grietta memacu kecepatan mobilnya dengan kencang, tidak perduli malam itu dia akan berakhir tragis atau tidak, pikirannya sangat kacau saat ini, tidak ada kata lain selain mati untuk saat ini.
dan kini mobilnya melaju kencang menuju golden gate bridge yang sangat terkenal itu, tidak banyak bicara, hanya saja air matanya benar-benar tidak bisa berhenti membasahi pipinya, sejak siang setelah mendapat kabar dari dokter dino tentang pendonor yang dinjanjikan dari sekian tahun lamanya, dan jawabannya tetap sama, ketidak cocokan jaringan atau golongan darah dan masih banyak lagi alasan-alasan yang membuatnya muak dengan segala yang dialaminya saat ini
mobilnya masih melaju dengan kecepatan tinggi, tengah malam membelah jalanan san fransisco bukan hal yang sulit untuk dilakukan grietta, tidak perduli semua orang di rumah saat ini tengah mencarinya, atau betapa marah ibunya kepada om gading karena lengah menjaganya dan masih banyak alasan lain yang entah bisa saja membuat kedua orang tuanya bisa langsung terbang menuju san fransisco malam ini juga,
jalanan saat ini tengah sepi entah mungkin sang takdir sedang senang membiarkan grietta melancarkan aksi yang selama ini gagal di tempuhnya, dia saat ini tidak perduli lagi dengan semua kata-kata yang selalu diucapkan mereka yang ingin menyelamatkannya dari aksinya, karena menurutnya itu tidak akan berlaku lagi sekarang, semua sudah terlambat, hati pikirannya sudah lelah, seperti menanggung beban yang sangat berat di punggungnya
sudah sampai di golden Gate bridge dia memakirkan mobilnya di piinggir jembatan tersebut, lalu perlahan dia keluar dari mobilnya, hanya berbekal sweter yang tak terlalu tebal dia siap menyambut malaikat kematian yang akan menjemputnya,
langkahnya tenang menuju pinggir jembatan, di tatapnya langit malam itu, diingatnya kembali kata-kata yang dia gumamkan sebelum ke tempat ini "malam ini harus berhasil"
dia mencoba merasakan semilir angin musim dingin yang mulai memunculkan batang hidungnya, sayang sekali musim dingin yang bertepatan dengan natal tidak bisa dirayakannya lagi, karena sudah pasti dia akan bertemu langsung yang berulang tahun pada tanggal 25 desember nanti dan itu tidak akan lama lagi
kepalanya menatap kearah bawah jembatan tersebut mulai membayangkan betapa dinginnya disana, dan dia mencoba melupakan fakta bahwa akan sakit nantinya saat menunggu nyawa kita di cabut "huhhh,hahhh,huhhh,hahhhh" dia menarik nafas lalu membuangnya untuk menghilangkan rasa gugupnya, ,
selangkah demi selangkah dia maju mendekati jembatan, kakinya mulai menaiki tiang yang ada di jembatan itu, kepalanya sesekali menenggok ke kiri dan kanan untuk memastikan tidak ada yang melihatnya, okey satu hal yang baru saja diingat grietta ini di luar negeri bukan di Indonesia dimana orang terlalu sok ikut campur urusan orang lain
kembali dia fokus untuk melanjutkan aksinya, tiang pertama berhasil lalu dia menaiki tiang berikutnya, kini matanya tertutup dia tidak bisa membayangkan betapa dinginnya disana nanti,
"mama,papa, kak gilang, kak guntur, nana,om gading, maafin grietta udah banyak nyusahin, Tuhan maafin grietta harus ngambil jalan kayak gini, jagain keluarga grietta ya Tuhan" ucapnya perlahan
kembali dia menarik nafas lalu membuangnya perlahan lalu dilangkahkan lagi kakinya menaiki tiang terakhir yang ada disana, perlahan dia membentangkan tangannya dan mulai melemaskan badannya untuk jatuh kebawah
"hei mau minum bersama ku??" seru seseorang yang ternyata dari tadi berada tak jauh dari tempat grietta berdiri
grietta pun diam tidak menanggapi ucapan pria tersebut, dan lagi-lagi dia mulai melemaskan tubuhnya kembali akan tetapi pria tadi berseru kembali "oh hei nona, apa kau mendengarku???" dan tentu saja grietta mendengus kesal lalu turun dari tiang itu menatap kesal pria yang berbicara padanya tadi
"ada apa? kenapa memandangku begitu?" ucap pria itu
"tidak disini atau di negara sendiri semua orang memang suka mencampuri urusan orang lain" cibirnya sembari memutar bola matanya bosan
pria itu mendengus "mencampuri??? anggap saja aku tadi menyelamatkanmu dari dinginnya air di bawah sana" ucapnya
"aku sama sekali tidak ingin di selamatkan mengerti tuan!! jadi ku mohon pergilah" ucap grietta yang kembali memandang kosong air di bawah sana
pria itu berjalan mendekati grietta lalu berdiri di sebelahnya kepalanya menatap langit yang kosong "jangan begitu, aku pernah ada di posisimu, aku masih 17 Tahun waktu itu, tapi aku berfikir lagi, kalau aku mengakhiri hidupku saat itu maka aku tidak akan mendapatkan apapun lagi pula aku bukan orang baik yang mati lalu masuk surga, kata orang neraka di sana lebih mengerikan dibandingkan penderitaan yang kita alami saat ini, maka dari itu aku berusaha keras untuk menjadikan hidupku lebih berarti untuk orang-orang disekitarku"
pria itu menatap grietta dan melihat setetes air mata yang lolos begitu saja, dia tidak menyangka perkataannya akan begitu mempengaruhinya
"hei jangan menangis disini, nanti dikira orang aku yang membuatmu menangis" ucapnya
grietta pun menghapus air matanya, lalu menatap pria itu, "kenapa selalu saja gagal, kali ini orang asing yang menyadarkanku, besok siapa lagi" ucapnya
"memangnya sudah berapa kali kamu melakukan hal seperti ini"
"3 kali ini yang keempat dan aku selalu selamat, aneh ya disaat kita memohon kematian datang tapi dia menoleh pun tidak" katanya sembari tersenyum miris
"itu artinya kamu punya tujuan lain di dunia ini, bayangkan orang yang cepat meninggal mereka sudah tidak punya tujuan apa-apa jadi menurut Dia lebih baik pergi dari pada memenuh-menuhin dunia ini, lagi pula dunia ini sekarang padat penduduknya, jadi semakin sesak"
grietta tertawa mendengar ucapan pria itu, entah mengapa baru kali ini dia merasa cukup nyaman berada di dekat orang asing "oh hei ngomonng-ngomong sejak kapan kamu disini?" tanya grietta sambil melipat tangan kedepan dadanya
pria itu tersenyum "sejak kamu mulai berdoa, aku mendengarnya, papa.mama,kak gilang,kak guntur,na..."
"oke stop, jangan di terusin lupain aja ya, anggap gak terjadi apa-apa" putus grietta
pria itu tersenyum melihat tingkah grietta, dalam hatinya berkata "setelah di museum, lalu disini, mungkin ini namanya takdir"
"hmm nona, mau menemaniku minum satu gelas saja, anggap itu sebagai ucapan terimakasihmu padaku karena menyelematkan mu" ajak pria itu
grietta menoleh dengan mengerutkan alisnya lalu terkekeh "maafkan aku tuan, aku tidak bisa menerima ajakanmu, lagi pula aku tidak meminum apapun yang mengandung alkohol dan ini sudah lewat tengah malam, aku harus pulang" ucapnya
"kalau begitu satu gelas kopi di dekat sini ada cafe, nanti aku yang akan mengantarmu dan bicara pada keluargamu"
"kau akan habis di pukuli oleh kakakku dan paman ku nantinya"
"tidak papa, anggap saja hadiah karena bertemu wanita aneh sepertimu, ayolah aku memaksa"
grietta pun diam sejenak, dia akhirnya menganggukan kepalanya, pikirnya tidak apa-apa hanya satu gelas kopi lalu kembali pulang lagi pula tubuhnya sudah mulai menggigil dan butuh sesuatu yang panas
"okey, kau tidak membawa kendaraan?" tanya grietta
"aku tinggalkan di mini market dekat sini dan aku berjalan-jalan mencari udara segar lalu bertemu dengan mu disini, pakai mobilmu saja, tenang aku bukan pencuri, aku tingal di apartement di Bryant Street" ucapnya meyakinkan
"lalu kau pulang nanti bagaimana?"
"setelah aku mengantarmu nanti aku bisa naik bus atau pesan uber, mudahkan?"
"baiklah, ayo tubuhku sudah mulai menggigil" ucap grietta yang berjalan kearah mobilnya disusul oleh pria tadi
"arial" kata pria itu yang membuat langkah grietta berhenti
"hah?? kenapa?"
"Arial Abimanyu, kamu?" katanya sambil meyodorkan tangannya
"oh, Grietta Edelweis Raharjo" grietta menyambut tangan arial dengan senyuman
"nama yang bagus, oh ya kamu duduk di kursi penumpang saja biar aku yang menyetir" ucap arial yang di tanggapi anggukan setuju oleh grietta,
arial pun membukakan pintu mobil itu dan menyuruh grietta masuk lalu dengan cepat dia menaiki kursi kemudi dan menyalakan pemanas dalam mobil dan pergi meninggalkan Golden Gate Bridge
si pria dan wanita tersnyum dengan alasan masing-masing, mencoba mencerna apa yang sedang Tuhan rencanakan,hanya satu yang menjadi kekhawatiran sang pria, "semoga ini jalan yang benar" batinnya