Biasanya, bila terjadi sebuah insiden, seseorang akan mencari sesuatu untuk membuatnya percaya atas insiden tersebut. Disaat seperti itulah mereka akan mengandalkan keenam indra mereka, khususnya pengelihatan.
Sebut saja terjadi sebuah pembunuhan yang dimana korbannya mati karena ditikam. Di pembunuhan tersebut, terdapat satu orang yang menjadi tersangka. Namun, tanpa ada bukti yang cukup untuk mempidananya, orang itu takkan bisa dipenjara.
Sang polisi harus mencari bukti, berupa pisau atau benda-benda lainnya yang bersangkutan dengan pembunuhan tersebut. Benda-benda seperti itu akan membantu polisi dalam menangkap pelaku. Namun tanpa itu, jangankan memasukannya dalam jeruji besi, bahkan memvonis tersangka saja takkan bisa.
Saat bukti sudah ditemukan, misalnya pisau yang digunakan untuk membunuh korban—maka akhirnya polisi akan memiliki kesempatan untuk menangkap tersangka.
Itulah bukti nyata kalau manusia sangat mengandalkan pengelihatan mereka untuk bisa membuat diri mereka percaya akan suatu hal.
Akupun begitu, aku takkan langsung percaya bila aku tidak melihat insiden yang terjadi dengan mata kepalaku sendiri.
Fakta itu juga tak lepas dari Prometheus.
Namun ingat; Hal itu juga bisa menjadi pisau bermata dua.
△▼△▼△▼△
Kepulan asap memudar. Prometheus yang sebelumnya kehilangan arah akhirnya bisa kembali melihat area di sekitarnya.
Saat itu terjadi dia pasti langsung menyadari lenyapnya sosokku.
Dia pasti akan langsung mencari diriku.
Mungkin hanya butuh beberapa menit baginya sampai akhirnya dia menemukan diriku.
"Di mana kau? Kuberitahu saja, aku mungkin tak mempunyai mana potion, namu kau punya.
Situasi antara kau dan aku saat ini sama. Hanya dua petarung tanpa mana yang hanya bisa mengandalkan kemampuan bertarung mereka."
Sial, aku harap aku bisa melihat ekspresi soknya untuk melakukan tsukommi terhadapnya. Ditambah lagi, jarak ini membuatku tak bisa mendengar suaranya dengan jelas.
Meski begitu, yang Prometheus katakan benar. Aku dan dia tak memiliki apa-apa lagi selain senjata dan fisik kami. Aku tak bisa meminum mana potion, itu hanya akan memberinya suplai mana gratis.
"Ho... Apa kau sadar kalau ujung pedangmu sedikit menonjol di balik pohon itu?"
Tsk! Kurasa dia melihat pedangku.
Tak ada yang bisa kulakukan. Takkan ada yang berubah bila aku menarik atau tidak menarik pedangku. Yang bisa kulakukan hanya menunggu hingga dia cukup dekat lalu menyerangnya.
Prometheus semakin mendekat.
Aku bisa melihatnya sosoknya dari samping melalui rongga teropong berbentuk bulat dengan titik yang berfokus tepat di tengah lingkaran.
Semakin mendekat.
Kustabilkang peganganku. Tangan kiriku yang membentuk huruf "V" menggenggam handguard, huruf yang terdiri dari jempol dan jari telunjukku. Aku harus menggenggamnya dengan ringan dan pergelangan tanganku harus sejajar dengan jari-jari yang melengkung alami di sekitar handguard bagaikan jabat tangan yang buruk.
Untuk yang kesekian kalinya kupastikan ujung belakang senapan AWM-ku pada kantung bahu yang berada di sisi tangan kananku.
Dengan pipiku yang terjatuh rileks pada popor senapan, itu memantapkan dan menjamin mataku mengarah lurus tepat pada alat bidik.
Kutarik napasku dalam-dalam lalu mengeluarkannya secara alami. Jangan tahan napasku, itu akan mengacaukan tembakanku.
Hembusan angin yang dingin dan sejuk membelai wajahku. Rasanya begitu lembut hingga membuatku sedikit mengantuk. Suara dedaunan yang bergesekan akibat hembusan angin itu memenuhi gendang telingaku berpadu dengan suara angin memecah kesunyian.
Sesekali bisa kurasakan dedaunan yang mencolek tubuhku seperti mengajaku bermain.
Yah wajar saja, apalagi bila kau berada sekitar empat puluh meter di atas pohon.
Keberadaanku yang di luar Safe Zone mengubah tubuhku menjadi bom waktu. Hanya butuh beberapa menit hingga Hp-ku habis karena Safe Zone.
But act justified the means.
Bila ini bisa membuatku mengalahkan Prometheus. Aku tak keberatan bila aku kehilangan setengah Hp-ku.
Bagaimana aku bisa sampai di atas sini dengan cepat?
Sebenarnya cukup mudah. Ide ini muncul saat aku membuka peta dan menetapkan tujuan.
Setelah aku menekan pohon ini di peta, sebuah tabel kotak berisi koordinat pohon ini muncul tepat di atas jariku. Saat itulah aku teringat kata-kata Kak Dinda saat presentasi awal tadi.
Jadi aku langsung menyalin kordinat itu sebelum Prometheus sempat menyerangku.
Aku tahu kalau melakukan teleportasi membutuhkan mana.
Karena itulah aku menyerang tanah untuk menyebarkan debu ke segala arah sehingga memberiku cukup waktu untuk mengisi mana dan melakukan teleportasi ke sini.
Sebagai catatan, aku juga menyimpan kordinat pohon yang dihampiri Prometheus bila aku ingin kembali ke sana.
Jadi aku harus melakukan tiga kali teleportasi untuk melakukan semua ini. Pertama, berpindah ke sini; Kedua, berpindah ke sisi paling tinggi pohon; Ketiga, untuk kembali.
Baiklah, kembali fokus.
Sosok Prometheus semakin mendekati pohon dimana pedangku berada. Dirinya lalu menyentuh tubuh pohon dan berniat untuk melihat sosok yang ada di balik pohon.
Ingat saat kubilang bahwa pengelihatan bisa menjadi pisau bermata dua? Inilah momen yang kumaksud.
Saat ini Prometheus begitu yakin kalau diriku sedang bersembunyi di balik pohon.
Sayang sekali, namun tidak ada siapa-siapa di balik pohon itu.
"Checkmate."
Dor!
Aku menarik pelatuk.
Suara tembakan menggelegar seperti kilat. Suara itu langsung membuat burung dan serangga yang berada di sekitar pohonku berterbangan menjauh dariku. Suara itu pula membuat telingaku terasa sakit karena begitu kencangnya.
Di saat yang sama, sebuah peluru langsung terlontar keluar dari mulut AWM-ku. Melesat dengan cepat membelah angin hingga berbaur bersamanya.
Setelah itu aku langsung mengkokang senapan itu, mengeluarkan cangkang peluru dari dalam senapan lalu menyimpannya kembali ke dalam inventory-ku. Begitu pula dengan pedang yang kuletakkan di balik pohon.
Tentu saja Prometheus akan langsung menyadari peluru yang datang ke arahnya saat mendengar suara tembakanku. Tindakan yang diambilnya pastilah menahan peluru itu dengan perisainya.
Saat itulah yang kutunggu.
Sementara Prometheus menepis peluruku aku langsung melakukan teleportasi tepat di belakang tubuhnya.
Kesadaranku memudar, hanyut bersama tubuhku yang berubah menjadi potongan piksel sesaat setelah kuaktifkan teleportasi. Saat kesadaranku kembali, yang kulihat pertama kali dengan kedua mataku adalah punggung Prometheus.
Akan menyenangkan rasanya bila yang kulihat adalah punggung perempuan.
Selagi potongan piksel tubuhku menyatu kembali bagaikan rangkaian puzzle, aku bisa melihat dengan jelas percikan api yang tercipta saat perisai miliknya beradu dengan peluru yang kutembakkan. Aku juga bisa melihat celah di pelindung punggungnya yang aku ciptakan.
Cahaya yang tercipta akibat teleportasiku pasti akan langsung membuatnya sadar akan kehadiranku. Tapi itu takkan mengubah apa-apa, dia takkan punya cukup waktu untuk bereaksi.
Mana Drainnya juga takkan berguna. Meskipun aku masih memiliki mana, namun itu takkan bertahan lama. Akan kukerahkan seluruh sisa mana-ku untuk melakukan serangan akhir.
"Open the Seal : Moonlight Sword!"
Moonlgith Sword; Sebuah kemampuan yang kudapatkan setelah aku mencapai level sepuluh berkat mengalahkan Anastasia. Skill ini mendorong kemampuan pedangku hingga mencapai puncaknya. Baik kecepatan maupun kekuatan, keduanya didorong berkali-kali lipat.
Cahaya bulan seakan terhisap masuk ke dalam pedangku.
Sontak pedang itu mengeluarkan butiran-butiran cahaya berwarna perak bak rembulan. Begitu samar namun menyilaukan dan indah. Melihatnya saja membuat perasaanku hangat.
Kuayunkan pedangku memotong celah di pelindung pungung Prometheus. Ayunanku yang cepat dan kuat langsung menghancurkannya hingga membuatku menyisakan luka gores di sekujur punggun Prometheus.
Aku terus melanjutkan seranganku hingga aku sendiri tak tahu sudah berapa kali aku menyayat punggungnya.
Satu detik, dua detik, tiga detik. Waktu terus berlalu, di tiap detiknya lebih dari lima ayunan kuberikan padanya.
Tiap ayunan begitu cepat namun juga begitu akurat. Berkat kelas Gunman aku bisa melihat ayunanku dengan jelas, namun dari sudut pandang orang ketiga, ayunanku hampir tak kasat mata.
Serangan itu aku akhiri dengan sebuah tusukan yang menembus langsung jantung dan dadanya. Dengan kasar kutarik kembali pedangku lalu menendang Prometheus hingga membuatnya terjatuh tak berdaya.
"Hah... hah...."
Akhirnya pertarungan berakhir dengan kemenanganku.
Sangat mustahil bagi Prometheus untuk melakukan serangan balasan. Baik Hp maupun mana, dia sudah kehilangan semuanya.
"Tak kusangka aku kalah darimu." Prometheus batuk dan memuntahkan darah selagi dia berbicara.
Entah mengapa dia tertawa setelahnya. Tawa itu bukanlah tawa yang penuh kekesalan, penyesalan serta keputus asaan. Namun sebuah tawa lega yang ramah.
Tubuhnya yang tertelungkup di tanah mulai memudar. Potongan-potongan piksel tercipta selagi dia tertawa. Terbenam dalam genangan darah yang mengalir keluar dari lubang di dadanya. Namun dia tetap tertawa seakan tak peduli.
"Ya..." Balasku.
"Tapi itu menyenangkan. Aku bersyukur karena telah mengikuti pertandingan ini dan bertemu musuh kuat sepertimu." Dia tersenyum lembut menyipitkan kedua matanya.
Semua tatapan sinisnya, kesombongannya juga egonya terasa seperti sebuah kebohongan besar. Saat aku melihat senyuman itu aku berpikir;
Tidak mungkin orang dengan senyuman sepertinya mampu bertindak jahat.
Namun itu hanyalah pemikiran sesaat.
"Ya..."
"Aku harus berterima kasih pada orang itu. Bila aku tidak bertemu dengannya dan membuat kesepakatan... hal ini takkan pernah terjadi."
Orang itu....?
Sekali lagi Prometheus memuntahkan darah dari batuknya. Tujuh puluh persen dari tubuhnya sudah lenyap. Dia hanya bisa bertahan beberapa detik lagi.
"Tunggu dulu, apa maksudmu dengan orang itu?"
Mengabaikan pertanyaanku, Prometheus hanya terdiam dengan tatapan ramah. Lalu dia memejamkan kedua matanya dan berkata "Terima Kasih" sebelum akhirnya lenyap meninggalkanku dan pertanyaanku tak terjawab.
"Ya sudahlah."
Kujatuhkan tubuhku di pohon. Aku merosot ke bawah dan duduk di tanah.
Langit tinggi nan indah berhiasi bintang menangkap perhatianku.
Meskipun aku berkata 'Ya sudahlah' itu tak pernah ya sudahlah.
Kata-kata terakhirnya membuatku bertanya-tanya, apakah ada orang yang sengaja mempertemukanku dengannya?
Kalau ku pikir, memang aneh bila aku, Sindy dan Zaki, tiga orang dari satu distrik dan kota yang sama bisa berada di turnamen dimana pesertanya dipilih secara acak.
Bila ini memang sepenuhnya kebetulan, maka 'Dewa Gacha' benar-benar mencintai kami bertiga.
"Ya ampun..." Aku menghela napas dalam. Mungkin helaan yang paling dalam yang pernah kubuat.
Kubenamkan pertanyaan itu dalam pikiranku. Memaksanya tenggelam seperti anak-anak kecil yang mengerjai si kutu buku di kelompok kelasnya dengan cara memaksa kepalanya masuk ke dalam kolam.
Astaga itu terdengar sangat buruk.
Aku kembali berdiri.
Baiklah, sekarang aku harus mengurusnya.
Sret!
Kutepis panah itu dengan ayunan terakhir pedangku sebelum durasi skill Moonlight Shard habis. Panah yang familiar.
"Aku sudah menunggumu lho, Cyra."
Cyra berjalan keluar dari bayang-bayang hutan. Sosoknya yang serba hijau dihujani cahaya rembulan. Meskipun terdengar indah, namun tidak seindah kenyataan.
Dia menatapku dingin sama seperti caranya menatap Prometheus.
Sudah kuduga dialah yang pertama datang kemari. Diantara Sindy, Zaki dan dirinya, dialah yang memiliki kecepatan paling tinggi. Tak lupa dengan kemampuan melompatnya, dengan itu dia bisa melompat dari satu pohon ke pohon lainnya dengan cepat.
Karena itulah dia bisa menjadi orang pertama yang berhasil menemukanku.
Tujuan awalnya adalah untuk melakukan Killing Steal terhadap Prometheus, namun setelah mengetahui kalau aku berhasil mengalahkannya sendirian, Cyra mengganti targetnya dan menganggapku sebagai ancaman baru.
Tanpa berbasa-basi Cyra menembakkan panah-panahnya ke arahku. Dengan staminaku yang sedikit, aku hanya bisa menghindari beberapa dan sisanya berhasil mengenai kakiku.
Apalagi mana-ku sudah benar-benar habis, pertarungan ini akan berakhir mudah baginya.
Sebelum dia kembali menembakku, kutarik panah itu keluar dari kakiku lalu melemparkannya kembali ke arah Cyra . Panah itu langsung mengacaukan Cyra dan memaksanya untuk menghindar.
Asal kau tahu saja, kau bukan satu-satunya di sini yang bisa menembak.
Kuambil revolver dari Inventory lalu berlari mendekati Cyra sembari terus menembakinya dengan kelima peluru yang ada di revolverku. Beberapa peluruku berhasil mengenainya, namun sisanya berhasil dihindarinya dengan mengandalkan tubuh atletis dan kecepatannya.
Dia terus melompat mundur—berjungkir balik seperti akrobat dengan tubuhnya yang ringan seringan kapas.
Cyra hanya menyerang saat aku sedang mengisi peluruku. Mulutnya bergumam menghitung peluru yang kutembakkan "Satu... Dua... Tiga..." menghitung hingga peluru ke-lima. Setelah peluru ke-lima ditembakkan, dia akan berhenti, mengambil busur dan membidikku.
Saat itu terjadi, gilirankulah untuk menghindari serangannya. Sayangnya tubuhku tidak selincah Cyra hingga serangannya sering kali mengenaiku.
"Open the Seal : Triple Wind Arrow!"
Hembusan angin yang berasal dari tiga anak panah yang ditembakkannya langsung mengoyak dan menyayat rumput, pohon dan juga daunnya. Tak ada satupun celah yang luput dari hembusan angin itu.
"Gawat—!" Tanpa berpikir panjang aku melompat meraih dan merangkul dahan pohon di atasku dengan tangan kiriku.
Ketiga anak panah itu melesat melintas di bawah tubuhku lalu menancap tepat di tubuh pohon.
Berkat menggantung di atas sini, aku berhasil menghindari serangan mematikan itu.
Tapi saat aku menoleh ke atas, aku baru menyadarinya.
Sepatunya yang bermandikan cahaya bulan adalah yang pertama menangkap perhatianku. Lalu awan yang menutupi rembulan telah lewat, sosok Cyra-pun tersingkap.
Tatapan sinisnya yang tajam benar-benar mengubah mata hijaunya yang indah menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang penuh ambisi.
Bukan hanya itu saja yang kulihat.
Sebenarnya, jauh sebelum aku melihat wajahnya, aku melihat sebuah mata panah yang mengarah langsung tepat ke mataku. Namun aku memilih untuk mengabaikannya dan memandang pemandangan indah yang kudapatkan secara cuma-cuma.
Kapan lagi aku bisa melihat sosok perempuan berparas cantik yang dinaungi cahaya bulan? Kurasa ini takkan pernah terulang untuk yang kedua kalinya.
Rambut hijaunya tertiup angin malam, dengan tatapannya yang tajam sang putri rembulan membuka bibirnya yang elok.
"Ini sudah berakhir. Buang kedua senjatamu dan aku akan memberimu akhir yang tidak menyakitkan!"
Kupejamkan mataku dan menghembuskan napas pasrah.
Yah, mau bagaimana lagi.
Bukankah sudah waktunya bagi kita untuk menghentikan pentas ini dan menghapus tata rias yang menutupi wajah kita yang sesungguhnya?
"Aah... aku sudah tidak semangat lagi. Aku menyerah." Kulepaskan rangkulan tangan kiriku dan membiarkan tubuhku jatuh. Setelah itu, aku mengangkat kedua tanganku dengan dua senjata yang masih bersarang di keduanya.
Setelah bertarung melawan Prometheus, aku sama sekali tak meminum satupun Health Potion. Hp-bar ku benar-benar sudah kritis dan mana ku habis. Aku benar-benar berada di posisi yang tidak diuntungkan. Lagipula tak ada artinya aku bertarung melawannya.
Maaf Zaki, tapi aku harus berhenti di sini.
Cyra tersentak. Dirinya tak bisa berkata-kata dan hanya menatapku penuh kejutan. Sesekali dia membuka mulutnya, namun apapun yang ingin dia sampaikan tak pernah keluar.
Setelah dua menit terdiam, Cyra bertanya.
"Apa maksudnya ini....?"
"Kau bisa menghentikan aktingmu sekarang, Leila. Setelah mengenalku cukup lama, kau pasti paham orang seperti apa aku ini.
Aku mungkin orang egois dengan ego besar yang rela melakukan apapun agar keinginanku terpenuhi. Namun aku bukanlah keparat yang tega mendahulukan egoku diatas nyawa orang lain."
Kedua matanya terbelalak mendengar jawabanku. Bibirnya bergetar, alisnya naik turun sementara matanya melirik kesana-kemari mencari objek pelampiasan.
Dia lalu menggelengkan kepalanya dan melompat turun. Berdiri di belakangku, panah dan busurnya yang sebelumnya mengendur setelah mendengar jawabanku kembali dia arahkan padaku. Begitu dekat hingga aku bisa merasakan ujung mata panahnya bersentuhan dengan helaian rambutku.
"Lalu mengapa? Hanya karena aku kenalanmu bukan berarti aku akan melepaskanmu. Di pertandingan ini kita adalah musuh!"
Tiap kata-katanya yang menggebu-gebu langsung menusuk ke dalam gendang telingaku. Yang Leila katakan benar. Kita memang musuh.
Tetapi, mau bagaimanapun juga Leila adalah teman sekelasku. Aku mungkin tak terlalu dalam mengenalnya, namun itu tak mengubah fakta bahwa dia adalah kenalanku.
Leila Fitriyani, aku pertama bertemu dengannya saat tak sengaja bertatap mata dengannya saat di pintu gerbang sekolah di hari pertama SMA ku. Hal itu membuat situasi menjadi canggung diantara kami berdua sehingga aku hanya mengabaikannya lalu lanjut mendorong pedal sepedahku menuju tempat parkir sepedah.
Kesan pertama yang kudapatkan dari kejadian itu adalah firasat buruk mengenai masa SMA ku. Apalagi situasi canggung itu benar-benar membekas di ingatanku.
Selain itu, warna rambutnya yang unik memberikan kesan yang dalam hingga aku bisa langsung mengenalinya hanya dengan melihat helaian rambutnya.
Hal yang tak kusangka adalah kami berdua mendapat kelas yang sama.
Kukira situasi akan menjadi canggung, namun malah sebaliknya. Leila menjadi moodbooster dan artis kelas karena parasnya yang cantik. Sudah begitu dia terkenal ramah dan sopan hingga siapapun akan merasa nyaman saat mengobrol bersamanya.
Yah meskipun aku jarang berbicara dengannya, namun aku bisa mengetahui ini hanya dengan mengamati ekspresi tiap orang yang mengobrol bersamanya. Semua orang menyukainya.
Meskipun sejujurnya, aktingnya sebagai Cyra begitu meyakinkan hingga membuatku hampir tidak menyadari identitasnya.
Aku baru menyadarinya saat kami mengobrol bersama di dekat toko. Perasaan familiar serta pembicaraan ringan yang berakhir berat itu mendorong diriku hingga mencapai satu kesimpulan.
"Aku tak memintamu untuk melakukan itu. Malah, aku ingin membantumu menang."
Aku lirikkan wajahku ke belakang. Ingin kutatap langsung kedua matanya untuk bisa meyakinkannya bahwa aku bersungguh-sungguh dengan kata-kataku, tapi kelihatannya itu takkan terkabulkan.
Leila hanya terdiam membuang wajahnya.
Tapi untuk sekali lagi, tarikan panahnya mengendur.
"Sekarang, bolehkah aku turunkan tanganku? Tanganku mulai terasa pegal..."
Dia hanya terdiam tanpa reaksi.
Apa itu pernyataan 'Ya' atau 'Tidak'? Yang mana?
Yah terserah, akan terus kuangkat tanganku hingga aliran darahku tidak mengalir lagi di telapak tanganku.
Sekarang...
"Meski begitu, terus terang aku masih tidak mengerti kenapa kau tidak meminta bantuan kami." Aku bertanya.
"Kenapa aku tidak meminta...? Apa kau lupa kalau ini adalah pertandingan. Pastinya semua orang yang ada di sini menginginkan hadiah uang itu! Dan aku tidak bisa mengambil resiko begitu saja!" Leila menjawab dengan tegas. Meskipun tegas, suaranya terdengar bergetar, gurih dan sedikit tertahan.
Jadi dia tidak mempermasalahkan diriku yang menggunakan kata "Kami", yang artinya sejak awal dia sudah mengetahui identitasku, Zaki dan Sindy. Mengetahui itu sejujurnya membuat dadaku terasa sesak.
Ada kemungkinan bahwa Leila tidak percaya kalau aku, Sindy dan Zaki akan benar-benar membantunya. Di turnamen dengan hadiah sebesar ini, kurasa wajar bagi Leila untuk tidak mempercayai siapapun.
Apalagi dengan kondisinya saat ini, tidak heran apabila rasa paranoid dan rasa takut menyelimuti hatinya.
Pikirkan baik-baik, ini adalah sebuah turnamen dimana tiap pemain harus memenangkan undian untuk bisa terdaftar sebagai peserta. Memenangkannya adalah sebuah kemungkinan satu banding seratus.
Tapi Leila berhasil memenangkan undian, sama seperti peserta lainnya. Ini adalah kesempatan sekali seumur hidup. Itulah yang membuatnya yakin kalau seluruh peserta yang ada di turnamen ini mengincar hadiah yang sama.
Mengajak kerja sama seseorang bisa membuatnya berpikir dua kali. Takkan ada jaminan bila orang itu tidak akan berkhianat.
Selain itu kami juga tak menduga kalau dia akan benar-benar mengikuti turnamen ini setelah mengetahui kondisi adiknya.
Hal ini kembali menuntunku pada pernyataan Prometheus sebelum dia lenyap.
Kenyataan kalau kami berempat bisa berada di turnamen yang sama sungguh sulit dipercaya.
Tapi untuk saat ini, mari sisihkan dulu misteri itu dan fokus pada masalah yang ada di hadapanku.
Suara jejak kaki menggema di sekujur hutan. Begitu tergesa-gesa dan ceroboh. Aku bisa mendengar langkah kaki itu tersandung sekali dua kali.
"Ramdhan, kami datang untuk membantu... mu....?"
Tatapan Sindy terhadap situasiku dan Leila membuatnya memotong kata-katanya menjadi dua. Bukan hanya absennya sosok Prometheus membuat mereka bingung, tapi kenyataan bahwa Leila berdiri di belakangku dengan panahnya yang bisa dengan mudahnya kapanpun dia lepaskan menembus tempurung kepalaku membuat mereka semakin bingung.
"Dimo, apa yang terjadi? Apa kau berhasil mengalahkan Prometheus?" Tanya Zaki.
"Ya, begitulah."
"Kalau begitu mengapa Cyra...?" Mengikuti jawabanku, Sindy mengangkat mulutnya. Dia terus memasang posisi was-was, aku bisa membayangkan dirinya langsung menarik pistolnya dan menembak Cyra.
"Oh ini? Maksudmu Leila...?" Aku mendorong kepalaku ke belakang—menunjuk pemanah yang sejak tadi tak letih-letihnya menunjukkan taringnya.
Kedua mata Zaki dan Sindy melebar ketika menerima informasi yang keluar dari bibirku. Untuk sesaat, Sindy bahkan menurunkan kewaspadaannya tapi langsung kembali ke posisi semula. Sementara untuk Zaki, dia hanya mendongkakkan wajahnya ke depan.
"Eh? Tidak mungkin. Tidak, tidak, tidak. Tidak mungkin orang ramah dan alim seperti Leila adalah Cyra. Maksudku, mereka jelas-jelas memiliki kepribadian yang berbeda.
Lagipula saat ini adik perempuannya sedang dirawat setelah kecelakaan. Tidak mungkin Leila meninggalkannya hanya untuk mengikuti permainan ini." Zaki terus menolak pernyataanku.
"Tidak, yang dikatakan Dimo itu mungkin saja. Apalagi nama Leila tertulis di daftar peserta." Ujar Sindy mendukungku. Zaki yang sebelumnya seperti hewan liar langsung jinak setelah mendengar pendapat Sindy.
Terima kasih sudah menjinakkannya, Sindy.
"Kau memang benar, adiknya memang sedang dirawat. Namun, kau bisa mendapatkan alasan yang kuat mengapa Leila berada di sini hanya dari cerita simpel itu."
Sindy memegang dagunya menunduk, berpikir sesaat mencari jawaban dari petunjuk yang kuberikan. Tak sampai satu menit lamanya hingga wajahnya terangkat secara alamiah seakan telah menemukan jawaban dari teka-teki yang aku berikan.
Sementara Zaki hanya terdiam tak memikirkan apapun seperti tak paham apa maksudku.
"Maksudmu..."
"Tepat sekali, uang. Karena biaya rumah sakit yang mahal, orang tuanya pasti harus bekerja lebih keras demi membiayai adiknya.
Simpelnya, dia melakukan ini demi adiknya. Dia tidak sanggup berdiam diri sementara orang tuanya mencari uang demi kesembuhan adiknya."
Leila adalah seorang kakak dan seorang kakak memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan melindungi adiknya dalam situasi apapun. Perasaan tanggung jawab itulah yang mendorongnya untuk melakukan tindakan ini.
Hubungan keluarga adalah sebuah hubungan yang paling erat. Takkan terputus sampai akhir jaman, kau tak bisa memaksanya putus atau melepaskannya begitu saja.
Karena mau bagimanapun, waktu yang kalian habiskan—momen yang kalian dapatkan sebagai keluarga akan tetap ada. Manis dan pahit, semua itu dilalui bersama. Hubungan yang tercipta itu akan semakin kuat tiap detiknya.
Keluarga tertawa, menangis bahkan bertengkar namun itu menunjukkan bahwa mereka peduli pada satu sama lain.
Hubungan yang nyata dan jujur.
Itulah kenyataan dalam hidup.
"Leila, kenapa kau tidak bilang kepada kami? Kami pasti akan bersedia membantumu." Tanya Sindy, namun Leila masih terdiam.
Aku juga telah menanyakan hal yang sama sebelumnya, dan jawaban yang kudapatkan sepahit kopi hitam yang tidak diberi gula.
"Lei—"
Sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku, aku bisa merasakan hembusan angin yang dilepaskan meniup punuk leherku. Itu tak lain, dan tak bukan adalah hembusan angin yang tercipta akibat anak panah yang dilepaskan.
Aku sudah menduga akan seperti ini.
Aku ayunkan tangan kananku yang sejak tadi aku angkat ke belakang kepalaku—mengakibatkan pedangku menepis tembakan Leila.
Melihat serangannya yang gagal, Leila langsung melompat mundur. Dia berusaha semaksimal mungkin menjaga jaraknya dariku, Zaki dan Sindy. Dan tanpa basa-basi, dia kembali mempersiapkan anak panahnya untuk ditembakkan.
Aku berbalik menghadapnya, lalu—
Clentang!
Suara logam yang memantul bertubrukan dengan permukaan tanah yang keras langsung menangkap perhatian semua orang.
Suara itu jelas, berasal dari pedang dan pistol yang kujatuhkan.
Dan masih dengan kedua tanganku yang kuangkat tinggi menghadap rembulan, aku gerakkan bibirku yang kering;
"Sudah kubilang bukan, aku bukanlah lawanmu. Bila kau masih tak percaya padaku, maka aku akan mengatakannya sekali lagi; Aku menyerah."
Terkejut atas tindakanku, tanpa dia sadari dia renggangkan tarikkan panahnya.
Bersama dengan jatuh heningnya Leila, muncul sebuah User Interface di hadapan wajahku yang menanyakan apakah aku benar-benar menyerah atau tidak. Tanpa ragu aku menjawab "Ya."
Dengan ini aku takkan bisa bertarung lagi. Yang bisa kulakukan hanya menonton sisa pertandingan secara langsung atau menontonnya di ruang tunggu, semuanya tergantung keputusanku.
Melihat tindakanku, Sindy memejamkan matanya dan menghembuskan napas berat. Lalu dia tersenyum tulus nan lembut dan berkata;
"Aku juga akan menyerah."
"Oi, serius? Apa kau yakin?" Tanyaku.
"Ya, bila ini bisa membantu Leila maka aku tak keberatan sama sekali." Dia menyimpan kedua pistolnya lalu menatapku optimis.
"Lagipula aku tak bisa menemukan apa yang kucari di sini....."
Kata-kata terakhir yang dia bisikkan tak bisa begitu kudengar dengan jelas. Namun aku terlalu takut untuk bertanya balik dan kelihatannya itu tidak ada urusannya dengnaku. Kasus selesai.
"Kau lihat? Tidak ada yang perlu ditakuti. Kami adalah sekutumu." Aku mengangkat tangan kananku pada Leila, mencoba memberinya raihan tanganku. Diikuti Sindy yang berdiri di sisiku, ikut memberikan raihan tangannya.
Melihat uluran tanganku dan Sindy, wajah Leila mulai melembut. Seakan awan mendung yang terus menaungi wajahnya menghilang. Dia rendahkan panah yang dia tunjuk pada kami, tarikannya juga sudah sepenuhnya terhenti.
"Bagaimana Zakaria? Apa kau bersedia mengundurkan diri bersama kami?" Tanya Sindy.
Dengan Zaki bergabung denganku dan Sindy, tak ada pilihan bagi Leila selain untuk mempercayai kami.
Dan melihat kepribadian Zaki, aku yakin kalau dia akan setuju dengan keputusanku dan Sindy.
Ya, itulah Zaki yang kukenal.
Seharusnya begitu
Terus kenapa....—
—Dia hanya terdiam...?
Zaki hanya terdiam menunduk, lalu menatap Leila. Untuk sesaat, pelipis matanya sedikit melebar seperti terkejut akan apa yang dia baru saja lihat.
Tak lama kemudian dia menggelengkan kepalanya lalu menengok ke arahku dan Sindy seperti mengkonfirmasi sesuatu.
Lalu, dia pejamkan kedua matanya sesaat dan membuka mulutnya.
"Tidak. Aku tidak akan menyerah."
Itulah jawaban yang diberikan oleh Zakaria Maulana atas situasi ini.
"Ke, Kenapa?" Sindy tersentak. Dia berusaha mengubah pikiran Zaki, tapi lawan bicaranya hanya diam seperti patung.
"Su, Sudah kuduga aku tidak bisa mempercayai kalian—!" Kembali mengangkat busurnya, Leila mengaum. Dia kembali menjaga jaraknya dari kami bertiga.
Sial, situasi malah memburuk.
Sebenarnya apa yang dipikirkan Zaki pada situasi seperti ini!?
"Hei Zaki. Lupakan saja uang hadiah itu—"
"Percuma saja kalian membujukku!" Sebelum aku sempat membujuknya, Zaki menyambar dengan aumannya.
Aumannya langsung membuat membekukkan mulut dan pita suaraku.
Setelah itu, dia terdiam sesaat dan menatapku dengan tatapan lembut.
"Dimo, percayalah padaku—Aku tahu apa yang sedang kulakukan." Dia tersenyum lembut.
Nada suaranya berat dan gurih, aku bisa merasakan kekhawatiran yang di tiap kata-katanya. Tatapannya sedikit kosong namun serius, dia bahkan mencengkram erat pedang di tangan kanannya.
Zaki bukanlah orang jahat. Kenal bertahun-tahun dengannyalah yang mungkin telah membuatku hafal akan niatnya.
Tak bisa dipungkiri dialah orang yang paling simpatis diantara kami berempat. Karena itu dia paham akan emosi serta hubungan antar individu. Terkadang aku berpikir kalau dia bisa membaca apa yang ada dipikiranku hanya dengan melihat ekspresiku.
Rubah itu pasti memiliki maksud baik di tindakannya kali ini.
Dan sebab itulah aku akan mempercayainya.
"Tunggu, Zakaria—"
Aku menangkap tangan Sindy yang berusaha meraih pundak Zaki. Melihat itu Sindy menengokku dan menatapku heran.
Kubalas tatapan Sindy dengan sebuah anggukan lembut. Namun nampaknya Sindy masih belum mengerti apa maksudku dan Zaki.
"Baiklah, kami mengerti. Aku dan Sindy akan menonton pertarungan kalian di ruang tunggu." Ujarku.
"Tapi—Dimo!" Eluh Sindy.
"Akan kujelaskan nanti, untuk saat ini kita keluar dulu dari turnamen ini.
Dan untuk Leila..." Aku tolehkan wajahku menatap Leila yang sekali lagi menunjukkan taringnya. Mengabaikan situasi senggang antara kami dan dirinya, aku mengatakan perpisahan "...Semoga berhasil."
Aku kembalikan tatapanku pada Sindy.
Kelihatannya dia masih belum puas dengan jawabanku. Itu terlihat jelas dari ekspresinya yang sedikit memelas. Bahkan setelah kulepaskan tangannya, dia masih menunduk sedih membuang wajahnya.
"Ayo kita keluar." Ajakku.
Dia hanya mengangguk lalu membuka menu.
Zaki adalah sahabatku, karena itulah aku mempercayainya. Dialah yang telah memulai ini dan dia pula orang yang tepat untuk mengakhiri ini.
Aku dan Sindy mungkin mengerti atas bagaimana perasaan Leila, tapi diantara semuanya, mungkin sosok yang paling mengerti perasaan Leila yang sesungguhnya hanyalah Zaki. Hanya dia yang bisa meraih sosok Leila yang tenggelam di sebuah lautan yang disebut 'perasaan'.
Bukan aku maupun Sindy, tapi kau.
Karena itulah, pertarungan terakhir kuserahkan padamu—Zaki.
△▼△▼△▼△
Bayangan atas hari itu menggenangi otakku. Potongan-potongan itu terasa seakan itu baru saja terjadi kemarin.
Aroma pendingin udara yang menyengat memasuki rongga hidungku, lampu yang dengan terangnya menerangi ruangan, komputer-komputer yang berbaris rapih memenuhi setiap sudut ruangan. Semuanya masih bisa kulihat dengan jelas.
Saat dimana aku menerima amplop itu, sosok kecilku yang dengan penuh semangat dengan lugunya penuh canda tawa. Begitu ceria, bahkan terasa seperti bukan diriku sendiri.
Kuberlari keluar dari gedung ini, bergegas ingin menemui dirinya.
Ingin kubuat ini menjadi sebuah kejutan.
Heh.
Lucunya.
(Kejutan itu malah menghapiriku.)
△▼△▼△▼△
Perlahan kubuka mataku. Penglihatanku yang samar setelah baru saja keluar dari permainan pulih secara perlahan.
Tak ada yang menyambutku.
Juga tak ada yang menunggu kehadiranku dengan penuh kehangatan.
Semua peserta termasuk staff Bum Corp. menatap layar monitor yang terpampang tegak di ujung ruangan. Mereka dengan seksama menyaksikan tiap detil kejadian yang terekam di monitor berukuran besar yang tinggi dan lebarnya hampir menyamai tembok ruangan ini.
Tak ada sedikitpun rasa tertarik pada diri mereka terhadap kehadiranku. Jangankan menatapku, mereka bahkan tak memiliki sedikitpun keinginan untuk melirikku.
Mereka berfokus pada satu hal dan akan terus begitu; pertarungan antara Zaki dan Leila.
Tak apalah, aku juga tak berharap banyak. Aku hanya tokoh sampingan yang tak memiliki sedikitpun ketertarikan terhadap permainan ini.
"Dimo? Apa kau sudah bangun?"
Sosok dibalik suara itu datang menghampiriku.
Sungguh, tak sekalipun aku menduga kalau aku akan mendengar pertanyaan itu keluar dari mulutnya.
Sindy menghampiriku dengan tatapan memelasnya yang masih sama seperti sebelumnya. Dia tampak begitu khawatir atas hasil dari pertarungan antara Zaki dan Leila.
Tatapannya penuh pertanyaan, seakan ada simbol tanda tanya di sekitar kepalanya menunggu untuk mendapat jawaban.
Dan tentunya,
Aku masih berhutang jawaban padanya.
"Ayo kita ke depan."
Sindy mengangguk.
Aku dan dirinya berjalan mendekati monitor. Di monitor tersebut, pertarungan antara Zaki dan Leila terlihat dengan jelas.
Nampaknya pertarungan mereka baru saja dimulai.
Tiap detil, tiap detik, tiap gerakan yang mereka keluarkan tidak luput dari rekaman yang ditampilkan dalam kualitas tinggi. Semuanya berjalan begitu mulus seakan kita berada di lokasi dimana pertarungan berlangsung.
Rekamannya begitu detil dan sempurna sehingga membuatku merasa kalau aku akan melewatkan banyak hal apabila mengedipkan mataku sekali saja.
Pertarungan berjalan secara mulus, saat ini Leila berhasil mengungguli Zaki. Itu berkat kemampuannya untuk melakukan serangan jarak jauh. Di lain sisi, Zaki yang penyerang jarak dekat hanya bisa bertahan di balik perisainya sembari perlahan mendekati Leila.
"Apa-apaan dia? Apa dia tidak merasa malu?"
"Sudah, sudah Anna. Mari kita berdoa agar gadis pemanah itu menang."
"Egois sekali! A, Aku tidak menduga kalau ada orang dengan ego setinggi itu!"
"Sungguh orang yang menyedihkan. Tak sepantasnya dia memegang kelas Ksatria dengan keputusan egois eperti itu."
Satu demi satu celaan dilemparkan dari mulut-mulut peserta terhadap Zaki. Mereka bahkan tak menahan diri dengan menutupi suara mereka serasa mereka berada di pihak yang benar.
Mendengar itu, Sindy langsung menengok ke arah mereka lalu hendak menghampiri mereka dengan penuh kesal sebelum akhirnya kutahan.
"Apa yang kaulakukan? Zakaria itu sahabatmu bukan? Apa kau terima bila temanmu diejek seperti itu?" Sindy dengan tegasnya bertanya padaku sambil berusaha mendorongku dari hadapannya.
"Tenang saja, Zaki dan aku sudah tahu kalau ini akan terjadi."
Ini sudah diduga dan diharapkan terjadi.
Apabila Sindy memergoki mereka, itu hanya akan menghancurkan segala yang sudah Zaki bangun. Meskipun tujuan dibalik prilaku Sindy baik, aku tidak bisa membiarkannya.
"Apa maksudmu?" Sindy melepaskan tangannya dari pundakku lalu menatapu dengan matanya yang bulat. Dia masih terlihat kesal, tapi berusaha sebaik mungkin untuk menahan perasaanya.
Sebelumnya aku sudah berjanji pada Sindy untuk menjelaskan segalanya selepas keluar dari arena.
Karena itulah akan kujelaskan semuanya. Tanpa sedikitpun kebohongan, inilah segala sesuatu yang kutahu mengenai rencana Zaki.
"Tujuan Zaki yang sebenarnya adalah...."
Aku menjelaskan semuanya kepada Sindy. Semua yang ingin dia tahu, rencana Zaki dan juga alasan dibaliknya.
Mungkin berkat pertemananku dengannya lah aku bisa paham atas rencananya.
Jadi begini, alasan mengapa Zaki tidak menyerah adalah untuk melindungi Leila dari hasil yang akan dia dapatkan atas tindakanku dan Sindy. Dia ingin orang lain untuk menumpahkan kebencian mereka kepadanya, bukan kepada Leila.
Dia mengubah dirinya menjadi seorang "villain" yang rela mendahulukan egonya diatas keselamatan orang lain.
Dengan kata lain, dia mengorbankan dirinya demi kebaikan Leila.
Bila Zaki menyerah bersamaku dan Sindy, akan ada kemungkinan dimana salah satu atau lebih peserta yang merasa tidak terima atas hasil turnamen. Akan muncul perasaan iri dan dengki di dalam hati mereka yang paling dalam.
Mau seberapa sucipun mereka, mereka tetaplah manusia biasa. Dan tidak semua orang adalah orang baik. Hampir seluruh peserta bahkan tak mengenal satu sama lain.
Apalagi tidak dipungkiri bahwa Aku, Sindy, Zaki dan Leila berasal dari satu kota yang sama dan jelas-jelas mengenal satu sama lain. Itu sendiri merupakan sebuah bendera merah.
Peserta-peserta lainnya akan mulai mempertanyakan keaslian pertandingan ini dan situasi akan menjadi semakin mengkeruh.
Mereka pasti merasa kalau kemenangan Leila tidak sah dan tidak adil. Mereka akan berpikir bahwa turnamen ini telah dicurangi.
Itu akan berujung pada kebencian mereka terhadap Leila. Kemungkinan buruknya, mereka akan keberatan atas hasil turnamen dan mengakibatkan didiskualifikasi Leila.
Dibutakan oleh kebencian itu, mereka akan melihat Leila tak lebih dari orang yang menang atas rasa kasih dan iba. Semua yang telah Leila usahakan, semua yang telah Leila lakukan takkan pernah mereka anggap ada.
Dan dengan begitu saja, usaha Leila akan tertiup angin bak debu.
Zaki melimpahkan semua rasa benci mereka kepada dirinya agar Leila bisa menjadi sosok yang bersinar. Tak peduli Leila bagaimana hasil turnamen, mereka akan melihat, menerima dan menyambut usaha Leila dan terus mendukungnya serta menghiburnya dengan penuh kehangatan.
Itu jugalah yang menuntunnya untuk melindungiku dan Sindy dari tindakan kami yang secara tak sengaja menari di atas usaha Leila.
Inilah keputusan yang diambil Zaki. Keputusan dengan hasil paling optimal dimana tidak ada orang yang terlukai selain dirinya.
"Begitu ya.... Tapi bukankah dengan begini Zaki akan...."
Semua rasa kesal yang menumpuk dalam Sindy langsung berubah menjadi rasa sedih dan kasihan terhadap Zaki.
Dia tertunduk sedih dengan kedua tangannya memeluk rapuh tubuhnya. Alisnya mengkerut ke atas, kedua matanya melembut dan bibirnya yang lentik tertutup rapat beradu lembut dengan satu sama lain.
Aku edarkan lirikan mataku pada wajahnya lalu kembali menatap layar monitor.
"Tenang saja. Setelah lama mengenalnya, aku tahu Zaki tak peduli atas apa yang orang lain pikirkan tentangnya. Dia akan terus menjadi dirinya, dan itu takkan pernah berubah."
Entah kebetulan atau tidak, tapi di antara aku, Sindy dan Zaki, Zakilah orang yang paling cocok untuk mengatasi masalah seperti ini.
Dia paham dengan emosi serta hasrat manusia. Karena itulah dia berubah menjadi sosok carefree, dia tak ingin dirinya dikekang oleh kemampuannya.
Dia akan melakukan semuanya dengan caranya sendiri.
Tak peduli atas apa yang orang lain pikirkan tentangnya, Zaki akan terus berusaha mencari cara untuk menyelesaikan masalah tanpa harus menyakiti perasaan orang lain.
Meskipun itu terdengar tak masuk akal dan naif, tapi itulah dirinya.
Itulah...
....yang membuatnya menjadi Zakaria Maulana.
Ya ampun, semuanya benar-benar berjalan sesuai skenario Zaki.