"Elle, I'm done with all the reports for this week. Can you just print it? I have an appointment this afternoon." pintaku pada Arielle saat menuju ke kelas pagi ini.
Sebenarnya aku tidak punya janji dengan siapa pun, hanya saja tiba-tiba pagi tadi saat aku terbangun, dadaku terasa sakit sekali, bukan rasa sakit seperti penyakit atau apapun, hanya saja terasa sakit dan sesak, sulit sekali untuk bernafas.
Saat bell akhirnya berbunyi, aku dan Arielle bergegas menuju kafetaria, katanya dia tidak sempat makan apapun pagi ini.
"Looks like I'm not the only one who didn't stop by the fridge this morning." ucap Arielle.
"You mean?" tanyaku, tidak mengerti.
"Look in the mirror, look at you, so pale." ungkap Arielle.
"really??" tanyaku sekali lagi, aku sungguh tidak ingin banyak bicara hari ini.
Arielle menghabiskan berbungkus-bungkus kukis dan dua kotak susu untuk makan siang hari ini, porsi makan Arielle sedang banyak-banyaknya. Aku mengirim pesan singkat pada Jeffyin, memintanya untuk datang, sayangnya Jeffyin bilang dia harus pergi untuk mengerjakan beberapa hal dan tidak bisa menemui ku.
Aku dan Arielle kembali ke kelas, pelajaran selanjutnya akan segera dimulai.
"Why aren't you with Traynor today?" tanya Arielle, mungkin karena tidak melihat Jeffyin.
"He was away because he had something to do, so he couldn't see me." jelasku.
"What? He was in the cafeteria, Aubrey, sitting with his friends."
Aku sungguh terkejut dengan pernyataan Arielle, "Are you sure it's him? Maybe someone else."
"I've seen him for more than 3 years, can't be wrong, he sat quite back earlier, I thought you were having a problem with him, that's why I asked." Arielle meyakinkanku.
Apa ini? Kenapa dia berbohong?
"Playboy stupide." umpat Arielle kesal. "Don't think too much about it, Aubrey, that's how playboys are."
Kini sakit di dadaku di tambah dengan sakit di kepala, Ya Tuhan, aku kenapa?
Aku tak bisa berkonsentrasi selama pelajaran berlangsung, Jeffyin terus saja muncul di pikiran ku. Well, aku memang bukan siapa-siapa, kami bukan sepasang kekasih atau sesuatu, tapi sungguh, sikap nya sangat mengganggu ku, untuk apa dia berbohong?
Sincerely, Rain
Setelah kelas hari ini berakhir, Arielle segera pergi untuk mencetak report minggu ini, sedikit bersalah karena membohonginya, tapi sungguh, aku tidak bermaksud. Aku duduk terdiam di depan sebuah piano tua, rasa sakit di tubuhku makin menyebar.
"I don't think you're crying." ucap seseorang yang tidak terdengar asing, si pemilik tempat ini.
"it is not," jawabku seadanya tidak memalingkan wajah ini. Aku mendengar langkah kakinya mendekat.
"Can you play it?" jarinya menekan beberapa tuts piano, suaranya indah.
"A long time ago, someone taught me how to play this." jelasku.
"So now you can?" tanyanya lagi, kini dia duduk di sebelahku.
"It's stopped now." aku menoleh menatap matanya. Kacamata itu masih disana, membingkai mata itu.
"But you don't hate him do you? tanyanya, matanya masih fokus pada tuts-tuts piano.
"What does that mean??" aku masih menatap mata itu.
"Piano," dia menoleh dan menatapku, "You don't hate it do you?"
Aku terdiam, tidak merespon ucapannya. Aku mengerahkan sisa kekuatanku untuk meraih kaca matanya, ingin melihat langsung mata itu. Raut wajahnya berubah ketika aku meraih kaca matanya, tapi dia tidak menepis tanganku.
"What are you doing?"
"I want to see it in person, your eyes."
Namun sebelum aku sempat melepaskan kaca matanya, aku merasakan diriku terjatuh dan terbentur sesuatu dengan keras.
Sincerely, Rain
Rasa sakit yang hebat menyerang perutku dan mengembalikan seluruh kesadaranku, sakit sekali rasanya.
"Are you awake?" tanyanya, aku mulai mengenali suaranya.
Aku menyentuh perutku karena merasa ada sesuatu disana, mengikatku.
"Just leave it like that, listen, I really don't know how to tell you, but I guess I have to." ucapnya rumit.
Aku menatapnya bingung, sungguh tidak mengerti, apa yang sebenarnya ingin dia katakan.
"You, bleeding, a lot." jelasnya akhirnya.
"Ya Tuhan!" jeritku sejadi-jadinya, sungguh memalukan. "I'm really sorry, I'm sorry." aku menutup wajahku, menahan malu yang tiada tara.
"Listen," dia meraih tanganku, "I'm really fine, don't worry about it, now tell me, do you need something?"
Aku terpaku ditempatku, tidak tahu harus bagaimana dan tidak tau maksud omongannya.
"You sweat a lot, your face is pale, does it hurt so much? Tell me, what do you need?"
"Warm water, that's enough." pintaku.
"Are you sure?" dia meyakinkan. Aku mengangguk mengiyakan. "Wait a minute, you can go back to sleep if you want." dia langsung bergegas pergi.
Aku mengambil ponselku, sudah pukul 10 malam, ada beberapa panggilan dari Jeffyin, dia menghubungiku sejak tadi siang.
"Why don't you sleep again?" tanyanya, muncul dari balik pintu.
"I have to get back to my room soon." jawabku, lalu mengambil gelas di tangannya. Perlahan ku rasakan air hangat mengalir ke perut ku, membuatnya menjadi lebih baik.
"Need me to take you? It is late." dia menawarkan bantuan.
"Thank you, but I don't want to be any more trouble than this."
"Okay," dia mengizinkan aku pergi.
"I'm really sorry, about trespassing, and your glasses, and this jacket." ucapku sungguh sangat bersalah.
"No problem, I have a younger sister." ungkapnya, sedikit tertawa.
"It means?" aku mempertanyakan, tawa itu.
"Sorry, but you really are like my little sister." kini dia tertawa sempurna, "So I'm used to your behavior."
"My behavior?" aku memperjelas maksud kalimat itu.
"Enter without permission, unexpected and careless. You should know your condition more than anyone else, your face is pale, and I'll bet your stomach has been hurting since this afternoon. Even if you think it's okay, but it's better if you confirm it, your date. You'd better find someone who can take care of you." ucapnya panjang lebar seperti papa.
Kini aku yang tertawa, jika tidak bertemu dengannya di kampus, aku pasti mengira dia sudah berkeluarga dan memiliki anak. "Alright, I'll take a note."
Kami berdua akhirnya tertawa bersama, "You need to add one more thing to your notes, Deanis, that's my name."
"Gosh" aku segera mengulurkan tanganku, "Sorry, didn't have time to introduce myself. I'm Aubrey."
"I know, sophomore, fashion student." jelasnya. "Trust me, there's no one who doesn't know you here."
Pasti karena beasiswa itu, "Alright, since you know a lot about me, now tell me about you."
"I told you my name, the rest you find out yourself, it's easy, it's not difficult to get information about me." ungkapnya terlalu percaya diri.
"All right, Deanis, but now it really seems like goodbye." pamitku lalu benar-benar pergi.
Udara malam sungguh menusuk ku, aku berjalan secepat mungkin ke kamar ku, ingin segera beristirahat. Untung saja aku masih sanggup menahan diri untuk tidak pingsan di jalan. Benar-benar pemandangan yang sangat tenang, sampai hari ini aku masih terus saja mengagumi bangunan asrama yang begitu indah. Bahkan anak tangganya begitu cantik.
"Where have you been? It's almost midnight, I've been calling you since this afternoon just so you know." bentak seseorang padaku, wajahnya benar-benar marah. Dia berdiri di bawah sorot lampu, rambut pirangnya menyala.
"I don't think I need your permission to go out for the night or not even come home." ucapku tidak ingin kalah, sungguh, aku masih tidak terima dia membohongiku.
"Where, the hell,.. have you been?" tanyanya lagi, amarahnya masih tinggi.
Aku diam. Aku tidak menjawab pertanyaan, lebih memilih menatap ke arah lain selain dirinya. Tenggelam dalam gelapnya malam.
"Fuck!" jeritnya sambil memukul pintu kamarku cukup keras.
Aku berjalan menghampirinya, "What's your real problem?" teriakku di depan wajahnya. Tubuhku bergetar, aku memaksakan diriku bertahan sebentar lagi.
"I don't like you going out until midnight without a word." ungkapnya, dapat dengan jelas ku lihat dia menahan emosinya.
"why do you care? Just mind your important business, I don't care and I don't think you need to lie to me. Just tell me if you're bored or fed up with me, that's better. We're not a couple or anything, so you can't control me." ku luapkan semua yang ada di kepalaku padanya.
Dia terdiam, pandangannya lurus menatapku.
"You can leave when you have nothing else to do." ucapku pelan, aku memijit pelan kepalaku.
Dia akhirnya pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi.