Aku terbiasa kamu, menggoda. Tak pernah terfikir olehku bahwa akhirnya tidak tertarik. Bagaimana kamu? Apakah sama sepertiku?
Aku bangun pagi-pagi sekali karena harus mengeriting bagian bawah rambutku, kini ada beberapa helai rambut pendek menghiasi di atas dahiku, memotong poni adalah hal yang cukup sering aku lakukan, apa lagi saat moodku sedang baik seperti hari ini.
Aku masuk kedalam ruang khusus pakaian untuk melihat-lihat sepatu apa yang cocok di pasangkan dengan rok span pendek kulit berwarna putih dan sweater hotpink berbulu dengan ukuran yang sedikit besar dan potongan yang cukup pendek dibagian bawah.
Pilihanku jatuh pada Corto Moltedo dan Jimmy Choo, ini sungguh sulit karena mereka berdua adalah yang terbaik. Akhirnya aku memotret kedua pasang sepatu itu lalu mengirimkannya kepada El dengan caption
/DATE! NEED HELP, ASAP!/
Untung El segera membalas pesanku,
Segera telfon panggilan darurat! Omaygut. Perlihatkan bajunya!
Lalu aku memotret baju perangku dan mengirimkannya lagi pada El.
Ponselku berdering lagi,
/Where to go? /
/Not know./ Balasku.
/Okay, this is hard. If so, who do you go with? /
/Jeffyin..?/ Sedikit ragu saat mengetik namanya.
El tidak membalas pesanku, dia menelfon. "Alright, the porridge that time was indeed quite suspicious. Explain to me! How close are you two?" tanya El panjang lebar.
"Not too close, El." jelasku.
"How many times have you kissed?" El mulai menginterogasi.
"Twice." jawabku hati-hati.
"where?" dia menyelidik
"In my room then in the garden next to the library." jawabku lalu suara teriakan dari ujung telfon terdengar sangat nyaring.
"Okay. Okay. I think it's better with Corto Moltedo, you don't have to be afraid of suffering because Jeffyin understands how to treat women." suara El terdengar kembali normal. "Listen, I know you're a nice person but Jeffyin is too kind person, he treats all women almost perfectly. In all my life knowing him, he's only been friends with a lot of women but never dated them." El menjelaskan dengan sangat serius.
"Is that so?" tanyaku ragu.
"This may sound a little strange, but I hope you won't hurt him." suara El sedikit melemah.
"I'll try my best. Thanks for the shoe suggestion." aku mencoba mengubah suasana.
"Tout pour toi, bébé. Good luck with the date! Tell me, don't forget." telfon pagi-pagi buta dengan El pun berakhir.
Aku memikirkan baik-baik perkataan El sambil berendam, Jeffyin memang baik, tapi aku ragu dengan perasaannya yang sebenarnya, ini Paris, semua orang bebas berciuman bukan? Aku hanya menyesuaikan diriku saja, lagi pula dia bukan pria bodoh yang kerjaannya hanya main saja, jadi berciuman dengannya bukanlah tindakan bodoh.
Aku mengambil ponselku yang aku letakan di atas handuk, membuka Instagram dan sekali lagi mengetik nama bramanaarsyaa di kotak pencarian. Hasilnya masih tidak ada, akunnya nonaktif. Pertanyaan lain muncul dalam pikiranku, apa dia membenciku?
Aku memejamkan mataku rapat-rapat dan memilih untuk tidak memikirkan apapun namun kemudian terdengar samar-samar suara ketukan sangat kencang dari pintu kamarku, semakin lama semakin terdengar jelas dan suara orang meneriakkan namaku "Rain! Aubrey! Are you inside? Rain! Open the door, Aubrey!"
Aku segera mengambil bathrobe dan melingkarkannya secara acak di tubuhku sambil berlari kedepan untuk membuka pintu, betapa terkejutnya aku saat pintu terbuka Jeffyin, Gallant dan Nethan berdiri di depan pintu dengan wajah panik. Mereka bertiga ikut terkejut saat melihatku dan segera berbalik badan membelakangiku, "Oh, shit!" jerit Jeffyin.
Aku segera masuk kedalam untuk memperbaiki bentuk bathrobeku lalu kembali keluar, Gallant dan Nethan sudah tidak ada disana, hanya Jeffyin yang masih berdiri disana membelakangiku. Aku menarik ujung kaos Jeffyin agar dia berbalik, "What is it? Why did you knock on the door so hard?" tanyaku bingung.
"I've shouted your name and knocked on your door many times, but there's no answer. Why don't you pick up your phone? I thought something happened!" ucapnya dengan sedikit nada membentak dan wajah frustrasi.
"I'm just taking a bath, Jeffyin." jelasku. Dia meremas rambut pirangnya dan menghembuskan nafas panjang. "What are you doing here looking for me, didn't you say 10 o'clock we leave?"
Jeffyin menatapku tak percaya "Look at the clock, it's already past 10."
"Oh Tuhan!" aku segera menutup pintu dan bersiap-siap.
Sincerely, Rain
Aku menggunakan semua yang telah kupersiapkan tanpa ada yang kurang satu pun, akhirnya setelah seminggu terkurung di kampus aku mempunyai waktu untuk bermain keluar. Jeffyin menggunakan kaos putih dengan jaket berwarna hitam dan celana jeans, rambut pirangnya dia kuncir rapih kebelakang.
"Where are we going?" tanyaku padanya dengan nada yang kubuat sedatar mungkin.
"Have lunch." dia menjawabnya sambil terus menatap lurus kedepan. Tangan kirinya sibuk mengendalikan kemudi sementara tangan kanannya dia sandarkan pada kaca sambil menggigit-gigit jari telunjuknya, "Are you hungry already?" kini dia menatapku.
"it seems like," jawabku singkat, aku mengeluarkan ponselku untuk berfoto. Sejak sampai disini aku belum memposting apapun di akun instagram official ku, aku terus saja memposting foto di akun kedua ku.
Ketika kamera on, aku mengangkat ponselku cukup tinggi agar mendapatkan hasil middle close-up, mensejajarkan helaian rambut pendek di dahiku, beberapa kali menutup lalu membuka kelopak mataku, memaksanya untuk terlihat lebih besar lagi.
Aku mengambil beberapa gambar selama sekitar sepuluh menit, karena kehabisan gaya aku mengeluarkan lipstick warna orange dari dalam pocchet, memakainya, lalu kembali berpose. Berbeda dari gaya yang kugunakan tadi, kini aku menurunkan sedikit ponselku beberapa centi di bawah wajahku. Ini mode cute maksimal. Rambut yang sedari tadi tergerai rapih kebelakang kini aku buat terurai kedepan, terdengar tawa renyah dari seseorang yang sedang mengemudi tepat di sebelahku. Aku menoleh ke arahnya sambil masih memajukan bibirku seperti anak kecil sedang meminta sebuah ciuman, tawanya semakin menjadi saat aku melakukan itu.
Aku memutuskan untuk tidak memperdulikannya, dan fokus pada photo session ini.
Akhirnya mobil ini menepi, memasuki sebuah tempat makan yang berhasil membuatku melongo. Mcdonald. Demi apapun, apa dia bercanda? "Eat here?" tanyaku, masih saja tidak percaya.
"Why? Do you want to go somewhere else?" tanyanya, lalu mematikan mesin mobil.
"That's okay," aku mengikutinya keluar dari mobil.
Kami duduk berhadapan di sebuah meja dekat kaca, "So, why choose literature?" tanyaku. Aku mencoba untuk lebih dekat dengannya.
"So initially, when I was little my parents, especially my father, had a lot of books in the reading room, most of them were biography and history books, the rest were poetry books, poems and other books. Fanette always comes to my house and reads my mother's books." jelasnya terhenti saat melihat perubahan pada ekspresi ku.
Bagaimana tidak, dia menyebut nama gadis lain, atau lebih tepatnya nama Fanette. Jujur saja, aku tidak suka. Jeffyin menggenggam tanganku dan melanjutkan ceritanya, aku mencoba tersenyum mendengarkan Jeffyin kembali bercerita.
"Fanette who wanted to study literature first, I still remember clearly when Fanette came into my room suddenly crying. She asked me to promise to make her dream come true together."
"And then?" tanyaku basa-basi.
Dia tersenyum, "Here I am, sitting in front of you." candanya.
"Just that, because Fanette asked for it?" aku tidak terima.
Dia hanya mengangkat kedua bahunya dan tertawa puas. Kau tau? Ini sungguh menjengkelkan.
Jeffyin menggenggam ujung jemari tangan kananku, memperhatikan setiap inci hiasan kuku milikku. "I was fourteen then," masih terus menatap jemariku, "Fanette asked me while crying loudly, I couldn't refuse."
Aku menghela nafas panjang, lalu menarik tanganku saat pelayan mengantarkan croissant dan french fries dengan porsi besar juga beberapa botol berisikan mayonnaise dan saus. Jeffyin menarik kembali tanganku saat pelayan itu pergi "How can I eat if you hold my hand like this?" ucapku kesal.
"Easy." jawabnya lalu mengambil beberapa french fries dan mengarahkannya ke mulutku. Aku hanya bisa tertawa melihat tingkah kekanak-kanakannya. "Show me your photos in Indonesia." pintanya.
"What for?" tanyaku, lalu mengambil beberapa french fries.
"I want to see it, can't I?" dia mengelus tanganku yang sedari tadi masih digenggamnya.
Aku mengambil ponselku lalu memberikannya pada Jeffyin, wajahnya tampak sangat girang. Aku melanjutkan makanku tanpa memperdulikannya yang sibuk sendiri, dia beberapa kali tertawa lalu senyum-senyum sendiri. Aku penasaran lalu mengambil ponselku dan terkejut karena yang dia buka adalah album foto yang berisikan sekumpulan wajahku. Dia masih saja tertawa lalu mengambil kembali ponsel dari tanganku, "Can I see this?" tanyanya.
Dia menunjukkan sebuah album foto bertuliskan OURS pada judulnya, wajah Jeffyin terlihat ragu. Aku sebenarnya tidak terlalu yakin, tapi akhirnya aku mengangguk memberi izin.
"I'm fine, if it's not allowed." ucapnya, meyakinkanku.
Aku tertawa singkat, "You're cute, it's not like my nude photo collection or anything."
"Yeah, but maybe a collection of photos of you with your ex." Jeffyin mengucapkannya tanpa menatapku kemudian meletakan ponselku di meja.
"What's the problem if that's true?" Ini aneh, aku pikir dia dan semua hal tentangku hanya sebuah hal-terlalu-biasa yang orang lakukan. Tidak khusus. "Jeffyin," ucapku pelan.
Jeffyin bahkan tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun. Ku letakan kedua tanganku di wajahnya dan menciumnya singkat. Aku melihat matanya masih terpejam untuk beberapa saat, lalu kemudian kembali memperlihatkan mata biru itu.
"This is a collection of photos of me and my best friend, btw." ku ucapkan dengan nada sedikit mengejek kemudian memberikan ponselku.
Jeffyin menerimanya, "Sorry," katanya bersalah.
"Yeah, I'm fine." ucapku lalu kembali fokus pada kumpulan kentang goreng di hadapanku.
Kali ini Jeffyin tidak tertawa saat melihat galeriku, dia hanya tersenyum. Sesekali aku memberinya beberapa potong kentang, porsi kentang ini terlalu besar untuk ku habiskan sendiri.
"You're a photo maniac, gosh." ucapnya tidak percaya, "Dozens of photos for one moment? You guys are crazy."
"That's why they're my best friends, we go crazy when we're together."
"Yeah, really crazy." kata Jeffyin lalu ponselku berdering cukup kencang.
Tanpa bertanya padaku, Jeffyin segera mengangkatnya. "Bon après-midi," ucapnya begitu manis. Aku mencoba merebut kembali ponselku tapi apa daya, tubuh Jeffyin lebih tinggi dan besar dari aku.
"Yes, it is," Jeffyin menjawab pertanyaan seseorang di ujung sana.
"Sorry but Rain is busy with her fries." Jawab Jeffyin sambil memasukan kentang goreng ke dalam mulutku.
"Alright, I'll tell her, bon après-midi mademoiselle." Jeffyin berkata lebih manis lagi dari sebelumnya, sudah jelas yang menelfon ku pasti perempuan.
"Vous êtes fou." Ucapku lalu mengambil ponselku, ternyata Rosa yang menelfon.
"What's wrong if I answer your phone call?" Jeffyin menjawab tanpa dosa.
"Satisfied?" tanyaku.
"Not yet, because there are some albums with safety locks that I can't see." ucapnya sambil menatap lurus ke mataku. Kalimatnya dia tujukan untuk album fotoku.
"it's privacy, Jeffyin." jawabku setengah bercanda.
Dia menunjukan wajah tidak terima, "Then make me one." pintanya.
"I can not promise." Jawabku sekenanya, masih kesal dengan dia.
"What do I need to do to get it?" Jeffyin antusias, terdengar jelas dari nada bicaranya.
"There are no definite conditions, I'll make it if I'm sure." Aku menanggapinya serius.
Jeffyin sepertinya kesal dan tidak membahasnya lagi. Dia lebih memilih bermain dengan ponselnya, tidak menyentuh kentang goreng sama sekali, bahkan tidak melihat aku, ini menjengkelkan karena tangannya masih saja menggenggam tanganku tapi seluruh perhatiannya tertuju pada ponselnya.
"Could you please put on a better face?" ucapnya tiba-tiba saat aku sedang mengacak-ngacak kentang goreng ini. "I need the best results, Rain." matanya masih saja pada ponsel bodoh itu.
"what do you mean," tanyaku tidak terlalu peduli.
"smile," pintanya, tidak mengalihkan pandangannya. Aku tidak menuruti maunya dan memasang wajah cemberut.
Dia hanya tertawa "Kamu akan menyesalinya, Rain."
"I do not think so." jawabku kesal, "Alright, I can't afford to spend all this, you have to take responsibility." Aku menuntut.
"Why should I be in charge of this?" tanyanya, mencoba mendapatkan penjelasan.
"Because you were busy with yourself and with that stupid cell phone and then ignored me." aku kesal.
Jeffyin ingin tertawa tapi sepertinya dia tahan. Dia memanggil pelayan dan memintanya membungkus kentang goreng yang tersisa, aku menarik tanganku dari genggamannya. Bukannya membujuk ku atau apa dia malah bermain dengan ponselnya, sampai pelayan itu kembali dengan bungkusan besar yang jelas berisikan kentang goreng.
Sincerely, Rain
Sedari tadi di dalam mobil, Jeffyin sibuk dengan kemudi dan kentang goreng di pangkuannya. "I have to buy some things, do you want to come in or stay?" tanyanya saat mobil mulai menepi ke sebuah toko CD.
"I am coming along,"
Kami berdua keluar dari mobil dan memasuki pintu kecil dengan beberapa hiasan hologram, toko ini cukup besar. Beberapa rak berbaris berisikan jutaan cd player dari musisi-musisi Paris, ada tempat untuk memutar cd, led screen, dan sebuah sofa besar.
Kedua tangan Jeffyin memegang erat bahuku, "I promise, it won't be long." katanya, mata biru itu tepat berada di atasku.
Aku mengangguk pelan dan seketika Jeffyin mengecup pipiku singkat lalu melesat menghilang dibalik rak cd. Aku mencoba mencari kesenanganku sendiri, melihat-lihat beberapa cd. Sepertinya aku berada di corner cd musik band-band lokal, dilihat dari track list di beberapa cd dengan bahasa Prancis.
Saat sedang berusaha membaca sebuah judul lagu, suara notifikasi dari ponselku berbunyi. Sebuah akun bernama @_gb menandaiku dalam sebuah kiriman foto, dan betapa terkejutnya aku melihat diriku dengan gaun tidur sambil memegang sebuah payung di tengah kampus saat sedang hujan. Notifikasi lain masuk, kali ini si pemilik akun menambahkan aku sebagai teman.
Jelas aku penasaran siapa dia, aku tidak percaya saat profil orang itu terpampang di layar ponsel, Nethan! Baiklah, sepertinya aku tidak perlu terlalu berlebihan tentang penggunaan wajahku tanpa izin karena hasil photo Nethan sangat bagus. Aku sedikit tertawa membaca caption yang Nethan buat 'Fille en capture #inthemiddleoftherain'.
Aku mengetik komentar 'Pay me!' sambil berjalan ke arah sofa besar. Kau tahu hal gila yang terjadi setelahnya? Kira-kira hampir seratus akun menambahkanku sebagai teman, dan entah berapa banyak komentar yang muncul. Aku lebih memilih fokus pada postingan ini, membaca semua komentar yang tertulis disana, mereloadnya beberapa kali, ada beberapa akun yang aku kenal seperti @pter_ yang menuliskan '@lukee__ show off. ' @mr.Damien dengan komentar 'I think I need her for the final project' dan @queenEl 'ma hot girl!'.
Seketika terlalu banyak notifikasi yang masuk karena ulah Nethan, aku membuka DM dan melihat beberapa orang yang tidak aku kenal mengirimkan aku pesan. Di antara tumpukan orang-orang itu terselip DM dari Lista,
/Cek Line buru!/
Pesan itu Lista kirim tadi pagi, aku menutup Instagram dan segera melihat chat masuk di Line. Ada chat masuk di grup OURS.
/Tadi gua nemu, buka deh nes @sa/ Lista mengabari.
Tertera sebuah tautan link,
/Itu apaan tta?/ Tanyaku segera.
/Page perusahaan gitu, buka aja Ness,/ balasnya.
/Emang ada apaan disitu?/ Rosa menanggapi.
/Ada fotonya Arsya, kayanya dia kerja disitu deh/ Jelas Lista.
/@sa/ Rosa menandaiku, tanda membutuhkan respon segera.
/Ga nongol-nongol ih si nessa/ Ungkap Rosa jengkel.
Kau tau? Jantungku terasa pecah, akhirnya aku mendapat kabar dari Ibam. Baru saja aku ingin membuka link yang Lista berikan, Jeffyin muncul dengan beberapa tumpuk cd di tangannya. "Wait a minute, I just have to pay for it." ucapnya, lalu Jeffyin berjalan pergi ke tempat kasir.
Aku beranjak menghampiri Jeffyin, memilih untuk melihat link itu nanti saat sampai di asrama.
"I bought this, we'll watch it together when we get to the dorm, okay?" pintanya padaku sambil memperlihatkan cd movie Eiffel I'm in love.
Aku tak percaya Jeffyin mendapatkan cd ini, film buatan Indonesia. "How could that be? This is an Indonesian film, why can it be sold here?"
Dia tertawa renyah "This is how humans take advantage of what is called Google." ucap Jeffyin, wajahnya begitu bangga.
Kami sampai di asrama Jeffyin terlalu malam karena aku memintanya untuk sedikit lebih lama berada di jalanan, jadi Jeffyin menjalankan mobilnya tanpa henti sampai aku puas melihat lampu-lampu di sepanjang jalan. Alhasil Jeffyin bilang hanya bisa menonton satu judul movie, dan aku tidak mungkin menginap di kamarnya ataupun sebaliknya.
Kamar Jeffyin berbeda jauh dengan kamarku, bukan ukurannya tapi tata letaknya. Hanya letak pintu masuk, jendela, ruang pakaian dan kamar mandi yang sama.
Sebuah ranjang sedang berbentuk seperti sofa menghadap pada LED di dinding yang sejajar dengan pintu masuk dan sebuah meja kaca tepat di bawahnya, di belakangnya terdapat karpet besar berukuran setengah ruangan dengan rak buku raksasa di sebelah jendela berhadapan dengan screen yang cukup besar dengan perangkat playstation berantakan di atas karpet, di antara rak buku dan playstation terletak sebuah meja kerja mengahadap ke jendela, sebuah lemari pendingin besar berada di sebelah rak buku, dan puluhan pasang sepatu berjejer sampai ke pintu masuk.
"I need a change of clothes, Jeffyin." teriakku pada orang yang berada dalam kamar mandi.
"Just take it." balasnya, suaranya tertahan oleh shower.
Aku memilih sebuah kemeja berlengan panjang, dan sepasang kaos kaki biru tua.
"Is it okay to use my face wash?" Jeffyin bertanya saat keluar dari kamar mandi. Aku melemparkan handuk kecil yang Jeffyin berikan padaku sebelumnya ke kepalanya, rambutnya benar-benar masih basah.
"You're not a baby, Jeffyin." ucapku sambil sedikit tertawa.
Jeffyin mengeringkan rambutnya dengan handuk yang aku berikan sambil berjalan mendekat, membuat tubuhku mau tidak mau berjalan mundur hingga akhirnya aku menyentuh ranjangnya, tidak ada jalan keluar.
Jeffyin masih dengan santainya mengeringkan rambutnya, lalu satu tangannya meraih pinggangku lalu melingkarkannya di sana, menghabiskan jarak di antara aku dan dia.
"go there take care of the cd player." perintahku lalu segera berlari masuk ke dalam kamar mandi.
"Bring your clothes, Rain."
Aku berjalan keluar kamar mandi mengambil bajuku sambil terkekeh bodoh.
Aku melilitkan handuk pada tubuhku lalu mengeluarkan sedikit kepalaku keluar kamar mandi, "Jeffyin, can you get my bag." pintaku pada Jeffyin yang sedang terduduk di atas ranjang.
"What do you need?" tanyanya tanpa melihatku. Dia sibuk dengan remote dan LED tv.
"my make-up." ucapku ragu.
Jeffyin segera mengambil pouch dari dalam tas, lalu memberikannya padaku. Matanya lurus menatap mataku, tidak berpindah sedikitpun.
Di dalam kamar mandi, aku sangat takjub dengan pakaianku. Ini jelas-jelas sebuah kemeja, bukan baju terusan.
Setelah memakai cushion, lip gloss, dan kaos kaki aku melipat pakaian ku lalu keluar dari kamar mandi. "Are you finish?" tanyaku pada Jeffyin.
"I just need to buy some food." jawab Jeffyin, dia sedang sibuk mencari sesuatu di atas tumpukan bantal di tempat tidurnya, "You wait here I'm going to the cafeteria."
"I think I need to drink a very large portion of milk after today." kataku. Bahkan tanganku tenggelam dalam kemeja ini.
"Oh My God! Rain." Jeffyin histeris, dia meletakan salah satu tangannya di pinggang dan tangan satunya lagi di dahinya sambil menatap tak percaya.
Jeffyin berjalan ke arahku lalu mengacak-acak pelan puncak kepalaku. Dia melepaskan ikat rambutnya lalu mengikat simpul rambutku cukup tinggi. "Don't touch the remote, just sit on my bed." katanya lalu segera keluar kamar.
Tidak butuh waktu lama untuk Jeffyin kembali ke kamar, Jeffyin membeli beberapa permen jeli, coklat dan susu.
"You know, I'm crazy about this." kataku sambil menunjukan sekotak permen jeli.
"I know, there's a big pack of gummy bears beside your pillow and desk."
Kami berdua duduk bersebelahan, Jeffyin bersandar sambil meluruskan kakinya sampai melewati tepi ranjang, lengan kirinya ada di belakang leherku sementara jemari tangannya memainkan beberapa helai rambut pendek di dahiku.
Jeffyin mematikan lampu kamar menggunakan remote bersamaan dengan filmnya dimulai.
"So, is the movie good?" tanya Jeffyin berbisik.
"The best love movie I've ever seen." jawabku, ikut berbisik. "You know, I watched this movie when I was 9 years old."
"that's crazy." jawab Jeffyin, aku bisa merasakan matanya menatapku.
"Yeah," kataku singkat, mencoba mengacuhkannya.
Untuk beberapa saat, aku larut dalam film. Meski sudah tau setiap inci adegannya, aku tak pernah merasa bosan. Kau tau kan? Forever movie. Meski sudah seratus kali di tonton, tetap saja menangis saat terjadi adegan sedih.
"Jeffyin, stop looking at me. I have to concentrate on the film." aku akhirnya menegur Jeffyin setelah cukup lama merasa terganggu dengan tatapannya.
"Sorry, I can't control myself." jawabnya konyol.
"Okay," aku akhirnya menoleh untuk menatapnya, demi apapun ini gelap dan wajahnya terlalu dekat. "I've lost my concentration, thank you very much." ucapku pelan.
"sorry," katanya lalu kembali menatap filmnya. Menyebalkan. Aku dapat dengan jelas melihatnya tersenyum menang.
Aku memutuskan untuk kembali fokus pada film, tidak peduli dengan cekikikan tawa menyebalkan dari Jeffyin. Dasar. "Your laugh really sounds annoying, Jeffyin."
Jeffyin mempererat rangkulan tangannya, membenamkan tubuhku, "I love your scent, like the smell of strawberries." ucapnya.
"I can share my bath soap, if you want." jawabku.
"No need, I just need to keep like this."
"Up to you," jawabku sekenanya, tidak terlalu memperhatikan dia. Adit sedang asik memukuli Ergi di pasar malam, yang tentu aja membuat Tita menjerit histeris.
"fake blood," ungkap Jeffyin, aku kira dia tidak memperdulikan filmnya.
"I know, Jeffyin."
Setelahnya kami berdua benar-benar fokus pada film, tidak ada lagi percakapan tidak penting. Saat film akhirnya selesai, Jeffyin mengantarku kembali ke kamar. Aku tidak terlalu memperhatikan jam berapa ini karena mataku yang terus saja ingin tertutup, aku mengucapkan selamat tidur saat merasakan sebuah kecupan singkat di pipiku.