"Cobalah untuk mengakrabkan diri kepada mereka, supaya kamu juga mereka tidak canggung saat kamu sudah naik tahta, Xavier ...."
"Iya aku tahu ibu, aku akan berusaha, aku pergi sebentar." Selalu saja diriku terdesak oleh perkataan ibuku. Aku tahu maksud dia itu baik, sangat baik pula. Tapi diriku tidak bisa berbaur berbaur dengan mudah. Kemarin malam aku sempat mengendap-endap masuk ke dalam kamar Ella. Lucu sekali melihat reaksinya saat terkejut melihatku di dalam pantulan kaca. Kayaknya dia akan marah, jika kami berdua kembali bertemu pasti dia akan marah sekali. Hari ini aku seperti biasa akan belajar menahan diriku di lingkungan luar istanaku di hutan, tempat biasa aku duduk. Aku memang anak raja, aku seorang pangeran, dan aku adalah sosok yang berbahaya.
"Hiks ... Hikss ... Hiksss ...."
Suara tangisan siapa itu? Sangat menganggu sekali. Jarang-jarang ada manusia yang datang ke hutan untuk menangis sendirian, apalagi suhu udara disini cukup dingin. Sebaiknya aku melihat siapa itu, bisa saja kan dia menjadi santapan lezatku nanti malam. Suara tangisan itu semakin dekat dan aroma darah dari dalam tubuh orang itu sangatlah harum begitu menggoda, tapi sepertinya aku mengenali aroma ini. "Lihat siapa yang menangis? Aromanya begi. Wah, ternyata wanita menyebalkan itu lagi. Ada perlu apa dia kemari?" gumamku.
Lama-lama diriku semakin penasaran akan dia. Munculnya dia di dalam hidup sebagai sesuatu yang berbeda dari yang lain. Aroma tubuhnya bahkan darahnya berbeda. "Mengapa ayah tidak mempercayai diriku? Padahal aku sudah mengatakan hal sejujurnya ...," katanya pelan sambil menyeka air mata.
"Terkadang dunia ini memang tidaklah adil."
Matanya yang cokelat terang itu membulat sempurna, aku tahu diriku memang tampan. Tapi setidaknya tatapan mata seperti itu tidaklah nyaman?
"Oh ternyata kamu .... Gara-gara kamu dimarahi ayahku, burung hantumu itu tidak sengaja menjatuhkan gelas kesayangan ayahku!" katanya lagi sambil marah. Dia terlihat sangat kesal, ekspresinya cepat sekali berubah. Perasaan burung hantuku ada di istanaku, lagi aku kandangin pula. Kenapa bisa terbang kesana ya?
Apa? Kenapa? Bukan burung hantuku yang melakukan itu. Burung hantuku tidak pernah melakukan itu, dia bukan sembarang burung. Asal kamu tahu, dia juga tahu tata krama," jawabku.
"Terserah kamu saja, yang jelas aku sedang tidak ingin bicara."
"Memangnya siapa yang ingin berbicara denganmu?" Aku sangat bingung dengan sosok wanita menyebalkan satu ini. Aku pun mengulurkan tangan kananku. Lagi-lagi matanya menatapku dengan tidak berkedip. Ada apa dengan dia ini? Apa ini sudah menjadi kebiasaannya?
"Namaku Xavier, namamu Ella?" kataku memperkenalkan diri. "Ya, namaku Ella. Ada apa denganmu?" Dia pasti kebingungan mengapa aku tiba-tiba mengatakan apa namaku. Lagipula dia tidak tahu siapa aku.
"Tidak ada, aku hanya mengatakan siapa namaku. Tidak boleh?" Aku kemudian duduk di sampingnya sambil menghela nafas dengan sangat pelan. "Sejak awal, aku ini merasa ada sesuatu yang aneh dari dalam dirimu ...."
"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti." Memang ada sesuatu yang aneh dari tubuhnya, tapi aku tidak tahu apa.
"Baiklah, kenapa kamu menangis di tengah hutan? Mana suara menangisnya jelek lagi, ada apa?"
"Tidak ada apa-apa, jangan ikut mencampuri urusanku."
"Baiklah, jika kamu tidak mau bercerita, aku tidak akan memaksamu." Kami berdua kembali terdiam, kulihat hawa disekitar sudah mulai dingin dan langit mulai gelap. "Dimana rumahmu? Hari sudah mulai sore, sebaiknya kamu pulang ke rumah, udara di malam hari akan semakin dingin."
"Entahlah, aku tidak memikirkan seberapa dinginnya nanti udara dingin ini ketika aku masih berada di hutan sampai besok." Dasar wanita keras kepala, sudah menyebalkan masih saja jual mahal.
"Hah ... Udara disini tidak bagus untukmu. Kamu ini wanita, berada di hutan bukan ide yang bagus, apalagi waktu malam hari. Ayo aku antarkan kamu pulang ke rumah." Dengan ringannya aku mengangkat tubuhnya. "Turunkan aku! Aku bisa berjalan sendiri!" katanya setengah berteriak.
"Diamlah, es disini sangat licin dan di malam hari kamu tidak akan bisa melihat dengan jelas ...." Aku bisa merasakan getaran jantungnya yang begitu terdengar jelas di telingaku. Bahkan tubuhnya sekarang mulai menggigil kedinginan. Aku memilih melewati jalan lain untuk sampai ke rumahnya. Karena jika aku melewati jalan yang biasanya ia lewati, bisa saja orang-orang disana mengklaim Ella sedang berbuat yang tidak-tidak denganku. Biar bagaimanapun aku harus menjaga penampilanku.
***
Mata Ella perlahan mulai tertutup dan dengkuran halus terdengar keluar dari bibirnya. Dengan satu pergerakan tidak kasat mata, Xavier kini sudah berada di dalam kamar Ella. Untung rumah Ella sedang sepi sekarang. "Kemana perginya orang rumah dia? Sepi begini? Apa mereka tidak khawatir dengan Ella?" gumam Xavier yang perlahan menurunkan Ella di atas tempat tidur. Ia kemudian berjalan ke dapur mengambil air hangat, kebetulan ada teh disana. Tidak lama, Xavier kembali membawakan teh buatannya dan meletakkannya di atas meja kecil dalam kamar tersebut.
Diperhatikannya Ella dari dekat, tampak sekali kelelahan sekaligus masalah di wajahnya. "Hei bangunlah, kamu sudah sampai di rumah. Minumlah tehnya, kamu begitu dingin ...."
Ella kembali membuka matanya, "Ah? Sudah sampai ya? E-eh?" Ia segera membenarkan posisinya dan menjauh sedikit dari Xavier. "Jangan dekati aku, cepat keluar!"
"Tunggu dulu, aku tidak melakukan hal yang macam-macam. Aku hanya membawamu ke kamar, lalu membuatkan teh. Itu teh nya, masih hangat ...."
"Dimana orang rumahku? Apa mereka tidak kaget melihat kamu masuk ke kamarku?"
"Mereka semua sedang tidak ada di rumah, hanya ada aku dan kamu saja. Aku mau pulang ini, jaga dirimu baik-baik ...." Xavier memutarkan badannya dan membuka pintu. "Tunggu, biarkan aku mengantarkan kamu sampai depan," kata Ella pelan. Ella sendiri merasa tidak enak hati, apalagi sudah menuduh Xavier yang tidak-tidak. Sampainya di pintu depan, Xavier pun pergi menjauh. Rasanya baru saja ia menangis di tengah hutan dan sekarang sudah kembali ke rumah.
"Dimana mereka semua? Apa mereka semua pergi keluar mencariku? Sebaiknya aku membersihkan diriku dan pergi mencari mereka ...."
***
"T-tolong maafkan aku tuan, aku janji tidak akan mencuri lagi ...," lirih seorang pria tua dengan tas berisikan emas juga berlian.
"Tidak akan mencuri katamu? Kamu sering mengatakan itu, tapi tidak membuktikannya, sangat mengecewakan." Taring-taring tajam perlahan keluar.
"Tidak! Aku tidak mau mati sekarang. Aku mohon tuan, tolong maafkan saya. Saya pasti tidak akan mencuri lagi ...."
"Aku tidak peduli apa katamu, kamu sudah mengatakan itu sebanyak 8 kali kepadaku? Bukankah kamu siap bertanggung jawab atas apa yang sudah kamu lakukan?"
"Saya mohon tuan, saya masih mau hidup. Berikan saya kesempatan satu kali lagi."
"Waktumu sudah habis sekarang ...."
"Kya!!!" Teriakkan kesakitan itu begitu menggema di tengah hutan. Sosok berwujud monster itu melahap pria tua tersebut dengan brutal, sampai tidak meningkatkan jejak sedikitpun. "Begitu nikmat rasanya, jangan pernah memancing wujudku."