Tak gentar, Prometheus balik tersenyum puas. Senyumannya yang lebar hampir membuatku salah kira kalau senyuman itu merobek pipinya.
"Kalau begitu biarkan aku memperkenalkan diriku.
Aku adalah Prometheus, pemain dengan kelas Wizard Knight!" Prometheus menarik pedangnya lalu berlindung di balik perisainya.
"Sword and Gun Master?! Wizard Knight?! Apa maksudnya?" Tanya Cyra.
"Benar! "kelas tambahan" itu apa maksudnya?" Tanya Sindy yang mendukung pertanyaan Cyra.
Zaki sedikit melirik ke belakang lalu menatap ke depan dengan helaan napas yang dalam.
"Seperti yang kalian ketahui, di permainan Start Point terdapat lima kelas utama. Yaitu; Sword Master, Marksman, Knight, Wizard dan Alchemist. Namun selain lima kelas itu, ada tiga kelas tambahan yang merupakan gabungan dari kelas-kelas utama. Yang kita ketahui saat ini, dua kelas tambahan adalah Sword and Gun Master dan Wizard Knight.
Kemungkinan untuk mendapatkan kelas tambahan begitu kecil seperti gacha. Namun dengan sistem turnamen kita saat ini, bila kelima kelas utama sudah didapatkan, maka kelas yang tersisa adalah kelas tambahan.
Karena itulah total peserta yang mengikuti turnamen adalah sembilan, bukan lima." Jelas Zaki.
"Jadi maksudmu, Ramdhan dan Prometheus adalah dua orang beruntung yang berhasil mendapatkan kelas tambahan?" Ujar Cyra sementara Sisin hanya terdiam termenung.
"Apa kalian sudah selesai mengobrol? Aku tak bisa mulai bertarung bila kalian terus mengoceh seperti itu." Tanya Prometheus.
Aku juga merasakan hal yang sama. Entah kenapa Prometheus terdiam sejak mereka mengobrol. Pada akhirnya aku ikut membeku seperti orang bodoh.
Matahari sudah sepenuhnya tenggelam dan safe zone semakin menyempit. Aku tak bisa berdiam diri begitu saja.
Kubersihkan pikiranku lalu berlari ke arahnya.
Menyerang tiba-tiba mungkin salah satu taktik busuk dari banyak taktik busuk yang kupikirkan saat ini.
Kuayunkan pedangku namun Prometheus dengan mudah menahannya dengan perisai.
"Wodoh, hampir saja."
"Tch!"
Saat menahan pedangku, pertahanannya akan lumpuh. Kesimpulannya, ini adalah kesempatan besar untuk mengubah wajahnya menjadi donat.
Kutodongkan revolver ku, mengambil bidikan lalu menarik pelatuk.
Dor
Prometheus menendang tangan kiriku dengan lututnya, mengakibatkan tembakanku hingga meleset melewati atas kepalanya.
Lalu, dia mendorong pedangku dengan perisainya dan mengayunkan pedangnya—Membuatku tak punya pilihan selain menepis serangannya. Kedua logam itu terus menerus berbenturan hingga menciptakan percikan api kecil di tiap benturan.
Adu pedang ini terus berlangsung hingga membuat tanganku lelah. Aku bahkan tak sadar kalau adu pedang ini bisa membuat jarak antara pertarunganku dan para tawanan semakin menjauh.
Sementara dia disibukkan dengan serangan pedangnya, aku menembak kakinya hingga membuatnya terpincang saat memberi serangan. Memanfaatkan situasi itu, aku menepisnya lalu melompat mundur.
"Open the Seal : Moonlight Shard!"
Kulemparkan beberapa Moonlight Shard. Dengan kakinya yang pincang, dia akan kesulitan menghindari serangan itu. Bahkan perisai saja takkan cukup untuk melindunginya.
"Open the Seal : Fire Bending – Burning Shield!"
Perisainya dialiri kobaran api, dia lalu melemparkan perisai itu ke arah Moonlight-Moonlight Shard-ku yang juga sekaligus mengarah kepadaku.
Apa yang dia rencanakan? Apa dia berniat untuk menyerangku terlebih dahulu sebelum seranganku mengenainya?
"Kh—Apa?!"
Perisai api itu menyerap Moonlight Shard ku selagi melintas melewatinya bagai mesin vacum cleaner. Tak ada satupun seranganku yang tersisa, semuanya lenyap.
Sial, aku tidak menduga ini. Aku terlalu meremehkannya.
Saat kusadari, perisai itu sudah berada tepat di hadapanku.
"Aku takkan menyarankan dirimu untuk menepisnya."
Akh, persetan! Aku tak punya waktu untuk meladeni saranmu!
Karena tak punya waktu untuk menghindari serangan itu, aku menepisnya dengan pedangku hingga membuatnya terpental ke atas. Tak lama, perisai itu kembali ke tuannya bak sebuah bumerang.
Prometheus menangkap perisainya lalu memakainya kembali di lengan kirinya.
"Haah.... dengarkan apa kataku. Kau hanya menyia-nyiakan mana-mu." Dia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memegang dahinya.
Huh? Apa?
Aku langsung menoleh sudut kiri atas penglihatanku dimana mana bar berada.
Terlambat bagiku untuk menyadarinya.
Sesaat setelah pedangku bersentuhan dengan perisainya, setengah dari mana ku langsung terhisap oleh perisai itu.
Prometheus menyarungkan pedangnya lalu mengambil perisai cadangan.
Astaga, berapa banyak perisai yang dia miliki?
"Open the Seal : Fire Bending – Fireplace."
Perisai itu bercahaya lalu melebur lenyap dari genggaman tangannya.
Lalu, berasal dari telapak kakinya, tercipta sebuah lingkaran sihir yang semakin membesar hingga selebar dua puluh meter. Lingkaran sihir itu terang benderang di kegelapan malam. Membakar rumput, tumbuhan, menghancurkan bebatuan juga menghanguskan tanah. Skill itu seperti wabah yang merusak apa yang disentuhnya.
Sial, bagaimana mungkin dia bisa terus menerus melakukan spamming skill? Dan bagaimana bisa mana miliknya tak kunjung habis?
"Hati-hati Dimo! Bila kau terkena lingkaran itu, meski hanya menyentuh saja, mana mu akan habis!"
"Benar! Karena itulah mana miliknya tak kunjung habis, karena dia mendapat pasokan mana dari kami berdua!"
Ujar Sindy dan Cyra bergantian.
Mereka ini esper ya?!
Yah, itu menjelaskan mengapa Prometheus tak bisa kehabisan mana.
Juga, hal itu memaksaku untuk melompat mundur demi menghindarinya. Bila dia mendapat pasokan dari satu orang lagi, bisa-bisa dia berubah menjadi Uchiha Madara di perang dunia shinobi ke empat.
Kurasa istilah musuh dari musuhku adalah temanku masih berlaku disaat seperti ini.
Prometheus mulai berjalan, begitu pula lingkaran sihirnya yang mengikuti tiap langkah kakinya. Dan aku pun terus mundur menjauhinya sembari terus menembakinya.
Dia menarik pedangnya.
Tembakanku percuma saja. Karena tiap tembakan berhasil dia tepis dengan perisainya. Dia bagai benteng tak tertembus.
Aku mengisi ulang peluru revolverku. Kudorong kantung peluru keluar, membuang cangkang peluru, mengisi kelima lubang dengan peluru baru lalu memasukannya kembali ke porosnya.
Tch, aku tak bisa begini terus. Pada akhirnya peluruku akan habis dan dia akan diuntungkan bila itu terjadi.
Aku butuh pijakan, sesuatu yang bisa membantuku untuk mendekati Prometheus tanpa harus membuatku menyentuh lingkaran sihirnya.
Item yang ada di inventory ku hanya sedikit. Aku tak mungkin menggunakan pistol ataupun revolver sebagai pijakan. Peluru cadangan bukanlah pilihan. Satu-satunya hal yang bisa kugunakan hanyalah pedang-pedang cadangan yang kumiliki.
Total pedang yang kumiliki sebanyak empat pedang. Angka pembawa sial yang selalu ditakuti Guido Mista. Namun apakah itu benar-benar pembawa sial? Atau malah sebaliknya?
Aku menyimpan revolver dan pedang utama ku lalu mengambil dua pedang cadangan.
Prometheus menanggapi hal itu dengan sedikit mendongkakkan wajahnya, bertanya-tanya akan apa yang akan kulakukan selanjutnya.
Tenang saja, kau akan segera tahu dalam beberapa detik.
Langkah pertama;
Aku berlari menuju ke arahnya lalu melemparkan salah satu pedangku. Pedang itu menancap di tanah dengan sempurna, tidak terlalu miring juga tidak terlalu curam. Aku harus berterima kasih dengan kemampuan membidik yang kudapatkan dari kelas Gunman.
Langkah kedua;
Disaat pedang itu mendarat aku melompat dan bertumpu tepat di atas pedang itu, kulemparkan pedang ke dua-ku sambil mengambil pedang ke tiga. Dengan cepat aku melompat untuk bertumpu di pedang ke dua dan membatalkan pedang pertama.
Langkah ketiga;
Ulangi dengan ritme yang sama, pedang kulemparkan, mendarat di atasnya lalu melenyapkan pedang yang kutinggal.
Namun aku tak bisa selalu melemparnya lurus ke depan. Aku selalu berhati-hati agar dia tak bisa membaca pergerakanku. Karena itulah aku melemparkan pedangku ke segala arah.
Aku harus cepat, harus sigap, tak boleh lelah. Seimbangkan napasmu! Jangan kehilangan fokus! Satu kesalahan bisa membuatku kalah.
Bergeraklah kakiku, bergeraklah ototku, bergeraklah diriku!
Prometheus terbelalak. Dia hanya terdiam membeku. Dia terus mencoba membaca gerakanku namun matanya tak sanggup mengikuti pergerakanku. Wajahnya menoleh kesana kemari namun dia masih tak bisa mengikutiku.
Mungkin ini berkat atribut cahaya milikku sehingga kecepatanku terus meningkat semakin aku bergerak.
"Tch, di mana kau?!"
"Di sini!"
Aku tepat berada di arah yang berkebalikan dari arahnya menoleh.
Prometheus langsung menoleh mengikuti suaraku, namun sebelum dia menengok, pedangku sudah menyambutnya terlebih dahulu.
"Kena kau!"
Sret!
Pedangku mengukir sebuah celah di pakaian pelindungnya. Begitu pula sebuah luka yang terukir dari pundak kirinya hingga pinggangnya.
Ini belum selesai, luka itu takkan bisa menghabisinya.
Aku mencoba memberikan serangan lainnya namun kali ini berhasil ditepis perisainya.
Aku harus mundur, bila aku terus menyerangnya, seranganku hanya akan ditahan olehnya.
Aku melemparkan pedang cadanganku lalu kembali melakukan tahap ke tiga.
Prometheus menekan luka di punggungnya lalu kembali memperhatikanku.
Sekali lagi!
Percobaan ke dua, memanfaatkan Prometheus yang lengah, aku kembali menyerangnya dengan ayunan penuh.
Tapi berbeda dengan serangan pertama, Prometheus berhasil menahan seranganku.
"Sayangnya, serangan yang sama takkan mengenaiku." Ujar Prometheus.
"Benarkah? Selamat."
Bukan berarti seranganku sudah terhenti sepenuhnya.
Kukeluarkan tangan kiriku yang kusembunyikan sejak serangan ke dua. Tangan yang menggenggam pedang utama ku.
"Pedang itu?!" Prometheus melirik pedang cadangan yang kugenggam di tangan kananku yang saat ini sedang dia tahan.
"Gawat!!"
Dia mendorong pedang cadanganku. Begitu ya, dia berusaha menahan pedang utamaku.
"Open the Seal : Fire Bending – Tridant!"
Seperti seorang rapper profesional, perisai yang Prometheus genggam langsung berubah menjadi berwarna merah terang seperti terbakar di suhu yang begitu tinggi.
Apa-apaan perisai itu? Bukankah itu terlihat seperti lelehan besi?
Tak lama kemudian lelehan besi itu mulai mengambil bentuk. Seperti dicetak di mesin fotokopi, perisai itu berubah menjadi sebuah garpu trisula yang sangat panjang. Seperti trisula pada umumnya, senjata itu memiliki tiga mata tombak yang lancip.
Bila kuperhatikan, permukaannya yang panah membara terlihat seperti lelehan magma.
Lalu, Prometheus melemparkan trisula itu. Bukan padaku, namun pada sebuah pohon.
Begitu ya! Sial!
"Jadi dia tak berniat untuk menahan serangan ku ya?!"
Gawat, dia akan melakukan teleportasi!
Sekuat tenaga aku berusaha mengayunkan pedangku secepat mungkin.
"Transport!"
Dia lenyap tanpa sisa. Menyisakan diriku yang menyerang angin. Lingkaran sihir miliknya juga sudah lenyap.
Tch!
"Open the Seal : Moonlight Sha—"
"Percuma saja." Sosok Prometheus berdiri kelelahan dengan tangan kirinya yang bertopang dipohon. Napasnya tak beraturan dan ekspresinya begitu kacau.
Tanah dimana Prometheus berpijak sebelumnya hancur dan gosong, di sela-sela tanah yang hancur itu berpancar cahaya merah kekuningan yang panas.
Dia terlihat kesal sekaligus lega karena berhasil menghindariku.
Tetapi ekspresinya melembut sedikit setelah melihat upayaku.
Dor.
Aku menembakkan satu tembakan dari revolverku tepat ke arahnya. Namun Prometheus sontak menghindar karena reflek. Refleknya membuat tubuhnya langsung terdorong ke depan hingga membuat dirinya tersungkap di tanah.
"A, Apa kau tak belajar?! Setidaknya dengarkan aku terlebih dahulu!" Eluhnya yang kembali berdiri.
"Aku tak punya alasan untuk mengobrol santai denganmu." Balasku dingin.
Aku melompat turun dari atas pedang yang kupijak. Karena sekarang lingkaran sihir sudah lenyap, aku akan baik-baik saja. Sementara itu pedang-pedang milikku yang berserakan di mana-mana mulai memudar—masuk kembali ke dalam inventory ku.
"Kau masih belum menyadarinya? Maksudku mana-mu."
Huh?
Aku langsung melirik mana bar di pojok kiri atas penglihatanku. Aku lengah. Mana milikku yang sebelumnya tersisa setengah sekarang sudah hampir sepenuhnya habis.
Bila seperti ini, mustahil bagiku untuk bisa melakukan casting skill.
Tapi bagaimana mungkin?
Padahal aku tidak menyentuh lingkaran sihirnya.
"Kau pasti sekarang bertanya-tanya mengapa mana milikmu bisa kuhisap. Ngomong-ngomong, selain mana milikmu, Sisin dan Cyra, aku juga menghisap mana milik Zaki."
"Itu artinya..."
"Ya, aku memiliki kapasitas mana yang takkan habis."
Berarti apa yang Sindy dan Cyra katakan itu tidaklah benar. Meskipun begitu, mereka kelihatannya tidak berbohong. Lalu kenapa? Apakah pengetahuan mereka mengenai cara kerja penghisapan mana Prometheus sudah salah dari awal?
Sial, aku ceroboh. Sejak awal orang yang kulawan sudah sepenuhnya berubah menjadi Madara Uchiha.
"Tak perlu murung begitu. Karena sebelumnya kau berhasil menyudutkanku, kuberi kau petunjuk. Kemampuan penghisapan mana milikku, memiliki jarak batas." Ujar Prometheus dengan penuh percaya diri.
Sebenarnya skill OP macam apa penghisap mana itu?
Akh tidak. Sekarang bukan waktunya untuk mengeluh. Sebenarnya sejak kapan dan bagaimana dia mengaktifkan skill penghisap mana itu?
Saat ini mana potion yang kupunya sebanyak delapan buah. Satu ramuan sudah lebih dari cukup untuk melakukan sekali Moonlight Shard. Ditambah lagi, aku belum mencoba skill baruku.
Tidak tunggu dulu, sejak awal skill penghisap mana terdengar seperti sebuah skill yang dimiliki kelas seperti wizard. Yang artinya kemampuan itu bagian dari kelas Wizard Knight.
Yang kutahu mengenai kelas tambahan; ketiga kelas kelas tambahan masing-masing memiliki satu kelas utama untuk penampilan dan menyerang dan kelas kedua digunakan sebagai dasar skill.
Contohnya Moonlight Shard. Meskipun aku petarung jarak dekat, aku bisa mengeluarkan skill yang mampu meraih musuh di jarak yang jauh.
Prometheus memiliki penampilan bak seorang ksatria, dengan begitu skillnya akan dipengaruhi oleh kelas Wizard.
Tapi itu tidak cukup untuk menjadi bukti pengungkap misteri ini.
Untuk mengeluarkan skill, pemain harus melafalkannya dengan lantang. Karena itulah, bila Prometheus mengeluarkan skill penghisap mana, aku pasti akan tahu.
Terkecuali...
"Dilihat dari ekspresi terkejutmu, kusimpulkan kalau kau sudah mengetahui bagaimana cara kerja Mana Drain ku."
"Ya, bisa dibilang begitu."
Jawabannya simpel; Itu adalah skill pasif.
Sama seperti skill pasif Dual Wealding punyaku. Mana Drain miliknya juga pasti sebuah skill pasif. Bila memang begitu, maka tiap kelas tambahan setidaknya memiliki satu skill pasif.
Hal lainnya yang mendorong kesimpulan ini adalah, ungkapan Zaki di awal pertandingan.
Sebelumnya aku berpikir untuk tidak menyimpulkan hal ini begitu saja. Namun setelah bertemu banyak pemain dengan kelas biasa, sekarang aku yakin.
Inilah kenapa Sindy dan Cyra tak mampu mengungkap misteri ini. Karena mereka tak berpikir kemungkinan akan adanya skill pasif.
"Skill Mana Drain itu, skill pasif bukan?" Ujarku.
"Ding dong ding dong ding dong! Tepat sekali!
Kutebak skill pasif mu adalah memegang dua senjata. Karena Sword Master biasa takkan bisa melakukan itu."
Seringaian licik berkibar di wajahnya. Seperti ada garis antara puas dan bangga digambar olehnya.
Ingin sekali kulubangi bendera itu.
Kugenggam erat-erat rasa kesal yang bersemayam di tubuhku. Kalau bisa ingin rasanya aku mengambil pose bak seorang pitcher lalu melemparkannya tepat ke wajahnya.
△▼△▼△▼△
Kau tahu, dulu waktu masih kecil aku pernah membayangkan kalau suatu hari aku akan terperangkap di dalam hutan belantara yang gelap gulita, sendirian tanpa teman maupun kerabat.
Saat aku berteriak meminta pertolongan, suara takkan keluar dari tenggorokanku. Betapa keras usahaku untuk berteriak, suara takkan keluar. Yang ada hanyalah perasaan perih yang membakar tenggorokanku.
Ingin kulangkahkan kakiku, namun ke mana? Hutan itu begitu gelap dan dipenuhi oleh hewan yang berbahaya. Bila salah langkah aku akan langsung binasa. Satu-satunya pencahayaan yang ada di hutan itu hanyalah cahaya rembulan yang memantulkan sinar matahari. Begitu terang dan menyilaukan, namun cahayanya yang samar membuatku hampir tak menyadari cahaya itu.
Gelisah dan tak berdaya. Itulah situasi yang kurasakan.
Saat itu terjadi, aku pasti akan terbangun dari mimpi burukku dengan keringat yang membasahi sekujur tubuhku. Namun saat itu aku merasa telah 'terselamatkan'.
Mungkin bayangan itu tercipta karena kenangan buruk yang pernah kualami.
Suatu hari, aku terbangun di tengah sebuah hutan tanpa mengingat mengapa atau bagaimana aku bisa sampai di situ. Tubuhku yang kurus kering penuh dengan luka gores.
Seakan tubuh ini baru saja terluka akibat terdorong oleh sesuatu hingga terpental dan terus menerus menabrak tanah seperti batu yang terus memantul di atas air saat dilempar.
Entah sudah berapa lama aku tak sadarkan diri. Tubuh ini terasa sangat lelah. Rasanya aku bisa pingsan bila aku lengah.
Aku tak tahu siapa diriku. Yang kutahu hanyalah nama asliku—Dimo Ramdhan. Namun selebihnya hanyalah kehampaan seperti jurang tanpa dasar.
Siapa diriku? Siapa orang tuaku? Kenapa aku kehilangan ingatanku? Kenapa aku berada di sini?
Berapa kalipun aku menanyakan hal itu kepada diriku, jawabannya tak pernah muncul. Sebuah puzzle jigzaw tanpa kepingan untuk melengkapinya. Aku tak tahu harus pergi ke mana, yang kulakukan hanya berjalan tanpa arah dan berharap kalau suatu hari nanti akan menemukan jawabannya.
Entah mengapa yang kualami hari ini begitu mirip dengan apa yang terjadi di mimpi burukku.
Terperangkap di dalam hutan belantara di malam yang kelam, cahya rembulan hanyalah satu-satunya penuntun jalan.
Saat aku menoleh ke arah langit, sang rembulan menyambutku dengan cahyanya bersama dengan ribuan bintang yang bertebaran seperti seres di atas donat.
Memikirnya entah mengapa membuatku merasa sedikit lapar.
Perbedaannya adalah; aku memiliki tujuan yang jelas dan cara untuk menyelesaikan masalah ini.
Aku juga tidak sendirian. Itu terdengar sedikit romantis, tapi kumohon jangan berpikir begitu. Aku akan sangat senang bila yang menemaniku adalah perempuan, bukan laki-laki setinggi sekitar seratus tujuh puluh meter-an yang memakai pakaian pelindung yang beratnya tak bisa kubayangkan.
Aah, rasanya semakin aku menjomblo semakin mirip mindset ku dengan mindset Paman Tedi.
"Oi oi oi, kemana perginya kepercayaan dirimu itu? Bila kau ingin menjauhkanku dari mereka bertiga, percuma saja. Takkan ada yang berubah."
Hitter nampak tak kelelahan sedikitpun meski dengan membawa armor seberat itu. Tak ada satupun keringat menetes di tubuhnya, tak sedikitpun nampak adanya rasa lelah di matanya.
Sementara aku yang semakin kelelahan dan kehabisan mana.
Safe Zone sudah berhenti mengecil dan takkan mengecil lagi. Area yang tersisa untuk bertarung adalah masing-masing tujuh ratus meter dua hutan yang mengapir sungai dan sungai yang panjangnya sekitar delapan ratus meter.
Bila dua hutan itu kunamai dengan hutan a dan hutan b, aku sedang berada di hutan a. Hutan yang sama dengan hutan darimana aku berasal.
Aku terus berlari di tengah hutan, menghindari tiap pohon yang kulalui. Sejak memasuki hutan, aku sudah berlari sekitar delapan puluh kilometer. Dalam prosesnya, aku berhenti selama satu atau dua kali. Kurasa ini jarak yang cukup jauh dari mereka bertiga.
Selama berlari kubisa rasakan hembusan angin malam yang meniup wajah dan rambutku, begitu menyegarkan namun begitu dingin.
Ini membuatku teringat akan satu pepatah. Orang dewasa sering mengatakan kalau angin malam tidaklah baik untuk kesehatan, namun sampai saat ini aku tak pernah melihat adanya satupun orang yang sakit hanya karena tertiup angin malam.
Lupakan itu. Tubuhku semakin lelah di tiap langkah. Keringat dingin semakin mengalir deras di sekujur tubuhku. Paru-paruku terasa sesak dan tenggorokanku kering.
Meskipun dia berlari di belakangku, namun itu takkan berlangsung lama.
Sial, aku tak tahan lagi. Aku harus berhenti berlari untuk sesaat.
Dia mungkin benar. Setelah bertarung melawannya tadi, kemungkinan besar dia sudah menghisap habis seluruh mana milik Cyra, Sindy dan Zaki. Bila itu benar, maka yang kulakukan benar-benar percuma.
Tapi tujuanku bukan hanya itu. Aku akan memanfaatkan gelapnya hutan untuk mengalahkannya.
Aku juga sudah menyiapkan sebuah rencana.
Menghembuskan napas dingin, ku melompat berbalik lalu melemparkan Moonlight Shard pada Prometheus. Menyadari cahaya Moonlight Shard yang terang dan mencolok, Prometheus langsung mengaktifkan perisai apinya lalu menerobos menembus seranganku bak banteng yang mengincar matador yang mengibaskan bendera merah.
Sama seperti banteng yang kusebut tadi, dia berusaha menyerangku langsung dengan perisainya.
Tapi kau tahu, matador selalu berhasil menghindari banteng. Yah, kecuali beberapa dari mereka. Kau paham inti maksudku.
Melihat dahan yang tepat berada di atasku, aku menyarungkan kembali pedangku. Ku lihat kembali Prometheus, sembari mengukur jarak antaraku dan dia.
Saat jaraknya sudah dekat, aku melompat meraih dahan di atasku dan berhasil menghindarinya. Prometheus sempat mencoba berhenti dan berbalik untuk melanjutkan serangannya, namun berhasil kudahului dengan menendangnya lalu menyerang punggungnya dengan satu ayunan pedangku.
Ada satu hal yang membuatku berpikir. Prometheus tak pernah meminum satupun healing potion setelah terkena seranganku. Kemungkinan dia sudah kehabisan itu setelah bertarung melawan Sindy, Cyra dan Zaki. Bila tidak, dia takkan panik saat berhasil kusudutkan beberapa menit yang lalu.
Saat aku akan memberinya serangan lanjutan, dia memukul wajahku dengan perisainya. Aku beruntung karena durasi skill Burning Shield atau perisai api sudah habis saat itu.
Disaat aku terlempar dari dorongan perisainya, aku menembak kakinya hingga membuatnya ikut terjatuh dalam proses.
"Hah... hah...."
Suara napas yang kelelahan terdengar dari dua pihak.
Pada titik ini aku sedikit berharap kalau dia menyerah sehingga aku bisa pulang. Menyerah ya? Kumohon. Biarkan aku pulang.
"Open the Seal : Fire Bending : Tridant."
Gawat!
Prometheus melemparkan trisula tepat ke arahku. Disaat aku menghindar dengan melompat menaiki pohon, trisula itu menggores dan merobek kaki kiriku. Rasanya seperti setrika yang sangat amat panas ditaruh tepat di atas kakiku.
Trisula itu mendarat di rerumputan dan membangkitkan sang jago merah.
Berbeda dengan Fireplace yang langsung membakar dan mengubah targetnya menjadi abu, api yang tercipta dari trisula hanyalah api biasa yang liar nan panas.
Api yang liar itu menjalar ke segala arah. Membakar apapun yang di sentuhnya dalam sekejap. Rumput, daun, pohon, bunga, tak ada satupun yang luput darinya.
Hawa panasnya membakar permukaan kulitku dan membuat mataku sedikit perih.
Hutan gelap gulita yang sebelumnya kukenal, sudah berubah menjadi sesuatu yang lain.
Anehnya, Prometheus berdiri di tengah lautan api itu seperti sedang berenang di dalamnya.
Tch, jangan bilang api itu tidak melukainya?
"Kkh—!" Kaki kiriku yang terluka hampir membuatku kehilangan keseimbangan dan terjatuh dari atas pohon. Untungnya, aku berpegangan pada dahan hingga hal buruk itu berhasil kuhindari.
Aku takkan bisa bertarung dalam kondisi seperti ini
Aku meminum Healing Potion untuk memulihkan kaki kiriku. Lalu tanpa basa basi langsung meninggalkan tempat yang berbahaya itu.
"Hei Pangeran Negara Api, ayo kejar aku!"
Aku memancingnya sembari melompat dari satu dahan pohon ke dahan lainnya.
Selagi Prometheus mengejarku, aku terus mengedarkan pandanganku mencari pohon tertinggi di area ini. Ditambah lagi, pohon itu harus berjarak cukup jauh dari Prometheus sehingga di tak bisa menghisap mana-ku.
Sesekali kulempar Moonlight Shard untuk menerangi penglihatanku. Kadang aku juga melemparkannya ke Prometheus untuk memperlambatnya.
Selain itu, aku juga terus menjaga agar kapasitas manaku cukup untuk melakukan casting skill. Sayangnya sisa Mana Potion yang kumiliki hanya tiga buah.
"Ayo... Ayo...
Di mana kau?" Gumamku.
Itu! Kh... Tapi....
Oke, berita baik; aku berhasil menemukan sebuah pohon yang sangat cocok sebagai tempat untuk menghabisi Prometheus tanpa diketahuinya.
Berita buruk; pohon itu terletak di luar Safe Zone.
Tch! Mau bagaimana lagi.
Aku membuka peta, memperluasnya lalu menekan area yang kutuju.
Itu adalah tujuanku. Entah bagaimana, aku harus pergi ke tempat itu tanpa diketahui Prometheus—
"Huh?! Ini..."
Sebuah trisula melesat tepat di sebelah telingaku.
"Transport!" Sosoknya yang berpindah ke hadapanku menangkap trisula yang dilemparnya.
Sial, jarak ini terlalu dekat! Aku takkan bisa menghindari serangannya!
"Gawat—!!"
Prometheus menusuk kedua tanganku yang saat itu kugunakan untuk melindungiku. Tiga mata trisula itu menembus kulit dan otot kedua tanganku, membakar dan melelehkannya.
Lalu dia mendorong trisula itu hingga membuatku terpental sejauh dua puluh meter bersama dengan trisula itu menabrak pohon yang ada di belakangku.
Saking kerasnya tabrakan itu membuat tubuh pohon yang kutabrak remuk.
Clentang
Suara besi trisula yang terjatuh ke tanah setelah kulepas paksa dari kedua tanganku menggema di rongga telingaku.
Meskipun tanganku terasa perih dan sakit, keduanya masih bisa kugerakkan seperti biasa. Tapi tetap saja, aku perlu meminum Healing Potion untuk memulihkan stamina dan tubuhku.
Prometheus yang baru saja mendarat langsung mengambil trisulanya lalu memecahkan Healing Potion yang kugenggam.
"Aku sudah menunggumu melakukan itu!"
Sikutku memukul trisula itu hingga membuatnya menusuk pohon di belakangku. Trisula itu takkan membakar pohon itu tapi akan membuat area di sekitar tusukannya berubah menjadi arang.
Selagi Prometheus sibuk menarik trisulanya, aku berhasil menghadiahkan beberapa peluru tepat di tubuhnya sebelum akhirnya dia menepis peluruku dengan perisainya.
Dia lalu melepas trisula itu dan berusaha mundur dariku. Dia menarik pedangnya untuk diayunkan terus menerus ke arahku.
Aku terus menghindari ayunan pedangnya tanpa sekalipun membiarkannya menyenyuh pedangku. Alasannya hanya satu, karena Moonlight Shard masih aktif dan aku masih memiliki sisa dua ayunan.
"Open the Seal : Fire Bending : Bind!"
Sial, itu skill yang sama dengan yang dia gunakan untuk mengikat Zaki dan yang lainnya!
Trisula yang menancap di pohon langsung meleleh memasuki celah-celah pohon. Lelehan besi yang panas itu lalau mengambil wujud sebuah lingkaran sihir yang berukuran sama besarnya dengan ukuran tubuhku.
Dalam sekejap, tubuhku langsung terhisap ke dalam lingkaran sihir itu tanpa bisa menghindarinya.
"Gravitasi—?!" Pantas saja Zaki dan yang lainnya tak bisa lepas dari skill ini. Rasanya seperti tubuh ini ditekan langsung dengan menggunakan mesin Hydraulic Press bertekanan tinggi. Satu-satunya bagian dari tubuhku yang terbebas dari skill ini hanyalah kakiku, lebih tepatnya bagian lutut ke bawah.
"Tadi itu memang menyenangkan, tapi permainan harus berakhir." Ujar Prometheus.
Prometheus berjalan perlahan mendekatiku. Setelah bertarung melawanku, dia nampak begitu lelah, sungguh pemandangan yang berbanding terbalik dengan saat dia mulai melawanku.
Napasnya berantakan, dada dan pundaknya naik turun dan keringat membanjirinya. Aku bahkan bisa melihat napasnya karena dinginnya malam.
"Heheh..... hahahahahahahahaha!!"
Aku tertawa lagi. Tawa itu memecah keheningan malam yang dipenuhi suara jangkrik dan katak. Sebuah tawa yang diakhiri oleh seringaian yang sombong dan arogan.
Prometheus kembali menatapku heran. Tatapan yang sama dengan saat aku tertawa untuk yang pertama kalinya.
Setelah kurasakan untuk yang kedua kalinya, kurasa tatapan heran yang kuterima tak seburuk yang kukira.
Tak lama setelah itu, skill bind yang sebelumnya menghisap diriku lenyap. Lingkaran sihir yang mengikatku kembali menjadi sebuah perisai biasa dan jatuh di belakangku.
"Apa—?!"
"Untuk inilah aku menjauhkanmu dari mereka bertiga." Setelah terlepas, aku melakukan sedikit pemanasan untuk melemaskan otot tubuhku.
Aku sudah memprediksi ini. Skill Bind adalah sebuah skill jarak jauh yang dapat mengikat musuhnya selagi sang pemilik skill masih memiliki cukup mana untuk mempertahankannya.
Karena itulah dia bisa mempertahankannya selama ini.
Namun saat ini, disaat supply mana-nya hanya berasal dari satu orang dan orang itu sama sekali tak memiliki mana, skill itu akan terlepas dengan sendirinya.
Aku juga tidak pernah melihat Prometheus meneguk satupun mana potion. Ada dua kemungkinan;
Satu, dia terlalu percaya diri dengan skill Mana Drainnya sehingga dia tak membeli satupun Mana Potion.
Kedua, dia terlalu bodoh karena terlalu mengandalkan Mana Drain sehingga tak membeli satupun Mana Potion.
Yah, yang manapun tak masalah.
Kemungkinan skill Bind yang mengikat Sindy, Zaki dan Cyra juga sudah terlepas sekarang.
"Kau tahu, ada dua alasan mengapa aku tidak menggunakan pedangku."
Aku menengok melirik pedangku yang bercahaya.
Seolah tak ingin mendengar ocehanku, Prometheus langsung berlari menerjangku. Dia hunuskan pedangnya ke arahku beberapa kali, namun berhasil kuhindari tiap ayunannya.
Tch, kau bilang padaku untuk mendengarkan perkataanmu, namun sekarang kau malah mengabaikanku.
"Satu adalah untuk melakukan ini!"
Setelah melompat mundur, kulemparkan sebuah Moonlight Shard ke arah Prometheus. Pada titik ini, Prometheus sudah tidak memiliki setetespun mana sehingga satu-satunya pilihan baginya adalah untuk menghindari seranganku.
Lalu alasan yang kedua adalah;
Selagi Prometheus teralihkan, aku melompat ke atas pohon lalu melemparkan satu Moonlight Shard ke tanah.
Debu dan asap berhamburan memenuhi udara. Asap itu begitu tebal hingga menyulitkan siapapun untuk melihat. Ditambah lagi gelapnya malam memperburuk keadaan.
Siapa saja takkan bisa melihat apapun dalam situasi seperti itu.
Setelah meneguk seluruh Mana Potion yang tersisa, aku langsung bersembunyi dibalik sebuah pohon menunggu kesempatan.
"Baiklah, waktunya mengakhiri ini."