Arkan menancapkan gas tanpa memberikan aba-aba membuat Ana terkejut dan reflek memeluk Arkan. Jantung Arkan berdebar, dia tidak pernah merasakan seperti ini ketika bersama wanita lain. Tidak, intinya Arkan tidak boleh jatuh hati kepada Ana pada saat ini. Arkan harus sadar diri siapa dirinya.
"Aduh, maafkan Ana, Kak. Ana nggak sengaja asli," ujar Ana.
Arkan memandangi wajah imut Ana yang sedang takut. Arkan sudah membatasi hatinya agar tidak jatuh hati kepada Ana. Namun, kedua matanya tidak bisa diajak kompromi. Kalau ada kesempatan memandang yang bening-bening, kenapa tidak Arkan lakukan. Kesempatan ini sangat jarang dia dapatkan.
Selama ini Arkan hanya memandang Ana dari jarak jauh. Sekarang Arkan bisa memandang Ana dari jarak dekat, bahkan posisinya sekarang sedang memboncengkan Ana. Ternyata anggapannya mengenai Ana bahwa dia anak kecil polos itu salah. Ana memang anak kecil tetapi dia mampu memikat hari pria dewasa seperti Arkan.
"Nggak apa-apa Ana, kalau lo mau peluk lagi juga nggak apa-apa," teriaknya karena suara angin dan motor memenuhi telinga mereka. Arkan memejamkan mata. Dia merutukki dirinya sendiri atas apa yang telah dirinya katakan.
Bisa-bisanya mulutnya mengatakan apa yang seharusnya tidak dirinya katakan. Arkan jadi merasa malu banget. Hati Arkan jadi tambah berdebar antara senang dan takut.
"Hah? ngomong apa, Kak? Ana nggak dengar!" tanya Ana tak kalah serunya.
Huh, Akhirnya Arkan bisa bernapas lega. Untung saja Ana tidak mendengar apa yang Arkan katakan. Arkan bersyukur berkat suara angin dan motornya ini bisa membuat dirinya tidak jadi menahan malu.
"Nggak apa-apa, Ana. Pegangan saja biar nggak jatuh!" ulang Arkan dengan mengubah kata-kata yang tadi dia katakan.
Kedua tangan Ana terulur memegang kedua bahu Arkan. Bayangkan nih, motornya sudah keren, yang menyetir lebih terlihat keren, lah yang bonceng mirip pohon. Arkan menghela napas, gini nih kalau sama anak kecil, sama sekali nggak ada romantis-romantisnya.
Sudahlah, Arkan tidak akan berharap banyak kepada Ana, tetapi Arkan berjanji bahwa mulai sekarang akan berjuang demi Ana. Masalah suatu saat nanti diterima atau tidak itu urusan belakangan. Hal yang terpenting, Arkan akan selalu ada untuk Ana. Dia ingin membuat Ana terasanya nyaman tanpa ada beban.
Arkan tahu bagaimana rasanya sendirian tanpa ada orang yang disayang, keluarga misalnya. Hanya karena masalah ini Arkan tidak ingin Ana merasakan capek. Lagi pula Ana juga harus tetap berangkat sekolah untuk bisa meraih cita-cita nya. Ana adalah anak yang pintar, sayang jika dia harus berhenti sekolah karena masalah ini.
Masalah kuliah tidak terlalu memberatkan Arkan. Banyak uang bisa menyuruh orang mengerjakan tugas-tugasnya. Namun, Arkan tidak akan mengandalkan harta kekayaan kedua orangtuanya. Sebagai anak semata wayang membuat dirinya semangat berjuang untuk membahagiakan kedua orang tuanya karena dia tahu bahwa kehidupan tidak selamanya berada di atas dan harapan kedua orangtuanya hanya ada pada dirinya. Jadi, Arkan akan tetap serius kuliah dan sementara membahagiakan kedua orang tuanya dengan prestasi-prestasinya dan dia akan menyuruh orang lain mengerjakan tugasnya jika memang keadaannya benar-benar darurat.
Sejak dulu Arkan lebih senang mengerjakan tugas ataupun soal ulangan sendiri karena mendapat nilai dari hasil kejujuran lebih bahagia daripada mendapat nilai tinggi karena kebohongan. Mencontek sama saja membohongi diri sendiri, sedangkan kejujuran bisa membuat kita tahu seberapa kemampuan kita dalam mengerjakan soal-soal. Pada intinya jujur lebih baik daripada berbohong.
"Pegangan yang kencang, Na! kita akan ngebut mumpung jalanan sepi!" Perintah Arkan.
"Apa, Kak?"
"Kita akan ngebut!"
Brum... brum...
Tanpa sengaja Ana memeluk Arkan lagi. Keduanya sama-sama merasakan hatinya berdebar dan malu. Arkan merasa jika Ana seperti ini terus, bagaimana dirinya bisa tenang dalam perjalanan? Padahal dirinya harus fokus mengendarai motor, sedangkan Ana terus menerus malu takut disebut Arkan sebagai cewek modus karena sudah kedua kali dirinya memeluk Arkan.
"Jangan ngebut-ngebut, Kak! Ana takut!" Pinta Ana memegang kencang bahu Arkan.
"Tidak apa-apa, Ana! pegangan saja yang kencang!"
"Tapi ini terlalu ngebut, Kak!"
"Nggak, Ana!"
Kedua mata Ana menyipit karena banyak angin membuat matanya terasa kering. Kecepatan laju motor ini di atas rata-rata membuat Ana terasa akan terbang. Pikiran-pikiran negatif mulai bersarang di otak Ana. Bagaimana jika dirinya benar-benar terbang dan jatuh di jalan raya ini. Banyak kendaraan roda empat yang melintas dan kendaraan roda dua saling kebut-kebutan, termasuk Arkan.
Ana terus membaca do'a agar dirinya dan Arkan bisa selamat sampai tujuan. Sebenarnya Ana ingin protes kepada Arkan lagi. Namun, Ana sadar bahwa dirinya hanya menumpang, rasanya kurang enak kalau kebanyakan protes. Untung saja keluar Arkan membantunya mana mungkin Ana memarahi orang yang sedang membantunya.
Dari jarak yang lumayan dekat, Ana melihat lampu rambu-rambu lalu lintas sebentar lagi akan berubah warna merah. Ana segera memegang kedua bahu Arkan lebih kencang agar kejadian seperti tadi tidak terjadi lagi. Cukup dua kali saja tanpa ada ketiga kali.
"Jangan mengerem mendadak, Kak!" Pinta Ana, tapi entahlah Arkan mendengar permintaannya atau tidak.
Benar apa dugaan Ana, jika saja dirinya tidak sigap dari awal, kejadian seperti tadi bisa saja terulang lagi. Arkan mengerem sangat mendadak, artinya Arkan tidak mendengar apa permintaan Ana. Di lampu merah ini, Ana bisa bernapas lega. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan. Untung saja Ana tidak memiliki riwayat penyakit darah tinggi atau pun serangan jantung. Jadi, aman terkendali tanpa ada masalah pada organ dalamnya.
"Kamu kenapa Ana?" tanya Arkan ketika melihat wajah Ana dari balik kaca spion.
"Apa, Kak? Ana nggak dengar soalnya ini pakai helm."
"Kamu kenapa?"
"Oh, Ana lagi deg-degan. Kak Arkan naiknya ngebut banget, tadi itu rasanya seperti mau terbang."
"Ya kan yang penting nggak terbang beneran, Na."
"Iya sih, tapi kan tetap aja bikin orang gimana gitu," kata Ana sambil membenarkan helmnya.
Helm yang Ana pakai itu milik ibu Arkan saat remaja dulu. Dia kira helm milik ibunya seukuran dengan kepala Ana karena saat kecil dulu ibunya juga memiliki ukuran badan mungil seperti Ana. Ternyata ketika dipakai Ana agak kebesaran. Ana jadi terlihat seperti ninja pada kartun.
Menurut Arkan, mau helm besar ataupun kecil sama saja tidak memengaruhi paras wajah seseorang. Hanya saja terlihat lucu. Pada dasarnya fungsi helm itu untuk melindungi kepala saat berkendara bukan mempercantik.
"Kak, lampunya sebentar lagi mau hijau, jangan ngebut lagi ya," pinta Ana ketika melihat angka pada lampu merah sebentar lagi akan nol.
"Nggak, Na. Sesuaikan kondisi saja."
Lampu lalulintas sudah berubah hijau. Arkan langsung menancapkan gas. Sesuai permintaan Ana, Arkan tidak akan terlalu ngebut seperti tadi.
Perjalanan ini tidak seramai tadi, rasanya kurang pas kalau tidak menggunakan kesempatan ini untuk mengebut. Mumpung jalanan tidak banyak pengendara, Arkan meminta izin kepada Ana untuk menambah kecepatan laju motor. "Na, ngebut sedikit nggak apa-apa ya."
"Jangan, Kak, bahaya!"
"Nggak, Na. Jalannya nggak seramai tadi. Sudah, Na, pegangan yang kencang saja, gue mau ngebut!"
Brum... Brum...
Arkan melajukan kecepatan motornya di atas rata-rata. Jantung Ana terasa akan lepas. Arkan tidak mendengarkan nasihat Ana. "Kurangi kecepatan laju motornya, Kak! jangan ngebut-ngebut, Ana takut!"
"Nggak apa-apa, Ana!" Kata Arkan.
"Kalau kita kenapa-napa gimana? Sekarang kita itu--" belum sempat Ana menyelesaikan perkataannya karena terkejut melihat kendaraan di depannya. Kedua matanya membulat ketika melihat sebuah truk mendadak akan belok kiri dan sebuah truk lagi dari arah berlawanan, sedangkan jarak motor yang dikendarai Arkan berada pada jarak dekat tetapi masih dalam kecepatan tinggi. Resiko pada diri Ana dan Arkan sangat tinggi. Sontak Ana langsung memeluk Arkan dari belakang karena sangat ketakutan. Ana sudah tidak peduli bagaimana nanti Arkan akan menilai dirinya.
Jarak motor semakin dekat membuat Ana memejamkan kedua matanya tak sanggup melihat kejadian yang akan terjadi setelah ini. Sontak Ana menjerit. "Kyaa!"