Chereads / Really I Want / Chapter 4 - chapter 3

Chapter 4 - chapter 3

"Dasar cewe, baiknya kalau dikasih gituan," batin Zafran.

Zafran hanya berdecak. Walaupun dia mendapat pelukan dari mantan, tapi dia tidak merasakan apa-apa, apalagi menikmati. Maklum sajalah badan si mantan kan rata, serata tembok rumah. Tapi tak apalah, bagi Zafran yang terpenting sudah mendapat pelukan. Pepet terus! Gas!

"Ayo, Zaf!"

Dengan rasa percaya diri, Zea sudah mengapit lengan Zafran layaknya orang pacaran. Perlakuan itu hanya membuat Zafran memutar bola matanya malas. Memang banyak orang yang bersikap baik karena untuk meraih sesuatu yang diinginkan. Biasanya disebut dengan pencitraan. Namun setelah jauh dari konter, Zea sudah melepaskan apitan tangan itu. Dia hanya berjalan santai meninggalkan Zafran. Benar-benar pencitraan! Ngajakin berantem memang.

"Gue laper," ujar Zafran.

Zea menghentikan langkahnya kemudian berbalik badan menghadap ke arah Zafran. "Laper? Makan lah! Di sini bukan padang pasir. Banyak tuh penjual makanan yang berserakan di jalanan. Tinggal pilih mana sesuka hati lo, seperti lo mainin perasaan cewek."

"Apaan sih?! Horkay mah bebas mau pilih makanan yang mana aja. Lo aja yang iri dan sakit hati." Horkay adalah singkatan dari horang kaya.

"Lo ka--" belum selesai berbicara, Zafran sudah menarik tangan kanan Zea. Jika tidak begitu, maka perdebatan akan terus berlanjut sampai dari salah satu dari mereka akan ngambek.

Ditambah, Zea akan terus mengoceh tanpa titik apalagi koma. Mulutnya itu memang seperti kaleng rombeng, menggema tapi membuat sakit telinga. Lain bagi Zafran, suara kaleng rombeng Zea adalah musik pembuat hati bahagia.

"Zafran, jangan tarik-tarik tangan gue, sakit woy!"

"Diem deh, ntar tenaga gue makin habis."

"Ya sudah nggak narik-narik gini juga!"

Akhirnya Zafran memelankan langkahnya agar mulut Zea tidak terus mengoceh. Jika tidak dicegah secara langsung, mungkin bisa memecahkan gendang telinga. Yang menjadi heran, apakah tidak capek jika mengoceh terus-menerus?

Padahal berbicara membutuhkan tenaga. Tenaga didapat dari makanan. Makanan didapat dari uang. Uang didapat dari kerja. Kerja didapat dari ngelamar kerjaan. Melamar pekerjaan didapat dari ijazah. Ijazah didapat dari sekolah. Sekolah harus belajar biar pintar. Jadi, sekarang bisa disimpulkan bahwa tenaga itu mahal gengs, mendapatkan tenaga itu melalui proses yang berliku-liku. Mulai sekarang hargailah tenaga, bukan hanya perasaan saja.

Zafran menghentikan langkahnya. Dia langsung memutar memori pada dirinya. "Motor gue!" Pekik Zafran sambil menepuk jidatnya sendiri.

"Ohh tidak! Kita udah jauh banget nih," cemas Zea, dia juga baru sadar.

Mereka berdua hampir setengah kilometer berjalan tanpa mengingat motornya. Hal itu yang membuat mereka berdua bingung. Mengisi perut saja belum, mau kembali lagi buat ambil motor. Jika dalam dunia game, nyawa si pemain sedang berada pada nyawa terancam, sedangkan jika pada nomor handphone, nyawanya berada pada masa tenggang. Begitupun dengan mereka berdua.

Sejujurnya Zea juga sudah menahan rasa nyeri dari tadi. Jika saja bukan karena ponsel, dia tak sudi ikut Zafran. Bikin tenaga habis saja. Lagian Zea tidak bisa hidup tanpa ponsel. Sedangkan kegiatannya sebelum tidur saja membaca karya di wattpad.

"Kita harus balik lagi," ujar Zafran.

"Lo sih tua, gitu aja lupa."

"Kok lo yang nyolot?!"

"Kok lo pakai otot?!"

"Diem deh. Mending lo diem di sini. Gue yang mau ambil motor."

"Ya sudah sana!"

Tanpa membuang banyak waktu, Zafran langsung meninggalkan Zea. Jarum jam terus berputar seiring jalannya waktu. Namun itu semua aneh. Hanya 15 menit saja, Zafran sudah kembali lagi dihadapan Zea. Bahkan mata Zea hampir nyaris keluar. Dia menepuk pipinya sendiri, kemudian mengedipkan mata berkali-kali. Dalam lubuk hati terdalam, dia belum percaya bahwa orang yang berada dihadapannya itu adalah Zafran.

"Lo h-hantu?" tanya Zea lirih gemetaran.

"Ini gue mantan!"

"Siapa? Zafran?"

"Hmm."

Zea mengedipkan mata berkali-kali, kemudian mengucek matanya. "Kok cepet banget? Naik apa?"

"Naik burok."

"Emang ada ya?"

"Bodoamat, cepat naik!"

Zafran membantu Zea untuk menaiki motornya. Namun saat dia akan menancapkan gas ada seseorang yang tiba-tiba datang. Dia berpakaian serba hitam seperti preman. Namun tidak cocok untuk dikatakan preman, karena wajahnya yang terlalu ganteng dan rambut tertata rapi. Mungkin lebih cocok dikatakan mau menguburkan jenazah.

"Zaf, duluan ya," ujar pria itu menepuk bahu Zafran.

"Oke, boy. Makasih buat bantuannya."

"Santai saja kali," kata pria itu kemudian meninggalkan Zafran dan Zea.

Zea yang sedaritadi mengamati gerak-gerik mereka berdua langsung menghantam bahu Zafran. Dia sangat merasa gemas, saking gemasnya ingin menjadikan Zafran sebagai samsak. Lumayan bisa dipukuli terus-menerus tanpa bisa membalas.

Bugh!

"Aw! Sakit, Ze!"

"Katanya naik burok. Sudah bohong semoga bibir lo jadi ndower."

"Yakin? Ntar lo nggak bisa lihat bibir sexy gue lagi loh," goda Zafran sambil menaik turunkan alisnya. Bahkan bibirnya juga dibuat-buat biar terlihat menggoda.

"Diem deh! Gue laper!"

"Ini bukan padang pasir," ujar Zafran menirukan kata-kata Zea.

"Nggak canggih lo. Gitu saja copas."

"Justru copas itu canggih. Copas kan bisa pakai laptop dan mesin fotokopi, sedangkan dua alat itu termasuk alat canggih. Jadi, gue itu canggih, nggak jadul kayak lo."

"Cepat deh ja--" belum sempat melanjutkan perkataannya, Zafran sudah langsung menancapkan gas, sedangkan Zea sendiri belum siap untuk melaju. Hal itu menjadikan Zea reflek memeluk Zafran. "Kyaa! Gila lo ya, gue hampir aja jatuh. Modus banget sih lo!"

"Lo itu nggak punya hati!"

"Lo bikin gue mau mati konyol!"

Zea terus mengoceh di setiap perjalanan. Namun, setiap perkataannya tidak  ada respon satu pun dari Zafran. Hingga sampai sebuah rumah makan pun dia tetap mengoceh. Bahkan sampai mau menuju pintu masuk rumah makan pun dia tetap mengoceh tanpa henti menggunakan kata yang berulang-ulang. Dengan begitu, Zafran segera mengambil tindakan agar tidak terus  menjadi sorotan para pengunjung karena ocehan Zea.

Cup!

Zafran mengecup pipi kanan Zea. "Diem juga kan?"

"Apaan sih, Zaf?!"

"Seperti yang lo rasain. Gue baru aja nyium lo."

"Risih tauk, rame juga."

"Jadi, maunya yang sepi?"

"Ya nggak juga, tapi kan ya gitu."

"Gitu? Tapi suka kan?"

"Apaan sih?!"

Zafran segera menggandeng tangan Zea untuk memasuki rumah  makan tersebut. Dia mencari tempat duduk yang kosong. Setelah menemukan, mereka berdua segera menuju tempat duduk tersebut agar tidak terdahului oleh pelanggan lain.

Mereka berdua mendaratkan pantatnya di kursi. Tak lama kemudian datang seorang pelayan cantik yang memberikan daftar menu makanan. Zafran mencari menu yang cocok, setelah itu dia menanyakan kepada Zea.

"Mau pesan apa? Nih daftar menunya."

"Samain saja."

"Ohh ya sudah. Ayam bakar dua, es teh dua, jus alpukat dua, Mbak."

"Ada lagi nggak, Mas?"

"Itu saja."

"Tunggu pesanannya datang ya."

Pelayan rumah makan itu pergi meninggalkan mereka berdua. Mulai detik itu pun suasana menjadi canggung. Apalagi tatapan mata hitam milik Zafran membuat hati Zea terus bersenam ria. Jika ditatap terus menerus, dia mirip dengan Iqbal yang selalu mengiklankan ruang guru di televisi.

"Ze."

"Hmm?"

"Gue mau ngomong."

"Bukannya lo udah ngomong semenjak lo panggil nama gue tadi?"

"Ehh iya, ya." Zafran menunjukan deretan giginya sambil garuk-garuk kepala sendiri.

Zea hanya memutar bola matanya malas. Karena kegabutan yang berlebihan, dia memutuskan untuk membaca novel yang baru kemarin dia beli. Baru saja dia membaca lima kalimat, namun Zafran kembali memanggilnya.

"Ze!"

"Apa?"

"Buka hati lo lagi buat gue bisa nggak?"

"Hati gue nggak ada pintunya."

"Bukan itu, Ze. Lo pasti tahu maksud gue."

"Hmm gimana ya? Bisa kayaknya, tapi lo harus bayar biaya operasi gue karena lo yang minta buat buka hati gue."

"Gemesin banget sih mantanku ini. Cantik pula."

Seketika pipi Zea langsung memerah menahan urat malu. "Ah, makasih. Lo sih baru sadar kalau gue itu cantik."

"Jangan PD dulu, gue bilang lo cantik karena lo itu cewek. Nggak mungkin kan kalau cewek itu ganteng. Selera gombal lo receh banget, hahaha." Zafran tertawa terbahak-bahak.

"Kambing!"