Turnamen Start Point.
Sebuah turnamen dengan total peserta sembilan orang. Sembilan orang tersebut akan diadu di sebuah Battle Royale yang berlangsung selama kurang lebih selama dua jam. Sembilan orang itu akan bertarung demi menjadi satu-satunya peserta yang bertahan. Tanpa mengetahui permainan seperti apa dan macam apa Start Point itu, para peserta harus bertanding satu sama lain.
Sembilan peserta dan sembilan kelas;
Sword Master, Marksman yang terbagi sebagai Archer dan Gunman, Knight, Wizard, Alchemist, Sword and Gun Master dan dua kelas khusus lainnya yang belum kuketahui.
Harus kuakui, ini adalah sebuah pertandingan yang adil dan seimbang.
Tapi...
"Oi, tunggu aku!"
Zaki terus berlari sekuat tenaga mengejarku dan Cyra yang sudah jauh meninggalkannya. Dari wajahnya yang nampak pucat dan napasnya yang kacau, aku rasa dia sudah mencapai batasnya. Ditambah lagi, langkah kakinya juga melambat.
Aakh, kenapa malah jadi begini? Sial.
Sesaat setelah aku berhasil mengalahkan Anastasia, aku menyadari satu hal sebelum aku sempat kembali kepada Zaki dan Cyra.
Safezone, sebuah area khusus di pertandingan ini yang memungkinkan para peserta untuk bertarung. Area tersebut berbentuk lingkaran dan mengelilingi arena. Dalam kurun waktu tertentu, Safezone akan semakin mengecil dan menyempit. Bila peserta berada di luar Safezone, peserta tersebut akan perlahan kehilangan Hp dan mana mereka. Semakin lama mereka di luar safezone, makin banyak juga mana dan hp yang terkuras habis. Sebab itulah berada di luar safezone sangat merugikan. Juga, safezone memungkinkan para peserta untuk bertemu satu sama lain.
Faktor lain yang mempengaruhi Safezone adalah total peserta yang ada. Semakin sedikit peserta yang tersisa, semakin cepat juga lingkaran safezone mengecil.
Karena itulah safezone langsung mengecil sesaat setelah aku, Cyra dan Zaki mengalahkan Anastasia dan Andromeda. Karena itu juga kami berada di situasi seperti ini.
Diantara kami bertiga, Cyra yang memiliki kecepatan paling tinggi bisa dengan mudah menghindari safezone. Kecepatanku rata-rata sehingga aku tak perlu khawatir tertinggal di luar safezone.
Tapi Zaki berbeda.
Knight, kelas yang berpegang teguh pada pertahanan dan kekuatan, namun lemah dalam kecepatan. Aku tak menduga kalau kelas itu bisa semerepotkan begini.
Andai saja armor yang dia pakai tidak memperlambatnya.
Saat ini Zaki tertinggal jauh di belakangku dan Cyra. Jarak antara dirinya dan safezone hanya tersisa sekitar lima sampai sepuluh meter. Dalam kurun waktu tiga menit lagi, Zaki pasti akan tertelan safezone tersebut.
Sial, apa tidak ada yang bisa Zaki lakukan untuk mempercepat larinya? Yang membuat Zaki lambat adalah perlengkapan yang dikenakannya. Mungkin bila dia melempas itu semua—tidak, Zaki bahkan takkan punya cukup waktu untuk melakukan itu.
"Ck—!"
Aku terhenti dan hendak berbalik untuk membantu Zaki. Aku mungkin bisa menariknya agar berlari lebih cepat.
"Tunggu, Ramdhan! Biar aku saja."
Cyra yang sebelumnya berada jauh di depanku tiba-tiba muncul memotong gerakanku. Dengan gesitnya melompat dari satu dahan ke dahan lainnya bagaikan daun yang ditiup angin topan.
Dia terus melompat dan terus melompat mendekati Zaki. Setelah cukup dekat, dia menembakkan sebuah anak panah yang sudah terhubung dengan tali ke arah Zaki.
"Zaki, tangkaplah!"
Zaki yang lengah meskipun setelah mendengar peringatan dari Cyra hampir saja terkena tembakkan anak panah tersebut. Dia hampir terjatuh saat anak panah itu mendarat tepat di depan kakinya.
"Hah? Untuk apa?" Zaki yang terheran-heran tanpa sadar mengangkat kedua bahunya lalu mengambil anak panah itu.
"Sudah menurut saja! Pegangan erat-erat ya!" Cyra mengikatkan ujung tali yang satunya lagi dengan anak panah lainnya lalu memasangnya di busur. Hembusan angin di sekitar tubuhnya semakin kencang dan liar seiring dengan tarikan di busurnya.
"Open the Seal : One Wind Arrow!" Lanjut Cyra yang lalu melepaskan anak panah tersebut.
"Eh—?"
Zaki yang masih belum mempersiapkan dirinya langsung ditarik anak panah tersebut bagaikan batu yang dilontarkan dari ketapel.
"Ah, gawat!" Aku langsung menunduk menghindari anak panah yang ditembakkan Cyra.
Zaki yang terpental dengan kecepatan yang luar biasa itu langsung melintas melewatiku. Aku bisa merasakan betapa kencangnya tekanan angin yang berasal dari anak panah Cyra saat anak panah itu melintas melewatiku. Bila saja aku tak menghindar, aku mungkin sudah terdorong hembusan angin hingga menabrak pohon.
Zaki baru terhenti saat anak panah tersebut menancap—maaf, kurasa aku salah mengambil kata-kata. Yang benar adalah, saat anak panah tersebut menghancurkan dan menumbangkan sebuah pohon.
"Yang benar saja...." Gumamku saat melihat pohon yang hancur tersebut.
"Apa yang kau lakukan? Kau akan tertinggal, lho." Ujar Cyra yang melompat dari satu dahan ke dahan lainnya, melintasiku.
"Aku tahu itu." Aku kembali berdiri lalu berlari mengejar.
△▼△▼△▼△
"Hah... hah.... akhirnya berhenti juga." Eluh Cyra yang terduduk lemas di tanah.
"Padahal ini tubuh virtual, tapi rasanya aku mau muntah..." Zaki yang terbaring lemas di tanah langsung menutup mulutnya lalu menelan entah-apa-itu. Wajahnya terlihat lebih pucat dari sebelumnya dan keringat mengalir deras menuruni dahinya.
"Benar juga, apalagi kita berlari selama sepuluh menit non-stop."
Anehnya, aku merasa baik-baik saja. Mungkin akulah yang memiliki stamina paling tinggi diantara kami bertiga. Zaki terlihat sekarat dan Cyra yang kukira akan baik-baik saja pada akhirnya kelelahan.
Tapi aku bersyukur karena akhirnya kami berhenti berlari. Dan sungguh sebuah kebetulan, karena safezone berhenti tepat di dekat toko. Saat ini kami sedang beristirahan tepat di sebelah safezone yang terhenti, tapi tak jauh dari kami berada, terdapat sebuah toko yang dimana menjadi tujuan pergi kami bertiga.
Setahuku, terdapat dua toko di arena ini. Dan salah satunya ada di depan kami.
"Ayo, mau sampai kapan kalian akan beristirahat? Waktu takkan menunggu kalian, lho." Ujarku yang perlahan berjalan mendekati toko.
"Tidak, kurasa sebaiknya aku dan Zaki menunggu di sini." Balas Cyra.
"Eh, kenapa?" Tanya Zaki dengan lemasnya.
"Apa kalian lupa? Meskipun saat ini kita sedang bekerja sama, kita ini masihlah musuh. Sebaiknya kita memasuki toko secara bergantian agar kerahasiaan item kita tetap terjaga."
Aku terhenti lalu berbalik menatap Cyra dan Zaki bergantian.
Yang dikatakan Cyra itu benar. Mau bagaimanapun juga, Cyra masihlah musuhku dan Zaki. Dia mungkin membantu kami, tapi fakta kalau ini adalah sebuah pertandingan tak begitu saja membuat kami sebagai teman maupun rekan.
Setelah kami bertiga selesai membeli di toko dan berpencar, status kami akan kembali menjadi musuh. Membiarkan musuh mengetahui kualitas senjata dan equipment-mu sama saja seperti meminta untuk dikalahkan.
"Baiklah, kalau begitu aku duluan." Aku kembali berjalan meninggalkan mereka berdua.
Di depan toko terdapat jalan setapak yang semakin masuk ke hutan akan semakin samar. Toko ini terlihat cukup sederhana. Temboknya adalah kayu yang kelihatan agak reyot setelah dimakan rayap dan atapnya terbuat dari jerami. Di atapnya juga terdapat sebuah cerobong asap kecil yang menjulang tinggi mencengkram langit.
Terdapaat sebuah jendela kecil di bagian kiri toko dan sebuah pintu yang terbuat dari bambu di bagian depan toko.
Tanganku terhenti sesaat sebelum menyentuh gagang pintu. Untuk sesaat, aku menengok ke arah Zaki dan Cyra. Mereka duduk di bawah sebuah pohon tinggi yang teduh dengan dedaunannya yang tebal nan lebar. Nampak mereka sedang mengobrol, sesekali aku bisa melihat tawa keluar dari keduanya.
Padahal mereka musuh, tapi mereka bisa seakur itu.
"Baiklah..." Aku menghela napas lalu memutar gagang pintu dan memasuki toko.
Aroma kayu yang basah dan lembab langsung menyengat memasuki rongga hidungku. Suara gaduh dari gesekkan dedaunan samar bisa ku dengar dari balik tembok kayu. Sebuah lampu bohlam yang menggantung di plafon toko bersinar terang, membuat cahaya yang merambat di sela-sela kayu menjadi samar.
Berbeda dari penampilan luarnya, bagian dalam toko tertata rapih dan harus kuakui, cukup antik. Lantainya terbuat dari bebatuan yang ditata rapih sedemikian rupa, langit-langitnya juga terlihat kokoh. Terdapat sebuah perapian di belakang meja resepsionis, di perapian itu terdapat tumpukan kayu bakar yang sudah tertata rapih dan siap dibakar.
Senjata seperti pedang, perisai, senapan dan bahkan senjata sejenis Morning Star digantung di tembok. Di pojok ruangan, terdapat dua sampai tiga manekin yang dipakaikan armor kesatria lengkap dengan chainmail dan senjatanya.
Tapi anehnya, tidak ada siapa-siapa.
Di belakang meja resepsionis, sama sekali tidak ada penjaga toko maupun pelayan yang menyambut kehadiranku. Tempat ini benar-benar sepi seperti kuburan.
"Um, apa ada orang di sini?" Panggilku sambil perlahan berjalan mendekati meja resepsionis. Tidak ada tanggapan. Benar-benar tidak ada siapapun di toko ini selain diriku.
Apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus menunggu sampai ada penjaga toko? Ataukah sebaiknya aku memanggil Zaki dan Cyra?
Disaat aku sedang bersandar di meja resepsionis, aku tak sengaja menyenggol sebuah kotak berisikan pisau hingga membuat salah satu dari pisau yang ada di dalam kotak jatuh.
"Ah....."
Aku harus menaruhnya kembali.
Aku mengedarkan pandanganku ke segala arah. Lalu menjulurkan tanganku ke pisau tersebut.
Ting.
Sesaat sebelum jariku dan pisau itu bersentuhan, muncul sebuah tabel tepat di hadapan pisau tersebut. Tabel itu muncul seakan bereaksi atas tanganku yang mendekat.
Di tabel tersebut terdapat deskripsi, nama, serta harga dari pisau yang jatuh itu. Selain itu, di bawah label nama terdapat status yang menunjukkan berapa damage yang dimiliki pisau ini saat digunakkan.
"Jangan-jangan...."
Setelah aku menaruh pisau itu kembali ke tempatnya, aku berjalan mendekati area dimana senjata api berada. Aku julurkan tanganku mendekati sebuah pistol berjenis Revolver. Menuruti uluran tanganku, sebuah tabel muncul di depan pistol tersebut. Tabel yang sama seperti saat aku mencoba mengambil pisau tadi.
"Kalau begitu..."
Aku mengambil revolver itu dari raknya dan berjalan menuju pintu keluar.
Aku berpikir kalau aku mungkin saja membawa senjata ini keluar tanpa harus membelinya, tapi—
Ting!
Sebuah pemberitahuan yang berisikan sebuah peringatan muncul tepat di antara diriku dan pintu keluar. Seperti dinding tak kasat mata, aku tidak bisa berjalan menembus dinding teks pemberitahuan tersebut. Semakin aku berusaha berjalan menerobosnya, tubuhku semakin tertolak olehnya.
Ini takkan berlanjut ke mana-mana.
Kalau begitu ide kedua.
Aku mengambil satu langkah mundur dan membuka inventory-ku.
Ah—!
Inventory-ku sama sekali tidak mendeteksi senjata yang kugenggam. Dengan kata lain, mustahil bagiku untuk menyimpan senjata ini di dalamnya.
Begitu rupanya.
Sejak awal, warung ini tak membutuhkan penjaga maupun penjual. Mereka tak perlu takut adanya pencurian karena sistem inventory takkan mengizinkan pemain untuk mencuri barang dari toko dan toko itu sendiri merupakan sebuah "Penjara" untuk menyimpan peralatan-peralatannya.
Karena itulah sistem penjualan disini bersifat otomatis.
"Kalau begitu, aku akan membeli pistol ini."
Untuk saat ini, gold yang kumiliki kemungkinan cukup untuk membeli satu sampai dua pistol. Untuk senjata besar seperti Rifle, Sub Machine Gun maupun Sniper Rifle, aku hanya bisa membeli satu dari tiga pilihan itu. Machine Gun bukan termasuk pilihan karena uangku masih belum cukup.
Berkat mengalahkan Anastasia, aku sudah mendapatkan pedang baru yang jauh lebih bagus dari Ogre Sword sehingga aku tak perlu membeli pedang baru. Sekarang aku hanya harus fokus pada senjata api milikku.
Pistol yang kupunya saat ini masihlah Beginner Gun. Sebuah pistol dengan status paling rendah dari semua pistol lainnya. Tentu saja aku butuh pistol baru yang lebih bisa mendorong kemungkinanku menang.
Pistol yang kupilih adalah Revolver, yaitu senjata ciptaan Samuel Colt yang diperkenalkan pada tahun seribu delapan ratus tujuh puluh tiga.
Yah, banyak yang memanggil pistol ini sebagai senjata andalan koboi.
Revolver yang kupilih adalah Colt Python. Revolver berkaliber magnum yang terkadang disebut sebagai "Combat Magnum." Pistol ini memiliki silinder enam putaran dengan jarak efektif tembakan kurang lebih sejauh dua ratus yard.
Itulah yang tertulis di sini.
Baiklah, gold yang kupunya saat ini sebanyak seribu dua ratus dan harga dari pistol ini bila ditotal dengan harga peluru cadangannya adalah dua ratus lima puluh gold. Yang artinya sisa gold yang kumiliki sebanyak sembilan ratus lima puluh gold.
Oh iya, aku membeli sebanyak dua puluh empat peluru cadangan.
Aku menekan tombol beli yang terdapat di pojok kanan bawah tabel. Seketika, revolver tersebut berubah menjadi butiran-butiran piksel dan lenyap. Tak lama kemudian aku mendapat pemberitahuan yang mengatakan kalau terdapat item baru di inventory-ku.
Selanjutnya, kurasa sebaiknya aku memilih senjata berjenis sniper rifle. Aku bisa menggunakkan pedangku untuk pertarungan jarak dekat, sedangkan untuk pertarungan yang mengharuskanku bertarung jarak jauh, aku bisa menggunakkan pistolku. Namun, pistol memiliki jarak batas tembak. Aku mungkin akan berhadapan dengan lawan yang berjarak bermil-mil jauhnya dari diriku. Karena itulah kurasa sebaiknya aku memilih senapan.
Selain untuk melawan lawan yang jauh, aku juga bisa memanfaatkan teropong yang terdapat di senapan sebagai alat untuk mengawasi area sekitar atau untuk memata-matai lawanku.
Dan senapan yang akan kupilih adalah, AWM atau Arctic Warfare Magnum. Senapan runduk ini diproduksi oleh sebuah perusahaan senjata di Portsmouth, Hampshire, Inggris.
Alat bidiknya juga tipe aperture dengan optik siang dan malam yang bisa dilepas. Di Indonesia, senjata ini digunakkan oleh Komando Pasukan Katak atau Kopaska dan Komando Pasukan Khusus atau Kopassus.
Magazine box cadangan yang kubeli sebanyak dua buah. Total harga dari senapan dan pelurunya sebanyak empat ratus delapan puluh gold. Dengan begini sisa gold yang kumiliki hanya empat ratus tujuh puluh.
Yah, kurasa aku akan menggunakkan sisanya untuk membeli equipment baru yang jauh lebih baik dari equipment ku saat ini dan beberapa potion.
Setelah menekan tombol beli dan mengkonfirmasi item yang kubeli di inventory-ku, aku langsung melangkahkan kakiku keluar dari dalam toko.
Cahaya mentari langsung menyambar mataku. Cahayanya yang menyilaukan serta hangatnya cahaya itu membuatku sontak langsung melindungi wajahku. Suara jangkrik dan dedaunan yang sebelumnya samar kembali dengan kontrasnya memekakkan genderang telingaku.
Aku menengok ke arah Zaki dan Cyra.
Seakan sadar atas kehadiranku, Zaki berdiri lalu memanggilku sambil melambaikan tangannya sementara Cyra hanya duduk manis sambil sedikit melambai.
Aku membalas lambaian mereka lalu berjalan menghampiri mereka.
△▼△▼△▼△
"Kalau begitu, aku masuk ya." Zaki sedikit mengayunkan tangannya dengan kaku lalu berjalan memasuki toko meninggalkan kami berdua.
"Jangan terlalu lama ya!" Balasku.
"Tenang saja!" Zaki dengan masa bodohnya mengayunkan tangannya ke arahku sesaat sebelum akhirnya dia memasuki toko.
Ck, tenang saja apanya? Bila dia terlalu lama di dalam sana, bisa-bisa safezone akan bergerak mengecil lagi dan kemungkinan terburuknya adalah toko akan tertelan ke dalam safezone.
Aku duduk di rerumputan dengan segala unek-unek yang kusimpan di pikiranku. Aku menengok ke atas—ke arah dedaunan yang dengan teduhnya melindungki kami dari teriknya sinar matahari. Meskipun begitu, sesekali aku bisa melihat kilauan cahaya matahari yang melintasi sela-sela dedaunan.
...
...
Keheningan menyelimuti kami berdua. Suara jangkrik bahkan berkali-kali jauh lebih kencang dari suara yang dihasilkan dari kami berdua. Atmosfir yang terasa canggung ini begitu mencekik, rasanya aku akan mati bila keheningan ini terus berlanjut.
Cyra juga nampaknya agak terganggu dengan situasi ini. Sebelumnya dia terlihat cukup akrab saat bersama Zaki, namun saat ini dia hanya terdiam menghitung anak panah di quiver miliknya sambil sesekali curi-curi pandang ke arahku.
Sifatku dan Zaki cukup bertolak belakang, jadi aku kurang yakin kalau aku bisa memulai percakapan sebaik Zaki, tapi itu jauh lebih baik dari keheningan yang canggung dan mencekik ini.
Apa yang sebaiknya kukatakan untuk memulai pecakapan? Um....
'Kenapa kau memilih kelas archer?' Tidak, kurasa itu terlalu kaku.
'Cuaca hari ini cerah ya. Padahal ini hanyalah game.' Klise banget, juga itu terdengar bukan seperti diriku.
'Apa kau sudah punya pacar?' Tidak, tidak, tidak. Tidak mungkin aku bertanya hal seperti itu kepada orang asing.
Ahh, aku sama sekali tidak punya ide...
"Kau dan Zaki, kelihatannya sudah kenal cukup lama."
Suara halus Cyra langsung memotong semua kekacauan di pikiranku. Rasanya seperti semua benang kusut yang melilit otakku langsung menjadi lurus setelah disetrika oleh kata-kata itu.
"Yah, bisa dibilang begitu. Sangat lama hingga aku lupa kapan terakhir kali aku memanggilnya dengan nama aslinya."
Cyra tertawa kecil setelah mendengar jawabanku. Padahal aku serius dengan perkatanku sebelumnya. Aku benar-benar lupa kapan terakhir kali aku memanggil Zaki dengan panggilan Zakaria.
Melihat Cyra yang tertawa entah mengapa membuatku tanpa sadar ikut ke dalam tawanya.
"Maaf, habisnya aku sama sekali tak menduga akan mendapat jawaban yang blak-blakan seperti itu." Cyra mencoba meredakan tawanya sambil mengusap air mata yang sedikit keluar dari matanya.
"Tak apa-apa kok. Lagipula, kurasa nama aslinya terlalu merepotkan untuk disebutkan. Karena itulah aku menyingkatnya menjadi Zaki."
Perasaan ini, entah mengapa aku merasa pernah merasakannya sebelumnya.
Tanpa kusadari, kami terus melanjutkan percakapan-percakapan kecil yang bahkan tidak berguna.
Percakapan ini mungkin akan dilupakan setelah turnamen ini selesai dan bahkan takkan pernah diingat kembali. Namun entah mengapa aku merasa nyaman dengan tiap detik yang dihasilkan dari percakapan ini.
Perasaan yang hangat dan nyaman.
Sudah lama sekali, sejak terakhir kali aku mengobrol santai seperti ini dengan orang lain selain Zaki dan Paman Tedi.
"...Tidak ingin mengikuti turnamen?" Cyra sedikit memiringkan kepalanya. Matanya yang bulat menatapku dengna penuh tanda tanya setelah mendengar pernyataanku.
"Benar. Sejujurnya, aku sama sekali tidak peduli dengan semua ini. Tapi Zaki mendaftarkanku tanpa sepengetahuanku dan memaksaku untuk ikut serta kedalam turnamen.
Aku bahkan sama sekali tidak peduli dengan hadiah uang."
Yang aku pedulikan hanya bagian give and take. Bila aku berhasil membuat Zaki menang, dia akan berhenti menggangguku dengan semua ajakannya.
Aku menjatuhkan tubuhku ke rerumputan. Dengan berpangkukan kedua telapak tanganku, aku menatap langit biru yang bertaburan awan putih yang nampak seperti gulali.
Oh iya, ada satu hal yang ingin kutanyakan kepada Cyra.
"Kau sendiri bagaimana? Kenapa kau mengikuti turnamen ini?"
Cyra hanya terdiam mendengar pertanyaanku. Wajahnya yang sebelumnya cerah langsung memendung dan tatapannya menjadi sedikit kosong. Dia tertunduk lalu memejamkan kedua matanya. Tak lama kemudian, dia mendongkakkan wajahnya dengan senyuman lemah lembut.
Dia menatap langit biru dengan tatapan kosongnya yang sudah sirna. Dia terlihat begitu yakin, namun terasa sedih.
Dia menengok menatap wajahku dengan menjaga senyuman lembutnya.
"Ini demi seseorang yang begitu penting bagiku...."
Angin berhembus meniup rambut hijaunya yang terkuncir rapih. Poninya yang tertiup angin sedikit menutupi kedua matanya. Namun entah mengapa, aku bisa merasakan kesedihan di wajahnya dan tiap kata yang baru saja dia katakan.
Senyuman itu, kata-kata itu, serta keyakinan itu, sama sekali tidak ada sedikitpun bumbu kebohongan. Cyra benar-benar mengatakan itu dari lubuk hatinya yang paling dalam.
Seseorang yang penting baginya...
Begitu ya...
[Sungguh, kata-kata yang membuatku teringat akan sosok dia.]
"Seseorang yang penting bagimu, ya..." Gumamku.
"Cyra—"
"Yo, Ramdhan, Cyra! Aku sudah selesai, lho!" Zaki dengan penuh semangat menutup pintu toko sambil memanggil kami berdua. Panggilannya memotong kata-kataku bagaikan pisau yang dengan mudahnya memotong tahu.
"Kenapa kau lama sekali?"
Cyra yang sebelumnya terdiam langsung membersihkan roknya dari debu lalu berdiri menghampiri Zaki.
Aku tak bisa melakukan apa-apa.
Tubuhku seakan dipaku. Tak bisa bergerak, tak bisa berkata-kata. Hanya terdiam seperti patung sambil menatap sosok Cyra yang dengan ramahnya menyapa Zaki.
Namun dibalik keramahan itu, aku bisa merasakan adanya kesedihan.
Kata-katanya tadi itu...
Entah mengapa terasa tak asing bagiku.
△▼△▼△▼△
Beberapa menit telah berlalu sejak Cyra selesai membeli perlengkapannya dari toko. Saat ini hanya tersisa beberapa detik hingga Safe Zone akan menyempit kembali.
Dengan tiga peserta yang telah gugur, total peserta yang tersisa hanya enam orang.
Tidak.
Lima orang. Baru saja satu orang peserta telah dikalahkan.
Para peserta mungkin tak diberitahu siapa yang mengalahkan siapa, namun kami para peserta dapat melihat total peserta yang tersisa di pojok kanan bawah penglihatan kami.
Dengan total peserta yang semakin menipis, pertandingan juga akan semakin sengit.
Sisa lawan yang kukenal adalah Cyra dan Sindy. Cyra memiliki kelas Archer, saat ini kami sedang gencatan senjata sehingga mustahil untuk melakukan pertarungan. Aku tak tahu kelas apa yang dimiliki Sindy, tapi aku yakin kalau dia masih bertahan hidup di suatu tempat.
Yang terakhir, orang ketiga. Aku tak tahu siapa ataupun kelas apa yang dimiliki orang ketiga, namun bisa berbahaya bila orang itu memiliki kemampuan bermain yang hebat.
"Kalau begitu, kita berpisah di sini." Ucap Cyra sambil merapihkan Quiver yang digendongnya.
"Yup, saat kita bertemu lagi, kita adalah musuh." Balas Zaki dengan santainya.
Melihat balasan Zaki, Cyra malah tersenyum lega lalu berbalik melompat menaiki sebuah ranting pohon. Dia terlihat seakan sudah terbiasa dengan kepribadian Happy-go-lucky milik Zaki. Padahal belum lebih dari satu setengah jam mereka bertemu, tapi Cyra terlihat seakan dia sudah mengenal Zaki lebih dari seminggu.
Yah, bukan berarti ini adalah hal yang aneh. Kepribadian Zaki yang seperti itulah yang membuatnya disukai dan mudah berteman dengan banyak orang.
Ini sudah hal yang lumrah bagiku dan Zaki.
"Kalian berdua, semoga beruntung." Ucapnya sambil melambaikan tangan kanannya sebelum melompat pergi meninggalkan kami berdua. Sosoknya lenyap ditelan hutan. Pakaian hijaunya seakan berkamuflase dengan dedaunan dan rumput di hutan. Rambut hijaunya, anak-anak panahnya, wajah sedihnya, semuanya telah pergi.
Cyra benar-benar pergi meninggalkanku dan Zaki.
Zaki membalas kepergian Cyra dengan membalas lambaian tangannya.
Namun aku,
Aku hanya terdiam diri. Tak membalas maupun bereaksi atas kepergian Cyra.
"Ini demi seseorang yang begitu penting bagiku...."
Kata-kata itu terus membekas di pikiranku. Aku tak bisa menyingkirkannya sekeras apapun usahaku.
Seakan kata-kata itu telah disablon di permukaan otakku. Aku masih bisa mendengar suaranya saat mengatakan kata-kata itu.
"Oi Dimo! Kenapa kau malah melamun? Nanti kau tertelan Safezone, lho!" Panggil Zaki yang sudah cukup jauh meninggalkanku. Panggilan itu langsung menarikku dari dalam lautan pikiranku.
Aku menengok ke arah dimana Cyra pergi untuk yang terakhir kalinya.
"Seseorang yang penting bagimu...."
[Andai aku masih memiliki orang seperti itu.]