Chereads / Start Point / Chapter 19 - Interlude 04 : Maya Morgayani

Chapter 19 - Interlude 04 : Maya Morgayani

"Assalamualaikum...

Maya, apa ibu sudah pulang?"

Suara salam lembutnya mengalir memasuki lorong pintu rumah. Tangannya mendorong pintu depan, menutupnya rapat lalu melepas sepatunya dan menaruhnya ke dalam rak.

Dia tapakkan kakinya di atas lantai kayu yang sudah tua. Begitu tua hingga dia bisa mendengar sedikit suara decitan ketika ditekkan.

Tubuhnya terasa lelah setelah beraktivitas di sekolah. Kalau bisa dia ingin sekali cepat-cepat menjatuhkan tubuhnya di atas kasur yang hangat nan lembut. Namun, dia tahu kalau dia takkan bisa memaafkan dirinya yang bermalas-malasan.

Selagi dia merapihkan tasnya, ia mendengar suara langkah kecil yang berasal dari tangga menuju lantai dua. Suara yang semakin kencang tiap detiknya itu seakan menyambut kehadirannya.

"Waalaikumsalam...

Tumben sekali Kak Leila pulang cepat." Balas adiknya, Maya.

Tubuhnya yang ramping dan ringan menuruni anak tangga seperti anak kecil. Wajahnya yang cantik selalu berbinar-binar, begitu kontras dengan sifat periang serta tomboinya.

Rambut oranyenya yang dikuncir kuda melambai kesana kemari tiap kali dia menuruni anak tangga. Ditambah lagi poni rambutnya yang gondrong hampir menutupi matanya. Pada kenyataannya, poni yang lebat itu diciptakan untuk menutupi dahinya yang lebar seperti lapangan golf.

Jarak usia antara Maya dengan kakaknya adalah dua tahun. Sementara kakaknya kelas satu SMA, Maya masihlah berada di kelas dua SMP.

Tapi meskipun begitu, tinggi keduanya hampir sama beberapa senti. Mungkin Maya akan membalap tinggi kakaknya dalam kurun satu atau dua tahun lagi.

Meski begitu Maya masih percaya kalau kakaknya berkali-kali jauh lebih cantik dan elegan daripada dirinya.

Bayangkan saja, dia adalah sosok gadis SMA yang sempurna. Rambut pendeknya, wajah naturalnya yang indah seperti model, kepribadiannya yang lembut dan ramah, serta tubuh idealnya membuat tiap perempuan yang berpapasan dengannya merasa iri.

Kakaknya adalah sosok yang sempurna. Bahkan bidadari sekalipun akan takluk atas keindahannya.

Itulah kesimpulan yang dimiliki Maya Morgayani tiap kali melihat sosok kakaknya.

"Ngomong-ngomong ibu belum pulang. Ibu mungkin baru pulang setengah jam lagi." Sambungnya membalas pertanyaan Kakaknya.

Ibunya adalah seorang single parent, karena itulah dia harus bekerja keras membiayai sekolah kedua putrinya. Tidak jarang bagi beliau untuk bekerja lembur hingga hampir dua puluh empat jam penuh.

Tapi di hari-hari biasa, beliau biasa pulang pukul empat atau lima sore.

"Oh ya kak, selagi kita menunggu ibu, kenapa kita tidak bermain—"

"Maaf Maya, tapi aku harus menyelesaikan PR-ku." Potong Leila dengan senyuman kecut.

Seakan sudah mengetahui apa yang akan Maya katakan. Dengan senyumannya Leila berjalan melintas melewati Maya menuju ke kamarnya.

(Lagi-lagi begini... Yah, seharusnya aku tidak terkejut.)

Entah sudah berapa kali Maya mengajukan ajakan itu kepada kakaknya. Namun hasilnya tetaplah sama, yaitu sebuah penolakan.

Maya sudah tahu kalau jawaban yang akan diterimanya selalu sama. Sebuah kegilaan apabila dia berharap akan hasil yang berbeda dengan melakukan hal yang sama lagi dan lagi.

Meskipun begitu, tak peduli berapa kalipun dia mendengarnya, rasanya masihlah sakit.

Dulu kakaknya tidak seperti ini.

Dulu dia adalah sosok yang tomboi namun elegan. Begitu riang, ramah dan juga bebas.

Seperti burung elang, sosoknya terbang bebas mengarungi langit biru. Tak peduli apakah itu hujan badai ataupun terik cerah. Sosoknya yang tak kenal takut selalu membuat Maya takjub.

Sungguh keberadaan yang berbanding terbalik dengan dirinya yang sekarang.

Dia adalah jagoan sekolah. Keberadaan yang bahkan ditakuti oleh preman sekolah. Para berandal dan murid-murid lainnya menghormatinya, sementara para guru risau atas keliarannya.

Reputasinya begitu menakutkan sehingga preman sekolah tetangga langsung mengirimkan surat permintaan maaf hanya karena kesalahan sepele yang tidak disengaja.

Namanya sanggup untuk menjatuhkan rasa takut pada lawannya. Mendengarnya saja cukup untuk membuat bulu kuduk merinding.

Tentunya Leila selalu berusaha menutupi fakta ini dari radar ibunya, yang dimana selalu berakhir dengan kegagalan.

Akibatnya ibunya mulai khawatir atas masa depan Leila dan sering melakukan diskusi dengan guru-guru di sekolahnya perilhal perilakunya dan apa cara terbaik untuk mendisiplinkannya.

Leila selalu memiliki sisi lembut terhadap keluarganya, jadi nasihat ibunya selalu dia terima dengan lapang dada. Berkat nasihat itu, perlahan tapi pasti sifat nakal dan liar Leila semakin menurun.

Tetapi mengubah seseorang tidak semudah itu. Dan Leila masih memiliki sifat tomboinya.

Masih khawatir, ibunya semakin melakukan konseling dengan guru sekolahnya dengan harapan untuk menjaga masa depan puterinya.

Sementara bagi Maya, situasi yang dilihatnya berbeda.

Karena bagi Maya, Leila adalah kakak yang dia hormati dan kagumi.

Tiap sore, sepulang sekolah kakaknya akan menghabiskan waktu bermain bersamanya. Permainan konsol, permainan komputer maupun permainan tradisional mereka mainkan tiap sorenya.

Mereka bermain tanpa kenal waktu, seakan dunia hanya milik mereka berdua.

Malang bagi Maya, karena kakaknya bukan hanya jagoan di dunia nyata, tetapi juga jagoan dalam dunia permainan.

Setiap hari, pertandingan antara keduanya berakhir dengan kekalahan Maya. Berapa kalipun Maya mengajukan pertandingan ulang, Leila selalu bisa mengalahkannya dalam kurun waktu kurang dari sepuluh menit.

Tapi Maya tak pernah merasa sedih, kesal ataupun putus asa dari kekalahan itu. Karena baginya, waktu dimana dia menghabiskan waktu bersama kakaknya adalah waktu yang paling menyenangkan dalam hidupnya.

Dia mengagumi kakaknya seperti anak ayam terhadap induknya.

Dia ingin sekali mengalahkan kakaknya. Meski hanya sekali.

Sang anak ayam yang meniru induknya.

Sebuah kebahagiaan sederhana yang menghangatkan. Cahaya di ujung lorong yang ingin dia raih dengan tangannya.

"Ka, kalau begitu. Lain kali..."

Maya berbalik, mencoba meraih tangan kakaknya yang sudah jauh berada di atasnya. Namun tak sampai.

Leila terhenti, lalu berbalik dengan senyuman lembut sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya.

Ya, dulu kakaknya bukanlah sosok perempuan sempurna seperti yang berdiri di hadapannya.

Semua ini dimulai saat kakaknya memijak kelas dua SMP. Saat itu nilai akademisnya benar-benar rendah hingga membuatnya hampir tak naik kelas.

Malamnya, Leila tidak bisa tidur. Jadi dia begadang di kamarnya hingga larut sekali.

Disaat dia hendak pergi ke kamar mandi, dia tidak sengaja mendengar isak tangis ibunya di ruang tamu. Itu adalah tangisan yang lembut, berat, tetapi hampir tak bersuara. Mungkin beliau tidak ingin kedua putrinya melihat dirinya dalam situasi seperti ini.

Tiap detiknya, suara tangis ibunya merobek dan menyayat hati Leila. Hatinya terasa sesak ketika menyaksikan kesedihan ibunya.

Detik itu pula, Leila tersadar atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Bagaimana dia telah melukai dan menyakiti ibunya selama ini. Bagaimana dia telah mengutuk masa depannya. Bagaimana dia telah membuat air mata menetes dari sosok yang telah membesarkannya.

Dan betapa menyesalnya dia. Beban ini, beban di hatinya yang terasa berat, seolah ada sebuah gembok besar yang telah mengunci hatinya.

Dia seharusnya tidak melakukan ini. Dia seharusnya tidak memilih jalan ini. Dia seharusnya tidak membuat ibunya menangis. Itulah pikirnya.

Ayah mereka meninggal karena sakit saat Leila berusia enam tahun. Sejak itu ibunya bekerja keras untuk membiayai sekolah dirinya dan adiknya.

Keluarga mereka adalah keluarga yang berkecukupan—tidak terlalu kaya maupun terlalu miskin.

Namun tetap saja, itu tak menutupi kenyataan kalau ibunya harus bekerja keras demi mereka berdua.

Akhirnya Leila sadar atas fakta itu—adalah sebuah kebohongan. Selama ini Leila sangat sadar atas fakta itu, dia sadar betul. Tetapi daripada menghadapinya, dia lebih memilih untuk membuang wajah.

Ini adalah kesalahannya. Semua ini terjadi karena dia menjadi seorang berandal, semua ini terjadi karena dia terlalu banyak bermain, semua ini terjadi karena dia tidak belajar ataupun memikirkan masa depannya.

Sebab itulah nilainya terjun bebas seperti air terjun.

Ini semua adalah buah hasil dari tindakannya yang ceroboh.

Dia menuai apa yang dia petik. Dan Leila pantas menerima karma ini.

Sejak saat itula, Leila mengurangi waktu bermain dan menghabiskan kebanyakan waktunya untuk belajar. Awalnya dia bermain satu atau dua kali dalam sebulan, tapi tak butuh waktu yang lama hingga dia sepenuhnya berhenti.

Dia memotong rambut panjangnya, mengikuti aktivitas sekolah, bergabung dalam klub dan kegiatan yang bisa mendorong itensitas belajarnya, hingga mengikuti lomba-lomba demi bisa mendapatkan beasiswa.

Perlahan terciptalah sosok Leila yang sempurna. Seorang perempuan yang ramah, sopan, cantik dan juga pintar. Sosok idaman semua orang.

Perempuan iri dan mengagumi sosoknya.

Laki-laki memujanya dan memandangnya seperti sosok bidadari.

Sementara Leila yang lama menghilang tanpa jejak. Tentunya orang-orang dari sekolah lamanya masih belum melupakan dirinya yang lama dan mereka masih menghormati Leila. Dan sosok baru Leila semakin menaruh rasa hormat pada mereka.

Sayangnya Maya tidak melihatnya seperti itu. Dia merasa sosok yang dikaguminya telah direnggut darinya. Seakan sosok kakaknya yang sudah ia kenal sejak kecil telah lenyap.

Dia takut kalau ini terus berlanjut, takkan ada lagi jalan kembali baginya menuju hari-hari itu.

Ini adalah perasaan egoisnya. Dan Maya tahu betul kalau salah baginya untuk menolak sosok kakaknya yang baru.

Di hari-hari setelah dia berhenti bermain bersama kakaknya, Maya mulai terbuka atas hobinya kepada teman-temannya di sekolah.

Akibatnya dia menjadi populer di kalangan anak laki-laki dan perempuan di kelasnya. Tidak jarang baginya untuk bermain bersama anak laki-laki, dan sering kali Maya menang di pertandingan antara mereka.

Dia disukai banyak temannya, permainan yang dipertandingkannya selalu bisa dimenangkan, dan nilai akademisnya selalu bagus.

Itu adalah kesenangan sesaat—kebahagiaan satu saat. Hanya sebuah ekstasi sementara yang pada akhirnya hanya meninggalkan perasaan hampa nan kopong.

Perasaan yang dirasakannya berbeda. Ini berbeda dibandingkan ketika dia bermain bersama kakaknya. Ini tidak semenyenangkan ketika dia bermain bersama kakaknya.

Jantungnya tidak berdegup sekencang ketika dia bermain bersama kakaknya.

Darahnya tidak mengalir sederas ketika dia berusaha mengalahkan kakaknya.

Hatinya tidak sehangat ketika dia bermain di sisinya.

Semuanya tidak terasa menyenangkan.

Sebab itulah, dia hanya ingin kembali ke hari-hari itu. Tak apa apabila dia bermain dengan kakaknya yang baru.

Walau begitu, dia bisa memaklumi keputusan kakaknya. Setidaknya harus bisa memakluminya.

Perasaan dilema itu hari demi hari semakin memenuhi pikirannya. Bak sirup yang terus menerus dituangkan ke dalam gelas kaca.

Berbeda dengan kakaknya, Maya tak pernah mendapat masalah dalam bidang akademis. Habisnya, dia adalah seorang yang pintar.

Mungkin bukan seorang jenius, tapi dia memiliki kecerdasan yang tinggi.

Dia selalu mendapat peringkat tinggi di kelasnya. Karena itulah, tidak masalah berapa banyak dia bermain game, itu takkan mengubah apapun.

Meskipun begitu, dengan segala kepintaran itu selalu jatuh selangkah di belakang ketika bermain melawan kakaknya.

Ada satu hal, satu hal yang tidak Maya mengerti saat melawan kakaknya. Di tiap mereka bertanding, Leila selalu bisa menebak isi pikiran Maya. Dalam satu cara atau lain, dia selalu bisa membalikan situasi menuju kemenangannya.

Maya sempat berpikir kalau itu mungkin saja intuisi seorang kakak terhadap adiknya. Namun hal itu terdengar terlalu manis untuk bisa menjadi kenyataan. Tanpa adanya bukti yang kuat, pikiran itu hanyalah sebuah spekulasi semata.

Dengan kata lain, Kakaknya masihlah seorang jagoan.

△▼△▼△▼△

"Apakah ada satu hal, satu hal yang bisa membuat kakak bermain bersamaku?"

Maya mengomel—bertanya kepada dirinya sendiri meski dia tahu kalau dia takkan bisa menjawabnya. Tangan kanannya memeluk dagu, wajahnya menunduk sementara tangan kirinya bersedekap menahan tangan kanannya.

Udara dingin menyengat tulangnya. Padahal dia sudah memakai jaket tebal, nampaknya itu saja takkan cukup untuk mengatasi dinginnya malam.

Langit biru gelap yang dihiasi bintang-bintang seperti donat yang ditaburi meises. Bulan purnama berdiri tegak di tengahnya, memantulkan cahaya mentari dengan penuh percaya diri.

Bila langit adalah donat dan bintang adalah meises, maka tidak salah lagi kalau rembulan adalah lubang di tengah donat.

Lampu jalan tak kalah terangnya menerangi jalan di hadapannya. Begitu terang sampai lampu-lampu dari toko dan warung di sisi jalan terlihat samar.

Suara cipratan air yang berasal dari genangan yang diinjaknya terasa nyaman di telinganya, bersaing dengan suara mobil dan motor yang melintas di jalan besar di sebelah jalan setapak yang ia lalui.

Meski matanya tak melihat lurus ke depan, Maya berusaha sebisa mungkin untuk tidak menabrak pejalan kaki yang melintasi jalan.

Sesekali dia bisa mendengar suara percakapan antara orang-orang yang dia lintasi, namun pikirannya terlalu sibuk untuk bisa memperdulikannya.

Maya terus berpikir, dan terus berpikir.

Bagaimana caranya agar kakaknya mau menemaninya bermain di jadwalnya yang sempit?

Meski hanya sekali saja, meski untuk yang terakhir kalinya. Selagi itu bisa memberikan kesan yang kuat, momen itu akan terus terukir di ingatannya.

Maya tahu kalau harapan ini egois dan kekanak-kanakan.

Tapi apabila ingatan itu bisa terus dikenang, dia tak apabila itu adalah permainan terakhirnya bersama kakaknya.

Tapi mau berapa kalipun dia berpikir...

"Aaah percuma saja! Aku tak tahu!" Eluh Maya, kesal pada dirinya sendiri.

Padahal dia berpikir kalau berjalan-jalan keluar rumah akan menjernihkan pikirannya, tapi kalau begini tak ada bedanya dengan ketika dirinya berada di dalam rumah.

"Apa sebaiknya aku menyerah saja....?" Gumamnya sedih.

Maya terdiam sejenak lalu menatap pantulan sosoknya di genangan air.

Untuk sesaat, dia hampir bisa melihat pantulan kakaknya. Penampilan mereka memang mirip, namun kepribadian mereka benar-benar berkebalikan.

Maya yang sekarang adalah sosok yang tercipta karena dirinya mengagumi kakaknya yang selalu bermain dengannya. Sedangkan Leila yang sekarang adalah sosok sempurna yang terbebas dari bayangannya masa lalunya.

Seperti namanya, Maya benar-benar palsu. Dia hanyalah sisa pantulan cermin yang dihasilkan oleh bayangan lama kakaknya.

Dan pantulan cermin takkan bisa bergerak maju tanpa mengikuti induknya.

"Leila...?"

Suara tegas dan berat tiba-tiba menyebut nama kakaknya. Itu adalah suara laki-laki. Didengar dari caranya menyapa, sepertinya dia mengenal kakaknya. Anehnya, suara itu jelas-jelas ditujukan kepadanya, bukan kepada kakaknya.

Perlahan Maya menengok penuh penasaran.

Setelah melihat wajah Maya dengan lebih jelas, Laki-laki yang memanggilnya itu terkejut lalu sedikit membuang pandangan seperti berpikir sejenak.

"Aah maaf, sepertinya aku salah orang. Kau mirip dengan teman sekelasku, karena itulah kupikir kalau kau adalah dia." Ujarnya.

Terlepas dari situasi yang canggung, dia bisa menyampaikan permintaan maafnya dengan lancar. Dan walau penampilannya terlihat seperti remaja sok asik yang suka mengikuti tren-tren hanya untuk bisa menjadi relevan, ternyata dia adalah orang yang sangat sopan.

Rambutnya cokelatnya gondrong hingga poninya hampir menutupi mata kirinya, matanya terlihat ramah dan wajahnya tak bisa dibilang tampan juga tak bisa dibilang jelek. Tingginya beberapa senti lebih tinggi daripada Maya, dilihat dari posturnya, tubuhnya lumayan berotot dan berisi. Sementara itu jaket bermotif hijau dan hitamnya sedikit mencolok, Maya rasa itu cocok untuk orang sepertinya.

"Tidak, tidak apa." Balas Maya menggelengkan kepalanya, lalu; "Anu, apakah Leila yang kau maksud adalah Leila Fitriyani?"

"Iya, apa kau mengenal Leila?" Tanyanya balik penuh semangat.

"Dia kakakku, itulah kenapa kau bisa salah kira kalau aku adalah dia." Maya tertawa kecil sambil mengusap punggung lehernya.

"Oh begitu, aku tak tahu kalau Leila memiliki adik perempuan." Dia tersenyum kecil sambil menggaruk pipinya dengan jari telunjuknya. "Kalau aku boleh tahu, apa yang kau lakukan di sini? Maksudku, bukankah berbahaya bila perempuan berjalan sendirian di malam hari?

Juga, sebelumnya aku melihatmu kesal sendiri, apa ada masalah?"

"Ah tidak, bukan apa-apa. Aku tidak ingin merepotkan teman kakak." Menahan dirinya, Maya langsung menolak.

"Tidak apa-apa. Aku tak keberatan sama sekali kok."

Dia tersenyum lembut nan ramah. Dari senyuman itu, Maya bisa tahu kalau dia berkata jujur.

Untuk sesaat Maya sempat berpikir bahwa tak apa-apa memberi tahunya.

Tetapi tetap saja, masalah yang Maya hadapi saat ini hanya antara dirinya dan kakaknya. Dia tak bisa melibatkan orang luar sepertinya.

"Sungguh, aku tak apa-apa'kok." Balas Maya lagi, mencoba meyakinkan pemuda itu. "Kalau kau bagaimana? Apa yang sedang kau lakukan malam-malam begini?" Mencoba mengalihkan topik, Maya membalikkan pertanyaan tadi kepada lawan biacaranya.

Untuk sesaat, lelaki tertunduk berpangku dagu seperti sedang memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan tadi. Lalu dia menepuk telapak tangan kirinya dengan kepalan tangan kanannya dengan ekspresi lega, caranya itu sekilas terlihat seperti seseorang yang baru saja mendapat ide di acara-acara komedi atau kartun kuno.

"Kalau aku.... bagaimana menjelaskannya ya...

Sebenarnya aku punya seorang teman—dia sudah seperti saudara bagiku, dia adalah seseorang yang menutup dirinya dari orang lain dan mulutnya juga pedas, dia sering membuat orang lain salah paham dan itu menyebabkan orang-orang di sekitarnya untuk enggan menemaninya.

Apalagi terkadang tingkahnya egois dan menyebalkan, tapi itu bukan karena dia orang jahat...." Pemuda itu terhenti sesaat dengan ekspresi memelas, lalu melanjutkan kalimatnya;

"...Dalam hatinya, sebenarnya dia takut apabila suatu hari nanti dia akan berakhir melukai teman-temannya—baik itu melukai perasaan mereka, atau yang lainnya. Buah dari tingkahnya itu adalah kenyataan kalau hanya akulah satu-satunya teman yang dia miliki.

Tingkahnya yang keras itulah yang menciptakan jarak antara dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Dia—terlalu keras pada dirinya sendiri.

Aku tahu kalau situasi tak bisa terus seperti ini. Karena itulah aku terus mengajaknya bermain dengan harapan kalau suatu hari nanti dia bisa lebih terbuka kepada orang lain.

Aku hanya bisa berharap kalau usahaku dapat membuka pintu hatinya, atau setidaknya membuatnya memberikan celah kecil di pintu itu. Ya, kuharap itu cukup untuk menebus dosaku." Lelaki itu sedikit tersenyum namun tatapan matanya terlihat agak sedih. Entah mengapa Maya bisa merasakan penyesalan hanya dengan melihat ekspresinya.

Begitu sedih, namun baik.

Hubungannya dengan kakaknya, lalu hubungan antara lelaki itu dan temannya—perbedaannya adalah, kepentingan antara kedua pihak.

Maya melakukan semua ini demi memenuhi egonya sendiri, sedangkan lelaki itu melakukannya demi temannya.

Dibandingkan dengan keinginannya yang egois, keinginan lelaki itu adalah sebuah keinginan yang dermawan. Sungguh bodoh baginya untuk membandingkan keduanya.

Karena mau dipikir berapa kalipun, tingkatan mereka benar-benar berbeda.

Bayangkan saja, dia pasti sudah melakukan ini dalam waktu yang lama. Melewati banyak penolakan dan percobaan, namun tak pernah berhenti dan terus melangkah maju.

Sedangkan Maya sudah putus asa hanya karena beberapa penolakan.

Sungguh menyedihkan dan patut ditertawakan.

Disaat Maya sedang termenung memikirkan tindakan bodohnya, sebuah pertanyaan muncul dalam benaknya.

Sebuah pertanyaan yang tidak seharusnya dia tanyakan. Namun bila dia tidak bertanya, mungkin dia akan menyesalinya nanti.

Maya memejamkan matanya dan menarik napas dalam-dalam. Dia kepalkan kedua tangannya—membulatkan tekadnya lalu membuka mulutnya.

"Hei.... Apa kau.... Apa kau pernah berpikir untuk menyerah?"

Itu adalah pertanyaan yang simpel. Tetapi Maya sadar bahwa di lubuk hatinya yang paling dalam, itu adalah pertanyaan yang ditujukan pada dirinya sendiri.

"Kenapa ya?" Lelaki itu menghela napas panjang. Dinginnya malam membuat Maya bisa melihat tiap hembusan napas yang keluar dari lelaki itu.

"Aku tak bisa. Mau bagaimanapun aku takkan bisa.

Dia adalah temanku dan sudah seperti saudara bagiku. Aku tak bisa diam saja saat melihatnya seperti itu." Dia menggosok punggung lehernya sembari menatap langit penuh bintang.

Setelah terdiam sesaat, dia kembali memejamkan matanya lalu menatap Maya dengan senyuman sedih. Terus melanjutkan;

"Dan ini adalah dosa yang harus kutanggung.

Aku, aku sudah tak mau lagi menjadi sosok yang hanya terdiam dan melihat semuanya terjadi."

Tiap kata yang baru saja diucapkannya begitu tajam dan kuat namun penuh dengan kesedihan yang mendalam. Suaranya yang bergetar dalam keheningan menunjukkan betapa berartinya kata-kata itu bagi sang pemuda. Bukti itu sudah lebih dari cukup bagi Maya untuk bisa mengetahui kalau dia mengucapkan itu dari lubuk hatinya yang paling dalam.

Seolah kalimat itu dia tujukan untuk menyemangati dirinya sendiri.

Tak ada yang bisa Maya katakan. Sesungguhnya dia terkagum akan sosok di hadapannya.

Maya sadar kalau dia bodoh karena pernah berpikir untuk menyerah. Pikirannya yang sempit telah membutakannya.

Namun sekarang semuanya berbeda. Setelah melihat sosok yang pantang menyerah seperti itu, keputusan Maya takkan pernah goyah lagi.

"Ah maaf, karena aku berbicara sendiri situasinya menjadi tegang." Memecah keheningan, dia menggaruk rambutnya dengan tawa kecil yang berusaha mencairkan suasana.

"Tidak apa, aku seharusnya berterima kasih." Maya sedikit bergeleng lalu tersenyum.

Pemuda itu hanya terdiam dengan wajahnya yang sedikit dimiringkan, terheran atas rasa terima kasih yang diutarakan Maya.

Mengabaikan ekspresi bingung laki-laki itu, Maya kembali membuka mulutnya dengan wajah penuh tekad;

"Ah, ngomong-ngomong aku harus pergi! Aku baru ingat kalau ada yang harus kulakukan!" Sambung Maya tergesa-gesa.

"Aah, iya. Hati-hati ya." Masih sedikit bingung, laki-laki itu membalas dengan lambaian tangannya.

"Iya!"

Maya mengangguk lalu bergegas pergi dari tempat itu.

Hembusan angin bisa dia rasakan meniup wajahnya selagi dia berlari. Jaket merahnya berkibar bak bendera karena begitu kencangnya angin yang meniup dirinya. Bahkan kausnya mengembung dan mengempis seiring langkah yang diambilnya.

Suara langkah kaki sesekali berpadu dengan suara cipratan-cipratan air yang diinjaknya.

Maya terus berlari melintasi tiap pejalan kaki. Begitu cepat hingga bisa menyaingi atlit lari profesional.

Dia tidak berlari tanpa tujuan dan tanpa arah. Dia tahu betul ke mana dia harus pergi.

Tujuannya adalah rumah.

Inilah keputusan yang dia ambil. Langkah penuh tekad yang telah diarunginya.

"Oh iya, kalau dipikir-pikir aku lupa menanyakan nama orang itu." Gumamnya.

Maya sedikit melirik ke belakang, namun sosok lelaki itu sudah lenyap ditelan kerumunan pejalan kaki.

Rambut gondrong berwarna cokelatnya juga jaket hijaunya yang mencolok telah tiada. Padahal Maya ingin melihat sosok yang telah memberinya semangat untuk yang terakhir kali.

Selanjutnya ketika dia bertemu lagi dengan orang itu, dia akan memberi rasa terima kasih yang pantas.

Oh iya, ketika saat itu tiba, dia harus memastikan untuk tidak lupa menanyakan namanya.

△▼△▼△▼△

Dengan cepat Maya membuka pintu kamarnya, setelah masuk dia langsung menyalakan lampu dan menghampiri rak-rak yang berisikan buku, komik dan kaset video game yang dia koleksi.

"Bukan, bukan ini!

Ini juga bukan!"

Satu persatu tangannya menjarah kaset-kaset video game miliknya. Tanpa dia sadari dia melempar tiap kaset yang telah dia periksa ke atas kasurnya hingga membuatnya berceceran di mana-mana.

Permainan yang dicarinya harus sesuatu yang spesial. Itu tidak boleh sesuatu yang dengan mudahnya dilupakan atau sesuatu yang sudah tua ditelan zaman.

Permainan itu harus menarik dan memiliki unsur unik yang pastinya dapat diukir sebagai kenangan yang tak terlupakan.

Tak menemukan apa yang dia cari, Maya langsung melompat menduduki kursi dan membuka laptop yang terletak di atas meja belajarnya.

Jari-jemarinya dengan jeli menekan tombol-tombol keyboard. Begitu cepat dan akurat, tak sekalipun dia menekan tombol yang salah. Seakan keyboard itu telah menjadi anggota tubuhnya sendiri. Selain itu dia menggeser mouse dan menarik scroll dengan begitu lihai.

"Ini dia!"

Jari-jemarinya terhenti setelah dia memutuskan kalau dia menemukan apa yang dicarinya. Hasil pencariannya cukup memuaskan, dengan begini Maya yakin kalau dia bisa mengajak kakaknya bermain sebuah permainan terakhir yang takkan pernah dilupakannya.

Start Point; Itulah permainan yang dia temukan setelah setengah jam berselancar di internet.

Dia menarik scroll ke bawah sembari menyusuri tiap kata dan baris yang tertulis di situs tersebut. Dengan cermat dia membacanya, dia tak mau melewati satu katapun. Dia terus membacanya hingga tanpa dia sadari dia sudah mempersempit jarak antara matanya dengan layar laptop.

Informasi sedetil apapun; lore, cara bermain, daftar kelas dan trailer ditelusurinya. Tak ada satupun informasi yang luput jeratan matanya.

Menurut informasi yang tertulis di situs resminya akan diadakan sebuah turnamen tertutup yang beranggotakan sembilan orang peserta. Turnamen ini merupakan sebuah turnamen pembuka sekaligus perayaan atas peluncuran game Start Point. Terlepas dari menang atau tidaknya, para peserta akan mendapatkan sebuah alat khusus yang disebut Proto Device. Informasi selebihnya akan diberitahu di lokasi turnamen.

Untuk mengikuti turnamen, peserta harus mendaftar melalui website resmi Start Point. Dari banyaknya pendaftar, sembilan orang yang beruntung akan terpilih sebagai peserta turnamen.

Permainan terobosan baru ini pasti bisa meninggalkan kesan yang membekas bagi dia dan kakaknya. Apalagi dengan hadiah sebesar itu, Maya yakin sekali kakaknya takkan pernah melupakan ini.

"Kalau begitu yang harus kulakukan hanya mendaftarkan diriku dan kakak'kan?" Maya bertanya kepada dirinya sendiri.

Keringat dingin mengalir turun dari dahinya.

Tak ada jalan kembali, ini antara lakukan atau tidak lakukan.

Dia akan mendaftarkan kakaknya tanpa sepengetahuannya. Bila kakaknya tahu, mungkin kakaknya akan membencinya.

Maya menggelengkan kepalanya—membuang jauh-jauh semua prasangka buruk dari pikirannya.

"Apa yang aku takutkan....?"

Sejak awal Maya sudah tahu kalau akan ada konsekuensi atas tindakannya.

Dan dia sudah memutuskan kalau dia takkan pernah mundur lagi. Dia sudah tak peduli apabila dia menerima karma sekalipun.

Perlahan dia menggenggam mouse, dia geser kursor mendekati tombol daftar lalu menekannya.

Dia menelan air liur yang menggenangi mulutnya lalu mengusap keringatnya.

Dengan ketetapan di hatinya, Maya mendaftar.

△▼△▼△▼△

Langkah kaki Maya tak bisa terhenti. Perasaan di hatinya yang gusar menunggu pesan pengumuman peserta tak kunjung padam. Sudah seharian penuh Maya menunggu momen-momen ini, baik saat di sekolah maupun di rumah. Dia bahkan sempat dimarahi guru karena tidak bisa fokus mengerjakan tugas di sekolah.

Namun saat momen itu sudah dekat, perasaan di hati Maya malah bercampur aduk.

Khawatir, cemas, takut, semua itu bercampur seperti bubur.

Saat Maya mendaftarkan kakaknya, dia menggunakan nomor telepon miliknya daripada milik kakaknya.

Kebetulan Maya mempunyai dua kartu SIM. Maya memanfaatkan itu dengan menggunakan nomor utamanya di akun miliknya dan nomor cadangannya di akun milik Kakaknya.

Dengan begini dia bisa tahu apakah mereka berdua berhasil mendaftar.

Dug, dug, dug dug.

Suara langkah kakinya yang tiada henti bertubrukan dengan lantai kayu mendominasi rumah. Suaranya begitu gaduh hingga bisa didengar dari depan kamarnya.

Suara detak jantungnya juga tak kalah keras dengan suara langkah kakinya.

Maya takkan terkejut bila suara ini membangunkan Kakak dan ibunya yang tertidur pulas di kamar sebelah.

Tingkah laku Maya bukannya tak beralasan.

Sekarang sudah hampir tengah malam.

Lima hari sebelum turnamen diadakan. Berdasarkan apa yang tertulis di situs Start Point, lima hari sebelum turnamen calon peserta akan mendapat pesan di e-mail mereka. Isi pesan tersebut akan menentukan apakan calon peserta akan lolos seleksi atau tidak.

Beberapa hari ini malah Maya tidak bisa tidur nyenyak karena terus dibayang-bayangi oleh perkara ini.

Hatinya juga masih belum sembuh sejak dia mengendap-endap ke kamar kakaknya untuk mencari Kartu Pelajar miliknya.

Kartu itu dibutuhkan untuk mendaftarkan kakaknya.

Ketika mendaftar peserta diwajibkan untuk mengirim foto Kartu Tanda Penduduk atau—untuk pelajar adalah Kartu Pelajar. Kartu ini nantinya akan berperan sebagai sumber identitas mereka.

Dan demi mencegah adanya eksploitasi sistem—contohnya adalah penciptaan akun ganda, Bum Corp. menciptakan sistem AI yang dimana sanggup menemukan akun dengan foto kartu identitas yang sama. Ketika AI tersebut menemukan akun dengan foto yang sama, mereka akan langsung menarik hak orang itu sebagai calon peserta dan memasukan alamat e-mail mereka ke dalam daftar hitam.

Disaat Maya membaca peraturan ini, keringat dingin langsung membanjiri tubuhnya.

Bagaimana bila mereka memasukkan Leila dan Maya ke dalam daftar hitam? Apalagi wajah Maya dan Leila begitu mirip.

Tetapi kekhawatiran itu langsung sirna ketika Maya membaca baris selanjutnya.

Selain foto Kartu Identitas, peserta juga diwajibkan untuk mengirim foto akta kelahiran mereka. Ini dilakukan agar mereka yang terlahir kembar juga dapat mendaftar sebagai calon peserta. Ini karena, sebelum menghapus hak dan memasukkan calon peserta ke dalam daftar hitam, AI akan memeriksa identitas tersebut di foto akta kelahiran mereka. Apabila di akta kelahiran terdaftar dua orang dengan identitas yang mirip, maka AI akan menganggap identitas tersebut sebagai dua identitas yang berbeda.

Dengan ini AI takkan salah menangkap identitas dua saudara yang bersedia menjadi calon peserta.

Setelah semua proses yang rumit itu, Maya akhirnya tiba pada momen ini.

Semua itu dia lakukan demi mencapai titik puncak ini.

Ting Ting!

Maya terdiam. Suara dering yang berasal dari smartphone miliknya yang tergeletak di atas meja belajarnya seakan mengikat sekujur tubuhnya. Kepalanya terasa berat, dia tak mampu sedikitpun menengok melirik smartphone-nya.

Itu suara pemberitahuan yang memberitahu adanya pesan baru di e-mail-nya.

Dia merasa takut, dia tidak tahu apakah kedua pesan ini merupakan berita baik atau berita buruk.

Perasaan gelisah yang menumpuk itu semakin tinggi seperti bukit.

Tangannya yang perlahan meraih smartphone gemetar. Maya bahkan hendak sedikit menarik tangannya menjauh dari smartphone sesaat setelah salah satu jarinya menyentuh benda itu.

"Ayo Maya, beranikan dirimu...." Dia bisikkan kata-kata itu, berusaha memberi keberanian pada dirinya sendiri.

Tangannya yang lemas menggenggam benda canggih itu, ibu jarinya perlahan mengusap layar—membuka kunci yang membatasi dirinya dari fasilitas smartphone.

Pelan-pelan Maya membuka pesan. Smartphone-nya memiliki fitur split screen, jadi dia bisa membuka kedua pesan sekaligus.

"Ini...."

Bagaimana dia harus menanggapi situasi ini....?

Apakah dia harus senang?

Ataukah bersedih?

Yang mana yang harus dia pilih...?

"Aku..."

Pesan yang masuk—berita yang telah tiba pada kedua e-mail-nya telah terungkap di hadapannya.

Apakah ini berita baik? Ataukah berita buruk? Maya tak bisa menjawab.

Calon Peserta,

Nama : Maya Morgayani.

Status : Maaf, Anda telah gagal terpilih sebagai peserta turnamen Start Point. Terima kasih karena sudah menjadi bagian dari event ini, silahkan coba lagi di kesempatan berikutnya.

Calon Peserta,

Nama : Leila Fitriyani.

Status : Selamat, Anda telah terpilih sebagai salah satu peserta turnamen Start Point. Kami akan segera mengirim tanda pengenal ke rumah Anda, alamat; Jl....

Tubuhnya yang lemas semakin lemas. Terutama kakinya, Maya langsung terjatuh berlutut lemas tak bisa menahan beban.

Dia bahkan tak sanggup membaca maupun melirik pesan tersebut.

Air mata jatuh membanjiri piyamanya. Air yang terasa hangat namun juga terasa dingin itu meresap ke dalam piyamanya sesaat setelah bersentuhan.

Berapa kalipun Maya mengusap air matanya tak kunjung terhenti.

Dadanya terasa sakit. Pikirannya yang sebelumnya bercampur aduk sekarang terasa kosong.

Maya tahu kalau ini mungkin saja terjadi, namun tetap saja.

Ternyata lebih sakit dari yang dia duga.

".... Aku gagal...."

Sosoknya menangis seperti seorang bayi tanpa malu sedikitpun. Dia cengkram piamanya sesekali, dia pandangi langit-langit sesekali, dua usap air matanya sesekali, namun semua itu tak bisa meredakan tangisannya.

"...Gagal...!"

Banyaknya perasaan yang mengalir di tiap tetesan air matanya tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Perasaan yang terus dibendungnya itu sudah tak bisa dia tahan lagi, tidak, dia sudah tak diizinkan untuk bisa membendungnya lagi.

Malam itu...

Maya terus menangis.

△▼△▼△▼△

Cahaya keemasan mentari sore dengan samarnya terpantul melalui layar smartphone yang digenggamnya.

Pukul tiga sore. Maya membaca jam yang terpampang di layar kunci smartphone nya. Tanpa Maya sadari waktu sekolah sudah berakhir, suara bel menandakan berakhirnya kegiatan sekolah di hari itu menggema di telinganya.

Begitu kencang, namun terasa samar.

Satu persatu murid berjalan pergi meninggalkan ruang kelas. Wajah mereka yang sebelumnya terlihat letih kembali ceria setelah mendengar suara bel. Seperti sihir, kondisi mereka yang letih seakan ter-reset kembali ke kondisi mereka saat mendatangi sekolah.

Penuh semangat masa muda yang membara.

Sayangnya hal itu tidak mempengaruhi Maya.

Setelah menangis semalaman, matanya terasa kering. Tidurnya juga tidak nyenyak, mengakibatkan munculnya beberapa lipatan kantung mata di wajahnya. Bila bercermin, Maya bisa melihat sosok panda. Saking letihnya, Maya sempat tertidur di tengah-tengah pelajaran.

"Maya, apa kau baik-baik saja? Seharian ini kau terlihat sangat lelah...." Tanya temannya yang duduk di bangku sebelah sembari merapihkan buku dan peralatan tulisnya kembali ke dalam tas.

"Y, Ya... Semalam aku hanya kurang tidur'kok."

Maya berbohong.

Seharian ini perasaan gelisah masih mengujaninya. Tiap kali dia melirik smartphone-nya dia selalu diingatkan oleh pesan kembar yang diterimanya.

Tiga hari telah berlalu sejak dia menerima pesan itu. Semalam sebuah pesan diterima smartphone-nya. Maya yakin pesan itu berisikan daftar peserta yang akan berpartisipasi dalam turnamen.

Kenapa Maya bilang "Yakin"? Itu karena Maya masih belum bisa memberanikan dirinya untuk membaca isi pesan itu.

Malah kalau dipikir-pikir, hari Maya sama sekali tidak menggunakan smartphone nya selain untuk melihat jam.

"Apa sebaiknya aku membeli jam tangan sungguhan saja ya...." Gumam Maya selagi mengayuh sepedahnya.

Kayuhannya tidak begitu cepat, namun juga tak begitu lambat. Dalam ukuran kecepatan, orang dewasa bisa menyusulnya hanya dengan berjalan santai. Sementara angin meniup lembut rambutnya dan suara gesekan rantai sepeda seperti alunan ninak bobo, Maya tenggelam dalam pikirannya.

Terlepas dari kata-katanya barusan, sesungguhnya Maya hanya berusaha mengalihkan pikirannya. Tetapi pada akhirnya kegelisahan yang mendiami pikirannya tak kunjung hilang.

Kegelisahan tiada ujung bak sebuah jurang tanpa dasar. Disaat Maya menatap langsung ke jurang itu, rasanya seperti jurang itu menatap balik ke arahnya.

Saat ini, hanya ada dua pilihan bagi Maya yang berdiri di tepi tebing.

Pilihan pertama; melompat ke dalam jurang.

Menyerah atas semua yang ada, pasrah dan melanjutkan hidup tanpa pernah bisa kembali memandang balik ke hari-hari dimana dia dan kakaknya bermain bersama.

Pilihan kedua; membuat sebuah jembatan untuk melintas melewati jurang.

Berusaha kembali mengajak kakaknya untuk sebuah permainan terakhir yang akan terus diingatnya meski harus memulai dari nol. Ini mungkin jalan yang akan sulit dan terjal, namun hasil akhirnya pasti takkan pernah Maya sesali.

Dua kemungkinan itu berenang-renang dalam alam bawah sadar Maya. Beradu satu sama lain seolah berusaha menunjukkan siapa yang lebih unggul.

Maya tak bisa memilih.

Mungkin dia menolak untuk memilih.

Pilihan pertama mungkin adalah pilihan yang bijak dan dewasa, namun Maya tahu kalau suatu hari dia akan menyesalinya.

Sementara pilihan kedua, mungkin bukanlah pilihan yang paling rasional. Selain itu pilihan ini adalah jalan penuh duri yang perlahan mungkin akan merusak Maya di tiap langkahnya. Tetapi hasil akhirnya sepadan dengan usaha yang dikeluarkan.

"Apa yang harus kulakukan...." Maya kembali bertanya pada dirinya.

Masalah yang dimiliki Maya tidak berhenti sama disitu.

Maya belum memberitahu Kakaknya perihal Start Point. Maya takut kalau dia memberitahu kakaknya, jarak antara keduanya akan semakin melebar.

"Apa yang harus kulakukan...?"

Namun bila dia tidak memberitahu kakaknya, maka tiket emas menuju pabrik cokelat Willy Wonka ini akan terbuang secara sia-sia.

Banyak orang yang mendaftar untuk bisa mengikuti pertandingan ini, menyia-nyiakan tiket ini sama dengan menginjak-injak harapan banyak orang. Itu sangat tidak tahu berterima kasih.

"Apa yang harus kulakukan....?"

Maya melirik tasnya. Lebih spesifiknya, pada kartu tanda pengenal milik Kakaknya yang dia terima tadi pagi.

Paginya dua hari yang lalu, sebuah paket tiba di depan rumahnya. Awalnya Leila ingin menjawab paket itu, tapi Maya langsung menyela dan memotongnya.

Baik saat itu ataupun sekarang, Maya masih belum siap memberitahu Kakaknya atas semua yang telah dilakukannya.

"Apa yang harus kulakukan....?"

Dia harus memberitahu Leila, tapi dia belum siap menerima kosekuensinya.

Membayangkan tatapan benci terpancar dari Kakaknya ditujukan kepadanya membuat hatinya terasa sesak.

Maya takut, sangat takut.

Dia tidak ingin dibenci. Dia tidak ingin hatinya terluka. Dia tidak ingin akhir yang tidak bahagia.

Hatinya sakit, tubuhnya gemetar, wajahnya kaku, pikirannya menumpul.

Dia merasa dirinya diujung tanduk.

"Apa yang harus kulakukan..."

Apa yang harus dilakukannya? Apa yang sebaiknya dia lakukan? Apa yang bisa dilakukannya? Apa yang tidak boleh dilakukannya? Apa yang boleh dilakukan? Apa yang mesti dilakukannya? Apa yang wajib dilakukannya? Apa dia memang melakukannya? Apa yang—

Matanya terbelalak. Semua masalah yang mendiaminya seakan tertiup angin selagi sepedahnya meluncur menuruni tanjakan tinggi. Kedua kakinya terhenti, membatu menahan kayuh.

Kencangnya angin membuat ikat rambutnya terlepas—rambut oranye nan panjangnya terkibar seperti bendera. Terbentang luas melambai-lambai tertiup angin.

Dia tak bisa melepaskan pandangannya dari pemandangan yang terbentang di hatapannya. Selama ini Maya tidak menyadarinya, dia tidak memperhatikan betapa indahnya pemandangan yang bisa ia petik. Padahal, dia melintas melalui tanjakan ini setiap pulang sekolah.

Seluruh Distrik Empat, terbentang sejauh mata memandang. Gedung-gedung pencakar langitnya memantulkan cahaya mentari keemasan, perumahannya yang padat dengan gang-gang kecilnya yang bernaung dibalik bayangan gedung pencakar langit. Sebuah taman kota yang berada di tengah distrik, bahkan dari jarak yang jauh sekalipun, Maya bisa melihat betapa banyaknya orang yang mengunjungi taman di sore hari.

Langit biru keemasan yang menaungi kota berpadu dengan cahaya mentari, burung-burung menari dengan bebasnya, tanpa halangan maupun hambatan.

Cahayanya membanjiri kota beserta hutan hijau lebat dan bukit tinggi yang mengelilingi Kota Nascitra.

Melihat pemandangan ini membuat Maya merasa damai. Seolah beban yang mendiami pundaknya beberapa menit yang lalu tidak pernah ada.

Dalam pikirannya yang damai, Maya teringat akan malam dimana dia bertemu dengan teman Kakaknya. Kata-katanya yang penuh keyakinan dan tekad.

Keinginan dalamnya untuk membantu temannya. Serta rasa sedih dibalik kata-katanya yang berani.

Semua itu masih terbayang jelas di pikirannya.

Seolah itu terjadi kemarin malam.

Seketika, sebuah pertanyaan mekar di benaknya yang paling dalam.

"Apa saat inipun dia juga masih berjuang....?"

Maya menarik napasnya.

....

....

△▼△▼△▼△

Maya membuka kedua matanya. Penglihatannya samar, namun cukup baginya untuk bisa menyadari sekitarnya.

Apa ini.... Darah....?

Tubuhnya terasa lemas, mungkin dikarenakan banyaknya darah yang keluar tubuhnya. Napasnya terasa sesak, dia hampir tak bisa bernapas. Tenggorokannya kering, terasa sakit tiap kali Maya berusaha mengeluarkan suaranya. Sendinya terasa kaku, tubuhnya tak memiliki tenaga untuk digerakkan.

Dinginnya aspal menyengat kulit.

Genangan darah yang membanjiri sekujur tubuhnya terasa hangat. Dirinya yang tak berdaya perlahan tenggelam dalam genangan itu.

Meskipun genangan itu hangat, tubuhnya tetap terasa dingin.

Maya mencoba bertanya darah milik siapakah itu, meskipun pada akhirnya dia tahu jawabannya.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Hal terakhir yang Maya ingat adalah dirinya yang menuruni tanjakan lalu berbelok, kejadian selanjutnya hanyalah potongan-potongan blur. Namun Maya ingat kalau ada mobil yang menabraknya.

Beberapa tulangnya patah, diantaranya adalah tulang lengan kirinya, kaki kanannya dan juga tulang rusuknya.

Lebih parah lagi, tulang rusuknya yang patah merobek kulitnya, mengungkap daging dan otot merah bersimbah darah. Sobekan itu mengakibatkan pendarahan yang cukup parah.

Terasa sakit, seakan sekujur tubuhnya dibakar oleh kobaran api yang berasal langsung dari neraka. Menggerakan jari yang terasa seperti tertusuk serpihan-serpihan jarum sudah lebih cukup bagi Maya untuk membuatnya menjerit kesakitan.

Tidak, bahkan saat ini Maya sama sekali tak mempunyai tenaga untuk menjerit. Itu hanya akan membuat tenggorokannya memuntahkan lebih banyak darah.

Sakit, sakit. Ingin Maya menangis, namun matanya masihlah terasa kering. Rongga mulutnya dipenuhi rasa yang berasal dari darah yang keluar diasaat Maya terbatuk darah.

Kepalanya terasa pusing, mungkin karena adanya bocor. Pendengarannya mati rasa, meskipun orang-orang yang menghampirinya bertanya-tanya dan mencari bantuan deminya, yang bisa Maya dengan hanyalah dengungan kencang.

Ada yang berusaha mengobati luka Maya, ada yang berusaha menelpon ambulan, ada juga yang mencoba mencari tahu identitas Maya demi menghubungi keluarganya.

Sepedahnya yang ikut tertabrak bersama dirinya bisa dia lihat di ujung matanya. Rodanya bengkok karena tertabrak mobil, gagangnya terlepas karena patah sementara rantainya berserakan di mana-mana.

Apabila dia meminta tolong sekalipun, dia sudah tahu kalau tidak ada suara yang akan keluar dari tenggorokannya.

Apa aku akan mati...?

Pertanyaan itu dengan mudahnya terpikir olehnya.

Penglihatannya berangsur-angsur semakin memudar. Kesadarannya seakan menolak untuk menerima kenyataan ini. Disaat yang samar itu, Maya melihat smartphone nya yang tergeletak di atas aspal. Jarak antara tubuhnya dan smartphone-nya hanya beberapa senti hingga membuatnya bisa melihat benda itu dengan jelas.

Layarnya penuh retakan dan beberapa sisi casing nya patah, namun ajaibnya benda itu masih menyala seakan tampilan luarnya hanyalah topeng belaka.

Pukul empat sore lewat lima menit.

Baca Maya terhadap jam elektronik yang tertulis di layar smartphone nya.

Matanya terasa berat. Pikirannya sudah tak memiliki tenaga untuk bisa mempertahankan kesadarannya lebih lama lagi. Seberapa keraspun Maya berusaha, perasaan kantuk itu tak kunjung menghilang.

Saat Maya memejamkan matanya, sosok yang terbayang di hadapannya adalah Ibu dan Kakaknya. Dua sosok yang begitu berarti baginya, merekalah segalanya bagi Maya.

Dia bertanya-tanya dengan apa yang sedang mereka lakukan saat ini.

Dari lubuk hatinya yang paling dalam, Maya berharap mereka baik-baik saja.

△▼△▼△▼△

Leila berlari, kedua kakinya dia gerakkan sekuat tenaga melintasi lantai putih rumah sakit. Dikarenakan jarak yang ditempuh, kedua kakinya terasa sakit dan mati rasa, tetapi Leila tak punya waktu untuk berbelas kasih pada dirinya sendiri.

Pendingin ruangan tak sanggup menghilangkan keringat dingin yang terus mengalir menuruni dahinya. Napasnya tak beraturan, sesak dan kering. Rasanya seolah paru-parunya mengkerut dan bisa lepas kapan saja.

Dua puluh menit yang lalu, Leila mendapat sebuah telepon yang berasal dari ibunya. Awalnya dia senang dan menyambut telepon itu dengan lapang dada, tapi setelah mendengar berita buruk dibalik panggilan telepon itu, seluruh perasaan senangnya terpecah belah seperti kaca.

Dan dia harus berjalan di atas serpihan kaca itu, menahan tiap serpihan yang melukai dan merobek kulit kakinya.

"Ruang dua puluh empat..." Matanya melirik ke kanan dan ke kiri, memindai tiap nomor dari pintu ruangan yang dilintasinya.

"….!"

Dia menemukannya.

Leila menghampiri sebuah pintu ruangan yang terletak di ujung lorong. Suara kakinya menggema di dalam lorong tersebut, terdengar hingga dalam ruang rawat inap.

Dengan cepat tangannya meraih kenop pintu dan menggesernya sekuat tenaga. Suara pintu yang bertubrukan dengan sisi tembok menggema hingga di seluruh lorong.

Di balik pintu tersebut, terbentang sebuah ruangan rawat inap yang serba putih. Baik tembok, lantai, garden juga plafon semuanya berwarna putih. Terdapat dua kasur dalam ruangan itu dan tiap kasur dipisahkan oleh masing-masing tirai hijau yang bisa ditarik mengelilingi kasur. Jendela membentang lebar di sisi tembok, menyajikan pemandangan gunung dan perumahan yang membuat siapapun merasa damai saat melihat pemandangan tersebut.

Di ruangan itu hanya terdapat satu pasien, yaitu adiknya.

Ibunya duduk di sisi putrinya yang terbaring lemas di atas kasur. Wajahnya terlihat begitu lelah, namun itu tak menutupi fakta bahwa dia begitu khawatir atas kondisi Maya. Matanya berair dan pipinya terlihat basah seperti baru saja diusap.

Beliau pasti mengusap air matanya Ketika mendengar suara Langkah kaki Leila. Dia tak ingin membuat putri sulungnya ikut tenggelam dalam kesedihan.

Kedua tangannya menggenggam tangan kanan Maya dengan erat, begitu erat seolah tangannya akan terlepas dari bahunya bila ditarik paksa.

Rambut dan pakaiannya yang berantakan menunjukkan bahwa dia langsung bergegas kemari setelah mendengar berita kalau Maya mengalami kecelakaan. Kantung mata yang berlipat-lipat akibat kurangnya tidur membuat penampilannya semakin berantakan.

"Maaf aku terlambat, bagaimana kondisi Maya?" Tanya Leila menghampiri ibunya.

Berkat lalu lintas yang padat, Leila terpaksa datang lebih lambat dari yang seharusnya. Padahal ibunya telah tiba hamper setengah jam yang lalu.

"Saat ini kondisinya telah stabil. Dokter berhasil menjahit sobekan akibat tulang rusuknya yang patah, meskipun begitu kondisinya sekarang masih...." Dia tak sanggup melanjutkan kata-katanya.

Tiap kata yang dikeluarkannya membuatnya tak bisa menahan tangis. Padahal beliau sudah berusaha menahannya sekuat tenaga, namun percuma saja. Melihat putrinya dalam kondisi seperti ini benar-benar menyayat hatinya.

Leila bisa memahami perasaan ibunya. Dia sangat amat mengerti perasaan ibunya.

Kondisi Maya begitu nahas, dengan lengan kiri dan kaki kanannya yang harus di-gips, area sekitar perut hingga dada dan kepalanya penuh perban seperti mumi. Selain itu, infus disuntikan pada tubuhnya di mana-mana.

Lengan kiri dan kaki kanannya patah, tulang rusuknya yang patah merobek kulitnya dan kepalanya bocor. Sepedahnya juga hancur akibat ditabrak mobil. Sungguh musibah yang amat sangat tragis untuk seorang remaja perempuan yang masih dalam masa pertumbuhan seperti Maya.

Leila tak tahu harus berkata apa atas kondisi adiknya. Dia hanya bisa terdiam, merenungi nasip malang adiknya.

"Ibu juga harus istirahat, kondisi ibu'kan sedang tidak sehat." Leila membisikkan kata-kata lembut itu pada ibunya.

Dia lalu mengambil sebuah kursi dan duduk di sebelahnya. Setelah itu dia melepas jaketnya lalu menghangatkan tubuh ibunya dengan menggunakan jaket tersebut.

"Tidak apa-apa. Yang lebih penting saat ini adalah adikmu." Tangan Ibunya yang memeluk tangan Maya semakin erat.

"Untuk saat ini aku yang akan menjaga Maya. Jadi ibu tenang saja dan istirahatlah di rumah." Leila memaksa.

Ibunya terdiam memejamkan matanya sesaat. Lalu dia melempaskan genggamannya dari tangan Maya.

"Baiklah, Ibu akan istirahat di rumah." Setelah menunjukkan sedikit keraguan, beliau melepas jaket Leila dan mengembalikannya.

Setelah itu dia berdiri, mengelus rambut Maya dengan lembut lalu mengecup keningnya. Beliau mengambil tasnya dan tas Maya lalu berjalan menuju pintu keluar.

Tetapi ibunya berhenti sebelum dia sempat menggeser pintu. Dia menengok ke arah Leila lalu berkata;

"Nanti malam ibu akan kembali, Kakak juga jangan maksain diri ya...." Ujarnya lembut.

"Mmm..." Balas Leila mengangguk.

Dengan balasan dari Leila, ibunya pun meninggalkan ruangan rawat inap.

Leila akhirnya sendiri.

Dia akhirnya bisa menghapus senyum sok kuat yang dia tunjukkan pada Ibunya. Leila tak ingin membuat Ibunya melihat kedua putrinya dengan sedih, karena itulah dia memaksakan diri agar tetap tersenyum di hadapan Ibunya.

Namun, di hati kecilnya yang paling dalam....

Leila tak bisa menahan tangisannya. Dia menggenggam erat tangan Maya dan membenamkan wajahnya dalam tangis.

Air mata hangat berjatuhan membasahi tangan dan selimut yang berada di bawahnya.

Dadanya terasa sakit. Mau berapa kalipun Leila menahan rasa sakit itu, rasa perihnya semakin menjadi.

Perasaan yang tak terhentikan itu menyisakan sebuah lubang—sebuah lubang besar pada bendungan yang menahan air matanya selama ini.

Sebuah lubang yang mungkin takkan bisa ditutup kembali.

△▼△▼△▼△

Keesokan harinya.

Melangkahkan kakinya, Leila berjalan keluar dari dalam minimarket. Menemani langkahnya, suara pintu otomatis yang bergeser menutup berpadu dengan suara pegawai minimarket yang berterima kasih atas pelanggan yang baru saja berbelanja di toko mereka.

"Segini pasti cukup." Leila mengangkat kantung pelastik berisikan roti, mie gelas dan cemilan-cemilan lainnya untuk menemaninya yang hendak akan menginap di rumah sakit menemani adiknya.

Inginnya sih dia dan Ibunya menginap bersama di rumah sakit, namun Ibunya tetap harus bekerja demi menutupi biaya rumah sakit Maya. Leila rasa itulah salah satu sisi buruk dari menjadi single parent.

Disaat Leila hendak berjalan pergi, dia tak sengaja melihat sepasang murid SMA yang berjalan melintasinya.

Keduanya berbincang-bincang, terlihat menikmati perjalanan pulang yang ditempuh keduanya Bersama.

Melihat mereka mengingatkan Leila pada kebersamaan yang dirasakannya beberapa tahun yang lalu, dimana Leila mengantar pulang bersama Maya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

Itu adalah perjalanan biasa yang Leila lalui tiap harinya, keduanya bercanda dan berbincang sepanjang perjalanan, sesekali membahas bagaimana keseharian Maya di sekolah.

Tak pernah sekalipun Leila menyangka momen kecil itu akan berubah menjadi sesuatu yang sangat berkesan di hatinya.

Merelakan kenangan itu, Leila mengangkat tangan kirinya—memeriksa waktu di jam tangannya.

Sekarang pukul setengah empat sore. Sudah sepatutnya Leila melihat murid-murid SMA berlalu lalang di jam seperti ini. Tetapi seharian menemani Maya di ruang rawat inapnya membuat Leila lupa waktu.

Untungnya, sekolahnya memberinya izin untuk absen selama beberapa hari. Yah, walaupun dia tetap harus menyusul ketertinggalannya dalam bidang akademis ketika kembali bersekolah nanti.

Itu adalah itu, dan bisa dipikirkan nanti. Leila tidak ingin membuang lebih banyak waktu melamun, dia harus sesegera mungkin kembali.

"Leila?"

Suara laki-laki menyambar telinganya. Entah bagaimana suara itu tidak terdengar asing.

Penuh penasaran, Leila menolehkan wajahnya mengikuti suara yang memanggilnya.

"Ah, Zakaria...."

Zakaria membalas Leila dengan senyuman dan lambaian.

Pemuda itu adalah Zakaria Maulana, teman sekelas Leila. Rambut cokelatnya yang gondrong hampir menutupi mata kirinya, sekilas bentuk rambutnya terlihat seperti durian. Kulit sawo matengnya disinari mentari sore. Tinggi badannya tidak berbeda jauh dengan Leila, dan tubuhnya lumayan berisi.

Sama seperti pelajar yang barusaja melintas, Zakaria masih mengenakan seragam sekolahnya, lengkap dengan atribut-atribut yang melengkapi seragamnya. Tasnya juga masih dia gendong di punggungnya. Jelas-jelas kalau dia baru saja pulang dari sekolah.

"Bagaimana kondisi adikmu?" Tanyanya.

Leila sedikit tertegun. Kabar mengenai adiknya yang mengalami kecelakaan pasti telah diumumkan oleh wali kelasnya. Setelah itu, Leila menjawab dengan lembut.

"Luka dari kecelakaannya benar-benar parah. Dia mungkin harus dirawat inap selama lebih dari satu bulan."

"Sebenarnya beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan adikmu. Saat itu dia terlihat sedikit murung, namun aku bisa tahu kalau biasanya dia orang yang ceria.

Aku sungguh tak pernah berpikir kalau hal buruk seperti ini bisa menimpanya...." Zakaria tertunduk. Dia memalingkan pandangannya, alisnya berkerut dan kata-kata yang dikeluarnya terdengar begitu lembut namun juga begitu sedih.

Leila tak bisa berkata-kata. Yang bisa dia lakukan hanyalah meremas bagian lengan dari kemeja yang dikenakannya.

"Oh ya, ini mungkin tak seberapa, tapi...—Ibu Wati memiliki ide untuk mengumpulkan uang sumbangan demi membantu membayar biaya rumah sakit adikmu. Semuanya setuju dengan ide ini dan semoga uangnya bisa tiba akhir minggu ini."

Menyebut nama dari ibu wali kelas yang bertanggung jawab atas kelas mereka, Zakaria mengutarakan ide sumbangan ini. Cara dia menyampaikan sangatlah tulus, senyuman kecil penuh harapan terpercik di wajahnya.

Kedua mata Leila melebar, alisnya terangkat, bibir tipisnya terhenti dengan sedikit terbuka, dan tubuhnya membeku seperti patung.

Itu adalah berita yang sangat bagus. Sungguh, Leila tidak mengada-ngada. Ini adalah bantuan besar yang tidak pernah Leila duga akan datang di waktu yang gelap ini. Mustahil baginya untuk menolak bantuan ini.

"Te, terima kasih banyak! Sungguh! Aku—aku tidak tahu bagaimana aku harus mengutarakan betapa berterima kasihnya...—"

Leila tidak tahu bagaimana dia harus membalas kebaikan semua teman-temannya. Ini adalah hutang besar yang takkan bisa dia lupakan dalam hidupnya.

Setelah terhenti sejenak, Leila menarik napas dalam dan menenangkan hatinya.

Lalu, tatapannya melembut bersama dengan mekarnya senyuman lembut nan tulus di wajahnya. Dengan itu, Leila mengutarakan perasaan hangat yang tumbuh di hatinya;

"Terima kasih banyak, aku sungguh berhutang pada kalian semua. Aku takkan melupakan kebaikan ini. Sekali lagi, terima kasih banyak.

Tolong sampaikan itu pada semuanya."

Membalas perasaan Leila, Zakaria memasang senyuman lebar dengan anggukan lembut.

"Akan kusampaikan itu, tiap kata-katanya tanpa terkecuali."

Dengan kesimpulan itu, Zakaria hendak berpamitan dengan Leila.

Leila pun, tidak bisa membuat adiknya menunggu lebih lama lagi, jadi dia juga sudah siap untuk berpamitan.

Tapi—

Zakaria menghentikan tubuhnya. Padahal satu detik yang lalu dia sudah bersiap untuk berpisah dengan Leila dan pulang ke rumahnya.

Gestur itu disadari oleh Leila, tanpa dia sadari dia ikut menghentikan tubuhnya.

Menyadari Leila yang terhenti, Zakaria membalik tubuhnya dan kembali bertatapan dengan Leila.

"Aa, aku hampir lupa—Sebenarnya ada satu hal lagi yang ingin kukatakan."

Leila memiringkan kepalanya sedikit penuh tanya, seolah ada tanda tanya yang tumbuh di atas kepalanya.

Melihatnya sedikit membuat Zakaria tergelitik, tapi dia mengabaikan perasaan itu dan melanjutkan niatannya untuk mengutarakan apa yang ada di pikirannya.

"Untuk saat ini... aku rasa sebaiknya kau lebih memprioritaskan kesehatan adikmu daripada memaksakan diri mengikuti turnamen."

Huh? Turnamen? Apa yang Zakaria bicarakan?

Leila terheran-heran.

Wajahnya terdongkak. Dia sama sekali tidak mengerti maksud perkataan Zakaria.

"Um... Turnamen? Turnamen apa?" Dengan kikuk Leila bertanya.

Ekspresinya terlihat begitu polos, mata bundarnya menatap langsung Zakaria dengan tatapan penuh pertanyaan.

Dengan cara Leila bereaksi dan kata-kata yang diutarakannya, Zakaria tak punya pilihan lain selain ikut terbawa arus bingung. Dirinya seperti ranting yang tiba-tiba dilemparkan ke dalam sungai dan terpaksa harus terbawa hanyut mengikuti aliran sungai.

Matanya terbelalak, pundaknya ditarik ke atas dan wajahnya yang sebelumnya tertunduk sontak mengarah langsung ke Leila.

"Eh?! 'Turnamen apa?'— Bukankah kau mendaftar....?!"

Leila dengan polos dan datarnya menggeleng.

Jawaban itu semakin membuat Zakaria terpukul, matanya semakin terbelalak seakan mau keluar dari rongganya.

Sedikit menahan diri, dia lalu menggelengkan kepalanya.

"Ini aneh, habisnya namamu tertulis dalam pesan ini...."

Lalu dia mengambil smartphone yang dia simpan di kantung kanan celananya dan membuka sebuah pesan. Dia hampiri Leila untuk menunjukkan isi pesan tersebut dan menjelaskan dari mana asalnya pesan itu.

Berdasarkan apa yang Zakaria jelaskan, itu adalah sebuah pesan yang dikirim oleh perusahaan permainan Bum Corp.. Isi dari pesan itu adalah daftar nama individual yang terpilih sebagai peserta turnamen dari permainan yang berjudul Start Point.

Dan nama Leila tercantum sebagai salah satu individu yang terpilih sebagai peserta turnamen itu.

Anehnya, pesan itu terpotong dan berhenti pada namanya saja.

Leila termenung. Perasaan tak nyaman yang bersemayam di hatinya semakin membesar.

Ini membuatnya teringat akan malam beberapa hari yang lalu.

Waktu itu lewat tengah malam.

Leila yang baru saja kembali dari kamar mandi mendengar suara isak tangis. Suara itu semakin kencang dan semakin kencang selagi dia menanamkan akarnya di lantai dua.

Dan puncak dimana suara itu terdengar paling kencang adalah ketika dia berdiri di depan kamar Maya.

Itu merupakan sebuah tangisan berat penuh keputusasaan di tiap tetesan yang jatuh.

Suara tangisan itu menghipnotisnya seperti Medusa. Dia hanya terdiam membatu mendengar suara tangisan itu di depan pintu kamar Maya.

Tak sekalipun tangannya berani menyentuh kenop, membuka pintu ataupun mengetuk pintu. Dia terlalu takut untuk menanyakan alasan mengapa adiknya menangis.

Hatinya terasa begitu sakit. Tanpa menanyakan alasannya, Leila memiliki perasaan kalau dirinyalah penyebab dibalik isak tangis tersebut. Dia takut kalau perasaan yang dirasakannya terbukti benar.

"....!

...Mungkinkah...."

Tanpa sekalipun berpamitan, Leila langsung berlari meninggalkan Zakaria.

Tubuhnya berlari mengikuti intuisinya. Arah yang ditempuhnya akan menuntunnya menuju rumah.

Setelah tiba, dia langsung beranjak berlari ke kamar Maya yang berada di lantai dua. Tak sekalipun ada waktu baginya untuk menarik napas.

Leila beruntung karena kamar adiknya tidak dikunci.

Dia nyalakan lampu kamar lalu mengedarkan pandangannya.

Benda yang dicarinya adalah tas milik Maya, lebih tepatnya benda yang berada di dalam tas tersebut. Kemarin malam Ibunya berkata kalau beliau menaruh tas tersebut di dalam kamar Maya, namun beliau tidak memberitahu rinciannya.

Beliau juga mengatakan kalau benda itu masih bisa berfungsi walau banyak retakan di layarnya.

"Ketemu....!"

Tas tersebut tergeletak bersandar pada sisi meja belajar. Kondisinya tak kalah nahas; rel sletingnya rusak, terdapat banyak sobekan di sisi kanan tas dan noda darah yang sudah meresap ke dalam permukaan tas.

Dikarenakan kesibukannya, Ibunya belum sempat membuang atau bahkan mengeluarkan buku-buku serta peralatan tulis dan belajar lainnya dari dalam tas Maya. Sebab itulah Leila yakin kalau benda itu juga masih berada di dalamnya.

Setelah menghampiri tas itu, Leila membukanya dengan paksa. Dia bisa merasakan jarinya bersentuhan dengan noda darah kering yang menempel pada rel sleting tas itu.

Lalu tanpa basa-basi tangannya langsung menjarah isi tas tersebut, memilah benda-benda yang tidak dia inginkan demi mencari satu benda khusus.

"Di mana—Bukan ini, bukan itu juga, tidak ada di sini, di sini juga nihil...—...!

Akhirnya...!"

Dia menarik keluar benda berbentuk persegi panjang tersebut dari dalam tas.

Benda itu adalah smartphone milik Maya. Meski layarnya penuh dengan retakan, beberapa bagian di layarnya masih memungkinkan untuk dibaca.

Dan bila dugaan Leila memang benar, maka smartphone ini memiliki pesan yang sama dengan pesan yang dimiliki Zakaria.

"Pesannya..."

Setelah menyalakan benda itu, Leila langsung membuka kuncinya dan memeriksa isi pesan yang ada. Benar saja, terdapat pesan yang sama dengan yang dimiliki Zakaria pada SIM kedua.

Meski sempat menahan diri, Leila membuka pesan tersebut.

Dia tidak bisa membaca isi awal pesan dikarenakan layar smartphone yang penuh retakan. Yang dia bisa baca hanyalah teks lanjutan, tetapi isinya tidak sepenuhnya Leila pahami karena kurangnya konteks untuk mendukungnya.

Tetapi, ceritanya berbeda apabila Leila bisa menemukan daftar yang sama seperti apa yang tercantum di smartphone milik Zakaria.

Perlahan ibu jarinya mendorong layar turun. Tiap kali dia menggerakan ibu jarinya, detak jantungnya semakin berdegup kencang. Berbalap-balapan dengan jarum jam kecil di dinding.

Deg deg, deg deg.....

Semakin kencang jantungnya berdetak, semakin kuat firasatnya.

Padahal yang harus dia lakukan hanyalah mengusap layar sehingga membuatnya berpindah ke bagian bawah pesan. Namun tangannya gemetar kasar sementara ibu jarinya terasa semakin berat dan kaku.

Rasa lelah yang membebani tubuhnya setelah berlari maraton menuju rumah ini tak ada apa-apanya dibanding beratnya firasat buruk yang menghantui pikirannya.

Keputusan yang akan diambilnya adalah lakukan atau tidak sama sekali.

Leila menggelengkan kepalanya—membuang firasat buruk yang meracuni pikirannya.

Dia paksakan ibu jarinya mengusap layar ke atas—membuat isi pesan yang berada di bawah akirnya dalam jangkauan matanya.

Firasat buruk Leila benar.

"Leila Fitriyani...."

Matanya tidak membodohinya. Tulisan ini, potongan-potongan piksel yang menyatu menjadi satu kesatuan membentuk tulisan ini tidaklah bohong. Berapa kalipun dia mengedipkan matanya, hasil yang dijangkau oleh pantulan matanya takkan berubah.

Inilah kenyataan.

"Jadi.... semua yang telah terjadi kepada Maya...."

Adalah kesalahannya.

Semuanya masuk akal. Bagaimana Leila bisa menemukan kartu pelajarnya di atas meja belajarnya, mengapa Maya menangis di malam itu, dan mengapa pesan ini di terima di kartu SIM kedua.

Karena dirinya yang tidak menyisihkan waktu—karena dirinya yang tidak memiliki waktu untuk dihabiskan bersama adiknya. Karena dirinya yang terlalu fokus atas apa yang ada di hadapannya dan lupa untuk menengok ke balakang—

Ini semua terjadi. Semua musibah ini, disebabkan olehnya.

Seperti sebuah domino.

Dikarenakan Leila yang menolak untuk meluangkan waktu bersama Maya, Maya yang putus asa terus mencari cara agar dirinya bisa bermain bersama dengan kakaknya meski hanya sekali saja. Meski itu adalah permainan terakhir yang bisa dia mainkan bersama kakaknya, Maya terus berusaha.

Pada akhirnya Maya menemukan permainan ini—Start Point. Dalam usahanya untuk menciptakan kenangan tak terlupakan, dia mendaftarkan dirinya dan Kakaknya dengan harapan bahwa keduanya dapat lolos audisi dan menjadi peserta.

Seharusnya begitu, namun malangnya takdir berkata lain.

Satu-satunya orang yang terpilih untuk menjadi peserta adalah Leila, kakak kesayangannya.

Inilah alasan mengapa malam itu Maya menangis.

Beban pikiran inilah yang menyebabkan Maya untuk melamun sepanjang perjalanan dan menjadi akar tragedi yang menimpanya.

Dan siapa yang menanam akar tersebut? Jawabannya adalah Leila.

"Ini salahku...."

Matanya terasa basah, berkaca-kaca, bila dia lengah maka air matanya akan membanjiri kamar ini.

Hatinya terasa begitu perih.

Leila duduk bersandar di sisi meja, memeluk lututnya dengan wajah dibenamkan. Smartphone adiknya masih bersarang di genggaman tangannya.

Bruk...

Selagi Leila bersandar, tas milik Maya yang ditaruh di sampingnya terjatuh. Dari dalam tas tersebut keluar buku-buku serta alat tulis berupa pensil, pulpen dan sebagainya. Merasa bertanggung jawab, Leila hendak memasukkan kembali buku dan alat tulis itu ke dalam tas adiknya, sampai—

Dia menemukan sebuah kartu pengenal berisi identitas miliknya.

Kartu itu juga bisa dikalungkan.

Tangannya meraih benda itu, mengambilnya lalu membaliknya.

Dilihat dari deskripsinya, itu adalah kartu tanda peserta turnamen Start Point. Di kartu itu terdapat potongan foto Leila juga nama, alamat e-mail dan nomor telepon, keduanya milik Maya. Selain itu, terdapat juga tanggal dimana turnamen akan diadakan yaitu empat juli.

"Itu besok..."

Meratapi kartu itu, sebuah ide membuat wajah Leila tersentak.

Ini mungkin adalah kesempatan baginya untuk menebus dosanya.

Dia mengalungkan kartu tanda peserta itu lalu membuka laptop milik Maya.

Dengan rinci dia mencari tahu segala sesuatu yang berkaitan dengan Start Point. Dia jelajahi cara bermain, lore, kelima kelas utama, bahkan Bum Corp. dan pendirinya—Bum Rahmatullah.

Hadiah dari turnamen ini adalah enam puluh juta rupiah. Uang sebanyak itu sudah lebih dari cukup untuk membiayai rumah sakit adiknya. Sudah begitu uang ini pastinya bisa meringankan beban Ibunya.

Dia mungkin tak bisa mengubah masa lalu, dia juga tak bisa terus tenggelam di dalamnya. Tapi dia bisa menciptakan masa depan yang lebih baik.

Yang penting adalah dia bisa belajar dari kesalahan itu.

Dia bisa meluangkan waktu untuk menengok ke belakang, untuk mempersiapkan dirinya agar bisa menghadapi masalah di hadapannya.

Agar dirinya tidak terjatuh dalam lubang yang sama untuk yang kedua kalinya.

Demi menciptakan masa depan yang diinginkannya.

Pada detik itu, Leila Fitriyani mengambil keputusan.