Chereads / Sincerenly, Rain / Chapter 10 - Not A Secret Anymore

Chapter 10 - Not A Secret Anymore

Aku membuka mataku dan menemukan pemandangan yang aneh, ini bukan kamarku, ini lebih seperti kamar rumah sakit. Kulihat tanganku berhiaskan infus, dan beberapa band-aid kecil dengan gumpalan kapas bekas suntikan.
"Are you feeling better?" tanya seseorang padaku, suara yang ku kenal.
"How did I get here?" tanyaku padanya. Dia berjalan menghampiriku membawakan sebuah cangkir.
"I found you lying in front of your room when I wanted to drop off your bag that was left behind." dia menjelaskan.
"Thank you, Deanis. I owe you a lot."
"No problem, I received the payment in installments." candanya, cukup untuk membuatku tersenyum. "I really didn't think it could even get someone into the hospital." ucapnya.
"Sorry?" ucapku menyesal.
"Your period, the results of the examination say that your body is very weak. I just said you were on a period, and they said that was a major factor." jelasnya padaku.
"Really?" aku pura-pura terkejut.
"Yap, your lab results are in the desk drawer." Deanis menunjuk meja yang ada di samping ranjang ku.
"All right, I'll check later. Thank you very much." ungkapku bersungguh-sungguh.
"I think I should go now, something really important came up, do I need to call someone to accompany you?" Deanis menawarkan.
"I'm fine, you can go." aku meyakinkannya.
"do you mean it, i can buy you something, you name it." Ucap Deanis yakin.
"No need, I'm really good, you can go."
"Well, I'll be back as soon as possible. I'm really sorry to have to leave." sesalnya, dan sebuah kecupan singkat di permukaan tanganku.
Setelahnya Deanis benar-benar pergi. Kini hanya aku dan bau rumah sakit yang menusuk. Aku mengambil ponselku dan melihat ratusan panggilan masuk, dari Arielle.
O M G !
"Jesus Christ! Where are you?" teriak Arielle di sebrang sana saat panggilanku padanya tersambung.
"In the worst possible place, in turquoise pajamas, and an IV in my hand, and some band-aid." jelasku tidak langsung menyebutkan lokasiku.
"Oh, God! You had an accident." jeritnya sekali lagi, sungguh, semua orang dengan jarak 1km di sekitar Arielle pasti mendengar suaranya.
"For God's sake, Arielle. Lower your voice. It wasn't that bad, I just passed out." jelasku padanya.
"Give me the location, I'll be right there." Arielle menuntut, nada bicaranya begitu khawatir.
"I'm fine, really. You can come here when class ends, I'll probably be here until tomorrow." Jawabku. Entah datang dari mana tiba-tiba saja rasa kantuk menjalar di seluruh tubuhku.
"Tomorrow? How bad are you? Look, I'll be right there, give me the location." Arielle memaksa.
"I'm fine, this has happened many times. I just need to finish a few bottles of IV and then go home." Aku meyakinkan Arielle.
"Are you sure?" tanyanya memastikan.
"100%" jawabku lugas.
"Fine, do you need anything? I'll get it from your room." Arielle menawarkan, persis sama dengan yang Deanis katakan.
"No need, just buy me a big gummy bear." Kali ini aku meminta sesuatu.
"Only that? Are you sure?"
"Yes."
Setelahnya panggilanku dengan Arielle berakhir, aku kembali berbaring di ranjangku, terasa semakin mengantuk. Kulirik jam sebelum benar-benar menutup mataku, pukul 11 pagi. Kemudian aku benar-benar terlelap.

Sincerely, Rain

Seorang perawat membangunkanku karena sudah waktunya untuk makan sore, dan aku harus meminum obatku. Sebenarnya aku sangat terbiasa dengan makanan rumah sakit, tapi di Paris, makanannya benar-benar mengerikan. Aku tidak bisa merasakan apapun. Garam, lada, atau apapun yang bisa membuat makanan ini ada rasanya. God.
"Hey," ucap seseorang di balik pintu kamarku, dia tersenyum lalu masuk menghampiriku. "How? Better?" tanyanya.
"That's how it is, but the food is absolutely terrible." Jawabku sambil mengaduk-aduk makanan di hadapanku.
"What do you expect from hospital food?" Deanis duduk di tepi ranjangku. Aku baru menyadari, Deanis memiliki mata yang begitu indah. Tidak terbayang seberapa beruntungnya anak dia kelak.
"In my country, all hospital food is delicious." Aku menyombongkan.
"So, you've tried all the hospital food in your country. Great!" ungkap Deanis, sambil dia meneliti menu makan soreku.
"Not all actually, just some."
Dia tertawa mendengar jawabanku. "I don't think trying some hospital food is anything to be proud of." Deanis benar.
"Yes, but I'd rather talk about the food than answer questions about my illness." Jawabku jujur dengan nada bercanda.
"Sorry,"
"There's no need, you've been very nice to me and it's not something to offend me or anything like that." jawabku, mencoba tersenyum untuk membuatnya tidak merasa bersalah. "What did you bring me?"
Deanis mengeluarkan seikat bunga dengan kelopak kecil berwarna putih, cantik sekali.
"Oh my God, thank you." ucapku terkagum melihat bunga. "Though it would be better if you brought me some chocolate or some cookies." candaku.
"You want it, I'll buy it." ucapnya lalu bergegas pergi.
"I'm just kidding Deanis." aku sungguh tidak bisa menahan tawaku. Kini kami berdua tertawa bersama.
"Aubrey!" teriak seseorang dari luar sana, astaga, aku tahu betul suara siapa itu.
Benar saja, saat pintu terbuka terlihat wajah El yang sangat khawatir, dan segerombolan manusia di belakangnya. Aku menatap Arielle dengan wajah menuntut penjelasan yang hanya di respon dengan kedua bahunya yang terangkat.
"Oh My God, Dean. How did you get here?" tanya El, terkejut, sepertinya mereka saling mengenal.
"I brought her here." jelas Deanis pada El, dan semua menatapnya penuh tanya. "she fell unconscious in front of his room."
"You're lucky Aubrey." ungkap El padaku.
"Oh really. You guys know each other?" aku ingin tahu.
"Oh my God, Aubrey. You don't know who he is?" tanya El cukup terkejut.
"Deanis." jawabku seadanya.
"That's all? Are you serious?" Tanya El, dia menunggu respond dariku. Well, aku tidak pernah benar-benar ingin tahu. "All right, I'll explain. Deanis McFrust, major in Music, grade 3, college pride, and handsome." jelas El dengan penuh kebanggaan atas pengetahuannya.
Aku merespon dengan tepuk tangan, sungguh, aku tidak menyangka dia benar-benar dikenal semua orang. Kutatap pria yang baru saja diungkapkan indentitasnya oleh El. Dia menampilkan wajah yang sangat menyebalkan.
"How did you all get here?" ucapku pada mereka semua. Kau ingin tahu siapa saja yang El bawa? Hilaire, Reine, Emilie dan Nethan.
"Oh that's easy, I'm following Arielle. She's so easy to read." jelas El dengan santainya.
"Owh, good for you." ungkap Arielle kesal.
"Thanks." jawab El cuek.
"Thank you, Arielle." ucapku berterimakasih.
"As long as you're happy, Aubrey."
"So, what happened to get you here?" Nethan akhirnya membuka suara.
"Deanis explained it, I passed out." jelasku singkat.
"Yeah, but why did you faint?" tanya Nethan lagi, dia berjalan mendekati ranjangku.
"Stress, maybe."
"And?" kali ini Nethan meletakan tangannya di atas dahiku, kau tau, seperti memeriksa suhu.
"Just stress, I think."
"His blood pressure was very low when he first checked, I think maybe it's because he's on his date." Deanis membantuku menjelaskan.
Nethan membuka laci meja di samping ranjang lalu mengambil hasil labku.
"What's that?" tanya El penasaran.
"My lab results, do you know how to read them?" tanyaku pada Nethan.
"a little," Nethan hanyut dalam lembaran kertas dengan tulisan ilmiah, dan mungkin hanya Sherlock Holmes yang mengerti apa isinya.
"So, what did it say?" tanyaku ingin tahu.
"Stress," jawab Nethan terlalu singkat.
"And?" pintaku lebih.
"Heart-broken." ini bodoh.
"What??"
"That's what it said." Nethan meyakinkan.
"I do not believe you." ungkapku.
"You don't have to." candanya, "But, I'm glad your fine." dan sebuah pelukan dia berikan padaku.
Setelahnya yang lain datang untung memelukku juga, sama seperti Nethan, bedanya hanya para gadis-gadisku mengeluarkan suara "Ehmmmm." saat kami berpelukan. Aku berbincang banyak dengan mereka, menghabiskan sisa sore ini. El menceritakan banyak hal yang terjadi di kampus selama aku tidak ada, well, walaupun sebenarnya aku hanya tidak masuk satu hari.
Saat jam besuk akhirnya berakhir aku meminta yang lain untuk pulang, Arielle sempat memaksa untuk menemaniku, tapi aku tolak, karena pasti akan sangat tidak enak tidur di sofa. Jadi Arielle mengerti dan akhirnya pulang. Aku meminta Nethan untuk tinggal sedikit lebih lama, ada yang ingin aku tanyakan padanya.
"So what did he tell you?" tanyaku pada Nethan tanpa basa-basi.
"He?" tanya Nethan, dia jelas tau siapa yang ku maksud. Nethan menarik sebuah kursi di sisi lain ruangan lalu memindahkannya ke sebelah ranjangku.
"Traynor." jawabku mengalah.
"I don't know if you call him Traynor too." ungkap Nethan basa-basi, lebih lanjut. Saat Nethan akhirnya duduk di kursinya, kutatap Nethan dengan tatapan menuntut. "Well, he said you didn't answer the phone and left the night with no news." jelasnya.
"Then?" tuntutku lagi.
"He snapped at you," Nethan lanjut menjelaskan.
"Continue." pasti lebih dari itu, aku yakin.
"You said that you are not a couple." jelasnya lagi.
"We are not." ungkapku terus terang.
"Yep, but it hurts him." Nethan bercanda.
"You're exaggerating.." jawabku tidak terlalu menanggapi candanya.
"I saw him, he was hurt." Nethan terlihat serius.
"Oke, then?" tanyaku lagi, mencoba tidak terlalu peduli.
"Only that." jelas Nethan mengakhiri cerita.
"Only that?" aku menuntut lebih.
"Yap." ungkap Nethan benar-benar menyelesaikannya.
"Impossible." aku tidak percaya.
"What do you expect?" Nethan ingin tahu lebih.
"He lied to me." ungkapku akhirnya.
"Well, I don't know that part."
"Last afternoon I asked him to come see me in the cafeteria, and he said he couldn't." aku mulai menjelaskan.
"And you're angry about it?" Nethan menghakimi.
"No. He couldn't come because he said he had important business and had to leave immediately. but after I returned to class Arielle said that Jeffyin had been in the cafeteria all lunch time, sitting in the back seat." ungkapku penuh emosi. Aku hampir menangis. "Sorry, it's my hormones."
"I know." jawab Nethan mengerti. Dia mengambilkan selembar tisu untukku. "Look, something must have happened that he didn't tell you the truth and I'm sure it wasn't because he was bored with you or anything. He can't possibly ask you out if he's not really serious." Nethan memberiku pengertian.
Air mataku akhirnya benar-benar mengalir, apa aku salah menilainya.
Nethan menggenggam erat tanganku, "I don't know how you feel about Jeffyin, but I'm sure his explanation deserves to be heard, if you care."
"I care," aku membela diriku.
"Good, because Jeffyin won't do anything for nothing." Nethan meyakinkan aku lagi.
"Thank you, Nethan."
"I'm always there if you need me, Aubrey. Now rest."
Aku membaringkan tubuhku, sisa-sisa air mata masih mengalir. Nethan terus menggenggam tanganku hingga aku terlelap.

Sincerely, Rain

"Êtes-vous prête à rentrer chez vous, Miss Aubrey ?" ucap seseorang di depan pintu kamar rumah sakit, suaranya benar-benar mengagetkanku.
"Tom?" ucapku tak kalah kaget setelah melihat siapa orang itu.
"je suis venu vous servir madame." Ucapnya sambil membungkukkan badannya sekitar 60 derajat dengan kesepuluh jemari yang dia pertemukan di perutnya.
"You don't have class?" tanyaku masih tidak percaya dengan yang kulihat.
"Actually there is, but someone threatened to kill me if I didn't pick you up." jelas Tom padaku.
"Jeez, Arielle or Elainne?"
"Try to guess for yourself." ungkap Tom. Aku hanya bisa tertawa, siapapun yang mengirim Tom, aku sangat berterima kasih. "Is there anything I can help?" Tom menawarkan bantuan.
"Ca va bien, merci."
"Prête à partir, mademoiselle?" ucap Tom sambil membukakan pintu untukku layaknya pelayan istana.
"Oui je suis prêt."
Tom mengantarku sampai asrama dengan selamat, aku sempat menawarkannya untuk mampir, sekedar duduk dan segelas coke. Tenang saja, kulkas milikku sanggup untuk melayani tamu, tapi Tom menolak karna ada urusan lain. Aku tidak mungkin menahannya, menjemputku di rumah sakit saja sudah cukup merepotkannya aku yakin.
Aku berencana untuk ke ruang basket malam ini, seluruh tubuhku kaku karena terlalu lama berbaring. Kali ini aku hanya membawa satu botol air mineral, aku sedang benar-benar membutuhkan itu.
Pukul setengah sepuluh malam, kampus sudah sangat sepi, pasti sisa orang-orang kampus ada di kafetaria. Aku berjalan menyusuri gedung kampus, beberapa ruangan lampunya masih menyala. Udara dingin datang melewati leherku yang tampak nyata karena rambut yang aku ikat tinggi. Tepat sebelum sampai di depan ruang basket, sebuah pesan masuk ke ponselku.
'Where r u?' begitu tertulis disana.
Aku awalnya ragu untuk membalas pesannya, tapi aku tidak bisa terus menghindar. Aku berjalan memasuki ruangan sambil membalas pesannya. "westcast Basketball".
Kunyalakan lampu sorot yang ada tepat di tengah lapangan, cahayanya cukup untuk membantu penglihatanku. Aku berjalan menuju bangku penonton untuk meletakkan botol minumku namun terhenti karena dering pesan masuk, suaranya terdengar cukup jauh dariku, tapi benar di ruangan ini.
Aku mencoba melihat sekitar sampai akhirnya menemukan si pemilik ponsel, aku menjerit sedikit terkejut saat melihatnya, pertama karena aku pikir aku melihat hantu Paris, kedua karena akhirnya aku mengenal siapa dia.
"Hey," sapaku, mencoba membuat ini tidak terlalu kaku.
"Hey," jawabnya, dia berjalan perlahan menuruni tangga. "Sorry to startle. Are you feel better?" tanyanya.
"How does it look?"
"you're good." jawabnya, perlahan wajahnya mendapatkan cahaya dari lampu sorot di atas ku. "Did Tom make you uncomfortable." tanyanya lagi.
"It was you?"
"Yes, does that bother you?"
"No, it's fine. Tom made me unable to stop laughing all the way." aku menjelaskan, sekalian mencairkan suasana.
"You finally texted me back." ungkapnya, to-the-point.
"Yap." Jawabku, aku melepaskan ikat rambuku, membiarkan rambut ini jatuh terurai.
"Thank you." kini dia berada di depanku, di bawah sorot lampu.
"Can you come closer?" ungkapku merindukannya.
"Sure," Jeffyin melangkah tanpa ragu.
Detik itu juga aku mengatupkan kedua tanganku di wajah Jeffyin, lalu menarik wajahnya lebih dekat lagi. Bibirnya telah mendarat sempurna di bibirku, aku mengecupnya singkat.
"I'm sorry," ucapnya.
Aku mengecupnya lagi, "Give me an explanation." Dia terdiam, bahkan tidak menyentuhku sedikitpun. "I'm waiting."
"You say someone else's name when you say goodnight to me." jelasnya padaku, aku sungguh tidak menyangka itu alasannya.
Aku mengecupnya lagi, kali ini sedikit lebih lama. "So that's why you lied to me?"
"I didn't lie to you anything." Sungguh, jawabannya membuatku kesal.
Aku melepaskan tanganku dari wajahnya dan menjauh. "You said you had business and had to leave when I asked you to come see me at lunchtime, but you were there, sitting in the backseat."
"Oh God, I'm sorry Rain." Jeffyin segera memelukku.
"Then why are you so mad at me? I mean, your temper really exploded when we talked that night." tanyaku di dalam pelukannya.
"I, I'm sorry. It won't happen again, I promise." sesalnya.
"That's not the case, Jeffyin. I need an explanation." kini aku menjauh sekali lagi, aku perlu melihatnya.
"I thought you went out to have fun with someone else and ignored my calls." ungkapnya.
Sungguh, betapa terkejutnya aku mendengar alasannya, "Oh Tuhan," aku kembali memeluknya, "That will never happen."
"I'm scared." katanya.
"Of what, exactly?" tanyaku.
"Losing you." ucapnya pelan.
Kalimat itu begitu singkat, sebuah alasan palsu yang sering aku dengar di novel-novel roman picisan ataupun tv-series. Kau tahu? Ketika kau terlalu sering dibodohi oleh orang yang selalu mengatakan dirimu adalah segalanya untuknya tapi segera pergi saat diminta memperjuangkan apa yang kalian jalani, sebuah kalimat paling romantis sedunia tidak akan terasa apapun padamu.
Tapi entah mengapa ketika Jeffyin mengatakannya, kalimat itu menyentuh titik terdalam hatiku, di bagian yang paling aku jaga dari kehadiran seseorang.
"But Jeffyin, you're afraid of losing something that's not yours. That's a little weird, I think." candaku, well, aku sedikit asing dengan suasana seperti ini.
"you're right, I think we need to confirm this. You and I, we're together right?" matanya menyelidik, berharap besar pada jawaban yang akan aku berikan.
"Yes Jeffyin, I'm now in front of you and it's just the two of us, so right, we're together." Jawabku menyelesaikan ini.
"It's not like that Rain, I mean you and I, we..." Jeffyin menatapku menunggu sebuah respon dariku.
"For God's sake, I don't understand what you mean Jeffyin." ungkapku.
"For God's sake too Rain, do I really have to explain it?" jawab Jeffyin yang dia buat persis sama dengan nada bicaraku sebelumnya.
"Yeah, not only you need to explain it, you also need to get it right, I mean if it's true you want this to be official." tuntutku padanya.
"Should I?" jawabnya tidak yakin.
"I'm not pushing you, Jeffyin. You said that you were afraid of losing me and thought that I might-just-go-with-other-people. So make it official, then we'll see if anyone's going to ask me out or not." Dia terdiam, aku tidak tahu apa yang dia pikirkan karena wajah datar itu. "Really, I'm fine if you don't want to make this clear."
"I'll think about it." Ungkap Jeffyin.
"About what?" tanyaku memastikan apa dia benar-benar paham.
"What do you mean?"
"About what exactly point will you think carefully?" aku menjelaskan pertanyaan ku.
"I will think carefully and very seriously about how to make you mine."
Aku hanya meresponnya dengan senyuman karena dia menuruti semua mau aku.