Tidak seperti biasanya, suhu udara hari ini meningkat drastis dinginnya. Kulit Ella yang sedari awal memang putih pucat malah terlihat seperti mayat hidup. "Brrrr dingin sekali, Ella dimana teh nya?" teriak Alana dari ruang tengah yang sedang menggigil. "Iya sebentar kak." Ella datang membawakan teh untuk Alana, kemudian kembali ke dapur untuk membuat sup hangat untuk sarapan. Untung saja kemarin lalu, Ella sempat memberi sayuran lebih. Kalau tidak, Ella juga harus terpaksa keluar untuk membeli sayuran dalam kondisi dingin seperti ini. "Hmmm ... Siapa namanya ya? Gara-gara kejadian kemarin, aku sama sekali tidak bisa tidur dengan nyenyak. Dan selalu mengingat jelas wajahnya, atau jangan-jangan aku suka sama dia?" gumam Ella.
"Ella, kamu sedang memikirkan apa nak?" tanya May yang muncul dari belakang sambil memegang sebelah kiri bahu Ella. "Ah ibu, membuat Ella kaget saja. Lagi masak sup, ibu duduk saja sana. Sebentar lagi ini akan selesai. Oh iya, teh hangat ada di meja," jawab Ella tenang.
"Baiklah Ella, jika kamu perlu bantuan. Panggil ibu saja ya, ibu minum teh dulu ...."
"Iya bu."
***
"Sebentar lagi semuanya akan jadi milikku dalam waktu dekat. Ternyata Ferand cukup kaya juga, rumahnya juga bagus, lebih bagus ini, ketimbang tempat tinggalku kemarin. Aku harus menyingkirkan Ferand dulu. Tapi bagaimana dengan Ella ya? Ah sudahlah, itu adalah hal gampang. Menjadikan dia pembantu di rumah ini, akan meringankan pengeluaran, jadi tidak susah-susah menyewa pembantu lagi," gumam May tersenyum. Lalu datanglah Ferand yang membawakan sup buatan Ella dan meletakkannya di atas meja makan. "Apa tubuhmu sudah cukup hangat?"
"Sudah Ferand, ayo minum teh juga. Teh buatan Ella sangat enak, dia pandai membuatnya ...."
"Ya begitulah." Seketika Ferand lagi-lagi kembali bernostalgia dengan sosok mendiang istrinya. Istrinya juga sangat pandai memasak, apalagi membuat teh. Ella dan ibunya sama persis mirip sekali. "Terkadang waktu sulit ditebak, ketika semuanya berakhir barulah mulai sibuk mencari cara memperbaikinya ...," gumam Ferand.
"Kamu kenapa sayang? Sedang tidak enak badan ya?" tanya May yang sedari tadi memperhatikan.
"Ah tidak, tidak ada apa-apa."
***
"Perutku sudah kenyang sekarang, waktunya mencuci piring." Burung hantu yang sempat ia kejar kemarin pun masuk dapur lewat jendela yang terbuka. "Eh? Hush sana, hush ... Jangan disini," usir Ella. Sebuah gelas pun terjatuh akibat burung itu, lalu pergi. Ella pun hanya bisa diam menghela nafas, kemudian membersihkan pecahan gelas tersebut. Terlebih lagi kalau gelas itu adalah gelas kesayangan ayahnya. "Bisa-bisa nanti aku dimarahi, jika aku bercerita ada seekor burung hantu masuk ke dapur, pasti tidak akan ada yang percaya ...." Dengan kaki gemetaran, Ella berjalan menuju ruang keluarga untuk memberitahu ini kepada ayahnya. Ternyata ayahnya tidak ada di rumah, May yang melihat semuanya terjadi tadi di dapur, memutuskan untuk mengadukan hal ini kepada Ferand. Agar Ferand membenci anaknya sendiri.
Tidak lama setelah itu pun Ferand pulang ke rumah dengan membawa kue kering juga roti yang ia beli di luar tadi. "Ella, kamu dimana nak? Ini ayah bawakan roti gandum kesukaanmu ...," panggil Ferand. Ella datang menghampirinya dengan wajah tertunduk dengan membawa pecahan gelas. "Maaf ayah .... Gela-"
"Ferand, akhirnya kamu pulang sayang. Ella tadi tidak sengaja memecahkan gelas kesayanganmu saat ingin mencuci piring," kata May mendahului Ella. Ella membulatkan matanya, ternyata May sudah memperhatikannya saat dirinya di dapur. Juga mengadu hal yang salah. "Bukan begitu ayah, Ella bisa menjelaskan semuanya sama ayah. Helas ini pecah, bukan aku yang pecahin. Tadi ad-"
"Ella, sudah berapa kali ayah bilang. Gelas ini adalah gelas kesayangan ayah. Kenapa kamu tidak berhati-hati dalam mencucinya? Jika kamu kurang sehat atau bagaimana, lebih baik tidak usah," sahut Ferand mulai marah. Ella tidak tahu harus berbuat apa, dirinya merasa tidak enak hati. Apalagi ini adalah pertama kalinya juga ia melihat ayahnya kesal. Ayahnya adalah seorang penyabar dan murah senyum, tapi hari ini dia berubah.
"Ayah, serius bukan Ella yang memecahkan gelas ini. Tadi ada seekor burung hantu masuk lewat jendela waktu Ella lagi dapur. Ella berusaha mengusirnya dan burung itu tidak sengaja menyenggol gelas ayah, begitu ceritanya ayah."
"Sudahlah Ella, kamu membuat ayah kecewa hari ini. Buang saja pecahan itu, lagipula tidak ada gunanya menyimpan pecahan gelas!"
Deg!
Ella menundukkan kembali wajah dan perlahan menjauh dari sana. "Sudahlah Ferand, dia tidak sengaja memecahkannya ...," kata May.
"Iya May, aku tahu itu hanya gelas biasa. Tapi gelas itu cukup berharga untukku ...."
***
"Mengapa ayah tidak mempercayai diriku? Padahal aku sudah mengatakan hal sejujurnya ...."
"Terkadang dunia ini memang tidaklah adil."
"Siapa yang berbicara?" Ella mengedarkan pandangannya mencari dari mana suara itu muncul. "Disini, apa tubuhku terlalu kecil, sampai-sampai kamu tidak bisa melihat diriku disini?"
"Oh ternyata kamu ...." Sudah hampir 3 jam lamanya Ella duduk di sebuah kayu mati dan menangis, tepatnya di tempat itu bertemu dengan pria misterius itu dan sekarang bertemu lagi. "Gara-gara kamu dimarahi ayahku, burung hantumu itu tidak sengaja menjatuhkan gelas kesayangan ayahku!"
"Apa? Kenapa? Bukan burung hantuku yang melakukan itu. Burung hantuku tidak pernah melakukan itu, dia bukan sembarang burung. Asal kamu tahu, dia juga tahu tata krama."
"Terserah kamu saja, yang jelas aku sedang tidak ingin bicara."
"Memangnya siapa yang ingin berbicara denganmu?" Salah satu alis pria itu terangkat, lalu mengulurkan tangan kanannya dan Ella menerima uluran tangan tersebut. "Namaku Xavier, namamu Ella?" Manik cokelat Ella tidak berkedip, apakah pria di depannya ini tidak salah bicara? Padahal kemarin ia berusaha menolak-nolak untuk memberitahu siapa namanya. "Ya, namaku Ella. Ada apa denganmu?"
"Tidak ada, aku hanya mengatakan siapa namaku. Tidak boleh?" Ella terdiam dan menarik kembali tangannya. Xavier kemudian duduk di samping Ella, "Sejak awal, aku ini merasa ada sesuatu yang aneh dari dalam dirimu ...."
"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti."
"Baiklah, kenapa kamu menangis di tengah hutan? Mana suara menangisnya jelek lagi, ada apa?"
"Tidak ada apa-apa, jangan ikut mencampuri urusanku."
"Baiklah, jika kamu tidak mau bercerita, aku tidak akan memaksamu." Mereka berdua kembali diam satu sama lain, menikmati hawa dingin dengan pemandangan salju dimana-mana. "Dimana rumahmu? Hari sudah mulai sore, sebaiknya kamu pulang ke rumah, udara di malam hari akan semakin dingin," kata Xavier bangkit berdiri.
"Entahlah, aku tidak memikirkan seberapa dinginnya nanti udara dingin ini ketika aku masih berada di hutan sampai besok," jawab Ella pelan.
"Hah ... Udara disini tidak bagus untukmu. Kamu ini wanita, berada di hutan bukan ide yang bagus, apalagi waktu malam hari. Ayo aku antarkan kamu pulang ke rumah." Ella masih diam tidak bergerak sama sekali. Xavier menghela nafasnya kasar, kemudian menggendong tubuh Ella. "Turunkan aku! Aku bisa berjalan sendiri!" kata Ella setengah berteriak.
"Diamlah, es disini sangat licin dan di malam hari kamu tidak akan bisa melihat dengan jelas," kata Xavier yang mulai berjalan.