Rendra masih mengaitkan kancing terakhir di bagian lengan kiri kemeja putihnya saat Bobby datang kembali bersama beberapa staf hotel yang mengantarkan sarapan. Bobby baru saja selesai memastikan semua makanan itu aman disantap bosnya.
"Jadwal hari ini sangat padat. Bos harus sarapan yang banyak," kata Bobby setelah mempersilakan para staf keluar untuk melanjutkan pekerjaan mereka lainnya.
Rendra melirik sebentar menu sarapannya hari ini. Makanan yang disajikan terkesan terlalu sederhana untuk tamu VVIP di hotel bintang lima. Hanya nasi goreng telur mata sapi yang dilengkapi kerupuk serta buah potong. Minumannya pun cuma infused water yang diracik dengan potongan lemon dan daun mint.
Rendra lalu meraih dasi yang sudah disiapkan Bobby sebelumnya. Dia kembali berkaca dan memakai dasi bermotif yang tampak serasi celana panjang warna krem miliknya itu.
"Kenapa kamu nggak pesan makanan yang berbeda?" tanya Rendra kepada Bobby sambil merapikan dasinya.
"Saya cukup waras untuk tidak memesan salmon ketika bos saya hanya ingin makan nasi goreng telur."
Ya, semua makanan yang diantarkan staf hotel tersaji dalam dua porsi. Setahun belakangan, Rendra hampir selalu minta Bobby makan bersamanya dan itu sempat menimbulkan gosip miring tentang mereka berdua.
Rendra selalu menggunakan layanan kamar untuk sarapan. Tentu tidak ada yang aneh dengan itu. Para staf hotel juga masih biasa saja saat suatu hari sang tamu minta disiapkan sarapan untuk dua orang.
Awalnya mereka pikir Rendra memiliki tamu atau bahkan kekasih yang diam-diam dia undang masuk kamar. Namun, teman sarapan Rendra ternyata adalah Bobby, sekretarisnya sendiri.
Rupanya, belum pernah ada tamu selevel Rendra yang memesan layanan kamar hanya untuk sarapan berdua dengan sekretaris mereka. Hal itu memunculkan pertanyaan, sedekat apa hubungan bos dan sekretaris yang sama-sama pria ini?
Belum lagi insiden 'romantis' yang membuat banyak orang syok sekaligus menatap curiga. Saat berjalan di area lobi, Bobby pernah dengan santai meminta Rendra berhenti untuk merapikan dasi sang bos yang di matanya tampak kurang rapi.
Senyum Rendra kepada Bobby sambil mengucapkan terima kasih setelahnya sontak membuat orang-orang semakin salah paham. Rumor pasangan sesama jenis langsung menyeruak, terlebih karena baik Rendra maupun Bobby diketahui sama-sama belum memiliki pasangan.
Oh, sebentar. Bobby mendadak melewatkan hal yang penting. Apa yang terjadi setelah itu sehingga orang-orang sepenuhnya berhenti menggosipkan skenario liar tentang hubungannya dengan Rendra?
Seingat Bobby, saat rumor itu sampai ke telinga Rendra, bosnya tampak masa bodoh. Bobby sempat mengira Rendra bakal setidaknya menghubungi general manajer hotel agar menegur para staf yang bisa dianggap tidak profesional karena menyebarkan rumor tak berdasar tentang kehidupan pribadi tamu. Namun, nyatanya Rendra tidak melakukan apa pun.
"Bos, masih ingat dengan rumor ngawur soal Bos dan saya dulu? Saya ingat saat mereka tiba-tiba datang dan meminta maaf sambil gemetaran, tapi kenapa? Apa Bos mengatakan sesuatu yang membuat mereka ketakutan?"
Rendra baru saja duduk di kursi meja makan saat Bobby mengajukan pertanyaan yang sama sekali tak ada hubungannya dengan pekerjaan.
"Saya nggak melakukan apa pun," jawab Rendra. "Tapi, gosip itu tiba-tiba sudah sampai telinga Bos Besar. Mungkin ada seseorang yang lapor ke Bos Besar. Kalau sudah begitu, kamu bisa menebak kelanjutannya seperti apa, kan?"
Bobby akhirnya paham. Hotel tempat Rendra menginap adalah milik Mandala Group. Oleh karenanya, wajar jika Bos Besar mengetahui apa pun yang terjadi dengan si mantan menantu selama menginap di hotel tersebut.
Menurut Bobby, Bos Besar memang cenderung sangat protektif terhadap Rendra karena pria itu dianggap sebagai aset berharga perusahaan. Citra Rendra jelas tidak boleh tercoreng sedikit pun, apalagi gara-gara rumor tentang hubungan sesama jenis yang masih dinilai sangat tabu di Indonesia.
"Bos benar-benar mantan menantu kesayangan Bos Besar…."
***
Rendra seketika menjadi pusat perhatian begitu turun dari mobil dan berjalan masuk melewati pintu lobi gedung perkantoran Mandala Group.
Beberapa orang tampak segera membungkukkan badan sebagai salam hormat. Sebenarnya Rendra merasa hal itu sangat berlebihan. Namun, berapa kali pun dia mengatakan kepada mereka agar bersikap biasa saja, rasanya sangat percuma.
"Jangan terlalu membungkuk. Punggung Anda bisa sakit," kata Rendra kepada salah satu karyawan pria sembari menepuk bahu orang itu.
Saat Rendra telah pergi beberapa langkah, pria itu perlahan menegakkan tubuhnya kembali. Dia lalu tersenyum sambil menatap Rendra yang terus berjalan menuju lift khusus.
'Pak Rendra benar-benar berbeda dari dua calon penerus Mandala Group lainnya…,' batin pria tersebut.
***
"Senang bekerja sama dengan Anda."
Rendra berjabat tangan dengan seorang pria paruh baya yang merupakan investor baru untuk Mandala Property Land.
Rendra merasa lega karena pertemuan bisnis mereka berjalan mulus pagi ini. Dia bahkan tidak hanya mengantarkan tamu spesialnya itu keluar ruang rapat, melainkan hingga ke depan pintu lift.
Rendra juga kembali mengucapkan salam perpisahan sekaligus ucapan terima kasih sesaat sebelum pintu lift menutup. Dia ingin memastikan sang investor tetap tersenyum sampai akhir.
Setelah tamunya pergi, Rendra tampak menghela napas sejenak. Sejujurnya, tidak mudah membujuk orang tadi untuk berinvestasi cukup besar di sektor properti. Walau sangat berpotensi memberikan keuntungan jangka panjang, risiko bisnis properti juga terbilang besar.
"Jadwal berikutnya apa, Bob?" tanya Rendra kepada sang sekretaris yang siaga di belakangnya.
Tanpa membuka tablet yang selalu dia bawa, Bobby segera menjawab, "Rapat dengan tim perencanaan. Masih ada waktu sekitar 20 menit kalau Pak Rendra ingin istirahat dulu."
Rendra agak merasa aneh karena Bobby tidak memanggilnya 'Bos' seperti biasa. Namun begitu menoleh ke belakang, dia langsung menyadari mengapa Bobby tidak menggunakan panggilan itu.
Ada beberapa orang lain yang masih berdiri bersama Rendra di depan lift, salah satunya adalah seorang wanita berkaca mata yang menjabat manajer perencanaan di Mandala Property Land.
Kepada wanita tersebut, Rendra dengan entengnya bertanya, "Tim sudah siap, kan? Bisa kita mulai rapatnya dalam waktu lima menit?"
Tidak sampai lima menit kemudian, Rendra sudah siap memulai rapat dengan tim perencanaan. Tentu saja karena semua orang yang berkepentingan telah berkumpul di ruang rapat.
Namun, tepat saat Rendra akan membuka rapat, ponsel yang dia letakkan di meja tiba-tiba bergetar. Nama yang tertera di layar membuat Rendra hilang fokus seketika: Kirana.
Rendra akhirnya membuka ponselnya dan membaca pesan yang dikirimkan calon istrinya itu.
'Ini cincin pilihan saya untuk acara besok Minggu. Bagus, kan?'
Kirana mengiriminya tautan menuju unggahan media sosial milik sebuah toko perhiasan. Begitu diklik, tampak foto sepasang cincin dengan desain yang cukup menarik perhatian Rendra.
Hanya saja setelah Rendra membaca rincian produk incaran Kirana, dia merasa tak yakin dengan harga yang tertera.
Rendra mendadak ingat dengan beberapa cincin berlian yang sebelumnya dia tawarkan kepada Kirana. Demi Tuhan, harga cincin pilihan Kirana benar-benar terlalu murah dibandingkan mereka semua.
"Cincin apa ini? Kenapa bisa murah banget?" gumam Rendra.
Pandangan Rendra lalu beralih pada pena hitam yang ada di tangannya sekarang. Astaga! Bisa-bisanya harga alat tulisnya itu malah berkali-kali lipat lebih mahal ketimbang cincin pertunangan pilihan Kirana.
Walau masih tak habis pikir, Rendra enggan bertanya lebih lanjut soal cincin itu. Ada banyak hal penting lain yang saat ini harus dia pikirkan terkait pekerjaannya di perusahaan.
Rendra dengan cepat mengetik beberapa kalimat singkat untuk membalas pesan Kirana. Dia kemudian meminta Bobby mendekat dan menyerahkan ponselnya kepada sang sekretaris agar gawai itu tidak mengganggu konsentrasinya lagi.
Ponsel tersebut diserahkan kepada Bobby dalam keadaan belum terkunci. Jadi tanpa banyak usaha, Bobby bisa membaca pesan yang baru saja dikirim bosnya.
'Cincinnya belum kamu bayar, kan? Kirim nomer rekening kamu. Nanti saya transfer uangnya.'