat, terdapat satu teman telah terdaftar di daftar teman. Itu pasti Zaki, aku penasaran kelas apa yang dia pilih.
Kutekan tombol daftar teman.
"Zaki, kelasnya Knight, atributnya api dan sudah mencapai level tiga."
Ck, ternyata dia yang mengambil kelas Knight. Dan lagi, kenapa dia malah menggunakan nama panggilan yang mudah dikenali seperti itu?
Ya ampun...
Kututup daftar teman lalu menu.
"Inventory, Skill List!"
Pertama aku akan memeriksa equipment-ku terlebih dahulu. Seperti permainan pada umumnya, aku masih menggunakkan equipment pemula. Mulai dari pakaian hingga sepatu, semuanya equipment tingkat paling rendah.
Hm? Ada satu hal yang menarik perhatianku.
"Kenapa senjataku ada dua?"
Sebuah pedang dan pistol.
Sword and Gun Master...
Aku langsung bergegas menutup tabel inventory dan memeriksa Skill Tree milikku.
"Sword and Gun Master's Skill Tree."
Tidak salah lagi, di skill tree ini jelas-jelas tertulis Sword and Gun Master.
Berarti yang dikatakan Suara tadi benar.
Jadi aku benar-benar mendapatkan kelas ekstra, ya....
Itulah mengapa senjataku ada dua jenis.
Sesuai namanya, Sword and Gun Master merupakan kelas gabungan dari Sword Master dan Gunman. Sebuah kelas yang bisa bertarung jarak dekat maupun jarak jauh. Senjata utama dari kelas ini adalah pedang dan pistol. Meskipun begitu, kelas ini juga bisa menggunakan senjata api lainnya. Atribut yang biasanya dimiliki oleh kelas ini cahaya atau kegelapan.
Kalau begitu aku akan mendapatkan salah satu dari kedua atribut ini.
Aku mendapat sebuah pertanyaan. Apakah dua kelas ekstra lainnya juga merupakan kelas gabungan seperti kelasku saat ini?
Aku memeriksa skill tree-ku seteliti mungkin. Kubaca kata demi kata yang ada di penjelasan tiap skill milikku. Meskipun begitu, satu-satunya skill yang kupunya saat ini hanyalah Moonlight Shard dan sebuah skill pasif Dual Weapon. Dilihat dari skill tree milikku, atribut milikku adalah cahaya.
Moonlight Shard adalah sebuah skill yang memungkinkanku mengumpulkan energi cahaya bulan ke permukaan pedangku lalu melemparkan energi itu. Potongan-potongan cahaya itu akan terlempar dengan cepat dan akurat. Total yang cahaya yang bisa kulempar sebanyak lima cahaya. Jadi aku harus memanfaatkannya sebaik mungkin. Disini juga tertulis kalau skill akan batal jika pedang ini beradu dengan senjata lainnya.
Skill ini juga bisa kugunakan disenjata api. Misalkan senjata yang kugunakan adalah pistol, cahaya bulan akan mengalir ke lima peluru pistolku dan menjadi satu. Berbeda dengan pedang, Moonlight Shard yang ada di peluru pistol tak bisa dibatalkan. Moonlight Shard akan mempertajam serta mempercepat dua kali lipat lima peluru yang kupunya.
Lalu Dual Weapon adalah skill pasif yang memungkinkan diriku untuk memakai dua senjata sekaligus. Skill ini biasanya hanya dimiliki oleh kelas Knight dan Gunner. Dengan kata lain, aku juga bisa menggunakan dua pedang atau dua pistol seligus.
Untuk saat ini, hanya itu informasi yang bisa kudapatkan dari kelas ini. Aku bahkan masih belum tahu cara menggunakan skill.
"Segel..." Sebenarnya apa maksud dari Mbak Dinda?
"Aku bisa menggunakan dua senjata, kalau begitu kurasa aku bisa menyamar sebagai Sword Master dengan tidak menggunakan pistolku."
Setelah menutup Skill List, aku menyadari kalau aku mendapatkan sebuah pesan.
"Pesan ini... [ADMIN]?"
[ADMIN] itulah nama pengirim pesan.
Isi pesan tersebut adalah ucapan terima kasih karena sudah mengikuti turnamen Start Point. Di bawah pesan tersebut ada sebuah kotak kado.
Saat kutekan kotak kado tersebut, aku mendapatkan sebuah hadiah kostum.
Nama kostum itu adalah Yellow Moon. Kostum itu sepaket, dari pakaian hingga sepatu.
Tentu saja aku akan memakai kostum ini, selain bisa menutupi equipment yang kupakai, kostum ini juga memiliki kelebihan untuk menambahkan kecepatan dan kekuatanku.
Kaus "desa"-ku langsung berubah menjadi sebuah jaket yang nampak modern dan lebih trendi. Warnanya hitam dengan motif oranye. Di dalam jaket tersebut terdapat sebuah kaus, lengannya panjang dan panjang kaus ini hingga menutupi setengah celanaku. Begitu panjang hingga melebihi jaket yang menutupinya. Untungnya bagian bawah pakaianku tidak dikancing sehingga memudahkanku berjalan maupun berlari.
Sedangkan celana pendek ku berubah menjadi sebuah celana panjang berwarna hitam. Sandal yang sebelumnya kupakai juga berubah menjadi sepatu.
Pedang yang awalnya nampak biasa-biasa saja berubah menjadi sebuah pedang berukuran lumayan besar. Gagangnya berwarna hitam dengan motif oranye sama seperti warna kostum yang kupakai.
"Dengan begini mereka takkan tahu equipment seperti apa yang kupakai."
Oh iya, aku baru ingat.
"Aku harus segera menghubungi Zaki—"
Srek, srek, srek, srek....
Suara kicauan burung yang awalnya teratur dan merdu langsung berantakan, diikuti dengan suara gesekan antara dedaunan dengan sayap burung.
Mereka terbang meninggalkan pepohonan di sekitarku seperti menghindari sesuatu.
Sesuatu yang mendekat.
Aku mendengar suara gesekan rumput dan semak. Suara gesekan yang muncul ketika ada hewan atau manusia yang melintas diantara semak dan rumput.
Tapi kali ini berbeda. Aku tak tahu mengapa, tapi aku yakin yang datang kali ini bukanlah manusia maupun hewan. Tapi sesuatu yang lain!
"Kami sudah menyebar monster di seluruh arena."
Itulah yang mereka bilang. Kalau begitu aku yakin kalau yang datang kali ini adalah monster.
Tapi dari mana? Dari mana datangnya monster itu?
Menurut apa yang Kak Indra katakan, peta hanya menunjukkan bentuk area dan lokasi dimana aku berada. Aku tak bisa mencari tahu dimana monster itu datang dengan menggunakan peta.
Perlahan kugenggam pedangku sambil menengok kesana-kemari sambil berputar sesuai arah jarum jam.
Meskipun samar, aku bisa mendengar suara langkah kaki.
Suara itu semakin jelas tiap langkahnya. Semakin dekat dan semakin dekat.
Menurut suara langkah kakinya, ukuran dari monster ini cukup besar.
Jika tidak, maka suaranya akan lebih samar lagi dari apa yang kudengar saat ini.
Semakin dekat.
Sedikit lagi.
...
...
Apa? Suaranya menghilang?
Aku menengok kesana-kemari, namun aku tak bisa menemukan monster yang mendekatiku.
Tidak, bukan itu. Kalau suaranya sudah terhenti, itu artinya...
Aku langsung berbalik dan menarik pedangku.
"Ogre?!"
Dugaanku benar.
Sebuah ogre berukuran besar yang berada di belakangku mengayunkan gada batunya dengan sangat cepat.
Saat kucoba menahan ayunannya dengan pedangku, aku langsung terpental beberapa meter. Untungnya aku berhasil mengamankan pelandasanku dengan menancapkan pedangku ke tanah untuk menghentikan tubuhku yang terpental.
"Tekanan angin saat aku menahan serangan tadi... sungguh luar biasa."
Dari tekanan angin saja aku sudah tahu kalau serangan tadi cukup untuk merobohkan dua buah pohon dengan sekali ayun, ditambah lagi ukurannya yang besar. Dengan kemampuan dan levelku saat ini, kurasa aku masih belum sanggup menahan serangannya.
Total mana keseluruhan yang kumiliki sebanyak seratus dua puluh. Sedangkan mana yang dibutuhkan untuk mengeluarkan Moonlight Shard sebanyak empat puluh lima. Aku bisa mengeluarkan Moonlight Shard sebanyak dua kali.
Kesampingkan itu dulu, aku bahkan tak tahu bagaimana cara untuk mengeluarkan skill.
Aku harus mencari cara lain.
Saat ini aku punya sebuah pistol dengan total peluru sebanyak sepuluh dan tiga stok peluru isi ulang. Dengan kata lain, peluru yang kumiliki saat ini sebanyak empat puluh.
"Apa sebaiknya kugunakan pistol?" Tanyaku kepada diriku sendiri.
Waktu berpikir sudah habis. Terlepas dari bentuk tubuhnya yang gempal, ogre itu berlari cukup cepat ke arahku.
Ayo putuskan, aku mungkin bisa menghindari serangan berikutnya, tapi aku tak yakin bisa menahan serangannya.
Apakah aku harus menggunakan pistol?
Tidak.
Tidak perlu, jika aku menggunakannya, itu hanya akan membuang-buang peluru yang kumiliki!
Karena pepohonan, bebatuan, dan tanah di area ini cukup untuk membantuku menang!
Aku langsung berlari ke arahnya.
Ogre yang terkejut atas tindakanku langsung berhenti dan mengayunkan gadanya ke arahku.
"Sudah kuduga!"
Aku langsung merosot meluncur di antara kedua kaki ogre tersebut. Seusai meluncur, aku langsung mengayunkan pedangku ke arah tanah.
Ayunanku yang keras membuat pasir yang ada di tanah bertebaran ke mana-mana.
Debu itu cukup tebal untuk menghalangi penglihatannya.
Tanpa membuang waktu, ku ambil sebuah batu besar yang ada di bawah pohon lalu melemparkannya ke mata kanan ogre tersebut. Batu itu cukup besar untuk menghancurkan mata kanannya dan mengoyak kulit hijau di sekitar matanya.
Tepat saat batu itu mengenai mata Ogre, Hp bar milik ogre muncul di pojok kanan atas penglihatanku. Menyerang mata merupakan keputusan yang tepat, aku bisa melihat damage yang lumayan signifikan di Hp bar monster itu.
"BraaaaAAAGH!!!"
Teriak monster itu, kesakitan.
Kebingungan, kesakitan, dan penuh amarah. Mungkin itulah yang monster itu rasakan untuk saat ini.
Namun itu belum cukup untuk mengalahkannya.
Meskipun penglihatannya sudah melemah, pendengaran monster itu masih setajam silet.
Baiklah, lanjut ke tahap berikutnya!
Aku melompat ke arah sebuah pohon dan menagkap dahan yang paling tebal. Setelah itu aku berayun memutar dan mendarat di atasnya.
Aku beruntung karena jarak antara dahan ini dan ogre itu cukup dekat.
Dia mungkin akan mendengar sedikit suara langkah kakiku. Namun saat ia menyadari itu, semuanya sudah terlambat.
Aku berlari di dahan lalu melompat dari dahan itu langsung menuju ke arah ogre.
Kubalik arah ujung pedangku dan menusuknya tepat di mata kirinya. Tidak berhanti sampai di situ, kudorong pedangku ke bawah sehingga merobek tubuhnya.
"Grrhaaaaahhhh!!!"
Masih belum cukup ya?
Health Point milik ogre itu masih tersisa seidkit.
Ku dorong pedangku semakin dalam, lalu mendorongnya ke samping—hampir membelah dua seluruh perut monster tersebut—menebasnya hingga pedangku keluar dari dalam tubuhnya.
Tak menyerah, monster itu mengayunkan gadanya ke arahku.
"Kh—"
Hah...
Begitu ya....
Percuma saja.
Saat ini kurasa semuanya percuma.
Ya, sangat percuma.
Seperti yang dikatakan oleh karakter dari komik yang kubaca beberapa minggu yang lalu.
"Percuma saja, percuma, percuma.... percuma.
Karena percuma itu, aku benci."
Ya, semua yang Ogre itu lakukan benar-benar percuma.
Aku melemparkan pedangku ke arah pundak ogre itu, mengakibatkan serangannya meleset dari diriku. Aku melompat lalu menendang pedangku hingga menancap lebih dalam dari sebelumnya.
Monster itu terjatuh, terkapar lemas di tanah sampai akhirnya berubah menjadi butiran-butiran cahaya dan lenyap. Pedangku dan batu yang sebelumnya menancap di monster itupun terjatuh ke tanah.
Setelah aku mengambil kembali pedangku lalu memasukannya ke dalam sarung pedang, aku mendapat tiga pemberitahuan.
Pertama, levelku telah naik menjadi level tiga.
Kedua, aku mendapat equipment berupa kaus dan celana yang tentunya lebih baik dari yang kugunakan saat ini.
Ketiga, aku mendapat pedang baru yang bernama Ogre Sword.
Tentu saja, aku langsung memakai equipment dan pedang baru itu.
"Nampaknya akibat kelasku yang juga merupakan Gunner, lemparanku menjadi begitu akurat..." Aku mengambil kembali batu yang kulempar tadi lalu melemparkannya ke salah satu ranting pohon. Sama seperti sebelumnya, lemparanku akurat dan aku berhasil mematahkan ranting itu.
"Baiklah, kurasa sekarang aku bisa menghubungi Za—"
[Deg.]
Napasku terhenti.
Sesak.
Aku tidak tahu mengapa atau apa. Tapi aku merasakan ancaman berasal dari belakangku.
Ancaman ini, bukanlah monster. Aku sama sekali tak mendengar suara langkah kakinya.
Tekanan ini? Apa-apaan?!
Aku mencoba menengok. Kucoba sekeras mungkin, namun entah mengapa leherku terasa berat. Menengok saja terasa begitu berat.
Aku takut. Sungguh, takut atas apa yang akan kulihat nantinya.
Perasaanku mengatakan kalau aku tak seharusnya menengok dan lari secepat mungkin.
[Lari untuk hidupku.]
Tapi, rasa penasaran yang kurasakan saat ini mencegah kakiku untuk tidak berlari.
Lagipula, kakiku terasa berat dan lemas. Seakan terikat rantai yang terhubung langsung dengan bola besi yang begitu berat.
"Apa... itu?"
Aku merinding.
Isi perutku langsung naik ke atas tenggorokanku.
Aku bisa muntah saat ini juga.
Keringat dingin jatuh dari dahiku. Tubuhku terasa sangat dingin, namun juga terasa sangat terbakar.
Tak jauh dariku, di antara pepohonan. Berdiri sosok hitam yang dikelilingi bayangan hitam pekat. Posturnya seperti pria dewasa, namun aku tahu kalau makhluk itu bukanlah manusia.
Dia tak memiliki wujud.
Yang berdiri di sana hanyalah ��sosok" tanpa wujud dan tanpa dimensi. Sosok yang bisa menjadi apa saja. Itu bukanlah makhluk yang sama seperti monster yang kulawan sebelumnya, makhluk itu memiliki kehendak sendiri. Ia bisa saja membunuhku saat ini juga.
Saat aku bilang kalau dia akan membunuhku...
Bukan karakter ku...
Melainkan diriku yang asli dan kesadaranku!
Makhluk itu mendatangiku—berjalan dengan cepat seperti bayangan.
Kuat. Dia sangat kuat.
Aku takkan bisa melawannya.
Ini gawat....
Aku harus segera pergi dari sini!
"Gh—"
Makhluk itu terhenti sesaat aku mulai menggerakkan kakiku.
Gawat, apa yang ingin makhluk itu lakukan?
Pikiranku kosong. Satu-satunya yang terpikirkan olehku saat ini adalah bertahan melindungi diriku atau lari.
Pertanyaannya, apakah aku sanggup bertahan melawan makhluk itu?
Perlahan, tanpa melakukan gerakan tiba-tiba ataupun gerakan percuma, aku kembali menarik pedangku.
Aku juga mengambil pistolku. Saat ini yang paling utama adalah keselamatanku, aku tak peduli jika ada peserta lain yang menyadari kalau aku memiliki kelas ekstra.
Sret—
Makhluk itu menghilang. Hilang begitu saja secepat kilat.
Aku sama sekali tidak melihat pergerakannya atau tahu ke mana dia pergi.
[Deg—]
Lagi-lagi aku merasakan perasaan yang sama seperti sebelumnya.
Oi, oi... jangan bilang...
"Di belakangku?!"
[Aku akan terbunuh.]
Aku mengayunkan pedangku sekuat tenaga ke belakang.
Dugaanku benar.
Namun, makhluk itu tidak menghindar. Dia masih berada di belakangku, siap menyerangku.
"A, Apa?!"
Pedangku menembus tubuhnya. Rasanya seperti menebas udara, seakan pedangku tak mengenai apa-apa.
Sementara itu, makhluk itu langsung mengarahkan tangannya yang berbentuk seperti sebuah "tombak" ke arahku.
Aku melompat mundur lalu menembakkan tujuh peluru. Tapi sama seperti pedangku, peluru itu hanya menembusnya dan tidak melukainya.
Apa yang harus kulakukan? Seranganku sama sekali tidak mempan melawannya.
Kalau begitu satu-satunya yang bisa kulakukan saat ini adalah lari.
Aku mengabaikan makhluk itu lalu berbalik.
Lari, yang harus kulakukan adalah lari.
Brak!
Aku terjatuh. Entah kenapa aku terjatuh saat mencoba melangkahkan kaki kiriku.
Kakiku... terasa lemas.... aku tak bisa berlari.
Tidak...
Lebih tepatnya,
[Aku tak bisa merasakannya.]
"AAAAaaaaaaaakkkkkhhhhh!!!!"
Suara teriakan keluar dari rongga mulutku.
Begitu kencang hingga rasanya tenggorokanku kering dan pita suaraku ingin putus.
Putus?
Oh iya.
[Kaki kiriku putus.]
[Terpotong, begitu rapih bagaikan kue bolu halus nan lembut yang baru saja dipotong pisau yang habis diasah oleh ahli pedang.]
"Aaaakkkhhh....!!"
Apa yang sebenarnya terjadi?
Kakiku mati rasa.
Aku tak merasakan apa-apa.
Seakan semua yang kulihat saat ini tidaklah nyata.
"Kh—"
Apa ini?
Kumpulan informasi seakan merangkak masuk menerobos otakku.
Menyobek, melumat dan menyatu bersamanya.
[Mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati]
Aku merasa tenggelam.
[Tenggalam dalam potongan-potongan kaki kiriku dan darah yang mengalir deras darinya.]
[Dipotong seperti dadu.]
[Begitu banyak.]
[Hingga akhirnya aku tenggelam di dalamnya....]
△▼△▼△▼△
Hitam, kosong, hampa.
Mungkin itulah dia.
Makhluk itu tercipta tanpa memiliki nafsu.
Baginya, tak memiliki nafsu sama saja seperti mati. Tak ada arti bagi dirinya untuk hidup.
Lagipula, dia itu hampa.
Kehampaan itulah yang mendorongnya untuk memperhatikan manusia. Melihat makhluk lainnya yang memiliki nafsu membuatnya merasa seperti bagian dari mereka.
Sejak ia tercipta, ia terus memandangi manusia. Melihat tingkah laku mereka, kebiasaan mereka, juga alasan mengapa mereka ada. Dia terus menerima informasi dari apa yang ia lihat, seperti lubang hitam yang menghisap benda maupun makhluk yang ada di sekitarnya.
Ia merasa kasihan. Atas "dosa" yang telah diperbuat manusia. Semakin ia memahami manusia, semakin kasihan ia atas keberadaan mereka. Dia tidaklah marah, maupun senang, yang ia rasakan hanya rasa duka.
Tiap harinya, manusia menumpuk dosa. Tiada henti sampai mereka tidak peduli lagi atas dosa yang mereka perbuat.
Berjudi, membunuh, bertengkar, berperang dan terus menyakiti satu sama lain. Meskipun dia baru saja terlahir, dia langsung tau kalau manusia adalah makhluk penuh dosa.
Dia kasihan. Dia takut kalau suatu hari makhluk bernama manusia akan menghancurkan diri mereka sendiri.
Bahkan ia takut kalau "Penciptanya" yang tidak sengaja menciptakannya melakukan dosa yang sama.
Karena itulah.
Ia harus menjaga mereka untuk tetap "suci."
Sebelum mereka melakukan dosa yang lebih buruk lagi. Ia harus tetap menjaga mereka—agar makhluk-makhluk itu tetap indah.
[Hancurkan, bunuh, lenyapkan.]
Ya, makhluk itu harus melenyapkan mereka sebelum mereka "ternodai" oleh dosa mereka sendiri.
Sebelum semuanya terlambat. Bahkan meski harus membunuh penciptanya sendiri.
Saat itulah, ketika dia memutuskan semua itu, untuk pertama kalinya dia merasakan apa yang dia pikir sebagai "nafsu."
"Ma luk a a u ini—?!"
Itulah pertanyaan yang ditanyakan oleh penciptanya saat makhluk itu "mengambil" kedua kakinya. Perasaan tidak berdaya, penolakan dan rasa takutnya atas kematian. Semua itu terungkapkan dalam empat kata tersebut.
Kakinya membusuk dan warna sawo matang di kulitnya berubah menjadi hitam pekat.
Nampak hampa.
Untuk sesaat, makhluk itu berhenti.
"Di tengah keputus-asaan dan rasa takut dibayangi kematian. Itukah yang ingin kau katakan?"Itulah yang akan makhluk itu tanyakan kepada penciptanya.
Sayangnya, makhluk itu sendiri tidak tahu dia itu apa.
Namun bila ia jelaskan makhluk apa dia itu menggunakan kata yang biasa manusia sebut.....—
—.....maka jawabannya adalah virus—
△▼△▼△▼△
Ting.
"Haah!!!"
Aku terbangun.
Keringat dingin membasahi tubuhku, jantungku berdebar dengan kencang, napasku tak teratur dan penglihatanku kabur.
Meskipun semua itu tidaklah nyata dan hanya representasi yang diciptakan oleh avatar ini, namun rasa takut yang kurasakan beberapa menit yang lalu tidaklah bohong.
Dengan pikiran yang kosong, aku langsung mengangkat tubuhku lalu memeriksa kedua kakiku.
Masih utuh.
Kaki kiriku masih tersambung seperti tak terjadi apa-apa.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Makhluk hitam itu sudah menghilang.
Kelihatannya belum lima menit berlalu sejak aku tidak sadarkan diri.
"Apa makhluk itu sudah pergi?" Tanyaku.
Yang tadi itu benar-benar terjadi. Peluru yang kutembakkan sebelumnya mengenai salah satu pohon yang ada di sini. Yang artinya, tadi itu terjadi.
Pertanyaannya, apa dia sudah pergi?
Kurasa terlalu cepat untuk menyimpulkan. Sebaiknya aku berkeliling untuk memastikan apakah dia sudah pergi atau belum.
"Sebelum itu... yang kulihat tadi itu apa? Ingatan? Tapi milik siapa?
Jangan bilang...."
Dan juga orang yang disebut sebagai pencipta...
Aku tak bisa mengingatnya lagi.
Disaat aku mencoba mengingat bagaimana wajah dari seseorang yang disebut sebagai "pencipta" yang ada hanyalah gambaran buram.
Namun satu hal yang pasti, penyarangan itu terjadi di sebuah gedung. Aku tak tahu gedung apa itu, namun kejadian itu menyebabkan gedung itu terbakar.
"Sebenarnya, apa yang terjadi di sini....?"
Tanpa menyimpan pistol maupun pedangku, aku mencoba berkeliling memeriksa.
Namun, aku sama sekali tak melihat adanya keberadaan makhluk itu.
Suatu pemikiran terlintas di pikiranku. Bagaimana jika apa yang terjadi barusan hanyalah halusinasiku belaka?
Lagipula kedua kakiku baik-baik saja. Hp bar-ku juga masih penuh...
Tidak ada bukti yang bisa mendukung apa yang baru saja kualami beberapa menit ini.
Tidak, tunggu...
Masih ada satu tempat yang belum kudatangi.
"Kalau tidak salah, makhluk itu datang dari sini...
Kh, Apa ini?"
Makhluk tadi itu bukanlah halusinasi. Hal inilah buktinya.
Rumput-rumputan yang makhluk itu injak mati. Warnanya hitam pekat seperti diwarnai tinta.
Hampa.
"Cara daun ini membusuk terlihat sama seperti kaki orang itu."
Kalau begitu, ingatan serta makhluk tadi itu nyata dan benar adanya....
Anehnya, benda seperti tanah tidak "tercemar" sama sekali. Satu-satunya yang berubah menjadi "hampa" di area itu hanyalah makhluk hidup seperti tumbuh-tumbuhan dan pepohonan.
Sebenarnya makhluk tadi itu apa?
Kenapa dia menyerangku dan kenapa dia meninggalkanku? Ditambah lagi seranganku sama sekali tidaklah mempan melawannya. Aku penasaran apakah serangan peserta lain akan mempan melawannya...
"Kalau makhluk tadi itu nyata, maka saat kakiku terpotong...."
Mungkin itu adalah halusinasi yang tercipta saat ingatan tadi menerobos masuk ke dalam pikiranku.
"Tapi, kenapa aku bisa mendapat ingatan itu...?"
Ting.
Ah, suara yang sama seperti saat aku terbangun tadi.
Kalau tidak salah, suara itu.... Ternyata benar, aku mendapatkan dua pesan.
Pesan itu berasal dari Zaki. Yah, wajar saja dia akan melakukan ini. Apalagi aku sama sekali tidak menghubunginya.
Ummm baiklah, apa isi pesan ini?
"Pesan pertama...
Dimo, kau di mana? Berikan aku koordinatmu agar aku bisa teleportasi ke tempatmu.
Sedangkan yang kedua,
Oi, Dimo, jawab! Cepat jawab, aku sedang terkepung monster nih! Lagipula apa-apaan kelas mu itu?!
Uh, bagaimana mungkin dia bisa terkepung monster? Memangnya dia selemah itu?"
Lagipula, saat aku periksa, sekarang dia sudah level lima, yang berarti dia lebih kuat daripada aku.
Hah... ya sudahlah...
Aku langsung membalas pesannya dengan mengirim lokasiku kepadanya. Aku bisa menemukan koordinat lokasiku dengan membuka peta. Di pojok kiri atas peta terdapat urutan angka yang menunjukan lokasi dimana aku berada. Dengan mengirim koordinat itu, Zaki bisa berteleportasi ke sini.
Tak butuh waktu lama setelah aku mengirimkan pesan, butiran-butiran piksel muncul tak jauh dari lokasi dimana aku berada. Dengan cepat butiran-butiran itu menyatu dan berubah menjadi Zaki yang terjatuh seakan-akan baru saja melompat menghindari sesuatu.
Zaki tersungkup, di tanah yang penuh retakan berisikan cahaya sisa-sisa teleportasi miliknya.
"Ugh.... Kenapa kau lama sekali sih, Dimo?" Eluh Zaki saat membersihkan pakaiannya dari debu.
"Maaf, aku terus-terusan diserang monster. Jadi aku tak sempat menghubungimu atau membalas pesanmu."
Aku tak memberi tahunya mengenai makhluk hitam tadi.
Entah mengapa perasaanku mengatakan kalau Zaki takkan percaya dan hanya akan menganggapku mencari-cari alibi.
Lagipula, rumput yang membusuk tadi sudah kembali seperti sedia kala.
"Ngomong-ngomong apa-apaan penampilanmu itu? Kenapa kau malah terlihat seperti Ronin daripada kesatria abad pertengahan?"
Aku tidak mengada-ada, rambut dia memang nampak seperti samurai di jaman kekaisaran jepang yang sering ku lihat di drama tv. Masih menjaga warna cokelat, rambut gondrongnya dikuncir kuda sementara poninya begitu panjang hingga menutupi mata kirinya.
"Yaaah... habisnya menurutku penampilan seperti ini lumayan keren." Zaki tertawa kecil sambil merapihkan poninya.
"Kenapa kau malah tersanjung? Aku ini tidak sedang memujimu
Akh, sudahlah. Yang lebih penting, kenapa kau tidak memakai kostum mu?" Tanyaku sambil menunjuk pakaiannya yang masih memakai armor perunggu tanpa pelindung tangan ataupun pelindung sepatu.
"Oh iya aku baru sadar kalau pakaianmu terlihat mewah.
Jadi... kostum, kostum apa maksudmu?"
"Huh... coba periksa kotak pesanmu. Di situ kau pasti akan menemukan pesan berisikan hadiah kostum dari orang yang bernama Admin."
Menurut begitu saja, Zaki langsung membuka pesan miliknya.
"Ah, kau benar! Aku mendapat kostum yang bernama Magmarmor."
Magmarmor? Apa itu gabungan dari magma dan armor? Nama yang aneh.
Setelah menerima hadiah dari pesan tadi, Zaki langsung memakai kostum miliknya.
Kostum armor yang ia pakai berwarna hitam dengan motif garis berwarna oranye kemerahan, sama seperti warna magma yang berasal dari letusan gunung berapi. Armor itu nampak begitu tangguh dan keras.
Terlepas dari itu, kilauan cahaya yang terpatulkan dari armor itu begitu menyilaukan mata. Begitu terang dan indah.
Sama seperti kostumku, kostum miliknya juga mengubah perisainya. Perisai yang awalnya hanyalah besi perak sederhana berubah seperti armornya dan memiliki sebuah permata berwarna merah di tengah-tengahnya.
Pedangnya juga sama, berubah seperti perisainya. Disainnya juga tak berbeda jauh. Keduanya sama-sama memiliki sebuah kristal berwarna merah.
"Hebat... armor ini juga secara drastis menaikan pertahananku. Apalagi kostum ini permanen dan gratis."
Zaki mencoba membuat gerakan-gerakan kecil seperti menaik turunkan tangannya dan sedikit pemanasan untuk membiasakan dirinya terhadap armor baru miliknya.
"Ngomong-ngomong kau masih seperti biasanya ya, tidak terlalu mengubah penampilanmu." Zaki tertawa kecil.
"Tak usah pedulikan penampilanku, yang lebih penting, apa kau sudah tahu bagaimana cara untuk menggunakan skill?"
Zaki sedikit menunduk berpangku dagu lalu menggelengkan kepalanya.
"Tidak, aku sendiri belum tahu."
Begitu ya... Zaki juga belum tahu jawabannya.
"Oh ya Dimo, ada satu hal yang sejak tadi menggangguku. Kenapa kelasmu berbeda dari kelas yang sebelumnya disebutkan?"
"Memangnya kau tidak membaca daftar kelas yang ada di website Start Point?"
Mendengar teguranku, Zaki tersenyum kecut.
"Maaf, aku tidak membaca."
Hah....
Aku sama sekali percaya ini. Apalagi dialah yang mengajakku untuk ikut serta dalam turnamen ini, tapi malah dia yang tidak tahu apa-apa.
Karena orang macam ialah Indonesia masuk dalam negara dengan minat membaca paling rendah.
Mau bagaimana lagi, sepertinya aku harus menjelaskan kelasku dan semua yang sudah kuketahui selama ini.
△▼△▼△▼△
"Begitu ya... ternyata ada kelas ekstra selain enam kelas utama."
Seperti biasa, Zaki memberikan tanggapan yang begitu santai. Bahkan aku sempat dibuat berpikir kalau dia tidak peduli atas informasi yang baru saja kuberikan.
"Ya, mungkin masih ada dua orang lainnya yang memiliki kelas sepertiku." Aku kembali berdiri lalu membersihkan celanaku.
"Baiklah, menurutmu ke mana sebaiknya kita pergi?" Aku membuka peta lalu melakukan zoom out untuk mendapatkan penglihatan yang lebih luas.
"Tunggu sebentar, aku baru ingat kalau aku lupa memberitahumu atribut yang kumiliki. Skill list!"
Zaki bangun lalu membuka skill list miliknya.
"Seperti yang bisa kau lihat di sini, atribut yang kumiliki adalah api dan untuk saat ini aku hanya memiliki satu skill."
Huh? Apa?
Apa maksudmu?
"Tunggu dulu, Zaki! Apa maksudmu? Kenapa kau melambai-lambaikan tanganmu ke udara?" Tanyaku berbalik menghadapnya.
"Apa maksudku? Jangan bercanda, apa kau tidak melihat skill list milikku? Nih, lihat, skill tree dan atribut milikku tertulis jelas di jendela ini."
"Siapa juga yang bercanda!"
Aku tidak main-main. Meskipun Zaki menunjuk area yang ia aggap sebagai tabel skill list miliknya, yang aku lihat hanyalah angin kosong tanpa tabel atau jendela sama sekali.
Mungkinkah, begitu rupanya.
"Zaki, biar aku tanya satu hal. Apa kau bisa melihat peta yang kubuka?"
"Y,ya bisa...."
Jadi dia bisa melihat peta yang kubuka...
"Skill List, Inventory.
Nah Zaki, kalau dua ini bagaimana? Apa kau bisa melihat skill tree dan inventory milikku?"
"Tidak, aku tidak melihat apa-apa."
Ternyata benar. Pemain tak bisa melihat informasi-informasi pribadi seperti equipment milik pemain lainnya.
Sementara aku hanya terdiam sambil perlahan menutup tabel-tabel yang kubuka, tiba-tiba Zaki berkata
"Ah! Begitu ya!"
"Begitu apanya?" Tanyaku.
Bukan aku tidak percaya Zaki. Hanya saja aku sudah terlalu mengenalnya hingga aku takut kalau dia salah membaca situasi yang aku maksudkan.
"Sudahlah, pokoknya aku paham apa maksudmu. Kalau begitu, karena kau tidak bisa melihat skill tree-ku, akan kucoba bacakan apa yang tertulis di sini.
Atribut yang kumiliki adalah api. Skill yang kumiliki saat ini berfokus pada penyerangan, namun kedepannya aku bisa mendapatkan skill bertahan."
Hm? Tunggu sebentar, bukankah itu aneh?
Kenapa Zaki tak memiliki skill pasif?
"Ada apa Dimo?"
"Zaki, apa kau memiliki skill pasif?"
"Um, tidak. Kurasa tidak."
Aku menunduk berpangku dagu.
"Memangnya kenapa?" Zaki memiringkan kepalanya penuh keheranan.
"Tidak, bukan apa-apa. Hanya penasaran saja."
Apa mungkin skill pasif hanya dimiliki kelas tambahan?
Hmmm, aku tak bisa menyimpulkannya sekarang. Mungkin saja nanti akan ada pemain dengan kelas biasa yang memiliki skill pasif. Untuk saat ini, sebaiknya aku singkirkan dulu semua perasangka itu.
"Oh,..." Balas Zaki dengan santai.
Aku kembali membuka peta dan mulai berjalan.
"Jadi, pergi ke mana kita selanjutnya?"