"Bos, ini sudah hampir pukul dua siang. Kapan Bos mau makan siang?"
Rendra menengadah dan mendapati Bobby sudah berdiri di depan meja kerjanya. Dia lalu memeriksa jam tangannya. Ternyata benar, dia terlalu larut dengan pekerjaan hingga melewatkan jam makan siang.
"Ini keempat kalinya saya menawarkan makan siang dan tolong jangan katakan '15 menit lagi' untuk keempat kalinya juga. Bos mau makan siang apa? Biar saya siapkan."
Melihat Rendra yang malah kembali membaca grafik terkait progres megaproyek Mandala Property Land, Bobby kembali berkata, "Rapat sore ini dimulai pukul setengah 4. Tidak perlu cemas, masih ada banyak waktu jika Bos ingin memeriksanya kembali setelah makan siang."
Apa jadinya Rendra tanpa Bobby selama bertahun-tahun belakangan? Dia mungkin bakal berakhir malnutrisi karena sering lupa makan.
"Saya nggak mau makan nasi. Tolong carikan sesuatu yang bisa dimakan selain itu."
Bobby sudah sangat berpengalaman menghadapi perintah semacam itu. Artinya, Rendra akan makan apa saja yang dia siapkan. Bobby hanya perlu membuka catatan khusus daftar menu makanan yang biasa dimakan Rendra saat tidak ingin menyantap nasi.
Bobby sempat ditertawakan sekretaris Bos Besar saat ketahuan membuat catatan semacam itu. Namun, nyatanya itu benar-benar sangat berguna.
"Baik, Bos. Saya siapkan dulu."
Bobby segera pamit dari ruangan bosnya. Namun saat dia akan membuka pintu, Rendra tiba-tiba menyuruhnya kembali.
"Ada apa, Bos?"
"Selama ini, saya membiarkan kamu memanggil saya dengan sebutan 'Bos'. Hanya saja kalau dipikir-pikir, kamu cuma melakukannya saat tidak ada orang lain. Kamu selalu memanggil saya 'Pak' saat bersama orang lain, seperti tadi pagi."
Bobby hanya diam sambil menerka apa yang sebenarnya ingin ditanyakan sang bos. Semua yang dikatakan Rendra benar. Dia memang terbiasa menggunakan panggilan 'Bos' saat mereka hanya berdua.
Jika sekarang Rendra mempertanyakan alasannya, jawaban seperti apa yang harus diberikan Bobby? Bolehkah Bobby menyebut itu semacam panggilan sayang?
Oh, tidak. Mari cari istilah lain. Bobby tidak ingin ada rumor aneh yang kembali tersebar tentang dia dan bosnya.
"Tapi kenapa waktu ada Kirana, kamu tetap pakai sebutan 'Bos'?"
Bobby tidak langsung menjawab. Dia jelas terlihat bingung dengan pertanyaan Rendra. Kapan dia melakukannya?
"Ingat tempo hari waktu Kirana minta turun agak jauh dari kantornya?"
Ucapan Rendra membuat Bobby ingat hari di mana dia mengantarkan calon Nyonya Bos ke kantor. Saat itu, Kirana meminta Bobby menghentikan mobil agak jauh dari pintu gerbang.
Segera setelahnya, Bobby bertanya kepada Rendra untuk meminta persetujuan. Dia merasa perlu memastikan apakah tidak apa-apa jika dia menuruti permintaan Kirana.
'Boleh, Bos?' tanya Bobby kala itu dan langsung dijawab Rendra dengan sebuah anggukan.
Bobby akhirnya tersenyum setelah ingat bagian mana yang sedang dibahas bosnya sekarang. Harus diakui, ingatan Rendra sungguh luar biasa. Bagaimana bisa Rendra mengingat detail seremeh itu?
"Maaf, Bos. Mungkin hari itu saya cuma nggak sengaja keceplosan. Lain kali, saya bakal lebih berhati-hati," ucap Bobby.
"Kenapa minta maaf? Saya sudah terbiasa dipanggil kayak begitu saat nggak ada orang lain. Jadi, kamu harus tetap seperti itu kalau besok-besok ada Kirana."
"Maksudnya, Bos? Tidak ada orang lain itu maksudnya cuma saya dan Bos. Kalau misal ada Mbak Kirana, dia kan...."
"Dia bukan orang lain, kan? Dia Kirana."
Ingatkan Bobby untuk mencatat apa yang baru saja dikatakan Rendra. Jika kalimat serupa diucapkan Rendra kepada Kirana, bukankah itu sangat romantis? Bobby saja merasa berdebar-debar saat melihat Rendra tersenyum setelah mengatakannya.
Eh, tunggu. Bobby mendadak panik. Dalam hati, dia langsung menyumpahi dirinya sendiri, 'Gila! Jangan ngawur, Bob! Demi apa malah lo yang deg-degan? Lo bukan Kirana, kan?'
***
"Mbak, ada kurir nganterin paket buat Mbak Kirana, nih. Tadi saya pas lagi di depan, jadi saya terima aja," kata Rio sambil menyerahkan sebuah tas kertas berwarna cokelat yang menurutnya terasa sangat ringan.
"Oh, udah datang? Makasih, ya."
Kirana tampak sangat antusias. Dia berpaling begitu saja dari pekerjaannya dan segera mengecek barang yang baru saja diterimanya.
"Mbak Kirana beli apa, sih? Enteng banget kayak kapas," kata Rio yang memang sudah penasaran sejak tadi.
Kebetulan hanya ada Rio dan Kirana di ruangan itu. Dinda dan Maudy masih pergi liputan, sedangkan Mirza entah ke mana. Mungkin lagi menghimpun gosip entah di penjuru kantor sebelah mana.
Kirana mengeluarkan sebuah kotak beludru warna krem berhias rangkaian bunga kering pada salah satu ujungnya. Dia refleks tersenyum karena menyukai desainnya.
Begitu dibuka, ada sepasang cincin yang bentuknya terbilang unik di dalam kotak tersebut. Satu cincin terlihat begitu manis berkat untaian beberapa batu kelahiran berwarna merah muda, sedangkan satunya lagi tampak polos tapi permukaannya dibuat bergelombang.
"Sebut aja cincin tunangan. Gimana? Bagus, kan?"
Selama beberapa detik, Rio tidak mengatakan apapun. Dia merasa ada yang janggal, tapi apa?
"Mbak Kirana beli cincin tunangan tapi cincinnya cuma diantar kurir biasa? Bisa-bisanya, lho. Harusnya diambil sendiri atau minta tolong orang yang bisa dipercaya aja. Kalau cincinnya hilang di tengah jalan gimana? Itu pasti mahal, kan?!"
Rio berbicara dengan nada tinggi dan syarat kepanikan, sedangkan Kirana menunjukkan wajah jengah. Menurutnya, sikap Rio terlalu berlebihan.
"Nggak usah lebay. Calonnya Mbak Kirana itu Birendra Wijaya. Kalau cincinnya hilang, mau semahal apa pun juga tinggal beli lagi aja. Iya, kan, Mbak?"
Bukannya merasa didukung, Kirana malah semakin jengah dengan kata-kata Mirza yang entah sejak kapan sudah kembali ke ruangan mereka. Meski begitu, komentar Mirza kali ini terdengar cukup logis di telinga Kirana.
"Mirza bener banget. Total harga sepasang cincin plus kotak beludrunya ini bahkan nggak sampai Rp1 juta. Kalau pun sialnya mereka hilang di jalan sampai 10 kali, seorang Birendra Wijaya nggak bakal bangkrut," kata Kirana dengan begitu santai.
Keadaan hening seketika. Rio dan Mirza saling memandang seolah memastikan bahwa mereka sedang memikirkan hal yang sama.
Merasa tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Kirana dengan cuek menaruh tas kertas berisi cincin tunangannya ke laci. Dia kembali menatap layar komputer dan melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.
"Harga cincinnya beneran nggak sampai Rp1 juta? Yakin itu angka nolnya nggak kurang satu?" tanya Rio dengan hati-hati.
Mirza pun segera berkata, "Cincin Rp10 juta juga masih terlalu murah, sih. Nggak usah merendah, Mbak. Harga aslinya Rp100 juta, kan?"
Tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer, Kirana hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban.
"CALONNYA MBAK KIRANA SETAJIR ITU, LHO. BISA-BISANYA CINCIN TUNANGAN KALIAN MURAH BANGET BEGINI!"
"TERNYATA SI RENDRA TUH PELIT BANGET YA ORANGNYA!"
Kirana sungguh malas meladeni kehebohan dua rekan kerjanya. Saat dia bertekad mengabaikan apa pun yang diributkan Rio dan Mirza, sebuah pesan singkat dari Rendra mencuri perhatiannya.
'Uangnya sudah saya transfer, ya. Jumlahnya sesuai yang kamu butuhkan.'
Merasa curiga, Kirana langsung mengecek rekeningnya via aplikasi di ponsel. Dia memang tidak menggunakan layanan notifikasi otomatis sehingga perlu memeriksa aktivitas mutasi secara manual. Wanita itu seketika syok setelah mengetahui jumlah uang yang dikirimkan Rendra.
Kirana langsung berniat menelepon Rendra untuk meminta penjelasan. Namun seolah tahu bakal mendapatkan protes, Rendra sudah lebih dulu mengirimkan pesan lanjutan.
'Jangan telepon. Sebentar lagi saya ada rapat. Cuma mau bilang terima kasih, kan? Sama-sama.'
Habis sudah kesabaran Kirana. Bukan cuma karena Rio dan Mirza yang belum selesai debat kusir soal harga cincin tunangannya, tetapi juga gara-gara kelakuan congkak Rendra.
"Ini maksudnya apaan dia ngirim duit Rp100 juta?! Pamer kekayaan? Dia pikir aku ini cewek matre atau gimana, sih?!"
Ucapan Kirana yang syarat kekesalan berhasil menghentikan keributan antara Rio dan Mirza. Sayangnya, itu hanya bertahan sedetik.
"SI RENDRA BENERAN NGIRIM DUIT RP100 JUTA, MBAK?!"