Chereads / Start Point / Chapter 21 - Interlude 05 : Leila Fitriyani - 02

Chapter 21 - Interlude 05 : Leila Fitriyani - 02

Leila berlari meninggalkan Zakaria.

Dia gerakkan kakinya yang terasa lemas sekuat tenaga. Suara tarikan napasnya yang berantakan menemaninya ditiap langkah yang diambilnya. Sementara kedua tangannya mendorong menyingkirkan semak-semak yang menghalangi jalannya.

Sesekali Leila berbalik dan menembakkan sebuah panah kepada Zakaria untuk memperlambatnya bila sekiranya jarak antara mereka berdua sudah terlalu dekat.

Bila kondisi tubuhnya sedang fit, perbandingan kecepatan antara mereka berdua bagaikan langit dan bumi. Namun sayangnya, tubuh Leila masih belum sepenuhnya pulih.

Rasa sakit di tubuhnya menjerit. Seolah sekujur tubuhnya diikat di sebuah tiang dengan potongan-potongan kayu dibakar melingkari tubuhnya. Seperti seorang penyihir.

Tapi perempuan itu harus bisa menahan rasa sakit demi terus bertahan.

Hutan mulai terasa seperti sebuah labirin. Dirinya terus berlari tanpa tujuan. Pada titik ini dia sama sekali tidak peduli akan berlari ke mana selagi dirinya bisa bertahan hidup.

Tiap belokan yang dia ambil, tiap langkah yang dia ambil, semua itu dia lakukan demi bisa memenangkan pertarungan terakhir ini.

Namun itu tidak bertahan untuk waktu yang lama.

Napasnya mulai terasa sesak, pandangannya perlahan kabur. Mungkin dikarenakan tubuhnya yang sudah mencapai batasnya.

Bruk!

Tubuhnya terjatuh setelah kakinya tersandung sebuah akar pohon. Rasanya seolah dunia diputar tepat di hadapannya.

Wajahnya bersalaman dengan tanah dan rumput. Embun basah yang berada di permukaan rumput membasahi rambut hijaunya.

Leila membuka matanya. Penglihatannya yang penuh blur kembali fokus. Telinganya berdengung, tak ada satupun suara terdengar. Seolah sebuah suara mikrofon rusak diarahkan langsung tepat ke telinganya.

Dia dorong busurnya untuk mengangkat tubuhnya. Lalu dia sandarkan dirinya pada sebuah pohon di sampingnya sambil perlahan mengembalikan keseimbangannya.

Pendengarannya masih belum sepenuhnya kembali, tapi dirinya bisa mendengar suara samar-samar.

Selagi bersandar, perempuan itu tak sengaja menjatuhkan pandangannya pada sisi pojok kanan atasnya—lokasi dimana Hpbar milik lawannya berada. Dalam sekali pandang, satu hal penting langsung menangkap perhatiannya.

Yaitu banyaknya Hp yang dimiliki Zakaria.

Sejak kapan Hp milik Zakaria bisa sesedikit ini? Bagaimana bisa seperti ini?

Satu persatu pertanyaan bermunculan dalam benak perempuan itu.

Seingatnya, semua tembakan yang telah dia kerahkan pada Zakaria seharusnya tidak menghasilkan damage yang cukup besar hingga mengakibatkan Hp milik pemuda yang merupakan lawannya berkurang sebesar ini.

Leila tidak mengeluh, malah dia menyambut keuntungan ini dengan lapang dada. Namun ada satu hal yang mengganjal pada hatinya. Perasaan ini merupakan perasaan yang sama seperti saat dirinya sedang bertarung melawan Zakaria di jembatan dan ketika dirinya didorong masuk ke dalam hutan.

Ini ganjil.

Aneh.

Seolah dorongan ombak lagi-lagi mengombang-ambing dirinya menyusuri luasnya lautan hingga akhirnya terdampar di pulau terdekat. Dirinya tak bisa melawan arus. Berapa kalipun dia berusaha berenang, pada akhirnya aliran ombak terus menghadangnya.

"O...en t.... ..eal : Fi... E...ment - ..re B...!"

Sebuah bola api tiba-tiba membakar punggung Leila. Tubuhnya langsung terpental seperti sebuah bola sepak yang ditendang oleh pemain bola professional.

Tubuhnya menembus semak dan pohon. Leila tak bisa melakukan apapun untuk menghentikan dirinya sendiri. Hal berikutnya yang dirinya sadari adalah kenyataan kalau dia sudah keluar dari dalam hutan.

Leila bergelinding lemas sesaat setelah terjatuh di tanah. Ketika dia membuka kedua matanya, pemandangan langit yang dihiasi bintang menyambutnya.

Suara aliran sungai yang deras begitu merdu. Serpihan-serpihan kayu yang setengahnya berubah menjadi arang mengalir mengikuti arus sungai. Kunang-kunang yang sebelumnya menari mengelilingi pantulan bulan telah tiada. Begitu pula dengan pantulan bulan.

Hembusan napas halus keluar dari mulutnya.

Perempuan itu masih tidak percaya kalau dirinya akan melihat pemandangan ini lagi.

"Aku kembali ke sungai ini lagi, ya....?" Gumam Leila.

Hembusan angin meniup rambut basahnya selagi Leila berusaha untuk perlahan bangkit. Tetesan keringat mengalir turun menjatuhi wajahnya ketika tangannya menopang tubuhnya.

Kenyataan bahwa dirinya berhasil kembali ke sungai ini adalah pertanda baik. Di area lapang seperti ini Leila tak perlu khawatir atas adanya halangan. Zakaria takkan bisa berlindung seperti ketika mereka bertarung di dalam hutan.

Penglihatan dan pendengarannya sudah kembali pulih tapi tidak untuk staminanya. Punggungnya terasa panas dan penuh dengan luka bakar, ironisnya rasa sakit itulah yang terus menjaga dirinya untuk tetap fokus.

Tap, tap, tap...

Suara langkah kaki yang berat terdengar perlahan mendekat. Suara tersebut berasal dari dalam hutan.

Leila tahu betul langkah kaki milik siapa itu.

Perempuan itu mengangkat busurnya dengan tangan kanannya bersiap mengambil panah. Sepersekian detik setelah Zakaria menunjukkan batang hidungnya, Leila akan langsung menyambutnya dengan hujan panah.

Sisa panah yang dimilikinnya sebanyak tujuh buah. Enam panah biasa dan satu panah beracun.

Di ketujuh anak panah inilah nasibnya akan ditentukan. Mana yang dimilikinya juga cukup untuk mengeluarkan sebuah skill.

Satu-satunya bagian tubuh Zakaria tidak terlindungi adalah kepalanya, bila Leila membidik tepat di antara kedua matanya, dia mungkin bisa menang.

Hembusan angin kencang terdorong menjauhi lompatan pemuda dengan pakaian zirah serba hitam tersebut. Suara dedaunan yang rontok akibat hembusannya serta suara burung-burung yang berterbangan menjauhinya menemani lompatan tingginya.

Untuk sesaat Leila melihat seolah sosok hitamnya menerjang seperti batu yang dengan dilontarkan dari manjanik. Saking cepatnya lemparan yang terlontar, batu tersebut bisa merobohkan kastil dengan tembok paling tebal sekalipun.

Tapi ini bukan saatnya untuk takjub.

Leila harus bisa menembak Zakaria tepat di antara kedua matanya dan memenangkan pertandingan ini.

Membuang benang kusut yang melilit pikirannya, Leila lekatkan pandangannya pada sosok Zakaria yang terbang bebas di udara. Lalu dia menarik busurnya lembut.

Dengan sabarnya perempuan itu menunggu saat dimana posisi Zakaria stabil dan dapat dilihatnnya dengan jelas. Tiap tembakkan yang dikeluarkannya harus lebih akurat dari biasanya, dia tak bisa membiarkan ketujuh panahnya terbuang sia-sia.

"Sekarang—"

Tangannya tersendat lemas.

Kewaskitaan yang dimilikinya membuat pemandangan yang terlukis di kedua matanya terlihat dengan amat sangat jelas.

Perempuan itu tak bisa menembak. Bukan karena dia mau, tapi karena situasi yang menempatkannya.

Sebuah perisai yang dengan lebarnya berkibar. Benda tersebut melindungi sosok bulat serba hitam yang terbang bebas di udara. Jangankan wajahnya, benda itu juga melindungi sebagian besar area tubuhnya.

Tak ada celah bagi Leila untuk menembak.

Sebuah ayunan penuh dihadiahkan pada Leila dari balik perisai, Leila menghindar dengan melompat ke samping. Masih belum menyerah, pemuda itu menyambung serangannya dengan ayunan horizontal setinggi bahu. Berkat kecepatan yang dimiliki Leila, dia berhasil menghindar dengan merendahkan tubuhnya.

Kejar-kejaran antara keduanya bak banteng dan matador. Tak terhitung sudah berapa kali serangan dikerahkan pada Leila dan sudah berapa kali Leila berhasil menghindari serangan Zakaria.

Leila menjatuhkan dua panah pada Zakaria, satu panah menusuk pundaknya dan yang lainnya berhasil menggores wajahnya. Sementara Zakaria direpotkan oleh kegesitan dan kelincahan Leila sehingga hanya bisa memberikan goresan-goresan kecil pada lawannya.

Di tengah pertarungan antara keduanya, selagi menghindar Leila melakukan jungkir-balik menendang pedang Zakaria lalu menembaknya selagi tubuhnya berputar. Tembakan itu mungkin kurang stabil, namun ajaibnya berhasil mengenai paha Zakaria.

Zakaria tak mau membuang waktu. Mengabaikan luka di pahanya, dirinya berlari menghampiri Leila dengan sebuah ayunan menyerong ke kanan. Meskipun lagi-lagi serangannya tak mengenai sasaran, pemuda itu memanfaatkan momen dimana Leila sibuk menghindari pedangnya dengan menyerang perut Leila menggunakan perisainya.

Serangan itu mengakibatkan Leila sesak napas dan terbatuk-batuk.

Selagi lawannya lumpuh, Zakaria melanjutkan serangannya dengan lagi-lagi mendorong perisainya hingga bertubrukan dengan dagu Leila.

Akibatnya tubuh Leila terlempar sejauh dua meter dan terjatuh tepat di tengah sungai.

Masih terbatuk-batuk, perempuan yang sekujur tubuhnya basah kuyup di tengah malam itu mengangkat tubuhnya dari dalam sungai.

Panah yang dimilikinya tersisa empat. Mana-nya mungkin cukup untuk bisa mengerahkan satu skill tingkat tinggi, namun dirinya tak bisa menemukan saat yang tepat untuk melakukan itu.

Busurnya penuh dengan goresan dan sayatan, mungkin akan patah bila menahan dua sampai tiga serangan lagi, namun cukup untuk bisa digunakan.

Hpbar-nya tinggal sedikit, begitu pula dengan lawannya.

Bila dia berusaha lebih keras lagi, perempuan itu yakin kalau dia bisa memenangkan pertandingan ini.

Sedikit lagi. Sedikit usaha lagi dan Leila akan bisa meraih cahaya di ujung lorong.

Tapi....

.... Pemandangan pertama yang menyambutnya adalah ujung pedang milik Zakaria.

"Maaf Leila, tapi ini kemenanganku." Ujar pemuda itu dengan lembut namun tanpa ragu-ragu. Tatapan matanya sedikit sayu, namun terdapat tekat di dalamnya.

Pakaian pelindung yang digunakkannya selama pertandingan kini penuh dengan lubang dan goresan. Itu membuat perempuan yang menjadi lawannya berpikir kalau pakaian pelindung tersebut akan rusak hanya dalam beberapa serangan lagi.

Seperti balon yang siap diletuskan.

Leila terdiam sejenak. Untuk sesaat dia membuang pandangannya lalu memejamkan kedua matanya. Alisnya mengkerut kesal lalu menatap pedang Zakaria dalam-dalam.

Tak mengindahkan kata-kata Zakaria, Leila menendang pedang tersebut dalam lompatannya yang keluar dari dalam sungai.

Tanpa membuang waktu tangan kanannya langsung menarik dua buah anak panah dari dalam quiver lalu menembakkannya, berselang tak lebih dari satu detik, perempuan itu mengambil dua panah miliknya yang tersisa lalu menembakkannya lagi.

Zakaria berlari melintasi keempat anak panah yang ditembakan. Dirinya bahkan tak perlu berusaha untuk mengubah posisi berlarinya demi menghindari tembakan-tembakan tersebut.

Entah karena lawannya sudah mencapai batasnya atau Zakaria yang sedang beruntung sehingga tak ada satupun panah yang berhasil menyentuhnya.

Pemuda itu hanya mengabaikannya, seolah semuanya sudah tidak penting lagi.

Sekuat tenaga dia cengkram pedangnya dengan kedua tangannya, kakinya mendorong rumput dan bebatuan yang dipijaknya, sekuat tenaga suara teriakkan Zakaria kerahkan dari kerongkongannya hingga kering.

Pemuda itu berlari menghadapi lawannya demi mengakhiri pertandingan yang sudah berlangsung kurang lebih selama dua jam ini.

Zakaria sudah menyiapkan rencana cadangan apabila Leila menghindar.

Dia siap menghadapi kejutan-kejutan lain yang akan dikerahkan lawannya.

Namun, takdir berkata lain....

Leila tak menghindar ataupun menepis serangan Zakaria. Perempuan itu hanya menerima serangan tanpa memberi perlawanan balik.

Bongkahan logam yang tajam itu menusuk hingga menembus perut Leila—mengoyak organ dalamnya seperti pisau yang menusuk sebuah tahu.

Darah segar mengalir menuruni lubang besar yang terukir di perut Leila. Warna merahnya menodai pakaiannya yang serba hijau. Tak sedikit pula darah yang mengalir keluar dari mulutnya. Tiap tetesan darah yang menuruni wajahnya mendarat pada pedang yang menusuk perutnya.

"Sekali lagi, maaf Leila.

Tapi ini kemenanganku..." Zakaria tertunduk memejamkan kedua matanya.

Satu-satunya hal yang bisa dilihatnya saat ini hanyalah kegelapan. Hitam pekat tanpa ada sedikitpun cahaya.

Zakaria merasa sedikit bersalah, namun baginya ini adalah hal yang harus dilakukannya. Pemuda itu paham kalau hal ini hanya bisa dilakukan olehnya. Karena itulah dirinya membiarkan teman-temannya pergi terlebih dahulu.

Dengan begini semuanya telah berakhir. Begitulah pikir pemuda itu.

Semua tujuannya sudah terpenuhi. Karena dirinya menang, mungkin dia harus mempertimbangkan kembali kesepakatan bahwa dia harus berhenti mengajak temannya bermain game.

"Hn—?!"

Kedua mata Zakaria dipaksa terbuka seperti sebuah gorden di pagi hari. Hal yang memaksanya adalah kenyataan bahwa saat ini kedua tangan lawannya—Leila sedang mencengkram tangan Zakaria.

Perempuan itu bahkan tak berpikir panjang untuk berani mengambil keputusan ini. Dia takkan segan-segan menarik pedang itu lebih dalam lagi ke perutnya selagi dirinya bisa menangkap tangan Zakaria.

Perlahan namun pasti, Zakaria mengangkat wajahnya—menatap Leila empat mata. Ekspresi yang menyambutnya bukanlah sebuah keputusasaan atau kesedihan, namun sebuah seringaian penuh percaya diri.

Seolah seringaian itu berkata "Tertangkap kau".

"Hei apa kau tahu?

Aku bisa mengalirkan skill-ku kepada panah yang sudah aku tembakkan sebelumnya."

Zakaria tersentak mendengar peringatan Leila. Kedua bola matanya terbelalak seolah akan keluar dari lubangnya. Hanya dengan mendengar kata-kata itu, dirinya mengerti mengapa sebelumnya tak ada satupun panah yang berhasil mengenainya.

Karena sejak awal, panah itu memang tidak ditujukan padanya.

Tanpa memberikan kesempatan pada Zakaria untuk menarik tangannya, Leila langsung mendorong tubuh Zakaria tanpa melepaskan cengkramannya.

Tiap langkah yang diambilnya, semakin kuat cengkraman Leila pada kedua tangan Zakaria. Begitu kuat sampai sarung tangan pelindung di tangan Zakaria sedikit retak.

Tujuannya hanyalah satu, yaitu sebuah pohon dimana keempat panah yang Leila tembakkan bersemayam.

Zakaria berusaha mendorong balik Leila, namun tiba-tiba lutut yang dimana panah Leila masih tertancap terasa lemas. Hal itu mengakibatkan keseimbangannya semakin melemah sehingga Leila semakin leluasa mendorong tubuhnya.

Sedikit yang dia tahu bahwa panah yang menancap di lututnya adalah panah khusus yang dilapisi racun. Dan Leila beruntung karena berkat kecerobohan Zakaria, racun di panah itu akhirnya berefek padanya.

Zakaria benar-benar telah dilumpuhkan. Pada titik ini benar-benar mustahil baginya untuk bisa memberikan perlawanan balik.

Kemenangan ini adalah milik Leila.

"Open the Seal : Five Wind Arrow!"

Hembusan angin yang tajam keluar dari keempat panah yang tertancap di pohon tersebut. Hembusan yang begitu kuat nan cepat hingga menyayat dan merusak punggung zirah Zakaria tiada henti seperti rayap.

Tak hanya zirah milik Zakaria yang hancur lebur, bahkan pohon dimana keempat panah itu bersemayam langsung penuh lubang sayatan.

Tubuh Zakaria terombang-ambing penuh rasa sakit. Dirinya tak bisa melindungi punggungnya atau bahkan membalikan keadaan. Dia hanya bisa pasrah menerima serangan.

Saat dia sadari zirah yang dia pakai benar-benar sudah hancur lebur.

Tidak berhenti sampai disitu, Leila melepas tangan Zakaria dan menyerang kepalanya dengan sebuah ayunan busurnya hingga patah. Ia lalu menendang dagu Zakaria hingga membuatnya menabrak pohon di belakangnya hingga menumbangkannya.

Keempat panah yang dimana Five Wind Arrow bersemayam pun patah bersama dengan robohnya pohon tersebut.

Tumbangnya pohon itu memberikan dampak pada area di sekitarnya. Yakni kepulan asap akibat hempasan tubuh pohon yang terjatuh di tanah juga pohon-pohon di sekitarnya yang rusak dan bahkan ikut tumbang bersamanya.

Sementara itu, sosok pemuda yang menjadi lawan Leila terkapar lemas tak sadarkan diri di sisi pohon. Sosoknya sungguh berantakan, pakaian pelindungnya rusak, kaus yang berada di balik pakaian pelindungnya juga penuh sobekan. Dilihat dari banyaknya darah yang menggenang di sekitar tubuhnya, Leila yakin bahwa punggungnya penuh dengan ratusan luka sayat.

Perempuan itu tak perlu melihatnya untuk mengkonfirmasi kemungkinan itu.

Leila menjatuhkan tubuhnya dengan lemas. Lututnya sudah tak sanggup lagi untuk berdiri. Perempuan itu bahkan merasa bahwa dirinya bisa pingsan kapan saja.

Pedang yang menusuk perutnya langsung lenyap sesaat setelah lawannya tak sadarkan diri. Dia bahkan tak ingat sejak kapan pedang itu telah menghilang.

Namun satu hal yang pasti;

Detik itu Leila yakin bahwa dirinya telah mengalahkan Zakaria.

△▼△▼△▼△

Cahaya mentari perlahan menerangi gelapnya malam. Cahaya kemerah-merahannya menyelimuti langit malam yang gelap gulita. Sinarnya menyilaukan mata, namun terasa begitu hangat dan nyaman.

Aroma rerumputan basah dengan semerbaknya terhirup oleh perempuan yang bermandikan cahaya mentari itu. Terasa basah, sejuk dan menyegarkan tubuh.

Rasanya seolah menekan tombol segarkan pada dirimu sendiri.

Suara hewan dan serangga malam yang sebelumnya menemani Leila redup hingga akhirnya tidak terdengar sama sekali sementara suara aliran sungai semakin deras.

Rembulan yang sebelumnya berdiri gagah di tengah kerumunan bintang-bintang perlahan memudar. Cahayanya kalah oleh keindahan mentari.

Angin sejuk membelai rambut hijaunya. Rerumputan yang mengelilingi kakinya menari menyambut mentari fajar.

Padahal hanya berselang dua jam sejak turnamen dimulai, namun entah mengapa rasanya seperti sudah berlalu seharian penuh.

Perempuan itu menghembuskan napasnya. Ketika dia memejamkan kedua matanya, perasaan damai nan tentram terukir di hatinya. Seolah-olah semua yang telah dilaluinya adalah sebuah mimpi, mimpi yang amat sangat panjang dan melelahkan.

Sebuah mimpi yang dimana Leila tidak yakin apakah dirinya akan sanggup melewati mimpi di malam itu atau tidak.

Apakah itu sebuah mimpi buruk? Ataukah sebaliknya?

Apakah jawaban yang dicari-cari olehnya akan datang? Atau pertanyaan itu akan terus menjadi sebuah lubang tanpa dasar?

Crek, crak....

Ternyata, mimpi yang dialaminya belumlah berakhir.

Suara gesekan besi seolah menarik perempuan itu kembali ke dalam pusaran mimpinya.

Seperti rembulan yang membayangi matahari, sosok yang berdiri di hadapannya bak sebuah gerhana. Bayangan yang tercipta dari sosok yang berdiri tegak itu menelan bumi yang bernama Leila.

Sosok tersebut tak lain dan tak bukan adalah Zakaria.

Chestplate yang dipakainya telah rusak, menyisakan sebuah kaus polos berwarna hitam yang selama ini bersembunyi di balik bayang-bayang. Kaus tersebut penuh sobekan, warna hitamnya bercampur dengan noda darah yang menetes menjatuhi wajahnya.

Dari mulutnya keluar asap embun setiap kali dirinya menghembuskan napas. Tatapannya sedikit kosong, namun menatap lurus ke arah lawannya. Sementara darah merah mengalir deras menetes menuruni dahinya hingga membasahi sekujur pakaiannya.

Kedua kakinya gemetar—melihatnya sajah membuat Leila sadar betul bahwa keduanya berusaha sekuat tenaga menahan tubuhnya agar tidak roboh.

Tangan kanannya yang dia angkat tinggi menggenggam pedang. Pedang yang sebelumnya bersarang dalam perut Leila. Genggamannya tidak sempurna, pedang itu bisa langsung terjatuh bila Zakaria sedikit saja melonggarkan kepalannya.

Perempuan itu hanya bisa terdiam menatap sosok yang dia kira sudah dikalahkannya. Kedua kakinya membatu, jangankan untuk menendang, perempuan itu sudah tak memiliki tenaga untuk menggerakkan tubuhnya.

Mana miliknya sudah habis dan Hp-nya hanya bisa menahan satu serangan lagi. Anak panahnya sudah tidak tersisa lagi dan busurnya patah menjadi dua. Dia juga tak memiliki satupun busur cadangan. Dia menjual semua busurnya demi membeli ramuan sebanyak mungkin.

Karena dirinya yang merupakan petarung jarak jauh alami, dia sama sekali tak menduga kalau dirinya akan menggunakan busurnya hingga patah.

Tak pernah sekalipun terbesit di pikirannya bahwa dirinya akan terjatuh hingga sedalam ini. Jatuh hingga tiba di titik dimana dirinya benar-benar tak berdaya.

Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan adalah menatap sosok di hadapannya dan berharap akan adanya keajaiban.

Namun tiap kali dirinya menatap pedang yang diangkat tegak menunjuk langit itu, harapannya seolah pecah seperti kaca yang amat sangat rapuh.

Kaca tersebut takkan pernah bisa kembali seperti semula. Meskipun kau menempelkannya kembali dengan lem, bentuk permukaan kaca tersebut takkan pernah sama.

Begitulah yang perempuan itu rasakan.

Begitulah yang Leila Fitriyani pikirkan atas situasinya saat ini.

Di Keheningan sesaat antara dirinya dan Zakaria, dia berpikir dalam benak kecilnya yang kosong.

Sebuah kata yang tak pernah dia pikir kalau dia akan mengatakannya.

Kata-kata yang berisikan segenap perasaannya.

"Maafkan Kakak, Maya....."

Menelan pemikiran tersebut, Leila memejamkan kedua matanya. Dirinya menerima takdir apapun yang terbentang di hadapannya.

Baik itu keputusasaan, ataupun harapan.

Perempuan itu akan menerimanya dengan lapang dada.

...

...

Clentang!

Suara pedang yang dengan kerasnya menghantam tanah langsung menarik membuka tirai yang menutup bola mata Leila.

Pemandangan yang disaksikannya begitu berbeda dengan apa yang dia duga.

Tangan Zakaria yang sebelumnya berdiri tegak seperti sebuah menara saat ini menggantung lemas di sisi pinggulnya. Seolah tak ada sedikitpun tenaga yang tersisa untuk mendongkak tangannya.

Helaian rambutnya yang tertiup angin perlahan bercahaya dan berubah menjadi potongan-potongan piksel lalu lenyap.

Seperti wabah penyakit, potongan-potongan piksel itu mulai menjarah area-area lain dari tubuhnya. Dari ujung helai rambut hingga ujung kuku kakinya.

Leila tak bisa berkata-kata, baik pikiran dan tubuhnya membeku menyaksikan Zakaria yang sedikit demi sedikit lenyap.

Apakah dirinya menang?

Tanya perempuan itu tanpa tahu harus bereaksi seperti apa.

Ketika perempuan itu mendongkakkan wajahnya demi menatap wajah lawannya, matanya terbelalak. Dirinya tak tahu bagaimana mengungkapkan apa yang disaksikannya.

Zakaria tersenyum. Bukan amarah, keputusasaan atau kekecewaan, namun sebuah senyuman lebar.

Sebuah senyuman lembut yang hangat. Begitu hangat hingga seolah senyuman itu memeluk tubuh Leila. Seketika semua keletihan yang bersemayam di tubuhnya lenyap.

Tetapi Leila masih tidak mengerti mengapa Zakaria tersenyum. Padahal dia baru saja kalah melawan Leila setelah berusaha sangat keras.

Leila bisa memakluminya apabila Zakaria kesal, tapi bagaimana bila dia tersenyum? Tak sekalipun terpikirkan baginya cara untuk menangani hal itu.

Kedua kakinya sudah tak sanggup lagi menopang tubuhnya. Zakaria berlutut lemas, kedua matanya tertutupi oleh rambut gondrongnya, namun senyuman di wajahnya tidaklah memudar.

Perlahan namun pasti, tubuh Zakaria terjatuh tepat di samping Leila.

Leila lagi-lagi tersentak.

Bukan karena kemenangannya, namun karena apa yang mendatanginya disaat-saat tersebut.

Leila melirik pemuda yang terkapar tak sadarkan diri disampingnya. Meskipun kesadarannya sudah lenyap, pemuda yang dikelilingi rerumputan itu masih memasang senyuman lembut di wajahnya.

"Maaf Leila, kelihatannya aku menyurangi pertarungan ini....."

Itulah kata-kata yang diutarakan pemuda itu pada detik-detik ketika tubuhnya terjatuh di sisi Leila.

Sebuah kata-kata yang simpel, namun memiliki makna lebih di dalamnya.

Barisan huruf itu menarik Leila kembali pada pertarungannya beberapa menit yang lalu. Kata-kata itu adalah sebuah ombak terakhir yang membuka mata Leila.

Sejak awal pertarungan Leila mendapat firasat aneh ini, seolah ada yang aneh dari pertarungan ini. Dirinya merasa seperti wayang yang menunggu dalang untuk menggerakkan tubuhnya.

Dirinya terus didorong, dan didorong, dan didorong ke berbagai tempat. Sejak awal pertarungan sebab mengapa mereka berpindah tempat bukan karena keinginan Leila, namun dikarenakan tekanan yang diberikan Zakaria.

Lalu ketika Leila tidak sengaja melirik hp-bar milik Zakaria di tengah pertarungan dan menyadari adanya keganjilan di dalamnya, firasat miliknya semakin menguat.

Tetapi, setelah Zakaria mengatakan hal itu, sekarang Leila yakin atas firasat yang terus memenuhi pikirannya sejak awal pertarungan.

Firasat Leila benar.

Selama pertarungan terjadi, dirinya adalah wayang.

Dan Zakaria adalah dalangnya.

"Ombak" yang mendorongnya selama pertarungan merupakan bagian dari pementasan wayang yang diadakan oleh lawannya.

Mungkin dia telah merencanakan ini sejak dia memutuskan untuk tidak menyerah dan menantang Leila.

Pertama dia mendorong Leila memasuki hutan, lalu selama itu Zakaria mencari cara untuk mendekati batas safe zone. Zakaria membuat semuanya sealami mungkin hingga Leila atau bahkan peserta-peserta lain yang menonton pertarungan ini tidak menyadarinya.

Kedua, dengan iming-iming mencoba bertahan Zakaria menerima serangan Leila sambil diam-diam melukai dirinya sendiri menggunakkan safe zone. Meskipun hanya sekuncup bagian tubuhnya yang melebihi batas safezone, itu saja sudah lebih dari cukup. Hal ini mungkin terjadi ketika Zakaria mengaktifkan tembok apinya hingga membuat baik penonton maupun Leila tak bisa melihat siasatnya.

Hal inilah yang membuat Leila terheran-heran di tengah pertarungan. Karena dia yakin kalau dirinya tidak melukai Zakaria hingga separah itu.

Setelah Zakaria yakin kalau sisa hp nya cukup untuk menerima serangan terakhir, dia lagi-lagi mendorong Leila keluar dari hutan. Dia mendorong Leila ke area lapang. Hal itu lebih dari cukup untuk mendorong kepercayaan diri Leila.

Itu juga cukup untuk membuat penonton percaya apabila Zakaria dikalahkan.

Sisanya adalah, Zakaria hanya harus percaya dan menahan Leila hingga akhirnya dia menerima serangan akhir.

Semua itu dia lakukan sealami mungkin demi mendorong kemenangan Leila.

Pemuda yang terkapar di sisinya melakukan semua hal ini agar tidak ada satupun pihak yang merasa dirugikan.

Leila menang dan mendapatkan hadiah uang.

Sementara peserta lainnya tidak merasa dicurangi atas kemenangan Leila.

Tidak ada satupun orang yang menyisakan perasaan dendam kepada yang lainnya.

Tak terbayangkan apa yang akan terjadi apabila Zakaria memilih untuk menyerah dan memberikan gelar pemenang kepada Leila begitu saja.

Tapi....

...Apa keuntungan yang diterimanya setelah melakukan semua ini?

Tidak ada.

Tunggu sebentar,

Kenapa harus begitu?

Bukankah ini tidak adil?

Kenapa dia berbuat sejauh itu? Kenapa mengorbankan dirinya hanya untuk Leila?

Ini tidak adil. Terlalu tidak adil.

Orang-orang takkan menyadari apa yang baru saja dilakukan oleh pemuda ini.

Kebaikannya, pengorbanannya dan segala yang dia lakukan demi meraih titik itu.

Kenapa?

Leila bahkan tidaklah dekat dengan Zakaria. Keduanya hanyalah teman sekolah.

Itu saja. Seharusnya tidak ada alasan bagi Zakaria untuk melakukan hal sejauh ini.

Jadi mengapa? Apa keuntungan yang akan diperolehnya?

Gadis yang diselimuti pakaian serba hijau itu hanya bisa terdiam.

Lalu, sebuah jawaban;

Apakah orang yang seperti itulah Zakaria?

Apakah ini dirinya yang asli? Berani mengorbankan diri dan mengambil jalan yang menurutnya adalah "Benar" walau itu tidak diketahui oleh siapapun?

Bahkan untuk orang asing sepertinya?

......

...........

Ketika memikirkan kemungkinan itu, air mata hangat mengalir lembut menuruni pipi. Disaat air mata membanjiri matanya, dia berkedip, membiarkan tetesannya terjatuh menyisakan bekas menuruni pipinya.

Dia tidak menyadarinya. Air mata terjatuh menuruni wajahnya tanpa disadari oleh gadis itu.

Hembusan angin silir semilir membelai rambutnya. Suara hembusannya menghancurkan kesunyian yang mengelilingi keduanya.

Perasaan hangat memenuhi dadanya.

Tubuhnya gemetar, tak bisa menahan perasaan meluap-luap di hatinya.

Tidak ada kata yang cukup untuk bisa mengungkapkan seluruh perasaan Leila. Dengan pipinya yang merona, Leila menurunkan pandangannya. Dengan tenangnya menatap wajah Zakaria, lalu...

"Terima kasih, Zakaria. Sungguh terima kasih...."

Terima kasih.

Terima kasih banyak.

Sungguh, terima kasih atas kebaikanmu.

Leila tersenyum lembut sambil membisikan kata-kata tersebut pada Zakaria.

Ini pertama kalinya—Pertama kalinya Leila tidak memakai topeng bernama "Cyra" maupun perempuan sempurna yang anggun bernama "Leila".

Namun menjadi dirinya sendiri.

Dirinya sudah tidak menjadi sosok yang terkurung di dalam sangkar. Sekarang burung yang bernama "emosi" itu telah terbang bebas, dengan sayapnya yang sempurna, mengarungi langit biru yang luas.

Menangis, tertawa, marah. Perempuan itu sudah tak perlu menahan atau menutupi itu semua.

Lalu saat ini, dan sampai kapanpun, perempuan itu memutuskan untuk tetap di samping kesatrianya dengan tangisan lembutnya.

Seperti kesatrianya yang menunjukkan sosok aslinya.

Perempuan itupun, membuka topengnya.