Chereads / Sincerenly, Rain / Chapter 11 - J knows about J and A

Chapter 11 - J knows about J and A

Are you sure today will be okay?" tanya Arielle di depan kamarku pagi ini.
"Everything will be fine Arielle, I guarantee. I'm really fine, you don't have to worry about me." jawabku meyakinkan Arielle.
"Fine, but you must tell me immediately if you feel something."
"I understand."
Kelas pagi ini akan sangat sibuk sekali karena aku harus mengerjakan tugas project untuk akhir semester ini. Sebuah koleksi baju ternyata tidak semudah yang aku bayangkan saat pertama kali tugas ini diberitahukan.
Aku sangat beruntung karena Arielle banyak sekali membantuku. Kau tahu? Mengambil jurusan kuliah yang berbeda 180° dengan apa yang aku pelajari selama 3 tahun di SMK sama saja dengan memulai kembali dari nol. Jujur aku sudah sangat sering mendengar ungkapan 'bodoh' setiap kali aku menceritakan ceritaku pada orang lain, tapi aku tidak peduli, setiap orang pasti pernah membuat keputusan besar dalam hidupnya dan keputusan besar dalam hidupku adalah melakukan sesuatu yang aku yakini 100% bisa aku lakukan.
Jangan kalian pikir aku menyesal mempelajari multimedia selama 3 tahun, tidak.
Sebelumnya aku tidak pernah mempunyai mimpi, saat sekolah dasar aku belajar dengan giat dan mendapatkan nilai terbaik saat lulus, tapi aku tidak memiliki mimpi.
Aku mendaftar dan diterima di sekolah menengah pertama yang aku sangat inginkan tapi terpaksa pindah ke sekolah yang mama inginkan, lalu mengacau selama 3 tahun dan lulus dengan memalukan, dan aku tidak memiliki mimpi.
Setelah menghancurkan masa sekolah menengah pertamaku, aku tidak memiliki tujuan untuk sekolah menengah atas, well, sebenarnya ada, tapi papa menentang keras sekolah pilihanku, walaupun kakakku bersekolah disana, jadi mama memilihkan sekolah menengah kejuruan untukku, awalnya sulit, aku tidak pernah membayangkan tentang sekolah menengah kejuruan, tapi setelah sekian lama membenci hal tentang sekolah, disana aku menemukan kembali rasa yang dulu aku rasakan saat di sekolah dasar.
Aku kembali merasakan ketertarikan pada sesuatu, merasakan tertantang untuk menyelesaikan sesuatu, dan merasakan keinginan yang besar untuk menguasai sesuatu.
Jika kau bertanya, lalu kenapa mengambil jurusan yang sama sekali tidak ada hubungannya? Kau salah besar. Fashion bukan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan multimedia, aku terlalu mencintai setiap hal yang aku pelajari di multimedia, tapi itu terlalu banyak dan tidak memiliki satu tujuan yang jelas, maksudku multimedia kan luas.
Jadi aku memilih sesuatu yang menarik perhatianku sama besarnya dengan multimedia lalu menggabungkan keduanya.
Dan inilah aku dengan semua mimpi yang akhirnya aku miliki, membuat sebuah koleksi busana dengan ide gila dan visualisasi yang aku buat sendiri, mempunyai majalah fashion dengan konsep dan desain layout hasil tanganku sendiri, sebuah campaign yang aku direct sendiri, dan sebuah perusahaan fashion dengan namaku di bagian paling atas gedungnya.
Aku tidak ingin setengah-setengah, aku ingin paket lengkap, menguasai segala sesuatu yang berhubungan dengan apa yang aku kerjakan.
Kau boleh tertawa, tapi itu mimpiku.
"What do you want for lunch later?" tanya Arielle saat pertengahan pelajaran.
"I brought lunch today." jawabku.
"You know that you have medicine to take so you can't help but eat something right this afternoon." Arielle mengingatkan.
"Yeah, I know Arielle, thanks for reminding me." jawabku lalu kembali fokus pada papan tulis.
Saat makan siang di kafetaria, Jeffyin mengirimkan aku sebuah pesan.
I can't accompany you to lunch today.
K(: ,balasku singkat.
There's something I really have to do.
(: ,balasku tidak jauh berbeda dengan yang tadi.
Please say something, I feel very guilty.
:*
Setelahnya aku menerima panggilan masuk dari Jeffyin.
"What's up?" tanyaku.
"Je t'aime." ungkapnya, aku dapat dengan jelas mendengar suara keramaian samar-samar di belakangnya.
"I know." jawabku yakin, dia tertawa di ujung sana. "I was having lunch in the cafeteria with the others."
"What's the menu?" tanyanya.
"Strawberry pie and honey tea."
"Pie? Where did you get that?" Jeffyin ingin tahu.
"A friend gave me this this morning." jelasku, tapi aku tidak mengatakan siapa yang memberikannya. Well, tasnya tergantung di pintu kamarku, aku tahu itu dari Deanis karena ada kartu bertuliskan namanya.
"Very well, does it taste delicious?"
"Really, I really like it." ungkapku bersemangat.
"Don't forget to eat your meds after finishing the pie, I have to do something, can I hang up the phone?"
"Yeah, don't forget your lunch." aku mengingatkan lalu panggilannya berakhir.
"What is Traynor?" tanya Gallant saat aku meletakan ponselku. Dia sedang mencoba memasukan banyak sekali kentang goreng ke dalam mulutnya.
"Yap."
"Aubrey, please read this." ucap Tom lalu memberikan ponselnya.
Assure-toi de voir Aubrey prendre ses médicaments ou je te botte le cul !
Jelas aku langsung tertawa setelah membaca pesan itu, "Was he always like this? Threatening his friends." tanyaku lalu mengembalikan ponsel Tom.
"Never for women's business. He's crazy about you." ungkap El dengan mudahnya. Aku melirik El, dia memasang wajah tersenyum nakal.
"So, you let the trouble out then?" Arielle bertanya padaku.
"He has already explained what needs to be explained, and I accept it." aku menjelaskan.
"Did something happen between you and Traynor?" Damien ikut penasaran. Aku melihat yang lain menunggu jawabanku.
"Nothing, just a misunderstanding." Jelasku.
"You're too innocent, Aubrey." ucap Arielle.
"It's not like that, Arielle." aku mencoba menjelaskan.
"I just don't want you to get hurt, ils sont tous également connards." aku menyadari sesuatu dari kalimat yang Arielle ungkapkan, dia pernah terluka oleh Tom.
Aku segera melirik Tom detik itu, dia menatap Arielle dengan ekspresi yang sulit aku jelaskan.
"Wow, you really are something Miss Brigitta." ungkap Damien, aku tau dia mencoba tidak canggung.
Aku menggenggam kuat tangan Arielle, "I know you care, thanks for that."
"Well, friends protect each other."
Kami segera kembali ke kelas setelah jam makan siang berakhir, ada presentasi besar yang menanti ku di kelas selanjutnya.

Sincerely, Rain

"Instagram jadi rame ya sekarang, ngomongnya pada bahasa inggris semua." ungkap Jullian di telfon. Aku sedang duduk di taman dekat perpustakaan, seperti biasa.
"Gitu dehh," jawabku bangga.
"Jadi sekarang udah banyak temennya?" tanyanya, aku mendengar suara beberapa orang sedang berbicara disana.
"Yahh, sekedar kenal atau makan bareng di kafetaria." jelasku, aku memainkan chino yang duduk di ujung kakiku.
"Seru dong,"
"Lumayan, kalo lagi ada semua, bisa berisik banget." ceritaku bersemangat.
"Cewek-cewek semua?" tanya Jullian ingin tahu.
"Random lah,"
"Ganti-ganti terus orangnya?" tanya Jullian lagi, dia sepertinya tertarik dengan teman-temanku.
"Engga, itu-itu aja. Sebenernya tuh cuma berdua, terus kenal salah satu dari mereka, jadinya dikenalin ke semua deh, terus sekarang bareng terus." jelasku sesingkat mungkin.
"Jadi kaya geng gitu dong?"
"Engga juga sihh"
Aku merasakan sebuah tangan melingkar di bahuku dan sebuah kecupan di puncak kepalaku. "Hey." ucap Jeffyin.
"Disana udah malem ya?" tanya Jullian.
"Setengah sebelas." jawabku. Jeffyin berbaring di kursi taman, kepalanya dia letakan di pangkuanku. Aku dapat melihat dengan jelas dia jengkel karena panggilan telfonku dengan seseorang.
"Di kamar?" tanya Jullian lagi, perlahan-lahan suara bising orang-orang disana menghilang.
"Engga, di luar, di taman." jelasku. Aku mencubit pelan pipi Jeffyin yang sedang tersenyum. Ya Tuhan, aku sungguh menyukai pria ini.
"Sendirian, malem-malem?" Jullian terdengar seperti khawatir, tapi aku mungkin salah.
"Engga, ada yang nemenin." jawabku. Jemariku bergerak perlahan mengelilingi seluruh tempat di wajah Jeffyin, mata, hidung, dan bibirnya.
"Ohh, kirainnn. Satu orang?" Jullian sedikit tertawa disana.
"Yap."
"Kenalin dooong, cantik ga?" suara Jullian terdengar lebih bersemangat.
Aku menatap wajah Jeffyin, melihat bulu mata lentik itu. "Cantikk, mau?" tawarku pada Jullian.
"Yehahaa, tapi kan gabisa bahasa prancis." ungkap Jullian, kali ini dia benar-benar tertawa.
"Say hi ajaaa," aku memaksanya, sedikit tertawa karena mendengarnya tertawa.
"Yaudahh deh," Jullian mengalah.
"Ehh, tapi dia cowok." ungkapku dengan tawa yang akhirnya pecah. Jeffyin memasang wajah cemberut padaku, bibirnya sedikit dia majukan.
"Astagaa, cowok? Katanya cantik." Jullian tergelak disana.
"Emang cantik," jawabku. Aku menutup bibir Jeffyin dengan tanganku, menekan bibirnya yang tadi dia majukan.
"Laki beneran gak tuuh?" tanya Jullian dengan sedikit sisa tawa, aku sungguh merindukan tawa miliknya.
"Benerann, udah di periksa." candaku lebih lagi. Aku merasakan kecupan singkat di telapak tanganku yang menutupi bibir Jeffyin.
"Hahahha, gimana cara meriksanyaa?" tanya Jullian ingin tahu.
"Ada dehh, mau ngomong ga nihh jadinya?" aku kembali menawarkan Jeffyin pada Jullian. Jeffyin menggenggam tanganku erat dan kecupan itu tidak berhenti dia berikan.
"Engga ahh, ogah. Udah dulu ya Ness, mau mandi."
"Bye," ucapku lalu mengakhiri panggilan ini.
Detik itu juga Jeffyin mengambil ponselku, lalu membawanya menjauh. Aku melihatnya mengutak-atik sesuatu di sana, "What are you doing, Jeffyin?" tanyaku.
Aku mengambil Chino di ujung kakiku, memindahkannya ke pangkuanku.
"You call him almost every day Rain?" tanyanya jengkel, aku tidak merespon sama sekali pertanyaan itu, lebih memilih mengelus Chino yang sedang berusaha tidur.
Jeffyin kembali duduk di sebelahku, matanya masih saja fokus pada ponselku, entah sedang melakukan apa. Aku mengangkat kakiku, lalu meletakannya di pangkuan Jeffyin, aku luruskan sampai ke ujung bangku.
"If I asked who he is and the people whose names are in your favorite contacts on your phone, would you answer them?" tanyanya serius.
"Possible," jawabku tidak terlalu menanggapi pertanyaannya.
"Alright, I won't ask." ucapnya.
"Just ask," aku menantangnya.
"Who are you calling?" selidiknya padaku.
"My best friend," jawabku mudah.
"One of OUR?" tanyanya, Jeffyin melepaskan jaketnya lalu menutupi kakiku yang terbuka.
"No," jawabku, aku menyentuh ujung rambutnya.
"Is he a man? From his name it's clear he's a man." nada bicaranya terdengar begitu jengkel.
"Can't I have male friends?"
"It's not like that. Do you like him?" tanya Jeffyin cukup mengagetkanku.
"I once loved him, and probably still love him." aku berterus terang.
"Have you ever been in a serious relationship? I mean, were you two a couple?" tanyanya sambil menatap lurus ke mataku, biru matanya terpancar jelas.
"we're not,"
"Does he know you love him?" tanya Jeffyin ingin tahu lebih.
"He knows."
"Then?" tanyanya. Jeffyin menyingkirkan beberapa helai rambut di wajahku, memindahkannya ke belakang telinga.
"You want to know the story? This will probably be very long."
"I'll listen to it."
"Me and him are schoolmates," aku mulai bercerita, "We are good friends, he is also good friends with OUR, then at some point I fell in love, then accidentally he found out, then he said he also loves me, but he also said we can't be together, after that my relationship with him got further away."
"He's stupid." Jeffyin berkomentar.
"What do you mean?"
"At least he should give you a chance, I mean you guys should try, if it doesn't end happily, at least you've tried to fight for what you feel, I can guarantee he lied about loving you." ungkapnya, jantungku berdetak begitu cepat mendengarnya, air mataku hampir terjatuh mengingat Jullian.
"Maybe he just cares, but doesn't love me."
"Whatever it is, you two feel comfortable with each other, he's too selfish to think about his own feelings." ungkapnya, aku tidak bisa tidak tersenyum melihat ekspresi marahnya.
"it's not like that, Jeffyin. He has his reasons, I try to understand and respect that." aku mencoba memberikan pengertian.
"Lies," dia mengetahuinya. Aku semakin tidak bisa membendung rasa sedih itu.
"Then he became my best friend's boyfriend, not OUR, someone else." aku melanjutkan ceritanya.
"Connard." makinya.
"stupidly, I still love him." ungkapku, dan air mata itu akhirnya terjatuh.
"Yes, you are stupid." ucap Jeffyin, jemarinya menghapus air mataku.
"Then I became his best friend's girlfriend, but still loved him, he didn't know that, so I ended up going here, to forget him." aku mengakhiri cerita sedih ini.
"How long have you liked him?"
"3 years I love him." jawabku. Aku tidak ingin membohongi siapapun lagi, aku benar mencintainya.
"It's hard to compete," ungkapnya merasa kalah, "How about your boyfriend? Do you love him?"
"He expressed his feelings." jawabku, "I gave myself a chance, to love others. I also want my happiness, with people who love me." ucapku tertahan, mengingat betapa egoisnya diriku. "At that time I knew very well what it felt like to love someone but not reciprocate, so I thought I didn't want to make other people feel it too." bodohnya aku.
"How long have you been together?" Jeffyin ingin tahu.
"One year."
"Did you finally love him?"
"I don't know, I care about him, he makes me feel good. But it was my fault, I shouldn't have involved him. I hurt him." Sesalku, walaupun sudah tidak ada artinya.
"Can I get the same chance?" unggap Jeffyin bodoh.
"I could hurt you like I hurt him." Aku mengungkapkan kebenarannya,
"I can take the risk." tidak ada keraguan disana saat Jeffyin mengatakannya.
"Why is it so easy for you to say? You should consider this carefully." Aku menyarankan.
"I love you, that's reason enough." ucap Jeffyin begitu yakin. Seandainya saja orang yang aku cintai adalah dia.
Aku menatap ke langit, "Right, that's reason enough." aku menyetujuinya, itu alasan yang sama yang aku gunakan untuk mempertahankan rasa cintaku pada Jullian selama 3 tahun.
"I believe that if you dare to love someone, it means that you are also ready to be hurt." ucapnya sambil ikut menatap langit. "I forgot where I read it." ucapnya lagi.
Aku tertawa, "I forgot that you studied literature."
"All right, now it's time to go back to the room. It's too late for you to be outside, Rain." Jeffyin melepas jaketnya di kakiku lalu beranjak berdiri.
"Je ne suis pas un bébé, Jeffyin." jawabku jengkel. Jeffyin mengencangkan jaketnya di tubuhku.
"Oui, tu es un bébé." Ungkapnya sambil mengacak gemas puncak kepalaku.
Jeffyin mengantarku ke kamar, kami berdua menikmati udara dingin malam ini sambil berpegangan tangan erat.
"Can I join the nite club with you?" tanyaku saat kami sampai di depan pintu kamarku.
"Wait until you're tall enough." Jawabnya sambil menyentuh pelan ujung hidungku.
"I mean it, can I?"
"I'll think about it." Jawabnya menimbang.
"Good night, Jeffyin." Pamitku dan sebuah kecupan di pipinya.