Chereads / The Seven Wolves: The Collateral / Chapter 5 - Bad Trick

Chapter 5 - Bad Trick

Dari salah satu manajer di perusahaannya, James mendapatkan tawaran kerja sama bisnis dengan pengusaha asal Indonesia keturunan Hongkong, Jayden Lin. SJ Corporation sedang mencari partner untuk meluaskan sayap bisnis gadget dan teknologi di Asia dan Eropa. Salah satu anak perusahaan James memang bergerak di bidang yang sama dan bekerja sama dengan SJ merupakan pilihan yang tepat.

Dari sanalah keduanya lantas bertemu di sebuah hotel di Singapura. Jayden terlihat seperti pengusaha dari Selatan yang ramah dan bersahabat.

"Namaku Jayden Lin."

"James Belgenza. Silahkan!" James mempersilahkan tamu yang baru dikenalnya itu untuk bicara banyak hal mengenai bisnis dan kerjasamanya. Berbicara dengan Jayden membuat James yang jarang tersenyum jadi lebih banyak menaikkan ujung bibirnya. Seperti layaknya teman lama, keduanya langsung akrab.

Sampai pada pertemuan kedua, James baru mengetahui jika Jayden adalah calon pemimpin gengster terkenal Golden Dragon. Ia jadi makin tertarik menjalin pertemanan dengan Jayden.

"Jadi kamu adalah pemimpin Golden Dragon?" tanya James pada Jayden ketika mereka sedang bersantai di sebuah kafe masih di Singapura. Jayden tergelak dan menggeleng.

"Belum resmi, aku harus mendapatkan penyematan dari para tetua Golden Dragon sebelum resmi menjadi pemimpin. Akan ada proses inagurasi jadi aku belum bisa bilang jika aku adalah seorang pemimpin." James mengangguk mengerti.

"Lalu kapan inagurasinya?" tanya James.

"Minggu depan." James tergelak dan mengangkat gelas cocktailnya.

"Selamat untukmu!" Jayden membalas mengangkat gelas yang sama tapi dengan minuman yang berbeda.

"Boleh kutau kenapa pemimpin Golden Dragon tidak minum alkohol? Aku rasa itu agak sedikit aneh!" Jayden lantas tertawa dan menggelengkan kepalanya.

"Aku adalah calon pendonor hati, James. Aku harus menjaga liverku agak bisa menjadi pendonor operasi nanti," ujar Jayden sambil tersenyum. James tertegun dan memandang Jayden yang tersenyum padanya.

"Siapa yang akan menerima donormu?"

"Keponakanku." James spontan mengangguk. Ia mengangkat gelasnya sekali lagi.

"Untuk kesembuhan keponakanmu, salute!" ujar James memberikan sulangannya pada Jayden yang sedikit tergelak.

"Jadi kamu pernah tinggal di Indonesia?" Jayden balik bertanya pada James. James mengangguk dan tersenyum.

"Tapi nama belakangmu bukan seperti orang Indonesia." James menaikkan ujung bibirnya lalu menyeruput minumannya.

"Itu adalah nama dari Ayah angkatku, Fabrizio Belgenza. Aku diambil dari salah satu panti asuhan dan dijual padanya untuk kemudian dibawa ke Italia olehnya," jawab James dan diberi anggukan oleh Jayden.

"Così puoi parlare italiano." (Jadi kalau begitu kamu bisa bahasa Italia) Jayden menanggapi sambil ikut meminum kopinya. James tersenyum.

"Così per dire," (kira-kira begitu) jawab James.

Usai bertemu Jayden, James langsung kembali ke Italia. Ia akan bertemu dengan Jayden lagi minggu depan saat inagurasinya sebagai pemimpin Golden Dragon. Di dalam pesawat pribadi yang membawa James kembali, Earth Lewis menuangkan Champagne untuk James.

"Terima kasih, Earth!" James mengucapkan terima kasih sambil memperhatikan pemandangan di luar jendela pesawatnya. Suasana senja akan segera berganti dengan gelapnya malam hari.

Earth yang baru saja duduk tiba-tiba mendapatkan telepon dari salah satu manajer kasino milik James di Napoli. Awalnya Earth hanya mendengarkan saja lalu matanya memandang James yang masih melihat ke luar jendela.

"Berapa banyak yang hilang?"

"30.000 Euro, Tuan," jawab manajer itu.

"Maksudmu dia mencurangi mesinnya?" tanya Earth. James mulai meluruskan wajahnya menatap Earth.

"Benar, Tuan. Dia memasang sebuah alat untuk memecah sistem pada mesin jakpot itu. kami sudah memeriksa dan kamera menangkapnya."

"Apa dia ada hubungannya dengan Moretti?"

"Dia tidak mau mengaku tapi bisa jadi dia orang yang sama. Kami menemukan orang Moretti mencoba membobol sistem kita dua hari lalu. Aku pikir ini pasti pekerjaan Moretti tapi dia mengirim orang yang berbeda." Earth mengangguk.

"Kami sedang dalam perjalanan pulang. Aku akan kesana begitu sampai. Jangan biarkan pria itu keluar!"

"Baik Tuan Lewis!" Earth pun menutup teleponnya dan menghadap James yang sudah memandangnya dari tadi.

"Ada masalah dengan kasino?" Earth mengangguk.

"Seseorang mencoba mencuri dari kita. Dan ini sudah yang ketiga kalinya dalam satu minggu ini. Jika kita tak bergerak maka Moretti akan terus mengganggu kita, Tuan." James memandang Earth dengan tajam dan mulai mengepalkan tangannya.

"Aku ingin tau siapa pria itu." Earth mengangguk.

Jet pribadi itu membawa James kembali ke Napoli secepat mungkin. Disana ia telah ditunggu oleh manajer kasino yang menangkap seorang pencuri.

Di sebuah apartemen kecil disalah satu sudut kumuh di Vomero, kota Napoli, Delilah tengah mondar mandir di tengah apartemennya. Ayah dan Kakaknya sudah tak pulang dua malam. Mereka pergi seperti biasa dan tak kembali sampai siang ini. Delilah memang tak pernah diperlakukan baik oleh Ayahnya, tapi dia tetaplah seorang Ayah. Satu-satunya yang dimilik Delilah saat ini sebagai keluarga adalah Mark Starley.

"Kemana mereka pergi? Kenapa belum pulang?" gumam Delilah dengan wajah cemas. Ia duduk lalu berdiri dan berjalan lalu duduk kembali. Tak tenang dan tak bisa bekerja karena cemas. Vomero bisa jadi kota yang tak ramah bagi orang miskin seperti Delilah. Banyak preman di beberapa sudut kota dan jika tak hati-hati maka bisa jadi takkan pulang selamanya.

Tiba-tiba terdengar ketukan keras beberapa kali di pintu. Delilah segera bangun dan membuka pintu tersebut. Senyumnya langsung mengembang saat melihat ternyata sang Kakak yang datang. Tapi Oliver kemudian langsung masuk dan mengunci pintu seperti orang ketakutan.

"Oliver, mana Ayah?" tanya Delilah yang kebingungan melihat Kakaknya malah mengintip dari balik jendela seolah dia dikejar seseorang.

"Oliver," panggil Delilah lagi.

"Diamlah Delilah!" hardik Oliver tapi dengan suara seperti berbisik dan ia mengintip lagi keluar. Delilah mencoba mengintip namu n tak tau apa yang terjadi sebenarnya.

Oliver lalu berjalan ke arah Delilah dengan cemas. Ia berbalik dan menghadap Delilah lagi.

"Dengar, jika ada yang mencariku katakan aku tidak ada. Aku... sudah pergi, oke!"

"Kemana?" Oliver jadi kesal melihat adiknya yang bodoh.

"Oh Tuhan Delilah, kemana saja yang penting katakan saja aku sudah pergi!" Delilah tidak mengangguk, ia malah makin bingung. Sekarang kenapa hanya Kakaknya yang kembali? Kemana Ayah mereka?

Oliver lalu bergegas ke kamarnya dan ia langsung membereskan barang-barang. Delilah mencoba mengintip dari sela pintu kamar Oliver yang sedikit terbuka. terlihat ia mengeluarkan segepok uang dari balik jaketnya dan dengan cepat ia mengambil tasnya yang berisi pakaian. Ia lalu keluar kamar dengan Delilah berdiri kebingungan di depannya.

"Oliver kamu mau kemana?" tanya Delilah dengan cemas.

"Aku harus pergi dari sini. Jangan cari aku, mengerti!" Oliver segera berjalan keluar dari apartemen itu tanpa menoleh lagi pada Delilah. Sambil mengernyitkan kening dan kebingungan, Delilah akhirnya duduk di satu-satunya sofa dalam apartemen itu. Ia meremas rambutnya kebingungan yang terjadi.

James datang ke kasinonya, Daga Nero untuk menemui manajer yang menelepon Earth beberapa jam sebelumnya.

"Tuan, aku tidak bermaksud menganggu perjalananmu. Aku yakin bisa mengatasi masalah ini sendiri," ujar Manajer itu ketakutan karena James yang datang sendiri mengatasi masalahnya. Dengan pandangan dingin, James melirik pada Manajer itu lalu mendengus.

"Mana mereka?" tanya James dengan nada rendah. Manajer itu pun menunjukkan ruangan tempat seseorang telah disekap karena mempreteli mesin jackpot di dalam kasino. Seorang pria paruh baya yang terlihat lusuh karena sudah dipukuli. James berjalan mendekatinya dan melihat penampilan pria itu dengan pandangan sinis.

"Hanya dia?"

"Ada satu orang lain tapi... dia kabur, Tuan," ujar Manajer itu takut-takut. James sempat melirik sejenak pada manajer tersebut sebelum melihat pada pria itu lagi.

"Mana temanmu!" tanya James tanpa basa basi. Pria itu malah menggeleng tak mau menjawab. James mendengus kesal dan melirik pada Earth yang kemudian maju lalu menegakkan tubuh pria tersebut.

"Jawab pertanyaannya! Dimana temanmu!" ujar Earth sambil setengah mencekik leher pria itu.

"P-putraku... dia putraku. T-tolong lepaskan dia!" jawab pria itu terbata-bata karena tercekik. Earth kemudian melepaskan cengkramannya dan James sedikit mendekat.

"Siapa namamu!" pria itu menatap James dengan rasa takut.

"M-mark... Mark Starley."