Chereads / Sincerenly, Rain / Chapter 7 - Secret Stranger

Chapter 7 - Secret Stranger

Aku menghabiskan sisa sore ini di pojok belakang perpustakaan, area ini terlihat sangat sepi dan nyaman. Saat sedang duduk-duduk membaca kamus, aku mendengar suara alunan piano dari ruang sebelah. Setau ku di sebelah adalah lab bukan ruang musik atau ruang apapun yang mungkin saja terdapat piano, aku memutuskan untuk keluar dari perpustakaan dan memastikan ruangan di sebelah perpustakaan.
Benar saja, saat aku membuka pintu ruangan yang berada di sebelah perpustakaan, isinya adalah barisan komputer, ini lab. Aku kembali ke pojok belakang perpustakaan dan mendapati suara itu sudah tidak ada, hanya sebuah pintu yang terbuka, aku mendekati pintu tersebut dan memberanikan diri untuk masuk.
Betapa terkejutnya aku melihat sebuah ruang musik yang sepertinya sudah tidak terpakai dibalik pintu tadi, terdapat sebuah piano classic tua berwarna seperti pohon pinus. Aku yakin bahwa suara piano yang tadi aku dengar pasti asalnya dari piano tua ini, aku duduk dan memperhatikan setiap inci piano.
Aku masih mengingatnya dengan sangat jelas saat-saat diriku bermain piano, alasan aku mulai memainkannya sampai alasan aku berhenti. Aku memejamkan mataku, alunan suara piano membawa diriku kembali pada masa lalu. Tanpa diriku sadara, air mata mengalir di pipiku.
Aku merasakan rasa sakit di dadaku, rasa sakit yang membunuhku, sebuah rasa bersalah yang teramat sangat. Aku melepaskan semua rasa itu dengan tangisan, sangat sulit untukku melupakan kenangan yang dulu aku miliki bersama seseorang yang mengajarkan aku bahwa bahagia bukan hanya tentang diriku saja.
Kepala ku terasa pusing, air mata sudah berhenti mengalir sedari tadi, seluruh tenagaku habis untuk menangis. Suara pesan masuk berbunyi dari ponselku, aku mengambil ponsel dari saku jacket sambil beranjak dari tempat dudukku. Betapa terkejutnya aku melihat wajah Jeffyin di layar ponselku dan tanpa sengaja menjatuhkan ponsel ke lantai, aku membungkuk dan meraih ponsel ku.
Saat akhirnya pandanganku lurus kedepan, seorang pria berdiri di ambang pintu dengan wajah seperti orang yang ketahuan mengintip, "Sorry I did not mean to." katanya. Lalu dengan terburu-buru dia berjalan menghampiriku lalu menunduk untuk mengambil sesuatu dari bawah piano yang ternyata adalah sebuah tas. "I just wanted to take this, but instead saw everything." aku terkejut.
"everything?" ucapku mengulang kata terakhir yang dia ucapkan tadi.
"Totally unintentional, really, I couldn't just go in and pick this up while a girl was crying loudly." dia menatapku dengan tatapan khawatir.
Dia menggunakan celana jeans longgar dengan kemeja putih terbungkus sweater merah darah dan sebuah kacamata berlensa cukup tebal, warna matanya coklat terang dan rambutnya hitam pekat dengan potongan pendek di bagian belakang dan poni yang jatuh di depan alisnya, hampir menyentuh matanya.
"I'm not going to kill myself, don't worry." jelasku padanya atas tatapan khawatir itu.
"thank you Lord." ucapnya sambil melangkah pergi. "You can come here whenever you want to cry, but I lend it to you just to cry." ucapnya lagi sebelum menghilang di balik pintu.

Sincerely, Rain

"Jadi gimana? Betah ga?" tanya Jullian dari ujung telfon.
Aku sedang duduk-duduk di kursi taman sebelah perpustakaan dengan gaun tidurku, gaun yang sama dengan yang terakhir ku pakai saat Jeffyin terjatuh disini. Hanya saja tidak dengan boot melainkan sandal berbulu merah pucat, kali ini hujan tidak turun jadi langit penuh dengan bintang. "Gitu deh, semuanya ramah."
"Udah punya temen dong?" terdengar samar-samar suara petikan gitar.
"Udah dong, namanya Arielle, baik banget, terus pinter, seru deh." ceritaku padanya.
"Yahaaha, enak dong, bisa nyontek kalo ulangan." candanya. "Cowok banyak ga yang cakep?" tanyanya bercanda, seperti biasa.
"Bejibun, cakep semua. Gila sih, jadi suka takut khilaf." aku membalas candaannya. Chino bergerak dalam tidurnya di pangkuanku, sepertinya dia sedang bermimpi.
"Diih, bisa gitu?" dia tertawa disana. "Jadi, udah pernah nyoba khilaf belum?" dia tak bisa menahan tawanya sendiri. "Nyoba khilaf.." gumamnya akan pertanyaan bodoh yang dia ajukan padaku.
"Di jawab ga nih?" tanyaku menggodanya.
"Jawab lah, slow aja kali." dia menantang ku.
"Yang jelas sih cowok disini pada berani, ga pake alesan ga berani gitu kaya aa." kini aku yang tertawa puas.
Sebuah tangan menyentuh pundak ku yang tak terlapisi sehelai benang pun, saat aku menoleh Jeffyin berdiri di belakangku. Dia menggerakkan tangannya dekat telinga dengan bentuk seperti gagang telfon dan berkata "Siapa?" tanpa suara, lalu duduk di sebelahku.
Aku tidak menjawab pertanyaannya dan kembali berbicara dengan Jullian. "Eh keceplosan kan jadinya." lalu aku kembali tertawa.
"Sengaja kalih itu mah" kini kami tertawa bersama.
Aku melirik sekilas ke arah Jeffyin, dia sedang menatapku dengan telapak tangan yang dia letakan dipipinya untuk menahan kepalanya. "Iya, emang sengaja. Huu dasar payah." kataku melanjutkan obrolan dengan Jullian.
"Ya maaf, kan ga berani, dulu. Lagian emang boleh?" tanyanya.
"Boleh lah, bebas akses, dulu tapi." jelasku, lalu aku merasakan Jeffyin merapatkan tubuhnya denganku, dia mengarahkan wajahnya ke hadapanku.
"Kalo sekarang?" tanya Jullian.
Aku terdiam, bukan karena pertanyaan Jullian tapi karena wajah Jeffyin berada di hadapanku dengan jarak yang sangat dekat. Jantungku berpacu dengan sangat cepat, hembusan nafasnya terasa di wajahku, mata biru itu sekali lagi membuatku membeku.
"Is it okay if your laughter is only for me?" tanyanya, aku lalu menarik wajah Jeffyin hingga bibirku menyentuh bibirnya. Entah setan apa yang merasuki pikiranku, Jeffyin tersentak terkejut karena aku menarik wajahnya. Ku biarkan bibirku menempel disana untuk beberapa saat.
"Nessa?" suara Jullian dari telfon menyadarkanku lalu segera menarik wajahku.
Jeffyin mengambil ponsel dari tanganku, "Just focus on me." bisiknya. Aku memberanikan diriku menciumnya dengan benar, kini dia yang diam saja menerima ciumanku. Aku mengusahakan semampuku, mencium bibir atas dan bawahnya secara bergantian. Tanganku bergerak di rambut panjangnya, menekan kepalanya agar ciumanku semakin dalam. Aku menggigit pelan bibirnya di sela-sela ciumanku, membuat Jeffyin semakin membuka mulutnya.
"Salut Traynor ! Continuez simplement à la boîte de nuit! Je suis déjà en retard !" teriak seseorang yang jelas-jelas menghentikan ciumanku.
Segera aku menoleh dan melihat seorang pria menggunakan kaos hitam tipis yang di masukan kedalam celana jeans ketat, rambut nya tertata rapih ke atas, gaya rambut spike.
Saat aku masih terus saja memperhatikan pria di belakang sana, Jeffyin mencium pipiku lalu turun ke leher. Aku melenguh cukup kencang saat batang hidungnya tanpa sengaja menyentuh telingaku yang membuat Jeffyin segera menjauhkan wajahnya. Aku menutup mulutku dengan kedua tanganku dan mengutuk diriku sendiri karena membuat suara aneh, Jeffyin hanya tertawa kecil lalu mengacak-ngacak pelan rambutku.
"Attends juste dans ma voiture." teriak Jeffyin pada temannya lalu melemparkan kunci mobil yang dia ambil dari saku belakang celananya. "Je vais la prendre en premier."
Si pria itu menatap ku sebentar lalu melemparkan bomber jacket berwarna hijau tua ke arah Jeffyin "elle pourrait mourir de froid, stupide !" katanya lalu akhirnya pergi.
Jeffyin berdiri lalu meletakan kedua tangan di pinggangnya, wajahnya menatapku dengan ekspresi yang tidak aku mengerti. "All right, so tell me, why do you always dress like this when you come here?" tanyanya.
"This is my nightgown, what's wrong?" jawabku sinis.
"What? So, you're not wearing a bra?" tanya Jeffyin dengan mata membelalak.
Aku segera menyilangkan kedua tanganku di dada, menutupi bagian itu. "Of course I do! Stupid."
Dia hanya memasang wajah tak bersalah lalu menggaruk kepala belakangnya. "I'll take you to your room, come on." Jeffyin mengulurkan tangannya.
Aku mengangkat Chino dari pangkuanku, mengabaikan uluran tangannya. "Can't see?"
Dia memakaikan bomber jacket itu di bahuku, lalu mengambil Chino dari pelukanku dengan perlahan dan meletakannya di bahu kirinya, meraih tanganku dan menarikku pergi dari sini. Dia berjalan di depanku, tidak terburu-buru, berjalan dengan perlahan. Aku memperhatikan punggungnya, tangannya menggenggam erat tanganku.
Dia berpakaian terlalu rapih malam ini, black loafer, trousers biru tua dan kemeja putih "Where are you going?" akhirnya aku membuka obrolan.
"Go to the club." jawabnya singkat.
"Until what time?" pertanyaan kedua.
"Usually at 3 o'clock I arrived at the dorm." ibu jarinya bergerak pelan di atas tanganku.
"Usually?" pertanyaan ketiga.
Jeffyin menghentikan langkahnya, menatapku yang menunggu jawabannya. "I've been going there almost every night, since high school." dia menarik pelan tanganku hingga aku berada di sebelahnya lalu meletakan tangannya di pinggangku, kami kembali berjalan.
"Last night too?" kini kami berdua berdiri di depan pintu kamar nomer 204, kamarku.
"Tomorrow take your time all day for me." katanya lalu memberikan Chino kepadaku dan melepaskan bomber jacket dari bahuku.
Kepalaku terangkat saat menatap wajahnya, kedua tangannya dia letakan di atas bahuku lalu menghembuskan nafas panjang. "This,.. is beautiful, but I want only me to be able to see it." matanya menatap mataku.
Kedua tangannya berpindah ke pipiku, "One more thing," dia melirik ke sekitar, "How could I go to the club last night when you were on top of me." ucapnya lalu menciumku sangat dalam.
Jantungku terasa seperti pecah, bagaimana bisa dia mengungkit kejadian kemarin malam.
"Come on in, Darrell's waiting for me in the car." ucapnya lalu mengelus pelan pipiku "I love you, Rain." lalu akhirnya pergi.
Aku berani jamin tidak akan bisa tidur malam ini karena menunggu matahari terbit esok hari.