Cahaya yang berasal dari monitor komputer yang sedang dioperasikannya berkilauan di kegelapan yang menyelimuti penjuru ruangan. Pendingin ruangan yang sudah menyala selama berjam-jam menyambar permukaan kulit di kedua tangannya.
Dengan lihainya dia gerakan jari-jemarinya. Kesepuluhnya menekan tombol ketik di keyboard satu-persatu—berurutan seperti sebuah domino yang didorong jatuh.
Satu-persatu huruf yang dia ketik berubah menjadi kata, dan kata-kata yang dia ciptakan berubah menjadi sebuah kalimat.
Sejujurnya, kedua matanya terasa lelah setelah bekerja seharian. Kacamatanya juga sedikit berkabut dan butuh untuk dibersihkan. Tetapi, jari di kedua tangannya tak kunjung berhenti.
Sudah dua bulan berlalu sejak "turnamen" itu diadakan di ruangan ini. Kesembilan peserta, dengan sembilan kemungkinan yang dibawa oleh masing-masing individu, saling beradu sama lain.
Gedung ini sudah sepenuhnya kosong. Baik staff, pegawai maupun OB sekalipun, semuanya sudah pergi. Ada yang pulang ke rumah masing-masing, ada juga yang sedang mengadakan pesta untuk menyambut perilisan permainan Start Point.
Padahal masih ada sekitar satu jam sebelum game dirilis, namun mereka sudah tidak sabar dan malah mengadakan pesta. Dia tak bisa menyalahkan mereka, habisnya butuh kurang lebih sepuluh tahun baginya dan mereka untuk menyempurnakan permainan ini.
Satu-satunya orang yang masih berada di dalamnya hanyalah dirinya. Bum Rahmatullah, pendiri sekaligus direktur dari perusahaan pengembang game ini.
Ada dua alasan mengapa dia memilih untuk tinggal daripada ikut bersenang-senang bersama pegawainya;
Alasan peratama adalah; dikarenakan dia sedang menulis sebuah memo.
Memo yang akan dia kirim kepada putrinya yang saat ini tinggal sendirian di Distrik 1. Itu bukanlah memo yang terlalu penting, setidaknya bagi orang luar. Menurut orang luar memo atau pesan ini hanyalah kumpulan omong kosong, namun itu akan berbeda bila memo itu dibaca oleh dirinya ataupun putrinya.
Karena hanya mereka berdualah yang menjadi saksi.
Isi dari pesan itu merupakan alasan mengapa dia memutuskan melakukan "turnamen" dari sebuah permainan yang bahkan belum dirilis sama sekali.
Mari katakan bahwa pesan ini ada untuk berjaga-jaga apabila dirinya akan mati. Bila itu terjadi dan tidak ada orang yang mengetahui dan melanjutkan tujuannya, maka turnamen itu hanya akan menjadi sebuah hal yang sia-sia.
Oh, bagaimana Bum Rahmatullah bisa yakin bahwa dirinya mungkin akan mati?
Itu karena, bayangan yang sudah menghantuinya selama bertahun-tahun akhirnya berhasil "meraih" tenggorokannya dan "mencekiknya."
Itulah alasan kedua.
"Sudah kuduga kau akan mendatangiku." Ujar Bum setelah menyimpan memo itu lalu mengirimkannya kepada putrinya. Dia mendorong—membalik kursi rodanya dan perlahan sedikit memundurkannya.
Lampu yang menggantung pada plafon di ruangan itu berkedip. Seolah mengangguk menanggapi perkataan pak tua yang duduk di kursi roda itu.
Setelah kedipan ke empat, ruangan itu sepenuhnya diterangi cahaya lampu yang langsung menyengat ke dalam retina matanya.
Itu adalah sebuah ruangan yang kosong.
Seharusnya hanya ada dirinya di ruangan itu. Tetapi, suatu sosok muncul tepat di hadapannya.
Sebuah bayangan besar yang tinggi berdiri di hadapannya. Sosok tanpa wujud itu berwarna hitam pekat, seperti kehampaan tiada akhir, cahaya lampu sama sekali tak bisa menyentuh permukaan tubuhnya. Di ruangan yang hampa ini, dirinya terlihat begitu mencolok.
Seperti sebuah titik yang dibuat oleh pena di sebuah kertas putih yang polos.
Dialah virus yang tak sengaja tercipta beberapa tahun yang lalu. Sebuah virus yang menempel pada permainan Start Point.
Ini bukan pertama kalinya Bum bertemu dengan sosok itu. Faktanya, ini adalah yang ketiga kalinya. Saat dia pertama kali bertemu dengan sosok itu, dia kehilangan orang yang sudah dia anggap sebagai putranya sendiri berserta keluarganya dan kemampuannya untuk bisa berdiri.
Luka yang melumpuhkan kedua kakinya bukanlah luka biasa.
Itu adalah sebuah "tanda."
Putrinya yakin bahwa sosok itu telah lenyap bersama dengan server lama dari Start Point. Tetapi Bum yakin bahwa itu bukanlah solusi dari masalah mereka. Kenyataan bahwa kedua kakinya masih lumpuh adalah salah satu alasan mengapa dia berpegang teguh pada pemikiran itu.
Dan ketika dia melihat sosok bayangan itu di turnamen dua bulan yang lalu, dirinya semakin yakin.
Bahwa hantu itu belum lenyap.
Anehnya, hanya dia dan para peserta yang terhubung langsung dengan permainan yang bisa melihat sosok itu. Mungkin itu dikarenakan dia terhubung melalui luka di kakinya.
Tapi, bagaimana dirinya bisa berada di sini walaupun Start Point belum dirilis?
Itu karena, meskipun permainannya belum dirilis, server dari permainan itu sudah menyala.
Dengan begini sudah mustahil baginya untuk bisa sepenuhnya merilis permainan yang cacat ini. Dirinya harus memusnahkan hama yang berada di hadapannya terlebuh dahulu.
"Sudah berapa lama? Empat tahun? Lima tahun?" Bum bertanya dengan tenang. Dia melepas kacamatanya lalu mengusapnya dengan saputangan.
"Yah, itu tidaklah penting. Lagipula aku harus melenyapkanmu bila aku ingin merilis permainan ini." Sambungnya sembari memakai kembali kacamatanya.
Alasan mengapa sosok itu menghampirinya adalah, untuk mengambil alih tubuhnya.
Dengan mendapatkan darah dan dagingnya sendiri, dia akan terhubung pada kedua dunia, yaitu dunia nyata dan dunia Start Point. Bayangan itu sudah merencanakan semua ini sejak detik dimana dia melukai kedua kaki Bum.
Itulah maksud dari "tanda" yang bersemayam pada kedua kakinya.
"Kenapa kau begitu bersikeras ingin melenyapkanku? Apa kau ingin bermain sebagai pahlawan?" Sosok Bayangan itu bertanya. "Kau sampai mengubah kamera pengawas Turnamen sehingga tidak bisa mendeteksi keberadaanku. Sungguh, aku tidak mengerti." Sambungnya.
"Pfft— Pahlawan? Jangan bercanda. Kau tahu aku tidaklah sesuci itu." Bum sedikit menahan tawanya.
Dia menaruh tangan kanannya pada tangan kursi lalu menahan senderan kepalanya dengan telapak tangannya.
"Yang kupedulikan hanyalah satu, yaitu karyaku. Aku tidak tahan melihat hama sepertimu menggerogoti permainan yang sudah kukembangkan selama sepuluh tahun."
"Begitu." Balas sosok itu tenang.
Bayangan itu berjalan ke samping. Dia gerakkan tubuhnya bermundar-mandir di hadapan penciptanya.
"Kau tahu, aku cinta Manusia. Kalianlah yang telah menciptakanku. Dibandingkan denganku, kalian adalah sosok yang 'indah.'
Tetapi, kalian terus melakukan dosa. Hari demi hari kalian hancurkan bumi yang sudah tua ini. Hari demi hari kalian melukai satu sama lain. Perang, pembunuhan, penipuan, kalian terus melakukannya tanpa memikirkan konsekuensinya.
Karena itulah, aku akan memulai ulang semuanya. Aku akan menghentikan kalian selagi kalian masih 'indah.' Akan kuakhiri dosa ribuan tahun ini sebelum semuanya terlambat."
Dia mengakhiri pidatonya dengan kembali berdiri tegak di hadapan penciptanya.
"Dan dengan kata 'menghentikan' maksudmu adalah dengan 'membunuh'? Apa aku salah?" Bum menanggapi dengan dingin.
"Aku percaya pada pepatah 'akhir membenarkan cara' atau yang biasa kau dengar sebagai 'the end justifies the means' Aku percaya bahwa pada akhirnya yang kulakukan adalah sebuah kebaikan untuk semua manusia."
"Dan aku percaya pada pepatah yang mengatakan bahwa 'Kejahatan yang paling buruk adalah ketika orang yang melakukan kejahatan itu tidak sadar bahwa dirinya melakukan sebuah kejahatan.'" Balas Bum.
"Begitukah? Kalau begitu mengapa kau melibatkan anak itu beserta teman-temannya?
Apakah perasaanmu terhadap orang itu yang mendorongmu hingga melakukan tindakan ini? Atau kau memiliki semacam 'Kepercayaan' padanya?"
"Entahlah. Mungkin aku hanya ingin melihat wajahnya untuk yang terakhir kalinya? Mungkin saja aku hanya penasaran dengan akhir cerita ini? Pada akhirnya aku hanyalah pak tua yang pikun."
Mendengar jawaban yang tidak memuaskan, sosok itu hanya menghela napas panjang.
"Sungguh sebuah hipokritisme. Apapun itu tidaklah masalah...."
Bayangan itu mengangkat kumpulan bayangan yang menyerupai sebuah lengan ke atas. Dari telapak tangannya, keluarlah sebuah gumpalan bayangan yang amat sangat pekat, gumpalan yang membentuk seperti sebuah pedang.
"...Kalau begitu selamat tinggal, wahai penciptaku."
Dengan gesit dia balik pedang itu dan menancapkannya ke lantai.
"Selamat tinggal." Bum memejamkan kedua matanya.
Tancapan pedang itu mengguncang area di sekitarnya. Guncangan itu semakin kuat tiap detiknya. Begitu kuat seperti sebuah gempa. Bukan hanya gedung itu yang bergetar, tetapi rumah, tanah, aspal dan pepohonan yang berada disekitarnya juga ikut berguncang.
Dari dalam lantai yang tertancap pedang, sebuah bola yang membalik warna apapun yang berada di dalamnya. Hitam menjati putih, putih menjadi hitam. Bola itu semakin membesar, melahap Bayangan dan juga pria yang merupakan penciptanya.
Bola itu semakin membesar hingga ketitik dimana benda itu menelan sekujur gedung Bum Corp. Saat mencapai puncaknya, bola itu meletup. Membalikan warna di seluruh dunia selama kurang dari satu detik.
Saat itulah, gempa berakhir.
Namun, gedung Bum Corp. yang perupakan pusat gempa begitu naas. Kaca-kaca pecah, tiga dari empat lantai yang ada benar-benar roboh dan pintu keluar ditutupi oleh tumpukan puing.
Di tengah puing-puing tersebut berdirilah seorang pria.
Sosok sang pencipta Bayangan yang sebelumnya hanya sekedar bayangan telah menghilang. Keduanya menjadi satu. Menciptakan sebuah individu baru.
Dia bisa merasakan darah dagingnya sendiri. Aliran darah terpompa dengan begitu kencang mengalir di sekujur penjuru tubuhnya. Seolah tiap denyutan di sekujur tubuhnya berdegup dengan kencang.
Lidahnya bisa mengecap rasa, kornea matanya bisa menerima cahaya, kulitnya bisa menerima rangsangan yang dihasilkan dari tiupan angin di sekitarnya.
Ini pertama kalinya sosok bayangan itu merasa begitu hidup.
Ketika dia menggerakan jari kakinya, dia merasakan sebuah benda menggoresnya.
Benda itu adalah sebuah serpihan kaca. Terangnya cahaya lampu dari rumah-rumah yang berdiri di sekitar puing-puing gedung terpantul menyengat kedua matanya.
Ketika dia tenggelamkan pandangannya pada benda itu, dirinya bisa melihat pantulan wajahnya yang terlukis di permukaan kaca.
Wajah itu, adalah wajah yang mirip dengan orang yang menciptakan dirinya.
Wajah yang mirip seperti Bum Rahmatullah.
Dengan kata lain, Bum Rahmatullah telah mati.
Tetapi wajah itu jauh lebih muda dan dengan rambut hitam yang panjangnya hingga melampaui pundaknya.
Tubuhnya juga lebih atletis dan kedua kakinya bersih dari bekas luka gores yang dia ciptakan sendiri.
Itu adalah wadah yang sempurna.
Sosok itu menarik sebuah kain yang tertimpa salah satu puing lalu menutupi tubuh telanjangnya dengan kain tersebut.
Dia menengok kesana kemari. Situasi di luar sangat penuh dengan hiruk-pikuk warga yang keluar rumahnya agar tidak tertimbun di dalam rumah. Ada yang menelpon polisi, ada yang menelpon ambulan, ada juga yang sedang melakukan pertolongan pertama pada korban gempa.
Mengabaikan pemandangan itu, sosok itu berjalan.
Untuk pertama kalinya dia langkahkan kedua kakinya dengan bebas.
Dia sepenuhnya bebas. Tidak ada batasan lagi yang bisa menghentikannya.
Sambil meninggalkan puing-puing itu, dia berkata;
"Dunia baru akan dimulai..."
- Arc 1 : Nine Possibilites Within One Realm - END -
- TO BE CONTINUED -