Aku sedang sibuk membolak-balikan channel tv saat suara hujan terdengar, ini hujan pertama sejak aku disini. Cuaca memang sudah gelap saat jam terakhir kelas Sejarah tadi sore, tapi hujan baru turun sekarang. Aku mengambil payung, memakai sepatu boot lalu keluar kamar menuju taman di dekat perpustakaan.
Akhirnya saat yang selalu aku bayangkan sejak dulu menjadi kenyataan, menikmati hujan turun di Paris. Aku sedang menggunakan gaun tidur ku saat berjalan menyusuri gedung kampus, terlihat masih ada beberapa mahasiswa yang berkeliaran.
Nethan berteriak memanggilku dari lantai atas, aku melihat sebuah kamera di tangannya. "Aubrey! Why are you hanging around in such clothes on campus!" dia mengucapkannya sambil tertawa.
Aku hanya bisa tersenyum dan mengangkat kedua bahu ku lalu melanjutkan berjalan, padahal yang aku kenakan hanyalah baju terusan off-shoulder selutut berbahan chiffon berwarna pink pucat.
Jalan menuju taman cukup berbelok-belok, taman yang aku maksud berada di tempat yang cukup tersembunyi. Mungkin luasnya hanya 10 X 5 meter saja, ada air mancur kecil dan sebuah kursi taman disana. Aku menenteng sebuah jas hujan transparan dan ponsel terbungkus water proof.
Saat tiba disana pemandangan indah terpampang di depan ku, angin dingin yang berhembus melalui sela-sela pepohonan chestnut, seketika segala yang pernah tertulis dalam diary ku di masa lalu hilang. Aku merasa di surga. Segera ku pakai jas hujan di tanganku lalu menutup payung ini, meletakannya di kursi taman.
Ku pejamkan mata ini, merentangkan tangan ku dan menengadah ke langit, menikmati tiap tetes hujan yang terjatuh di wajah ku, suara hujan adalah yang paling indah yang pernah ada.
Aku mengeluarkan ponsel lalu mengambil beberapa gambar rumput, pohon, air mancur, genangan air dan awan.
Saat sedang asik mengambil gambar, aku tanpa sengaja menabrak seseorang di belakangku dengan cukup keras dan terjatuh, ponselku terlempar masuk ke kolam air mancur. "Aw!" teriak manusia di belakang ku.
"gosh! Sorry sorry I didn't mean to." ucapku seraya mengambil ponsel yang terjatuh kedalam kolam.
Saat berbalik untuk melihat wajah si korban, aku menemukan si pirang yang sedang merintih kesakitan tergeletak di atas rumput dan kebasahan karena hujan. "Traynor!" seperti suara teriakan Nethan.
Benar saja, Nethan langsung berlari kearah ku dan si pirang. Aku mengangkat kepalanya dan membantu si pirang untuk duduk, betapa terkejutnya aku melihat darah yang mengalir di atas rumput terbawa air hujan.
"Nathan! He's bleeding." ucapku sambil menunjuk-nujuk darah di rumput.
Nethan menyuruhku mengangkat si pirang ke punggungnya "Come on, let's take him to the infirmary." aku mengangguk dan mengambil payung ku dari kursi lalu mengikuti Nethan ke area asrama pria.
Untung saja ada perawat yang berjaga dan langsung mengobati luka di kepalanya. Aku menunggu di luar dengan rasa ketakutan yang hebat, terus saja memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada. Aku berdoa sekuat hatiku agar tidak menjadi seorang pembunuh di minggu pertama kuliah. Nethan keluar ruangan dengan kepala tertunduk "You come in, he's all right."
Aku masih terpaku di ambang pintu, takut untuk melihat seseorang yang terbaring di dalam sana. Nethan meraih tangan ku "Calm down Aubrey!" sepertinya dia melihat tangan ku yang bergetar hebat. "look at me." ucap Nethan.
Aku mengangkat wajah ku dan melihat mata pria berambut coklat di hadapan ku. "He's still alive, it's just a small scratch. Go inside and try to calm yourself down, I'll find something warm for both of you." perintah Nethan.
Aku mengikuti perkataan Nethan dan masuk kedalam. Disana terbaring si pirang dengan perban terikat di kepalanya, kemeja biru berbintik dan celana jeans pendek yang dia kenakan basah kuyup. Aku berjalan perlahan mendekati pria itu, gambaran-gambaran kecelakaan setahun yang lalu muncul berkali-kali di kepala ku, dia yang tergeletak di tengah jalan dengan kepala yang bercucuran darah, hujan turun sangat deras, aku menangis memeluk dia yang tak sadarkan diri.
Aku menjerit histeris tanpa ku sadari, menutup mataku rapat-rapat, tanganku kembali bergetar hebat. Bayangan wajah dia yang tak sadarkan diri terus saja ada. Suara seseorang yang terus saja memanggil namaku terdengar samar dan semakin lama semakin jelas. "Rain!"
Ku buka mataku, nafas ku tak beraturan, keringat mengalir di sekujur tubuh ku. Aku menatap kosong ke arah Jeffyin yang terduduk dan menatap ku dengan wajah pucat pasih, tangannya menggenggam kedua lenganku dengan sangat erat. Dia menarik ku ke dalam pelukannya. "Calm down Rain, calm down." ucapnya di telinga ku dengan lembut.
Aku merasakan tubuhnya bergetar dan jantungnya berdetak dengan cepat. Tangannya menepuk-nepuk punggung ku yang membuat tangisan ku malah makin menjadi-jadi, "All right, calm down. Stop crying"
Aku mencoba menghentikan tangis ku saat mendengar sebuah langkah kaki seseorang berjalan mendekat lalu sebuah tangan mengusap pelan kepalaku dan seketika semuanya terlihat gelap.
Sincerely, Rain
Rasa sakit yang dahsyat aku rasakan di kepala, aku membuka mataku dan melihat Chino di atas ranjang menatapku sedih. Tangan ku mencoba meraihnya dan mengusap-usap kepalanya, Chino kemudian menjatuhkan dirinya di atas ranjang dengan ekor yang bergoyang-goyang. Suara mangkuk plastik dan sendok yang berbenturan terdengar dengan jelas, aku menoleh dan melihat punggung seorang pria yang sedang sibuk dengan sesuatu di atas meja kerjaku.
Aku mencoba bangun dan mendudukan diriku, pria itu berbalik. Dia sedang memegang mangkuk dan sebuah bungkusan kertas dari apotik, matanya membulat saat mendapati ku yang sedang menatapnya. Dengan segera dia menghampiriku dan duduk di pinggir ranjang. "Are you feeling any better?" tanyanya.
Aku hanya terdiam menatap lurus ke matanya. "You fainted while in the infirmary." jelasnya padaku sambil mengarahkan sendok bubur ke mulut ku.
Aku melihat kepalanya yang masih berbalutkan perban, tanganku mencoba meraihnya namun tangan Jeffyin menghentikan gerakan ku dan menaruh kembali tangan ku ke atas selimut. "I'm a real man and this is just a scratch." ucapnya dengan nada bercanda yang tidak terdengar lucu sama sekali.
Aku kembali menangis membayangkan kejadian saat dia terbaring di taman, "Stop crying, Rain." dia mengusap air mataku dengan jari telunjuk nya. Mengarahkan kembali sendok bubur ke mulut ku. Aku belum juga bisa menghentikan tangis ku.
Dia tersenyum sambil terus menghapus air mataku yang tidak juga berhenti sampai akhirnya dia menyerah menyuruhku berhenti menangis dan hanya terus menyendokan bubur sampai seluruh isi mangkuk itu habis.
Mataku akhirnya lelah karena sudah menangis terlalu lama. Aku meminum obat yang dia berikan, dan dia menyuruhku untuk kembali tidur namun aku menolaknya.
"Want to drink something warm?" Jeffyin bertanya.
Aku menggeleng pelan.
"Or want to eat something?" tanya Jeffyin lagi.
Aku menggeleng pelan, lagi.
"Okay." dia menumpuk beberapa bantal di belakang ku lalu menyuruh ku bersandar. Jeffyin mengambil sofa unicorn dan meletakannya di sebelah ranjang, duduk bersandar di sana sambil memejamkan matanya. Kakinya dia letakan di atas ranjang, sejajar dengan kakiku. "So what were you doing in the park?" tanyanya.
"I took pictures." jawabku singkat.
"While it's raining?" Jeffyin membuka matanya, menatapku tak percaya.
"I was waiting for it to rain." aku menatap matanya yang kembali terpejam.
"why?"
"Because I like it." jariku bergerak meraba perban yang melingkar di kepalanya.
"Because that one reason thing?" tangannya meraih tangan ku, mata itu terbuka menatapku.
"Liking something I think is enough to do crazy things." pandangannya tak lepas. Detik itu juga, dia menarik tanganku lalu diriku terjatuh tepat di pelukannya. Tidak ada jarak di antara aku dan dia, tubuhnya cukup besar untuk menenggelamkan tubuhku. Mata biru itu kini tepat di depan mataku, aku tak tahu harus berbuat apa, tatapannya sangat tajam.
"Or someone." ucapnya lalu perlahan semakin mendekatkan wajahnya dan sekali lagi aku menutup mataku dengan alasan mungkin saja dia kali ini benar-benar akan melakukannya.
Aku terdiam dalam posisiku untuk beberapa detik, menunggu sesuatu menyentuh bibirku namun karena yang aku tunggu tidak kunjung datang dan rasa penasaran sudah menggerogoti pikiranku, akhirnya dengan perlahan aku membuka mataku dan melihat dia sedang menatap lurus ke mataku. "Don't close your eyes." katanya dengan suara rendah dan sedetik kemudian bibir itu menempel pada bibirku.
Demi Tuhan, jantung ku berpacu dengan kecepatan yang gila. Dengan seluruh kesadaran yang kumiliki, aku berusaha semampu ku untuk tidak menutup mata ini saat dia melumat bibir bawah dan atasku secara bergantian. Susah payah aku mempertahankan agar mulutku tetap tertutup rapat di saat ciuman yang dia lakukan semakin dalam. Gerakannya di bibirku dia buat dengan sangat pelan dan membuat ku sungguh menikmatinya.
Ciumannya berhenti setelah cukup lama berlangsung, aku berhasil mempertahankan mataku tetap terbuka saat matanya bertemu dengan mataku. Aku berani jamin, wajahku pasti terlihat bodoh. Dia terlihat sedang memikirkan sesuatu.
"What if I say I'm in love with you, Rain." dia kembali menciumku namun kali ini seluruh bibir bawahku ada di dalam mulutnya.
Aku merasakan dia menghisap pelan bibir bawahku yang membuat ku akhirnya memutuskan untuk memejamkan mataku. Kedua tanganku yang sedari tadi berapa di samping kanan dan kiri kepalanya untuk menopang tubuhku ku dorong perlahan agar tubuhku terduduk di pangkuannya.
Tubuhnya perlahan mengikutiku, kini wajahnya sejajar dengan wajahku. Tanganku melingkar di lehernya sementara tangannya memegang pinggangku, aku masih saja tidak melakukan apapun pada bibirnya. Nafasnya terasa sangat berat dan aku bisa merasakan tubuhnya bergetar dan jantungnya berdebar, genggamannya di pinggangku semakin kuat, aku mempererat pelukanku.
Setelah beberapa kali dia berhenti untuk bernafas akhirnya dia benar-benar selesai dengan kegiatan ini, dia memeluk ku dan menjatuhkan badannya kembali ke sofa.