Chereads / Really I Want / Chapter 2 - chapter 1

Chapter 2 - chapter 1

"Woy! Bayar kas!" Teriak Zea menggelegar di dalam ruang kelas. Bayangkan saja suasana kelas saat jam kosong. Apalagi saat jam kosong di mapel matematika yang bisa membuat seseorang mati-matian memikirkan angka, rasanya seperti hidup kembali.

Jadi gini, nasib bendahara itu suka-suka susah. Sukanya megang uang banyak, susahnya bukan milik sendiri, lebih tepatnya memegang uang ghaib. Hidup dikatain renterir kelas karena memiliki tugas menagih uang setoran kas. Padahal uangnya tidak bernominal tinggi, tapi banyak yang pelit tingkat langit ke tujuh saat mendapat jatah tarikan. Bahkan, terkadang dikatain seperti toa masjid. Yang bikin lebih greget itu dicuekin, padahal dicuekin itu bikin sebel.

Ada satu hal bahaya saat menjadi bendahara kelas, yaitu hidupnya sering dimaki dan di do'ain yang aneh-aneh. Bahkan, uang hilang saja harus mengganti karna sudah terikat dengan tanggung jawabnya sebagai bendahara. Bayangin saja ya, betapa malangnya nasib bendahara.

Seperti apa yang sedang dirasakan Zea saat ini. Setiap dia menghampiri temannya yang sedang santai-santai di tempat duduk ataupun lesehan di bawah belakang kursi paling akhir, pasti dia berteriak. Entah itu yang tuli temannya atau memang suara Zea kurang keras. Berbagai cara telah Zea lakukan, namun hasilnya nihil.

"Bosen banget gue jadi bendahara! Tugasnya nagih uang sama orang-orang idiot! Argh! bikin frustasi banget!" teriak Zea sambil mengacak rambutnya.

Melihat kelakuan teman-temannya membuat dirinya ingin membawa satu-persatu temannya ke guru agama agar mereka dirukiyah. Zea menggebrakkan buku tagihan kas yang dipegangnya ke lantai. Dia berjalan menuju tempat duduknya sambil menghentakkan kaki. Namun itu semua tidak ada yang peka. Akhirnya dia mengacak rambutnya lagi melihat kelakuan teman-temannya. Kelas tetap ramai, ada yang bernyanyi menggunakan penghapus papan tulis, memukuli meja yang tidak salah demi mengeluarkan suara mirip kendang, selfi-selfi, dan lain-lain. Memang idiot semua.

"Kalau gini terus, gue bakal frustasi dan akhirnya gue jadi gila!" ujarnya sambil mengusap wajahnya dengan kasar.

Zafran terkikik geli melihat tingkah Zea. Dia menghampiri Zea yang sedang menekuk wajah. Ide-ide jahil pun muncul secara tiba-tiba. Dia langsung membenarkan tatanan rambut untuk menambah kadar ketampanan. Biasalah jiwa-jiwa fakboy harus dikeluarkan sedikit agar terlihat agak keren di depan pujaan hati.

"Hay, mantan!"

Suara itu membuat darah Zea semakin mendidih dan perutnya terasa mual secara tiba-tiba. Jari-jarinya sudah mengepal dan pergerakan dada naik turun seiring napas. Dia menengokkan kepala ke arah samping dan itu semua terjadi tanpa diduga, apalagi disengaja.

Cup.

Zafran tersenyum puas. Dia segera ngacir ke luar kelas sebelum perang dunia terjadi. Lagian mana ada perang dunia di tempat yang sempit, yang ada di tempat yang luas. Untuk itu dia lakukan agar tujuannya tercapai.

Dengan sekuat tenaga, Zea terus berlari mengejar Zafran. Tidak kebayang saat di posisinya yang memiliki mantan idiot. Mana ada mantan yang modus sampai seperti itu. Tidak ada status hubungan, minim PDKT saja tidak, tapi kelakuannya seperti orang pacaran. Benar-benar digantungin.

"Zafran! Gue nggak terima! dasar modus! berhenti sekarang atau?!"

bruk!

"Sakit woy! kalau berhenti ngomong dong!" omel Zea.

Seketika langkah Zafran terhenti dan itu membuat Zea menabrak punggung milik Zafran. Hal itu membuat Zafran tersenyum puas 2x lipat dari sebelumnya.

"Geli, Ze." goda Zafran.

"Apaan sih?! kalau mau berhenti tuh bilang dong. Jidad gue kena tulang-tulang, Lo, jadi sakit tauk!" Bentak Zea tak terima apa yang telah menimpanya saat ini.

"Nah kan, lo, sendiri yang minta gue berhenti."

"Lo aja yang emang suka modusin gue!"

"Emang ya cowok itu maha salah dan cewek maha benar. Gemes banget jadi pingin nikahin! Ntar kalau udah cukup umur, nikahnya sama aku ya, Ze," goda Zafran membuat Zea semakin sebal.

"Apaan sih, amit-amit nikah sama Lo. yang ada ntar gue jadi struk ngadepin omongan Lo itu!"

"Iya gue tahu kok. Gue emang imut dari kandungan."

"Apaan sih?! lebay!" sewot Zea. Dia menekuk kedua tangannya di depan dada.

"Muka Lo jelek banget kalau lagi gitu, Ze. Hahaha!" Tawa Zafran pecah.

Tanpa banyak bicara lagi, tangan kanan Zea sudah melayang dan menarik rambut Zafran tanpa ampun. Tarikan itu seperti mengandung magnet yang menyebabkan susah untuk dilepas. Bahkan terlihat mengenaskan, rambutnya yang sudah ditata rapi, kini terlihat rusak dan berantakan sampai beberapa helai pun rontok. Benar-benar jadi sia-sia. Tapi tetap saja lebih tersia-sia menghabiskan waktu dengan orang yang salah.

"Gue benci sama lo! Nggak usah kebanyakan balik ke kelas gue bisa nggak sih?!" Teriak Zea tepat di telinga Zafran.

"Iya gue juga cinta sama lo. Iya gue nggak bakal balik ke kelas lo, tapi gue bakal balik ke hati lo."

"Dasar idiot!"

"Lo lebih idiot, dulu lo mau aja pacaran sama orang idiot."

Kali ini emosi Zea sudah berada di puncak ubun-ubun. Dia mendorong Zafran hingga tersungkur di tanah bersamaan rasa dongkol. Perbuatan yang dia lakukan justru memunculkan kerugian besar pada dirinya sendiri. Karena tanpa sengaja tangan Zafran menyenggol saku Zea yang berisi ponsel.

"OMG! Hp gue jatuh! Layarnya retak pula!" pekik Zea. Wajahnya sudah memerah dan matanya pun berkaca-kaca. Di dalam hp itu banyak kenangan dari orang-orang yang dia sayang.

"Iya kayak hati kita yang lagi retak."

Zea segera memungut ponsel itu. Lagi-lagi dia merasa sial. Sekarang ponsel yang benar-benar mati. Kali ini, dia benar-benar ingin membuang Zafran ke sungai Eufrat. Bahkan kalau bisa ingin membunuhnya langsung. Dia sangat menyebalkan.

"Zafran, gue minta lo harus tanggung jawab!"

"Tanggung jawab? Emangnya gue hamilin lo? Tapi udahlah nggak usah nangis gitu, kayak bocah aja."

"Hp gue gimana?!"

Tangan kanan Zafran langsung merebut benda pipih yang sedang berada di tangan Zea. Dia membolak-balikan benda itu kemudian membuangnya kesembarangan tempat. "Hp buluk gini aja masih ditangisin. Pulang sekolah bakal gue ganti."

Zafran pergi meninggalkan Zea. Dia memang sesuka jidatnya berbuat sesuatu. Mentang-mentang anak sultan mah jadi suka kebebasan dalam bertingkah laku. Apalagi saat sudah bertemu Zea, dia akan sering menjahili Zea. Terkadang Zea pun sampai menangis dibuatnya.

Tiba-tiba Zea sangat merasakan sakit. Bukan sakit hati, melainkan kepalanya. Pandangan matanya lagi-lagi terasa kabur. Dia berusaha mencoba untuk tenang dalam posisi semula, sok tegar, dan biasa saja.

"Ingat Zea, Lo itu harus kuat. Lo nggak boleh pingsan. Lo nggak boleh bikin orang lain khawatir karena pingsan Lo secara tiba-tiba. Lo nggak boleh berdarah. Lo bukan cewe lemah," batin Zea menyemangati dirinya sendiri. Namun air matanya justru malah menetes. Dia segera mengusap air matanya itu agar tidak ada orang lain melihat bahwa dirinya sedang menangis. Kemudian dia mendongakkan kepala agar air matanya berhenti menetes.