"Jaga diri kamu baik-baik selama saya nggak di Jogja. Tolong jangan buat saya khawatir lebih dari ini. Oke?"
Bobby tersenyum saat akan mengetuk pintu ruangan Rendra gara-gara mendengar ucapan bosnya itu. Dia sepenuhnya yakin jika kalimat sang bos ditujukan kepada Kirana, perempuan yang tadi pagi dengan entengnya berkata bahwa dirinya bisa saja menolak lamaran Rendra.
Pikir Bobby, Kirana punya kepribadian yang sungguh menarik dan itulah yang membuat bosnya tampak mulai tertarik.
Sadar dirinya hampir keasyikan melamun, Bobby segera mengetuk pintu dan masuk begitu mendapat jawaban dari Rendra. Ada beberapa hal yang perlu dia laporan secepatnya.
Pertama, Bobby mengatakan kepada Rendra bahwa dia sudah meminta seseorang untuk mengawasi sekaligus menjaga Kirana secara diam-diam. Bobby memastikan dia tak memilih orang sembarangan agar perkara keselamatan Kirana tidak mengganggu konsentrasi bosnya saat bekerja.
Besok benar-benar hari yang padat. Konsentrasi Rendra tidak boleh terganggu sedikit pun dan Bobby tahu bahwa itu menjadi salah satu tugasnya.
Kedua, Bobby melaporkan tentang kemajuan sebuah megaproyek yang beberapa bulan belakangan menyita pikiran dan tenaga Rendra.
"Akhirnya beres juga? Wah, saya sebenarnya nggak suka bersikap arogan, tapi ternyata kadang memang perlu, ya."
Komentar Rendra membuat Bobby penasaran. Apa yang telah dilakukan Rendra tanpa sepengetahuannya?
"Saya jengkel karena progres mereka lambat banget. Jadi, saya mengancam bakal memecat mereka kalau menangani urusan perizinan seperti itu saja nggak becus. Saya sendiri heran kenapa bisa bilang kayak begitu, tapi ternyata efeknya lumayan," jelas Rendra, seolah tahu kalau Bobby butuh penjelasan.
"Itu dua hari lalu dan cuma via telepon. Jika sekarang mereka punya berita baik, kenapa tidak langsung menghubungi saya? Kenapa mereka malah melaporkannya via kamu?"
"Kalau saya jadi mereka, saya juga nggak bakal berani telepon Bos. Lebih nyaman lewat sekretarisnya," jawab Bobby.
"Kenapa?"
"Seingat saya, Bos tidak pernah mengancam bakal memecat orang seburuk apa pun kinerja mereka. Jadi kalau sampai Bos mengatakan hal semacam itu, siapa yang tidak ketakutan?" jawab Bobby.
Bobby melanjutkan, "Mereka pasti berpikir Bos benar-benar marah hingga tak segan membuat mereka menjadi pengangguran begitu saja kapan pun."
Penjelasan Bobby membuat Rendra tidak enak hati. Apakah dia telah menjadi sosok yang begitu menakutkan bagi karyawannya?
"Besok saya ada jadwal rapat bareng mereka juga, kan? Saya harus minta maaf karena sudah kelewatan."
Bobby tersenyum. Rendra memang bukan tipe bos arogan. Dia terkenal tegas dan sangat memerhatikan detail, tapi tidak pernah bersikap semena-mena terhadap siapa pun.
"Bob, saya hampir lupa. Bisa minta tolong?" Rendra mendadak mengingat hal penting lain di luar pekerjaan.
"Iya, Bos. Apa yang bisa saya bantu?" Tentu saja Bobby harus siap melakukan apa pun yang diminta bosnya.
"Saya bisa beli cincin yang oke di mana, ya? Model apa yang disukai perempuan kayak Kirana?"
Rendra tiba-tiba ingat kalau dia perlu membeli cincin untuk melamar Kirana akhir pekan ini. Besok dia sangat sibuk dan kemungkinan besar tak bakal sempat pergi ke toko perhiasan. Jadwalnya hari ini pun sudah begitu padat.
"Ada salah satu toko perhiasan di mall yang belakangan ini semakin populer karena punya banyak desain baru dan kekinian. Bos bisa langsung ke sana setelah makan siang."
Begitu Rendra menyetujui sarannya, Bobby merasa perlu segera menelepon manajer toko perhiasan bersangkutan supaya mereka tidak panik saat sang bos datang nanti.
***
Kirana menatap satu per satu rekan kerjanya setelah mendengar informasi mengejutkan dari Mirza. Nyatanya, bukan hanya dia yang terkejut sekaligus merasa sangsi dengan omongan Mirza.
"Dapat gosip dari mana kamu? Dari sekretarisnya juga?" tanya Kirana, merasa harus memastikan bahwa Mirza tidak sedang membual.
Mirza menggelengkan kepala. "Jadi ceritanya kayak begini, Mbak…."
Tadi malam, seorang teman menelepon Mirza saat pria itu masih dalam perjalanan pulang. Takut ada sesuatu yang penting, Mirza memilih untuk menepikan motornya dan mengangkat panggilan tersebut.
"Lagi ada gosip panas di hotel," kata teman Mirza.
Gosip adalah cara terbaik menarik perhatian Mirza. Sayangnya karena kondisi jalanan terlalu berisik, Mirza minta obrolan itu ditunda 10 menit hingga dirinya sampai rumah. Tujuannya jelas cuma satu, biar lebih kondusif untuk membahas gosip.
Setelah itu, Mirza dibuat terkejut bukan main. Ternyata orang yang dibicarakan temannya adalah calon suami Kirana.
Teman Mirza mulanya mengungkapkan tentang kedatangan tamu spesial di hotel tempatnya bekerja. Tamu yang dimaksud adalah Adnan Mandala Saputra.
"Aku sebenarnya nggak paham kenapa bos Mandala Group datang ke hotel kami, padahal dia juga punya hotel sendiri. Tapi, tadi kami jelas kelabakan karena dia tiba-tiba minta area restoran utama dikosongkan. Bayangkan, dia mau sewa seluruh restoran pas jam makan malam, jadi ada banyak reservasi yang harus dibatalkan."
"Kelakuan orang kaya ternyata memang meresahkan banget, ya," celetuk Mirza menanggapi keluhan temannya.
"Banget! Melayani klien dari kalangan konglomerat emang biasanya ribet, tapi tadi bener-bener bikin panik karena terlalu mendadak."
"Emangnya, dia mau makan malam sama siapa? Selingkuhan, ya?"
"Ngawur kamu! Nah, ini bagian paling pentingnya, nih."
"Apaan? Kalau cerita jangan muter-muter, deh. Langsung aja, intinya apa?" Mirza mulai tidak sabar karena terlanjur penasaran.
Teman Mirza bilang, Adnan menyewa seluruh restoran agar tidak ada yang mengganggu privasinya saat berbincang dengan salah satu calon pemimpin masa depan Mandala Group.
"Awalnya, kami pikir dia janjian ketemu sama anaknya, tapi ternyata bukan. Kamu tahu siapa yang akhirnya datang? GM Mandala Mall!"
"Birendra Wijaya?" tanya Mirza memastikan.
"Iya, orang itu. Berita tentang dia rame sejak pagi, kan? Jadi dia lumayan cepet dikenali orang-orang hotel pas datang bareng sekretarisnya."
Mirza cukup syok mendengar cerita temannya. Bukankah ini berarti Kirana akan menikah dengan suksesor Mandala Group? Menurutnya, betapa beruntung perempuan itu!
***
Kirana hanya terdiam setelah mendengar cerita Mirza. Reaksinya benar-benar kontras jika dibandingkan Rio, Maudy, maupun Dinda yang langsung menghujani Kirana dengan ucapan selamat. Mereka senang karena Kirana mendapatkan calon suami dengan karier luar biasa.
"Eh, tapi Mbak Kirana yakin sebelumnya dia cuma kerja di mall yang ada di Surabaya? Setelah Mbak Kirana balik semalam, Dinda sempat cerita kalau Rendra mengaku Mandala Mall adalah mall pertamanya. Sebelumnya dia nggak punya pengalaman bekerja di mall lain."
Dinda segera membenarkan omongan Mirza. "Iya, waktu sesi ngobrol santai sambil keliling mall kemarin, dia ngomong kayak gitu."
Kirana tampak semakin bingung. "Sebelum balik Jogja, setahuku dia tinggal di Surabaya. Nggak pernah tanya orangnya langsung, sih. Tapi dulu waktu ibunya main ke rumah, dia bilang anaknya lagi ngurus mall di Surabaya...."
"Nah, takut kebawa mimpi karena saking penasarannya, tadi malam saya langsung cari tahu lagi soal Birendra Wijaya di internet. Dan Mbak Kirana tahu apa yang akhirnya saya temukan setelah mencari-cari dengan banyak kata kunci berbeda?"
"Ngurus mall? Mungkin, maksudnya mengurus pembangunan mall untuk melengkapi kawasan perkantoran dan permukiman elit yang dia kembangkan di sana."
Apa yang dikatakan Mirza selanjutnya benar-benar membuat Kirana kehabisan kata-kata.
"Masuk akal, sih, kalau dia jadi salah satu kandidat penerus Mandala Group. Bukan cuma GM Mandala Mall, Birendra Wijaya ternyata juga menjabat sebagai Presiden Direktur Mandala Property Land sejak tiga tahun lalu."