Mid term sudah ada di depan mata, semakin hari aku semakin sibuk berlajar, kini sudah tidak ada jam makan siang untukku. Setiap waktu yang aku miliki akan aku gunakan semaksimal mungkin untuk belajar, Arielle juga begitu, kami sudah jarang bertemu dengan yang lainnya di kafetaria. Untungnya Jeffyin selalu menemui ku di perpustakaan atau di kamar, dia akan duduk diam memperhatikan aku yang sibuk belajar, kemudian pergi saat kelasnya dimulai atau saat tengah malam.
Terkadang aku melewatkan latihanku di ruang basket saat malam hari, tidak menelfon Jullian, dan tidak ada kencan. Pola makanku juga mulai berantakan, kalau bukan Jeffyin yang mengingatkan aku mungkin akan selalu melewatkan makan siangku.
"How about your studies?" tanyaku pada Jeffyin, dia sedang memakan beberapa gummy bear ku di ranjang. Seharian ini kami mengurung diri di kamarku, aku sibuk belajar sedangkan Jeffyin mengacak setiap sudut kamarku. Hari ini Jeffyin tidak ada latihan basket.
"Well," jawabnya santai. Dia hanya melirik ku sekilas.
"I don't like stupid men, just so you know Jeffyin." ungkapku memperingati.
Jeffyin turun dari ranjang dan memakai sepatunya, "I know." Kemudian sebuah kecupan mendarat sempurna di pipiku, "Do not sleep too late. Bye, Rain.".
"Wait a minute," aku menghentikan Jeffyin. "I never allowed you to kiss me casually, Jeffyin." Kini aku sudah meletakan pulpenku.
"Come on, Rain. It was just a short kiss." Jeffyin memberi alasan. Dia bersandar pada pintu kamarku, memasang wajah memelasnya.
"I just don't want my friend to act like he's my boyfriend when he's not." Aku mencoba membahas kembali tentang statusku dengannya.
"Then you can kiss me as you like." Jawab Jeffyin tersenyum, "Problem solved."
"Alright, from now on I will also kiss Nethan, Tom, Gallant and Damien." Ungkapku, "And I'm not kidding." Kalimat tambahanku untuk meyakinkan Jeffyin.
"Rain," Jeffyin kembali melepas sepatunya, berjalan ke arahku lalu berlutut tepat di depan kakiku, "I really thought this seriously, but I beg you to understand, this is not an easy thing." Jeffyin menggenggam tanganku, begitu hangat.
"Tell me, which part is not easy." Aku melepaskan tanganku dari genggamannya.
"I can't tell you." Jawabnya bersalah, aku tahu Jeffyin tidak bermaksud.
Aku kembali meraih tangannya yang tergeletak di atas pangkuanku, "I'm not forcing you, Jeffyin. If not, I want this to end soon, whatever it is."
Jeffyin menundukkan kepalanya di pangkuanku, nafasnya sungguh berat. "Please, Rain. understand me, is it difficult?"
"This is difficult Jeffyin, moreover you don't explain it to me." Aku mencoba semampuku menahan emosiku saat ini, "I don't ask for rose petals all over the cafeteria, or 1000 candles in front of my class, or millions of love letters in my bag."
"Sorry," ucapnya pelan, Jeffyin kembali berdiri, berjalan ke pergi untuk memakai sepatunya.
Aku menatap punggungnya yang berjalan menjauh, sungguh, aku merasa begitu nyaman menghabiskan waktuku bersamanya tapi jika terus berlanjut tanpa penjelasan yang pasti tentang statusku, terima kasih, aku sudah lelah dengan hubungan seperti itu.
Aku duduk diam di kursiku, tidak beranjak sedikit pun untuk memperbaiki ini,
"Jeffyin," panggilku saat Jeffyin sudah melangkah keluar, "Good night." Aku mengalah.
Jeffyin menyandarkan kepalanya pada pintu kamarku, "Good night, Rain." Lalu akhirnya benar-benar pergi.
Dering handphoneku berbunyi, tertuliskan nama El di sana. "What's wrong El?" Tanyaku.
"Are you in Aubrey's room?" Tanya El, aku mendengar suara bising jalanan dan orang-orang.
"Yeah, I'm studying, what's wrong?" Tanyaku ingin tahu.
"Oh God, quickly change your clothes and meet me at the front gate." Ungkap El tidak sabaran.
"What is it? Did something happen?" Tanyaku sedikit panik.
"Yes! You really need to hurry, put on some nice clothes." El berhasil membuatku sedikit gugup.
Apa yang sedang terjadi? "What for? Tell El, what's the matter?"
"Just do what I say, I'll be there in a minute. Wear nice clothes. Bye, Aubrey." Dan ketika itu juga panggilannya berakhir.
Ini gila! Aku segera menutup buku ku dan mencari baju di ruang khusus pakaianku.
Sincerely, Rain
Aku sedikit berlari menuruni tangga sambil menyambungkan panggilanku pada El. "I've come down, have you arrived?"
"I'm already here." Jawabnya senang, aku dapat dengan jelas melihat mobil merah di gerbang depan, sudah pasti itu Elainne.
"I see you!" Aku segera menghampirinya.
"You're crazy, Aubrey!" Kalimat pertama yang El ucapkan saat melihatku. "We're not going on a midnight tour."
Apa yang salah?
"I knew you would dress like this." El menunjukan tas berwarna beige di jok belakang mobilnya, "Hurry up and change your clothes."
Aku menurut begitu saja dan naik ke mobilnya, El mengemudikan mobil cukup terburu-buru, seakan kita akan tertinggal sesuatu.
"Can you tell me now, where are we really?" Sebenarnya sudah ada banyak nama tempat di kepalaku, dress berkelip ungu dan boot bertabur diamond. Sangat jelas akan kemana aku berakhir.
"Club, it's the last week before the exams, you should have fun Aubrey." Ungkap El dengan santainya.
Aku tidak terlalu terkejut, namun anehnya aku juga tidak merasa marah atau kesal. Rasanya ingin segera sampai disana. Tidak butuh waktu lama mobil El terparkir di depan sebuah tempat, terdengar dentuman begitu keras di dalam sana. Banyak yang sedang berbaris di depan pintu masuknya.
"Come on, I hope it's not too late." El dan aku berjalan melewati barisan orang-orang yang mengantri, dan dengan mudahnya penjaga di pintu masuk mengizinkan kami lewat.
"You know them?" Tanyaku sedikit terkejut melihat kami di izinkan masuk begitu saja.
"I grew up here, Aubrey." Canda El, "Look at that!" El menunjuk seseorang yang sedang sangat sibuk di atas panggung yang cukup tinggi, dapat dengan mudah aku tahu orang itu adalah disc jokey.
"Yes, I see."
"Don't you recognize who it is?" Apa perlu?
Aku memperhatikan lebih jelas lagi orang yang El maksud itu. "No."
"That's Darrell, gosh." Ungkap El tidak percaya.
"Well, I don't know who he is." El menarikku masuk lebih dalam lagi menyusuri orang-orang yang menari-nari di lantai dansa. Aku melihat beberapa orang yang aku kenal sedang berkumpul di sebuah set table.
"Look who I brought." El memamerkan ku.
"Bon sang, Aubrey!" Jerit Reine terkejut. Ada Hilaire, Emilie, Tom dan Fanette.
"The most popular girl this semester has finally shown who she is." Ungkap Tom.
"Crazy, El dragged me here.��� Aku menanggapi ucapan Tom.
"Definitely." Ucap Fanette sedikit bernada mencemooh, mungkin.
"What's important now is you have to have fun, okay?" Hilaire melingkarkan lengannya padaku dan sebuah gelas penuh di tangannya.
"okay."
Aku akhirnya bersenang-senang seperti yang El harapkan, semua rasa tegang karena sebentar lagi ujian sejenak terlupakan. Suara musik yang begitu keras terus mendentum tanpa henti di kepalaku, dan entah sudah berapa banyak gelas minuman yang sudah aku habiskan. Ini begitu menyenangkan, benar-benar hal baru dalam hidupku.
Aku sungguh tidak menyangka akan mengalami ini sebelum umurku genap 20 tahun, dunia malam kota Paris.
" I have to go to the toilet." pamitku pada Emilie, aku berusaha keluar dari kerumunan manusia ini, benar-benar merasa mual dan ingin muntah.
Sincerely, Rain
Cahaya matahari begitu menusuk mataku, oh Tuhan, kepalaku terasa berat dan sakit. Aku memasukan diriku kedalam selimut untuk menghindari cahaya... Tunggu dulu, cahaya di kamarku tidak pernah seterik ini. Aku kembali mengeluarkan kepalaku, cahaya matahari menusuk mataku sekali lagi dan juga membuatku sadar seutuhnya. Ini bukan kamarku.
Aku mendengar suara seseorang yang merengek di sebelahku, seperti marah karena tidurnya terganggu. Ku tarik dengan perlahan selimut yang menutupi tubuhnya, dan terpampang wajah orang yang tidak aku kenali, astaga, mati aku.
Dengan segera aku turun perlahan dari ranjang dan segera meninggalkan tempat ini.
"Where are you El?" Tanyaku pada El, El segera datang ketika aku menghubunginya untuk menjemput ku.
"I'm on the other side of the bakery."
Aku melihatnya dan segera menghampirinya, "Thank you for coming."
"It's my fault, I'm sorry Aubrey."
"No need, nothing bad happened." Memang benar, saat aku bangun, pakaianku utuh.
Aku segera menjelaskan kejadiannya kepada El selama perjalanan kembali pulang, aku benar-benar bersyukur dia datang menjemput ku.
"So, is that guy handsome?�� El bertanya penasaran.
"I don't know, I just glimpsed it." Jawabku, tidak ingat sama sekali.
"You should have taken the picture." El menasihati dengan sungguh-sungguh.
"I didn't have time to think about it." Jawabku, bagaimana mungkin aku sempat-sempatnya memotret.
Lalu kami berdua tertawa, El mengantarku sampai ke depan kamar, dan hal gila yang terjadi di sana sungguh tidak tepat waktu. "Where have you two been all night?" Jeffyin berdiri di sana, dengan sebuah plastik besar di tangannya.
"Hé Traynor, n'est-il pas trop tôt pour un interrogatoire impromptu ?" El dengan segera mengelak pertanyaan Jeffyin sebelum lebih jauh. Aku segera berlari memeluk Jeffyin, mencoba membuatnya tidak terlalu kesal. "All right, I'm back to my room. Bye, Aubrey!" Pamit El saat melihat sepertinya aku bisa menghadapi ini sendiri.
"You smell like alcohol." Ungkap Jeffyin masih dengan pelukannya.
Aku mengangkat wajahku dari dadanya, lalu tersenyum, "Really?" Tanyaku sedikit tertawa.
"Oh my God, what did Elainne do to you."
Aku segera membawa Jeffyin masuk ke kamarku. Tangan yang sedari tadi melingkar di pinggangnya aku pindahkan ke lehernya, dan memeluknya sekali lagi, lebih erat.
"This won't work, Rain. You still have to answer my question." Ucap Jeffyin paham dengan isi kepalaku.
"Really?" Aku melonggarkan tanganku, membuat wajahku tepat di hadapannya.
"I'm currently being punished, but you're the one who let me do this, Rain." Ucapnya lalu segera menciumku, sangat dalam.
Kepalaku menengadah penuh ke atas, wajahnya benar-benar tepat di atasku, aku dapat merasakan lidahnya di dalam mulutku. Berusaha melakukan sesuatu, tapi aku tidak mengerti, dengan mudahnya Jeffyin mengangkat tubuhku ke atas meja kerjaku, "So tell me, where did you sleep last night?" Tanyanya di sela-sela ciuman kami.
Aku menghiraukan pertanyaannya dan fokus dengan apa yang sedang aku lakukan, jemariku satu persatu masuk menelusup ke sela-sela rambut panjang Jeffyin, sedikit menariknya menahan ciuman ini. Aku sungguh menyukai aroma tubuhnya.
"Really, you really reek of alcohol." Protes Jeffyin padaku. Jeffyin menjauhkan bibirnya dariku.
Aku menariknya lagi dan menggigit pelan bibir bawahnya, "So you don't like it?" Tanyaku.
"No, I prefer strawberries." Jawab Jeffyin, setelahnya seluruh bibirku ada di dalam mulutnya. Jeffyin terus saja menarikku semakin mendekat, menekan tubuhku padanya.
"I'll remember."
Sekali lagi, aku merasakan lidahnya di dalam mulutku. Aku membiarkannya, dia pria Paris, jadi sudah jelas dia lebih paham tentang ini. Aku membuka mulutku lebih lagi, memberikan akses lebih banyak untuk Jeffyin, tanpa sengaja aku tersedak, Jeffyin akhirnya menjauhkan bibirnya sedikit, "sorry," bisikku padanya.
Jeffyin menaruh kedua tangannya di meja, tubuhnya perlahan bergerak maju, membuatku sedikit memundurkan tubuhku. Matanya menatapku, sangat dalam, "I can't understand what you want if you just stare at me, Jeffyin." Biskku lagi.
"I want you, Rain." Ucapnya begitu dalam.
Aku tersenyum singkat lalu menciumnya lagi, membuat diriku sendiri kehabisan nafas, aku menarik pelan rambutnya, membuat Jeffyin melepaskan bibirnya, "It's not that easy Mr,.." ucapku tidak terselesaikan karena Jeffyin membungkam bibirku dengan bibirnya lagi.
Jeffyin mengangkat tubuhku, membuat wajahku kini berada di atas wajahnya, aku mendengarnya menggeram pelan saat dia mendorong pelan tubuhku pada pintu kamar, semakin menekan tubuhnya padaku.
Sincerely, Rain
Hari pertama ujian, ini gila. Pertama kalinya dalam hidupku begitu tegang hanya untuk sebuah ujian, maksudku aku hanya perlu menjawab beberapa pertanyaan lalu pulang, seharusnya tidak begitu menegangkan. Seharusnya.
"I brought a sedative, would you like it?" Arielle menawarkan padaku.
"I think I need it." Ungkapku lalu menerima satu kapsul bening dengan beberapa butiran kecil di dalamnya, tanpa pikir panjang aku segera menelannya.
"What do you eat?" Jeffyin muncul entah dari mana.
"Candy," jawabku.
"Are you sure?" Tanyanya sedikit ragu.
"Yeah, I'm sure." Bantu Arielle.
Aku melihat raut wajah santai terukir di wajah Jeffyin, tidak ada kecemasan disana. Well, aku tidak tahu apakah dia begitu karena sudah belajar mati-matian atau tidak peduli. Aku mengaitkan tanganku padanya, mencoba mendapatkan energi positif darinya.
"Your hands are shaking." Ungkap Jeffyin, dia menggenggamku cukup kuat.
"Ya." Jawabku, mencoba lebih tenang.
"Don't worry, I'm here." Ungkapnya begitu percaya diri.
"That doesn't help, Jeffyin." Aku berkata jujur.
"No?"
Aku akhirnya menatap matanya, lalu menggeleng pelan.
"How about this," Jeffyin memelukku, begitu dalam.
"Better." Ucapku dalam pelukannya.
Bell akhirnya berbunyi, begitu keras terdengar di telingaku, cukup untuk memecahkan jantungku yang sedang berdetak begitu cepat saat ini. "Listen to me," Jeffyin menundukkan kepalanya, mensejajarkan dengan wajahku, "You are trying so hard for this, everything will definitely go smoothly, you just need to trust me." Ungkapnya panjang lebar meyakinkanku.
Aku mengecupnya singkat sebelum masuk kedalam kelas bersama Arielle.
Sincerely, Rain
Setelah satu jam mengerikan berlalu, aku membuka ponselku untuk melihat pesan yang masuk, dari Jeffyin.
Me and the others are watching the game, just wait in your room, I'll be right there.
Aku menghembuskan nafas dengan berat, ujiannya memang tidak seseram yang aku bayangkan, well, bahkan aku bisa memastikan diriku ini akan berjalan lancar selama seminggu kedepan, tapi aku sungguh ingin bertemu Jeffyin segera.
"I can assure you, he's watching the game." Ucap Arielle. Kami berdua berjalan menyusuri lorong menuju cafetaria.
"How do you know?" Aku terheran.
"every exam week, basketball games are held, everyone is talking about it in the group." Jelasnya.
"Oh."
"I know you're busy preparing for your exams, but at least pay attention to your surroundings Aubrey." Arielle menyarankan, mengingat aku yang memang selalu acuh.
"I understand, Arielle."
"So today, it's still just the two of us?" Tanya Arielle dengan sedikit nada bosan.
"this is it," jawabku ikut-ikutan malas. Aku dan Arielle berdiri di depan cafetaria, menatap orang-orang yang sedang sibuk di dalamnya dengan makanan di hadapan mereka.
"How about a library?" Arielle memberiku option lain.
"Let's go!"
Dengan yakinnya aku dan Arielle menuju perpustakaan, "I can assure you, the library is quiet." Ungkapku. Well, berdasarkan pengalamanku, selama hari biasa saja perpustakaan tidak terlalu ramai, apalagi saat ujian.
"You'd be surprised Aubrey." Ungkap Arielle seperti orang yang sangat tahu apa yang akan kami lihat nanti.
Kau tahu yang terjadi selanjutnya? Aku tidak sempat berkedip ketika mendapati perpustakaan yang begitu padat manusia. "We'd better look for the remaining spots." Ucap Arielle menyadarkan ku.
"Is that possible, it's already packed with people." Sungguh tidak yakin, ini benar-benar pemandangan yang sulit aku percaya, selama sekolah, tempat paling sepi adalah perpustakaan, ternyata tidak sama.
"Find anyone who is sitting alone, then ask to sit together, definitely allowed." Arielle memberiku tips cepat akurat.
"I dare not Arielle." Sungguh, jika kalian berfikir aku sudah sangat berbaur dengan orang-orang disini, jawabannya tidak. Selama 3 bulan ini aku hanya berbicara dengan orang yang sama setiap harinya.
"Don't worry, no one will bite you."
"Not helping at all, Arielle."
"Sorry, let's find it together." Setelah sepakat aku dan Arielle berjalan menyusuri perpustakaan, mencari target kami.
Awalnya aku yakin peluangnya 50% tapi setelah melewati beberapa meja dan baris, peluangnya semakin berkurang menjadi 5%. "Looks like we have to give up Arielle." Ungkapku pasrah.
"Excuse me..." Ucap Arielle cukup kencang dengan sedikit berlari ke meja di paling belakang dekat dengan jendela kaca besar.
Aku melihat seseorang disana, dilihat dari posisinya sudah jelas orang itu sedang tidur, badannya sedikit turun, kakinya menjulur lurus dengan kepala yang cukup tegak di sandaran kursi di lengkapi sebuah headphone besar di telinganya. Jacket kulit hitam dan reap jeans, tangannya terlipat di dadanya dengan sebuah gelang bergambarkan tuts piano.
"Excuse me!" Ucap Arielle sedikit lebih keras lagi, mencoba membangunkan orang itu.
Aku segera menghampiri Arielle, "Looks like we'll just find another place, Arielle." Aku menyarankan setelah meneliti orang yang tertidur itu.
"No need, let's just sit here, it looks like he's sleeping quite soundly." Arielle meyakinkanku.
"Is it okay?" Aku cukup ragu dengan pernyataan Arielle, walaupun benar dia tertidur pulas, aku tetap takut.
"Don't worry, there's no way we'd be unlucky to run into a serial killer."
Aku yakin saja dengan Arielle dan duduk di kursi yang berhadapan dengan pria itu, sedangkan Arielle di sebelahku. Aku mengeluarkan buku catatan sejarahku dan buku sejarah fashion yang aku beli, aku sudah sedikit melihat isinya, dan untungnya aku mendapatkan buku yang tepat karena sebagian besar isinya related dengan materi kuliahku.
Sebenarnya aku sedikit tertanggu dengan orang itu, yah, tapi mau bagaimana lagi, tidak ada tempat duduk. Aku mencoba memfokuskan diriku dengan materi ujian besok saat Arielle berkata, "I'm going to the toilet for a bit."
"Okay." Jawabku. Entah darimana datangnya, tiba-tiba saja aku memberanikan diriku untuk melihat dengan jelas wajah orang itu, bulu mata orang itu lumayan panjang, tapi lebih panjang milik Jeffyin, orang itu juga memiliki garis wajah yang sangat tegas, tampan.
"Votre ami est très bruyant, mademoiselle." ucap pria di hadapanku, aku begitu terkejut sampai menutup mataku, perlahan aku buka kembali mataku, memastikan sendiri apa benar orang itu yang berbicara dan dengan tiba-tiba mata pria itu terbuka dan langsung menatap mataku, aku hampir saja menjerit jika saja tanganku tidak menutup mulut ini.
"Pardon" ucapku padanya, jangan tanya alasannya, tidak tahu.
"Ne vous en faites pas, continuez." Kemudian matanya tertutup lagi.
Oh! Tuhan! Dia manusia kan?
"What is it?" Tanya Arielle saat kembali ke kursinya.
"Nothing." Jawabku tidak ingin melanjutkan keanehan tadi.