Dua minggu setelah perbincangan. Ke-empat wanita yang menempatkan diri mereka dalam suatu wadah yang bertujuan untuk mengasah keberanian dan kepercayaan diri, demi meningkatkan kualitas hidup dan tentunya menumbuhkan kepribadian yang mandiri, tengah bergelut di dapur. Berusaha agar apa yang mereka lakukan mendapat respon positif.
"Hei Aluna, apakah adonannya ini sudah sesuai?" Nela yang sedari tadi berkutat dengan campuran tepung terigu, telur, dan bahan-bahan lain yang tidak diketahuinya itu mulai jenuh.
"Hmm.... sedikit lagi, kurasa 5 menit lagi adonannya sudah boleh kamu tinggal" sang gadis yang berperan sebagai leader ini menjelaskan.
"Baiklah". Nela kembali dengan aktivitasnya.
"Lun, pesanan bu Hajah Salamah buat nanti siang yang mana?, biar aku yang antar". Mita sedang menelusuri pesanan Hajah Salamah.
"Oh, buat Hajah Salamah yang kotak di dalam kresek hitam, ada 4 ya Mit". Teriak Aluna dari dapur.
"Oke, aku antar sekarang ya". Balas Mita.
"Apakah kamu bisa sendiri?, itu kan ada 4 kresek?". Tanya sang leader.
"Bisa, aku pake motor aja, kan tadi pagi aku udah beli keranjang yang bisa di letakkan di motor". Jawab Mita.
"Baiklah, hati-hati di jalan"
"Oke siap, pergi dulu ya semua assalamualaikum". Teriak Mita sambil mengemas pesanan ke motor.
"Waalaikum salam". Ucap Aluna dan Nela.
"Pesanan siapa itu Mit?" terlihat Nadine yang baru pulang memasukkan motor ke halaman rumah.
"Pesanan Hajah Salamah buat hajatan sunatan anaknya" balas Mita.
"Oh, yang minggu lalu pesan ya?, gue bantu antar ya?". Nadine memberikan tawaran.
"Iya Din...eh nggak usah, kamu liat ni aku barusan beli keranjang jadi bisa buat antar pesanan dengan aman". Mita sudah selesai menaruh pesanan ke dalam keranjang.
"Okelah, gue bantu di dalam aja hati-hati ya Mit". Nadien melangkah menuju teras rumah, sembari melambaikan tangan ke arah Mita.
"Oke, terimakasih pergi dulu dah..". Mita menyalakan motor dan berlalu meninggalkan rumah.
"selamat siang". Ucap Nadine yang muncul dari arah luar.
"Siang, eh Din kok udah pulang, katanya acara seminar di kampus sampe jam 5 sore". Tanya Nela heran. Dia kemudian menoleh ke arah Aluna sambil berkata. "Lun, ini udah kan ya?".
"Emm....sudah, taruh aja dulu di situ jangan lupa ditutup". Titah Aluna setelah memeriksa tekstur adonan.
"Okee..." Nela bergegas menjalankan perintah.
"Iya, tapi gue izin keluar cepet dengan alasan sakit perut. Soalnya gue males, pemateri dan apa yang dibahas nggak sesuai expetasi gue". Nadine kembali berbicara dengan raut kesal.
"Kok gitu, nggak sesuai gimana?" Nela menuntut jawaban.
"Ya.... gue kira pematerinya bakalan memberikan tips-tips baru mengenai teknik make up berdasarkan pengalaman pribadinya. Eh, nyatanya tips yang dikasih sama aja dengan yang gue pelajari di video yang ada di internet, kalo itu mah gue tau". Ucap gadis dengan rambut sedikit kecokelatan. Raut wajah kesal sangat kentara di wajah mulus dengan hidung mancung miliknya.
Nadine Alexa Gray, merupakan gadis asal Jakarta Selatan. Wanita cantik keturunan Jerman-Indo ini sekarang sedang menempuh studi di Universitas Triputra yang berlokasi di Jakarta Pusat, jurusan Business Management International. Yah, satu kampus dan satu kelas dengan Nela. Memiliki keahlian yang sama dalam hal make up membuat mereka menjadi teman akrab, inilah alasan Nadine juga ikut menyewa rumah yang sama dengan Aluna, Mita, dan Nela 3 Bulan pertama kuliahnya. Dulu, ia sempat tinggal di apartemen sebelum memutuskan tinggal bersama seperti sekarang.
"Oh gitu ternyata, untung gue nggak daftar seminarnya, hehehehe" Nela malah terkekeh sambil nyengir. Gigi putih dan rapi miliknya sempat tertangkap mata.
"Tau ah...eh Lun, gue bisa bantu apa nih sekarang?" Nadine berusaha mencari kesibukkan untuk meredam kekesalannya.
"Gimana kalo kamu packing tartlet pesanan pak Damar aja, buat acara lamaran anaknya nanti malam. Tartlet isi buah anggur sama apel ya, jumlahnya 50 buah". Ujar Aluna sambil melirik sebentar ke arah jejeran tartlet yang telah matang.
"Pak Damar yang mana Lun?" Nela sekedar bertanya.
"Itu loh..., yang rumahnya di ujung komplek, rumah cat abu-abu" balas Aluna.
"Banyak bener buat lamaran sampai pesan tartlet 50 buah" ekspresi ke-heran-an terbit di wajah Nela.
"Udah, kita nggak usah urusin itu. Yang penting mereka pesan dan bayar". Tampaknya Aluna malas untuk membahas sesuatu yang menurutnya kurang penting.
"Bener tu kata Aluna, udah nih bantu gue". Nadine segera memotong pembicaraan, sebelum Nela bertanya kembali. Sambil mengemas pesanan, Nadine mengangkat bibir dan berkata. "Lun, baru sepuluh hari kita mulai usaha ini, tapi pesan membludak, hehehe" sudut bibirnya terangkat, barisan gigi tampak indah dilihat.
"Alhamdulillah, berarti Tuhan sedang memberikan rezeki yang berlimpah" balas Aluna menyajikan senyum indahnya.
"Iya Lun, tapi btw gimana reaksi bos lho saat dia tau lho usaha kue juga" tanya Nela penasaran.
"Alhamdulillah, kak Nabila nggak marah kok. Dia orangnya baik, dia bilang bahwa rezeki nggak akan tertukar. Jadi, dia nggak ada alasan buat takut apalagi melarang kita untuk buka usaha ini". Jelas Aluna, matanya yang bulat semakin melebar, sejalan dengan sudut bibir yang kian tinggi terangkat.
"Alhamdulillah, bener juga yang dikatakan Mita waktu itu hehehehe" dan Nela pun menyambut senyuman Aluna.
"Iya, Alhamdulillah dilancarkan semua sama Allah Nel" balas Aluna.
*flashback on*
Aluna sempat meminta izin kepada Nabila, dua hari setelah perbicangan mereka mengenai rencana untuk membuka usaha.
"Lun, tolong liatin cake susu yang ada di oven ya, udah matang atau belum" titah Nabila yang tengah sibuk memeriksa catatan.
"Okeh kak.." Aluna menghampiri oven dan melihat keadaan cake susu yang ada di dalamnya. Ia melihat ke arah Nabila berdiri dan bertanya. "Sudah nih kak, Aluna keluarin ya?".
"Iya, tapi jangan di taruh di meja biasa, taruh di pojo, soalnya itu pesanan orang" ucap Nabila tak menghentikan aktivitasnya.
"Baiklah kak".
Setelah selesai dengan tugasnya, Aluna menghampiri Nabila yang masih sibuk mengecek catatan yang berisi pesanan kue.
"Permisi kak, bolehkah Aluna berbicara sebentar dengan kakak?, itupun kalo kakak tidak sibuk" ucap Aluna sambil menundukkan kepala.
"Boleh Lun, kakak lagi ngga sibuk-sibuk amat kok kenapa?, apakah ada hal yang penting?". Nabila bertanya sambil membalikkan badannya menghadap Aluna.
"Eemm.... begini kak, Aluna mau bilang sesuatu, lebih tepatnya meminta izin kepada kakak. Itupun kalo kakak mengizinkan" ucap Aluna gugup.
"Minta izin?, minta izin apa?. Apakah kamu ada masalah sekarang?, kamu mau pulang?, kalo memang ada masalah pulanglah kakak tidak mempermasalahkan kok". Aluna digundrungi banyak pertanyaan dari Nabila.
"Eehhh, ti...ti...tidak kak, bukan itu tapi.....". Aluna semakin gugup, kalimatnya sempat menggantung.
"Tapi apa Lun? bicaralah yang jelas kakak tidak mengerti" Nabila menatap intens Aluna yang tampak aneh.
"Begini kak, jadi dulu Aluna dan teman SMA Aluna pernah mengikuti kegiatan semacam ekstrakurikuler boga di sekolah. Terus dari situ Aluna belajar membuat tartlet dan ternyata banyak yang suka tartlet buatan Aluna". Aluna berbicara sambil tertunduk, bingung bagaimana cara terbaik untuk menjelaskan kepada Nabila.
"Terus?" alis Nabila mengerut, ia menuntut kelanjutan dari Aluna.
"Jadi setelah Aluna dan teman Aluna tau kami lolos beasiswa dan bakalan kuliah di Jakarta, kami sempat berencana untuk membuka usaha berjualan kue tartlet. Tapi, sampai sekarang belum terwujud" Aluna makin memperdalam tundukan.
"Lalu, maksud kamu menceritakan ini sama kakak apa?" Nabila semakin bingung.
"Teman Aluna mengajak Aluna untuk mewujudkan rencana kami tersebut, tapi Aluna ingin meminta izin kepada kakak. Soalnya Aluna merasa mengkhianati kakak jika Aluna juga berjualan kue" Aluna tetap tertunduk, ia tak punya cukup keberanian untuk bertatap muka dengan bosnya itu.
"Untuk apa kamu meminta izin kakak Lun. Kakak tidak berhak untuk itu, Itu Hak Asasi mu".....
***
Author butuh support ini, caranya gampang
1. Jangan Lupa sedekah batu kuasa nya setiap hari
2. Kasih author gift
3. Komentar positif dan membangun
Cerita ini tidak akan berkembang tanpa dukungan kalian semua....